Rabu, 06 Mei 2009
Agresivitas Penggusuran, Dilema Pembangunan Kota
Pendahuluan
Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat secara luas, baik yang bersifat positif, maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi Pemerintah, maupun bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya dukungan terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Namun disadari banyak dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota-kota tersebut tersebut, diakibatkan berbagai faktor, salah satu diantaranya kesalahan pendekatan penyusunan perencanaan pembangunan kota.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya lebih cenderung merencanakan pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan pemukiman eksklusif, pembangunan bangunan-bangunan perkantoran, pusat perdagangan dan sarana-sarana rekreasi modern dan bertingkat tinggi, dari pada merencanakan pembangunan rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbaikan/penataan kawasan-kawasan kumuh, penyediaan sarana-sarana hiburan/rekreasi murah untuk melayani masyarakat luas (community based), serta pengembangan kawasan-kawasan produksi. Padahal sebagian besar warga masyarakat masih berada pada tingkat marjinal, yang membutuhkan sarana dan prasarana untuk bermukim, untuk bekerja/berusaha dan berekreasi yang tingkatan dan skalanya masih jauh lebih rendah dari yang terbangun saat ini. Akhirnya kelompok masyarakat ini mencari celah-celah lokasi untuk membangun pemukiman dan fasilitasnya yang tidak sesuai peruntukan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Kondisi yang terjadi pada kota-kota besar dan menengah tersebut, merupakan kondisi dilematis, yang cukup merepotkan para perencana kota.
Dilematisnya adalah bahwa ketika perencana kota hendak merancang bangun suatu pasar modern, maka dia akan tertumbur pada kepentingan sebagian masyarakat marjinal yang mencari mata pencaharian sektor informal berupa pedagang sayur mayur dan kelontongan. Disini ia akan berbenturan dengan hakikat untuk berbuat baik dan kepentingan umum. Hakikat pertama adalah bahwa masyarakat marjinal tersebut mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya tanpa meminta bantuan fihak luar/Pemerintah. Dan hakikat kedua adalah bahwa masyarakat marjinal telah salah menggunakan ruang yang diperuntukkan bagi pengembangan perkotaan ke depannya. Bila di tempat marjinal atau kaki-lima, keadaannya bersih dan tidak ada kegiatan mensejahterakan keluarga orang yang miskin, ini adalah prestasi dan solusi hebat bagi Pemerintah Kota, namun merupakan petaka besar bagi orang miskin bersangkutan. Tidak pernah mendapat perhatian dan dianggap tidak penting adalah membedakan masalah perbuatan dan lokasi rakyat miskin melakukan kegiatan yang mulia, yaitu di tempat yang salah menurut pandangan Pemerintah Kota, padahal keadaan miskinlah yang membuat mereka tidak mampu mendapatkan atau menyediakan tempat yang resmi. Seharusnya penyediaan tempat benar adalah tugas Pemda yang gagal, bila dilihat dari dukungannya bagi usaha ekonomis formal seperti memberi tempat guna pembangunan perkotaan, pusat belanja, pompa bensin, dan sebagainya pada tempat yang seharusnya merupakan tempat terbuka hijau (Siahaan 2002).
Sikap Pemerintah Kota yang merencanakan pengembangan kota secara serampangan kemudian menimbulkan suatu tindakan kolektif beberapa kelompok (terutama kelompok marjinal) yang berujung pada pemunculan sifat-sifat anarkisme yang cenderung destruktif. Pemusnahan simbol-simbol pemerintahan menjadi daya tarik massa yang keburu kalap sebagai akibat aspirasi yang terkekang dan tidak tahu kemana disalurkan. Semua ini bermuara dari “penertiban” yang dilakukan Pemerintah Kota setempat pada daerah-daerah calon ruang terbuka hijau maupun bagi pengembangan tata kota, yang secara otomatis menepikan kelompok minoritas yang menggantungkan mata pencaharian di kawasan “penertiban” tersebut. Ini yang disebut oleh sebagian orang sebagai “penggusuran”.
Mengapa Ada Penggusuran?
Agenda pembangunan kota yang notabene merupakan masterplan sebuah kawasan modern hampir selalu menyisakan banyak korban. Penggusuran yang terjadi selalu saja diwarnai dengan bentrok, maupun amuk massa yang tidak terkendali. Kota dan penggusuran merupakan “sepasang kekasih” yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya selalu berjalan beriringan, seiring dengan kemajuan jaman. Meski sering dikatakan sebagai kebijakan yang tidak populis, penggusuran tetap berlangsung di setiap kota di dunia, karena hal ini dianggap penting bagi kemajuan suatu kota. UPC (Urban Poor Consortium) mencatat sejak tahun 2000 sampai 2005, penggusuran di negeri ini telah mengorbankan rakyat sebanyak 19.094 KK. Kondisi ini menempatkan Indonesia berdasarkan penilaian Centre on Housing Rights and Eviction (COHRE) sebagai salah satu dari 7 (tujuh) negara yang melakukan penggusuran paling besar di dunia (Kompas, 15 Desember 2006). Penggusuran memang selalu meninggalkan kesusahan hidup bagi kaum miskin kota yang umumnya bekerja di sektor informal.
Pada masa Orba, legimitasi penggusuran disahkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 tahun 1993. Kemudian, muncul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2005 (tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum) pada sub bagian Menimbang disebutkan bahwa Keppres sudah tidak sesuai lagi dengan landasan hukum dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Berlandaskan Perpres ini tentunya di setiap daerah kemudian muncul perda-perda tambahan yang isinya hampir seragam, ”menata ulang pengembangan kota”. Banyak aktivis LSM yang beranggapan bahwa regulasi ini sebagai sumber ”terorisme” yang menghantui masyarakat. Penggusuran yang terjadi selain melanggar UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (hak ekonomi dan hak hidup masyarakat), juga secara langsung telah membawa masyarakat ke dalam penderitaan panjang. Memang, dalam melihat fenomena perkotaan yang semrawut, yang ada dalam benak kita adalah suatu parasit yang harus segera dilenyapkan. Dan tepat tebakan anda, solusi terbaik adalah melakukan penggusuran. Dan bisa ditebak juga, yang terkena imbasnya tetap kaum marjinal. Dan lumrah apabila kemudian banyak yang bersimpati (kepada kaum marjinal), serta bersikap antipati kepada pemerintah (Gofar, 2005).
Inspirasi Menyulap Kota
Jakarta tahun 1619 saat masih bernama Batavia juga terdiri dari rawa-rawa. JP.Coen kemudian mengubahnya menjadi kota modern berdasarkan inspirasi dari Simon Stevin. Coen ingin mengubahnya menjadi Nieuw Amsterdam (Amsterdam Baru) bagi wilayah Timur dengan merombak total rawa-rawa menjadi kanal-kanal dan benteng. Kemudian HT. Tillema mengaplikasikan pembangunan kampung dan pembangunan drainase di Semarang sekitar tahun 1900-an dengan mengorbankan banyak daerah kumuh demi mendapatkan kawasan yang higienis (Arif 2008). Begitu pula Bandung yang banyak kawasan berbukit dirubah oleh Ed Cuypers, PAJ Moojen dan Henri Maclaine Pont (Roosmalen 2003: 77 – 82). Kesemua penggubah kota besar di Indonesia tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan visi, ingin melihat tata kota yang cantik. ”Kotoran-kotoran” yang membuat mata sakit ingin dibuang jauh-jauh, dengan kata lain pemerintah kolonial dahulu menciptakan kota yang baru sesuai dengan kota-kota negara asalnya. Apabila ada pembaca yang pernah keluar negeri, pasti akan melihat keteraturan itu. Bangunan-bangunan diatur rapi, pohon-pohon rindang menaungi kawasan pedestrian, pertokoan maupun kios-kios diatur dalam satu kawasan khusus. Salah satu konsep pertokoan maupun kaki lima yang tertata apik bisa dilihat di Orchard Road (Singapura). Disitu satu kawasan jalan tidak ada pemukiman namun sudah full akan pertokoan dan kaki lima. Di Indonesia mengapa banyak kawasan yang dipakai PKL yang melanggar ketertiban umum? Ini diakibatkan perspektif akan akses warga terhadap sumber daya alam. Seperti diungkapkan Peluso & Ribot (2003), bahwa akses disini merupakan kemampuan memperoleh keuntungan dari suatu hal apakah itu dari obyek materi, entah perorangan, lembaga, ataupun simbol. Pendefinisian ini berbeda dengan akses yang selama ini banyak dipahami orang sebagai hak untuk menikmati sesuatu sebagaimana teori properti. Pada kasus penggusuran, ditilik dari teori properti tentunya mudah menyalahkan para penduduk karena jelas mereka tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Dalam perspektif teori properti, akses sumber daya alam akan diakui jika memiliki bukti yang sah, sehingga setiap tindakan yang terkait dengan sumber daya tersebut memiliki konsekuensi hukum.
Penetesan Kemakmuran
Seharusnya berbagai kasus penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah jangan lantas diartikan sebagai penyengsaraan rakyat. Agenda pembangunan yang kemudian memaksa melakukan penggusuran, meski bukan hanya kesalahan pemerintah semata. Tetapi, pemerintah juga seharusnya tidak semena-mena terhadap warganya, apalagi tempat itu merupakan sandaran hidupnya. Kompromi harus juga dilakukan, untuk memberikan peluang munculnya kesepakatan untuk bisa meminimalisasi kekecewaan warga. Kalangan LSM jangan melihat proses penggusuran sebagai sikap antipati pemerintah terhadap rakyat, namun bisa dijadikan lahan untuk mengkaji kira-kira langkah apa yang tepat untuk mengeliminir penggusuran-penggusuran tersebut. Kemudian saya tidak menyalahkan apabila kemudian ada yang simpati dengan ”penderitaan” kaum marjinal yang merasa tersisihkan. Mahasiswa dibekali dengan kemampuan intelektual diatas rata-rata, bekal ilmu serta kajian-kajian ilmiah diperlukan bagi pengembangan kota. Kini saatnyalah pendidikan arsitektur dan perencanaan tata kota serta para penentu kebijakan kota harus membuka diri pada kenyataan bahwa kota sebenarnya hanya bisa dimengerti melalui pengalaman, dengan berjalan menelusurinya dan bukan dengan abstraksi melalui buku-buku dan peta-peta. Keindahan taktilitas adalah bagian dari kehidupan kota, bukan hanya keindahan rupa. Pemda harus menganut prinsip trickle down effect yang berarti ”penetesan kemakmuran ke bawah” (Todaro 1987:112), caranya? Adakan dialog yang intensif dalam mendapatkan kesepahaman kepada smua pihak terkait, seirama dengan pilihan pembangunan yang terus berjalan, dan harus mendapat dukungan dari semua pihak termasuk masyarakat. Karena proses pembangunan kota bukan hanyak pada kota baru, tetapi perkembangan kota memang mengharuskan adanya perubahan atau revitalisasi kota. Karena perkembangan kota bukan sesuatu yang statis, namun selalu dinamis, mengikuti perkembangan jaman.
DAFTAR ACUAN
Arif, Ahmad. 2008. Menuju Kota Gagal. Diunduh dari www.kompas.com tanggal 1 Mei 2009.
Gofar, Fajrimei A. 2005. Perpres No.36 Tahun 2005: Melegalkan Penggusuran Paksa?. Kompas 25 Juni.
Ribot, Jesse & Nancy Lee Peluso. 2003. A Theory Of Access. Rural Sociology Vol. 68 No.2 (June): 156.
Roosmalen, Pauline KM. 2003. Changing Views On Colonial Heritage. In R. van Oers, World Heritage Papers 5. Paris, UNESCO: 77 – 82.
Siahaan, Eddy Ihut. 2002. Filosofi Perencanaan Pembangunan Kota Sesuai Paradigma Baru di Indonesia: Hakikat Ilmu Untuk Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Makalah Falsafah Sains. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Todaro, Michael P. 1987. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar