Jumat, 19 Agustus 2011

HOPEN DAT DE POLITIE IN ONDERWIJSINSTELLINGEN


De politie die werkzaam zijn in onderwijsinstellingen zijn niet verschoppelingen, ze hebben een verantwoordelijkheid om jonge agenten te leren om de betekenis van plicht en rol in de samenleving te begrijpen. Voor degenen die die werkzaam zijn in onderwijsinstellingen moeten de toewijding, integriteit, vermogen, en de mogelijkheid van academici zijn boven het gemiddelde. Werken in onderwijsinstellingen hebben een groot aantal gevolgen die geen eigendom zijn van ander personeel in de regionale, worden ze soms overweldigd door de last die niet kan worden gevoeld in gebieden andere agenten. Of het nu een kwestie van inkomen, familiale problemen, carrière problemen, of problemen met betrekking tot het gebruik van macht.
Voor degenen die werkzaam zijn in onderwijsinstellingen, de taak van het onderwijs en het opleiden en koesteren een morele verantwoordelijkheid boven alles. Want voor hen, zal de kwaliteit van gekwalificeerde studenten en professionals zeker brengen vernieuwing van de organisatorische dynamiek en zal zeker invloed hebben op de verandering in de politiecultuur. Daarom nodig door de politie die werkzaam zijn in onderwijsinstellingen is niet niets, maar respect voor zijn inspanningen in het produceren van kwaliteit van de resultaten en de kwaliteit van studenten. Het vonnis kan worden in de vorm van het hoofdkantoor van aandacht voor loopbaanontwikkeling in de toekomst, voor degenen die al gekwalificeerd voelden voor promotie kan worden gegeven een fatsoenlijke baan, en voor de ontwikkeling van kleuters kan worden gegeven eerste prioriteit voor scholen, want dat is de enige hoop voor hen om zich te wijden aan deze politie-organisatie.



------------------------ >>>

Polisi yang bekerja di lembaga pendidikan (lemdik) bukanlah orang-orang buangan, mereka memiliki tanggung jawab untuk mendidik polisi-polisi muda agar mengerti arti tugas dan perannya dalam masyarakat. Untuk itu mereka yang bertugas di lemdik haruslah memiliki dedikasi, integritas, kapabilitas, serta kemampuan akademisi yang diatas rata-rata. Bekerja di lembaga pendidikan memiliki segudang konsekuensi yang tidak dimiliki oleh personel lain di kewilayahan, mereka terkadang diliputi beban yang mungkin tidak dirasakan polisi lain di wilayah. Apakah itu masalah penghasilan, masalah keluarga, masalah karier, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Bagi mereka yang bekerja di lemdik, tugas mengajar dan mendidik serta mengasuh merupakan tanggung jawab moral diatas segala-galanya. Karena bagi mereka, hasil mutu didik yang berkualitas dan profesional tentunya akan membawa pembaharuan bagi dinamika organisasi dan tentunya akan membawa dampak bagi perubahan kultur polisi. Oleh sebab itu yang dibutuhkan oleh polisi yang bekerja di lemdik bukanlah apa-apa selain penghargaan atas jerih payahnya dalam menghasilkan hasil didik yang bermutu dan berkualitas. Penghargaan itu mungkin dalam bentuk perhatian Mabes terhadap pengembangan karier ke depannya, bagi mereka yang dirasakan sudah memenuhi syarat untuk promosi mungkin dapat diberikan jabatan yang layak, dan bagi yang belum sekolah pengembangan mungkin dapat diberikan prioritas utama untuk sekolah, karena itulah harapan satu-satunya bagi mereka untuk mendedikasikan diri pada organisasi Polri ini.




Baca selengkapnya.....

Kamis, 18 Agustus 2011

VERDIENSTE SYSTEEM (Merit System)


Het is tijd om de politieorganisatie in het systeem van loopbaanbegeleiding personeel te hervormen. Een methode van coaching carrière dat ik wil wijzen op de verdienste systeem. Verdienste systeem is het systeem van de tewerkstelling en de bevordering van ambtenaren op de basis van het vermogen. Met de prestaties die, toen zijn carrière kunnen klimmen en groeien, en omgekeerd als er personeel dat niet kan uitvoeren zijn er verschillende stadia van verwerking.
De gevolgen van de toepassing van de verdienste systeem binnen een organisatie is een must bekwaamheidsnormen of benchmarks uitvoering prestaties hebben binnen de organisatie. uitvoering maatstaven waaraan moet worden voldaan door een medewerker in overeenstemming met de taken en verantwoordelijkheden.
Toepassing, een personeel moet weten in detail over zijn werk. Weet de taakomschrijving, taak-specificatie, het doelwit van zijn werk en hoe de beoordeling zal de prestaties. Van het circuit is een personeel zal weten hoe het werkt en hoe de beoordeling van de kwaliteit van leiderschap op de productiviteit prestaties.
Implementatie van de verdienste systeem kan bereiken transparantie in de carrière coaching. Anders zal een gezonde concurrentie tussen de medewerkers binnen de organisatie hebben, zodat er niet langer wilt of een hekel aan de indruk van het bevorderen van een personeel naar een positie in te nemen.


---------------------------- >>>
Sudah saatnya organisasi polisi melakukan pembenahan dalam sistem pembinaan karier personelnya. Salah satu metode pembinaan karier yang saya ingin kemukakan adalah merit system. Merit system adalah sistem kerja dan promosi pejabat berdasarkan penilaian kemampuan yang dimiliki personel tersebut. Dengan prestasi yang dibuat, maka kariernya bisa menanjak dan berkembang, dan sebaliknya apabila ada personel yang tidak bisa berprestasi maka ada beberapa tahap penanganannya.
Konsekuensi dari penerapan merit system dalam suatu organisasi adalah harus ada standard competence atau tolak ukur kinerja dalam organisasi tersebut. tolak ukur kinerja itu harus dipenuhi oleh seorang karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Aplikasinya, seorang personel harus tahu secara terperinci mengenai pekerjaannya. Tahu akan job descriptions, job specifications, target dari pekerjaannya dan bagaimana hasil penilaian akan kinerjanya. Dari rangkaian tersebut maka seorang personel akan tahu bagaimana kualitas kerjanya dan bagaimana penilaian pimpinan atas produktivitas kinerjanya.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat diantara karyawan dalam organisasi tersebut, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang personel untuk menduduki suatu jabatan.


Baca selengkapnya.....

Selasa, 16 Agustus 2011

UPAYA PENINGKATAN LATIHAN KEMAMPUAN PERSONEL POLRI LEVEL POLRES DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PROFESIONALISME ANGGOTA


Pendahuluan

Dalam era modern ini, tugas polisi dituntut untuk lebih mampu menjalankan tugas dan fungsinya dalam mendamaikan kelompok atau perorangan yang berkonflik, bukan sekedar memenjarakan mereka demi menegakkan hukum (Prasodjo, 2011: 23). Polisi harus lebih mengedepankan tindakan preventif ketimbang represif dalam pencegahan kejahatan, karena polisi selain sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, juga sebagai alat efektif untuk melindungi manusia itu sendiri dari ancaman-ancaman kejahatan yang dapat mengganggu produktifitas. Untuk itu kemampuan personel Polri harus dikembangkan terus guna mengasah keterampilan dan pengetahuan dalam menghadapi situasi seperti ini, salah satunya melalui pelatihan-pelatihan yang secara kontinyu harus dilaksanakan oleh setiap personel Polri. Polres sebagai satuan kerja yang langsung menyentuh masyarakat, dituntut profesionalitasnya untuk mengerahkan kemampuan teknis dan taktis kepolisian untuk menghadapi tantangan sosial masa kini guna merebut kepercayaan masyarakat (trust building). Oleh sebab itu sebagai pertanyaan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan personil anggota Polres dalam rangka memelihara kemampuan profesional anggota.

Pokok Persoalan

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka saya membagi dalam tiga pokok persoalan, yaitu:
1. Bagaimana latihan kemampuan personil Polres saat ini ?
2. Bagaimana anggota Polri yang profesional ?
3. Bagaimana meningkatkan latihan kemampuan anggota Polres dalam rangka mewujudkan kemampuan profesional anggota ?

Pemecahan Masalah

1. Latihan Kemampuan Personil Polres Saat Ini

a. Situasi, kondisi dan pendukung latihan yang ada saat ini.

1) Program Latihan.
Program latihan kemampuan anggota selama ini tidak terprogram dengan baik, karena tidak adanya/tidak dibuat rencana program latihan yang kontinyu. Tidak lengkapnya piranti lunak seperti juklak tentang latihan protap latihan, buku panduan latihan dan rencana latihannya sendiri tidak dibuat secara detail.

2) Tenaga Pelatih/Instruktur.
Selama ini Polres tidak memiliki Pa/Ba pelatih maupun pengajar/instruktur yang memiliki kualifikasi untuk melatih, sehingga pelatihan yang dilakukan selama ini disamping tidak kontinyu (rutin) juga tenaga pelatih ditunjuk dari Pa/Ba yang tidak menguasi/memiliki tehnik memberikan pengajaran/pelatihan kepada anggota dapat ditransfer dan diterima anggota dengan baik.

3) Anggaran
Anggaran dalam rangka mendukung pelaksanaan latihan kemampuan anggota selama ini tidak mendukung, karena latihan tidak diprogramkan dengan baik.

4) Prasarana dan fasilitas.
Prasarana dan fasilitas latihan selama ini tidak memadai seperti :
a) Tidak memiliki aula (ruangan) untuk menampung tempat latihan.
b) Alin/alongins yang terbatas seperti over head proyektor pada saat pemberian materi di ruang, alat peraga dan alat pelatihan seperti tongkat, borgol maupun tameng yang tidak lengkap.

b. Situasi pelaksanaan latiham saat ini.

Pelaksanaan latihan kemampuan anggota Polres selama ini tidak berjalan dengan baik dan juga tidak dilaksanakan secara kontinyu dan berlanjutan, serta tidak sesuai dengan sistem pembinaan pelatihan Polri yang telah ditetapkan dan terprogram sehingga pelaksanaan latihan kemampuan anggota sebagai berikut:

1) Tidak mengakomodir dengan baik terhadap berbagai perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, serta tidak terorientasinya program latihan yang dapat menjawab kebutuhan nyata dilapangan yang sesuai dengan dinamika masyarakat (civil society) dan paradigma baru Polri.

2) Pelatihan yang diadakan tidak dapat mentransfer pembelajaran yang diharapkan yaitu setiap peserta mampu menyerap materi latihan dan menstimulasikan kondisi dalam pekerjaannya sekaligus dapat memberikan umpan balik dari bimbingan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang prima.

3) Pelaksanaan latihan yang dilaksanakan selama ini tidak berorientasi pada tujuan dan sasaran pelatihan, karena tidak direncanakan dan diorganisir dengan baik, sehingga tidak adanya standardisasi, metode, serta teknik pelatihan yang baik, juga pelatihan diberikan oleh pengajar/instruktur baik perwira/bintara yang tidak memiliki kualifikasi sebagai pelatih/instruktur.

2. Anggota Polri Yang Berkemampuan Profesional.

Polri sebagai institusi yang memiliki posisi sentral dalam proses penegakan supremasi hukum dan berkewajiban menjaga serta memelihara keamanan dalam negeri, sebagaimana visi dan misi Polri dalam paradigma baru, yaitu; Visi Polri adalah: sebagai alat negara penegak hukum ; pemelihara keamanan dalam negeri yang professional dekat dengan masyarakat, bertanggung jawab dan mempunyai komitmen terhadap masyarakat. Sedangkan Misi Polri adalah menegakan hukum secara adil, bersih dan menghormati HAM, memelihara keamanan dalam negeri dengan memperihatinkan norma-norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta mendorong meningkatnya kesadaran, kepatuhan hukum masyarakat.
Sesuai dengan visi dan misi Polri, maka setiap anggota Polri dituntut untuk memiliki bekal dan kemampuan pengetahuan kepolisian, serta perundang-undangan lain, demikian juga memiliki keterampilan-keterampilan yang handal dalam mendukung dan melaksanakan tugasnya secara profesional. Dalam rangka menghadapi berbagai perkembangan dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Insan Polri yang profesional yaitu anggota Polri selain memiliki pengetahuan kepolisian dan perundang-undangan juga memiliki kemahiran dan keahlian yang memadai serta mempunyai kode etik dan etika profesi yang menjadi pedoman untuk ditaati secara tulus dan ikhlas. Disamping itu harus memiliki kejujuran, tahu akan tugas dan kewajibannya serta bertanggung jawab, senantiasa menghormati hak asasi manusia, memiliki tekad dalam jiwanya dari setiap moral perbuatannya yang dilandasi oleh niat untuk mengabdikan dirinya demi kepentingan orang banyak sesuai dengan standar yang diinginkan oleh semua lapisan dan golongan masyarakat.
Untuk itu, kesatuan kewilayahan (Polres) harus berupaya bagaimana meningkatkan kemampuan professional anggotanya dengan upaya peningkatan latihan kemampuan personel.

3. Upaya Peningkatan Latihan Kemampuan Anggota Polres Dalam Rangka Mewujudkan Kemampuan Personil.

a. Aspek pendekatan latihan
Ada 5 aspek pendekatan dalam pembinaan latihan personil Polri, yaitu :
a) Pendekatan situasi yaitu pelatihan yang dilaksanakan harus sesuai dengan situasi tugas Polri saat ini.
b) Pendekatan gangguan Kamtibmas, yaitu latihan yang mengacu pada gangguan Kamtibmas menurut sifatnya dan bentuknya.
c) Pendekatan pengerahan kekuatan atau pada pola rasional yaitu deteksi, preemtif, preventif, represif serta rehabilitasi.
d) Pendekatan hukum, meliputi hukum lokal atau setempat, hukum nasional dan hukum International.
e) Pendekatan sifat tugas Kepolisian yang terdiri dari kegiatan rutin Kepolisian serta operasional Kepolisian.

b. Aspek manajemen latihan.
1) Perencanaan Latihan.
Perencanaan latihan harus dibuat sebelumnya, karena perencanaan latihan sangat penting sebelum memulai latihan untuk dijadikan arah dan pedoman bagi pelaksanaan latihan secara terprogram. Perencanaan latihan meliputi, adanya piranti lunak pelatihan berupa juklak, buku pedoman pelatihan (protap pelatihan), rencana kegiatan pelatihan serta piranti lunak (buku-buku) pendukung lainnya.

2) Pengorganisasian pelatihan.
Merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pelatihan. Dimana pengorganisasi pelatihan harus jelas dan efektif dalam rangka mengatur tata hubungan wewenang dan tanggung jawab dari organisasi pelatihan. Karena unsur pelaksaannnya telah ditentukan/ditetapkan sesuai dan berpedoman pada wewenang komando.

3) Pelaksanaan pelatihan.
Pelaksanaan pelatihan dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahapan yaitu :
a) Tahapan pelaksanaan pelatihan. Yaitu kegiatan diawali dengan pemberian direktif latihan. Apabila direktif telah diberikan dan telah diterima, maka perlu diadakan pemahaman terhadap direktif tersebut serta dilakukan penilaian oleh tim evaluasi. Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh komando latihan adalah pembukaan latihan, pengendalian, penilaian serta penutupan latihan.
b) Tahap pengakhiran pelatihan, dilakukan pula pemberian direktif latihan, apabila direktif dalam rangka pengakhiran pelatihan diterima, maka kegiatan yang harus dilakukan adalah menerima masukan dari tim supervisi, menyiapkan laporan serta menyiapkan pengarahan.
Kegiatan berikutnya yang harus dilakukan komando pelatihan adalah menghimpun tanggapan, kaji ulang, pengembalian peserta, penyelesaian administrasi, pengiriman laporan serta pembubaran organisasi latihan.

4) Pengendalian pelatihan.
Tahapan terakhir dari kegiatan penyelenggaraan latihan adalah tahap pengendalian pelatihan, yang dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk pengendalian yaitu :
a) Pengendalian administrasi, yaitu untuk menjalin efisiensi, stabilitas dan sinkronisasi semua rencana pelatihan serta pelaksanaannya.
b) Pengendalian operatif, yaitu untuk memungkinkan dilaksanakannya berbagai tindakan korektif untuk dapat mengukur tingkat kemampuan yang dicapai dan memperlancar jalannya pelatihan.
c) Pengendalian teknis, yaitu untuk menjamin efektifitas proses pelatihan.

5) Anggaran.
Kebutuhan anggaran secara terencana pembangunan kekuatan dan kemampuan Polri, disesuaikan pula dengan dukungan anggaran yang ada secara terbatas.

Rekomendasi Eksekutif

Dari pembahasan pokok-pokok persoalan tersebut diatas maka penulis dapat mengambil rekomendasi sebagai berikut:

1. Kesatuan kewilayahan Polres (KOD) secara rutin dan terprogram melaksanakan latihan bagi anggotanya, guna meningkatkan kemampuan professional guna menghadapi perkembangan sosial masyarakat dengan berbagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Polri.

2. Pelaksanaan pelatihan selalu berpedoman pada sisbinlat Polri sehingga program latihan terjadwal dan terarah dengan memenuhi aspek-aspek pelatihan dan aspek manajemen latihan. Walaupun dalam kenyataannya bahwa banyaknya kendala menyangkut minim/kurangnya sarana prasarana latihan serta dukungan anggaran yang ada serta tenaga pelatih/instruktur baik Pa/Ba. Namun untuk mengatasinya peran Kapolres harus mampu semaksimal mungkin memberdayakan kondisi yang ada.

3. Pelaksanaan latihan dilibatkan seluruh anggota sampai tingkat Polsek dengan pembagian jadwal secara bertahap. Disamping itu memanfaatkan tenaga Pa/Ba yang memiliki kemampuan mengajar/melatih anggota sehingga materi pelajaran dapat diterima dan secara akomodatif anggota dapat mentransfer materi pelatihan/pelajaran guna meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas. Dan diharapkan kemampuan profesional anggota dapat terwujud.


Referensi:

Prasodjo, Imam B. Peran Polisi Ideal di Tengah Dinamika Perubahan Sosial. Majalah Jagratara, 2011.
Baca selengkapnya.....

Senin, 15 Agustus 2011

ILMU KEPOLISIAN INDONESIA DAN TANTANGAN PENGEMBANGANNYA


Profesi Kepolisian, Sebuah Tantangan Profesionalisme Polri

Seiring dengan pemisahan TNI dan Polri adalah sebuah jawaban dari reformasi pemerintahan yang harus selalu dijaga keabsahannya. Pemisahan ini pula melahirkan berbagai perubahan paradigma kepolisian, dimana salah satunya adalah penyebutan profesi kepolisian. Hal ini juga yang melahirkan pengaturan pembinaan profesi dan kode etik profesi kepolisian. Penyebutan profesi memberikan makna penting bagi anggota kepolisian bila dapat dimaknai secara optimal dalam menjalani pekerjaannya. Labelisasi profesi juga memberikan makna bahwa menjadi seorang polisi adalah lebih dari sekedar pekerjaan. Secara teoretis pekerjaan dapat dibedakan dalam tiga arti, arti umum, arti tertentu, dan arti khusus , yaitu: 1. Pekerjaan dalam arti umum yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan; 2. Pekerjaan dalam arti tertentu yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian; 3. Pekerjaan dalam arti khusus yaitu pekerjaan bidang tertentu yang mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan.
Suatu pekerjaan dapat dinyatakan sebagai sebuah profesi ketika pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membutuhkan kemahiran dan pengetahuan yang khusus berdasarkan persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Profesi, menurut Franz Magnis Suseno, sebagai suatu profesi luhur yang mendahulukan kepentingan umum dan mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Tak jauh berbeda dengan beberapa rumusan profesi yang telah dinyatakan sebelumnya, Ronny Nitibaskara dalam Pudi Rahardi (2007) bahwa profesi Polri adalah profesi mulia (nobile officium) sebagaimana profesi-profesi terhormat lainnya yang memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, dan jasanya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Pendapat yang telah diuraikan oleh beberapa orang pakar tersebut pada umumnya memiliki kesamaan yang dapat dijadikan ukuran keberadaan sebuah profesi. Ukuran tersebut antara lain:
1. Keahlian berdasarkan pemahaman teori serta pendidikan dan latihan; secara formal standar keahlian dapat diperoleh melalui pendidikan formal seperti jenjang pendidikan S2 dan S3, disamping juga diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang dilakukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Program pendidikan dan latihan yang diselenggarakan harus sistematik dan aplikatif sebagai upaya memperkuat dan meningkatkan keterampilan yang bersifat teknis. Sedangkan pendidikan formal difokuskan pada peningkatan ilmu pengetahuan di bidang tertentu .
2. Pengujian kompetensi bagi keanggotaan profesi; pengujian atas kompetensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap profesi akan dapat meningkatkan dan menjaga kualitas keahlian profesi itu sendiri. Pengujian tersebut dilakukan pada awal rekrutmen dengan menggunakan kriteria tertentu. Selain itu untuk menjaga kualitas profesi selama melakukan fungsinya, maka perlu dilakukan semacam eksaminasi atas kualitas kerja sesuai dengan standar profesi tersebut.
3. Terintegrasi dalam suatu organisasi profesi; sebagai sebuah moral society (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama, keberadaan sebuah organisasi yang dapat mewadahi kaum profesional dianggap perlu. Sekalipun kaum profesional dinilai sebagai kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan tanggung jawab khusus. Selain itu keberadaan organisasi dapat menjadi salah satu kontrol atas perilaku kaum profesi itu sendiri.
4. Kode etik profesi; kode etik profesi hukum merupakan merupakan self regulation (pengaturan diri) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial dalam pelaksanaan profesi sebagai pelayanan dan pengabdian terhadap masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan tuntutan terhadap etika itu sendiri saat dimana polisi itu berposisi dan keadaan yang membentuk polisi itu untuk berperan khusus pada masyarakat.
5. Majelis Kode Etik/ Dewan Kehormatan Etik Majelis Kode Etik dibutuhkan sebagai alat kontrol bagi pelaksanaan dan kepatuhan kaum profesional atas kode etik profesi. Pelaksanaan kode etik ini mesti diawasi secara terus menerus. Mesti ada kontrol sosial dari dewan kehormatan atau komisi pengawas. Dewan kehormatan harus menilai dan menindak tegas berupa pemberian sanksi kepada pelanggar kode etik.
6. Ditujukan bagi pelayanan atas kepentingan orang lain; Keberadaan kaum profesi pada dasarnya merupakan bentuk pengabdian bagi kepentingan yang lebih luas. Dalam hal ini ia bekerja tidak sekadar mewakili suatu institusi, melainkan benar-benar mewakili suatu prinsip yang ideal, ialah terwujudnya layanan yang bermutu untuk para pencari keadilan.
7. Adanya kebebasan dalam menjalankan tugas dan peranannya; Profesional hukum harus mampu menafsirkan hukum yang berlaku secara tepat dan cermat bagi kehidupan bersama, tanpa mengabaikan etika profesinya. Untuk itu profesional hukum mesti otonom, dalam arti bebas dan mandiri dalam menjalankan profesi, tanpa ada tekanan dari pihak lain untuk merekayasa proses pencapaian keadilan hukum.
8. Memiliki otoritas tertentu dari negara untuk melakukan suatu tindakan otoritas yang dimiliki berkenaan dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai sebuah profesi. Otoritas tersebut diberikan melalui suatu peraturan perundang-undangan sebagai dasar legalitas atas segala kewenangan yang dimilikinya.
9. Pengucapan janji (sumpah) untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Janji publik yang diucapkan oleh kaum profesional diharapkan dapat menjadi legitimasi bagi kaum profesi untuk bertindak bagi suatu kepentingan tertentu. Janji publik tersebut menjadi dasar bagi otoritas dan legitimasi untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih luas dari masyarakat.
Berdasar atas berbagai pemaparan tentang kriteria profesi kepolisian maka dapatlah ditarik salah satu elemen penting dalam penguatan profesi kepolisian adalah dengan adanya kode etik dan Komisi Kode Etik Profesi Polri. Dalam bahasa yang berbeda namun tetap memiliki makna yang sama, saat ini kepolisian telah pula memiliki mekanisme penegakan etik dengan adanya Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Setelah memiliki kedua hal tersebut, maka yang diperlukan adalah optimalisasi penegakan ketentuan tersebut. Bagian yang terpenting lagi dalam sebuah profesi dan hal ini mutlak perlu dimiliki oleh kepolisian adalah masalah pengujian kompetensi dan terkait dengan masalah pelayanan kepada publik. Sebagaimana dikutip dari pendapat John Kleinig dalam Kunarto (1998), bahwa polisi harus memposisikan dirinya atas rasa kewajiban dan rasa kemanusiaan dalam membaktikan diri pada masyarakat dalam keadaan apapun, apakah polisi tersebut dalam keadaan dinas maupun diluar dinas. Dalam hal ini perlu ditegaskan kembali perihal prinsip kewenanganan kepolisian yang ditujukan pada pencapaian bagi lahirnya keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum, dimana Polri mengambil posisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Hal ini penting untuk dijadikan ukuran bagi kinerja seluruh Pejabat Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga Polri menjadi institusi negara yang dicintai oleh masyarakat.

Budaya Polisi dan Kedudukannya Dalam Birokrasi Negara

Mengenai fungsi kepolisian, dalam struktur organisasi Polri pada tahapan pre-emptif (mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau penyimpangan) terdapat pada fungsi intelijen. Sedang untuk tahapan preventif (mencegah kejahatan atau penyimpangan terjadi) terdapat pada fungsi samapta serta lalu lintas. Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu ditegakkan (tahap represif), maka selain lalu lintas, reskrim adalah fungsi yang terutama melakukan itu. Adapun Brimob adalah fungsi kepolisian paramiliter yang bisa bertugas dalam rangka prevensi maupun represi terkait kejahatan berintensitas tinggi.
Terkait tahapan tugas kepolisian, dimanapun kita akan mengenal kepolisian sebagai instansi yang bertugas melakukan law enforcement (penegakan hukum), juga dalam rangka maintaining order (memelihara ketertiban) dan memberikan berbagai jasa publik (public service provider). Adapun mengenai situasi eksternal, adalah situasi spesifik kemasyarakatan yang dihadapi kepolisian saat hendak melakukan fungsi dan tahapan tugas kepolisian tertentu. Disini terjadi peran polisi sebagai institusi berwajah protagonis (bertindak sesuai keinginan masyarakat walaupun mungkin hal itu melanggar hukum) dan wajah antagonis (melakukan penegakan hukum walaupun mungkin hal itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat). Konsepsi Kepolisian dalam setiap negara selalu dipengaruhi atau berkaitan dengan falsafah bangsa dan ideologi negara; tujuan negara; bentuk negara; susunan negara; sistem pemerintahan; sejarah perjuangan bangsa; aspirasi bangsa tentang kamtibnas; pemolisian dan penegakan hukum. Dapat dikatakan juga bahwa setiap negara mengembangkan budaya polisinya sendiri yang khas dan unik disamping unsur-unsur budaya polisi yang bersifat universal (Skolnick & Fyfe 2000: 135 – 137). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Budaya Polisi Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia yang lahir bersamaan dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia.
Polri dikatakan memiliki posisi yang unik di kalangan birokrasi negara, karena mengemban tiga sistem administrasi sekaligus yang tidak dilakukan oleh fungsi-fungsi eksekutif maupun kalangan birokrasi yang lain, yaitu: sistem administrasi negara, sistem administrasi pertahanan dan keamanan, serta sistem administrasi peradilan pidana atau upaya preventif dan represif. Fungsi utama dari Polri itu sendiri meliputi penegakan hukum, pembinaan kekuatan Polri maupun potensi masyarakat dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan pembangunan nasional serta meningkatkan kesejahteraan bangsa, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 pasal 2 bahwa: Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pendapat lainnya dinyatakan oleh Egon Bittner (1970), bahwa fungsi utama polisi adalah untuk menghentikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dan mendorong seseorang agar berbuat lebih baik sekarang. Pengaruh lingkungan global, regional dan nasional menuntut perubahan di segala aspek kehidupan. Demikian juga halnya dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian seperti tersebut di atas juga dituntut untuk senantiasa melakukan perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan transisi simultan dan masyarakat Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa fungsi-fungsi kepolisian adakalanya berbenturan dengan kondisi masyarakat, sehingga tak jarang polisi dicemoohkan daripada dipuji. Diskresi yang dimiliki aparat kepolisian pun acap disalahgunakan. Korup, penuh dengan tindak kekerasan baik dengan senjata api maupun fisik, arogan menjadi stigma yang melekat terhadap polisi.

Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat Pada Polri

Bagian tersulit dalam perjalanan sejarah Polri adalah bagaimana menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat. Polri sudah mampu menunjukkan jatidirinya pasca pemisahan dari TNI. Profesionalisme dalam menegakkan hukum, memecahkan kasus-kasus berat, melakukan kerjasama keamanan dengan negara lain sudah mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Namun menyangkut masalah kepercayaan itulah yang sampai saat ini menjadi batu kerikil dalam perjalanan Polri. Polri sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum, menuntut perilaku polisi yang harus sejalan dengan hukum itu sendiri. Bagaimana Polri itu berperan, melakukan fungsinya serta wewenang yang diembannya. Kesemuanya ini merupakan sistem dalam melakukan pencegahan kejahatan, dimana dalam perannya polisi bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi masyarakat dari perilaku jahat dari pelaku kriminal. Dalam UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung hak asasi manusia. Memang terasa berat apabila membayangkan tugas polisi sedemikian rupa, namun itulah sebenarnya arti dari pengabdian polisi. Polisi diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi superman (manusianya yang mentafsirkan tugas dengan perilaku sehari-hari sebagai seorang profesi polisi) bukan sekedar superbody (hanya merunut pada organisasi kepolisian saja, namun tidak mengerti tugas dan perannya). Artinya polisi harus mau melakukan tugas-tugas yang dianggap sepele oleh masyarakat, seperti menyeberangkan orang tua atau anak-anak manakala jalanan padat, menyingkirkan bangkai binatang yang berada di jalan tol, kala masyarakat sedang tidur di malam hari polisi harus siaga menjaga keamanan. Namun pengabdian dan pengorbanan yang diharapkan oleh masyarakat adakalanya tercoreng oleh ulah sejumlah oknum polisi yang memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan pribadinya. Misalnya melakukan pemerasan, meminta damai pada pelanggar lalu lintas, menjadi backing perjudian atau prostitusi, menilep uang anggaran sampai perilaku menyimpang lainnya mengganggu istri orang. Tingkah laku seperti ini ironisnya hanya dilakukan segelintir orang saja, namun asumsi dari masyarakat adalah melakukan generalisasi bahwa perilaku anggota Polri adalah seperti itu. Sikap inilah yang sekarang hendak dirubah melalui perubahan kultur (budaya), perubahan struktur dan perubahan instumental Polri sesuai cita-cita reformasi, yang mengandung esensi bahwa polisi harus lebih dekat dengan masyarakat.

Mendekatkan Diri Dengan Masyarakat

Sebagai langkah mendekatkan diri dengan masyarakat, berbagai konsep telah dikembangkan merunut pada sistem kepolisian negara lain. Sebagai contoh konsep pemolisian komunitas (community policing) yang diterapkan di Jepang dengan sistem koban dan chuzaisho-nya. Konsep ini dirasakan hampir mirip dengan kegiatan pemolisian kita masa lampau yaitu polingga (polisi lingkungan warga), kini sistem tersebut diadopsi ─ salahsatunya ─ oleh pihak Kepolisian Resor Bekasi. Petugas kepolisian yang bertugas pada Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM) yang telah dibangun dan mempunyai tugas membantu masyarakat dengan memberikan saran, mediator perselisihan, memberitahu arah jalan, dan pencegahan kejahatan. Pekerjaan mereka bahkan diperluas dengan membantu mencari pekerjaan bagi orang yang belum bekerja. Dari hal inilah dapat dilihat bahwa kepolisian melalui program community policing ini berusaha melakukan reformasi internal, sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat keamanan bukan hanya tugas polisi semata, melainkan juga tugas masyarakat. Yang dimaksud dengan community policing atau pemolisian masyarakat itu sendiri adalah sebuah filosofi dan sebuah strategi operasional yang mendorong terciptanya satu kemitraan baru antara masyarakat dan polisi. Polisi dan masyarakat bekerja bersama-sama sebagai mitra dalam mengidentifikasi, menentukan prioritas dan menyelesaikan masalah-masalah baru, seperti tindak kejahatan, penyalahgunaan obat-obatan, ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban sosial dan fisik, dan seluruh kekurangan di masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan seluruh kualitas hidup di wilayah tersebut. Konsep pemolisian merupakan gaya yang akan mempengaruhi aktivitas kepolisian. Artinya, konsep pemolisian bukan sekadar teknik atau taktik kepolisian belaka, melainkan juga merupakan benang merah yang akan mensinkronkan aktivitas kepolisian dengan lainnya. Oleh sebab itu, konsep community policing atau pemolisian komunitas merupakan pengembangan konsep yag bertujuan problem solving policing melalui cara pemberian jasa publik atau public-service policing dengan mengandalkan sumberdaya setempat dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Prinsip kemitraan polisi dengan masyarakat sudah pernah coba diterapkan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat semasa dipimpin Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Drs. Sudirman Ail, SH, MBA lalu oleh Irjen Pol Drs. Dadang Garnida, SH, MBA dengan cara menjadikan tukang ojek sebagai ojek keamanan dan ketertiban masyarakat, atau melatih anggota pertahanan sipil untuk memahami tugas-tugas kepolisian. Namun praktiknya, prinsip kemitraan itu tidak dikembangkan lebih jauh, sehingga polisi menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja hanya sebatas kebutuhan saja. Dengan kata lain, polisi baru melibatkan masyarakat dalam menyelesaikan sesuatu masalah kalau suasananya membutuhkan. Jika tidak memungkinkan, polisi tidak pernah mengajak masyarakat bekerjasama. Demi memenuhi perannya sebagai institusi publik, Polri haruslah terus-menerus melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena hasil kerja polisi tidak bisa dinilai secara berdiri sendiri dan absolut. Absolut disini mengandung arti melihat prestasi polisi semata-mata sebagai hasil karya para polisi itu sendiri. Polisi harus mampu membuat langkah-langkah dalam mengikutsertakan masyarakat dalam setiap kegiatan pencegahan kejahatan. Dengan demikian, diharapkan dapat mewujudkan polisi untuk masyarakat yang mahir hukum dan tunduk pada hukum, namun tanpa melupakan esprit de corps-nya yaitu sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban. Polisi dan masyarakat memang sejatinya tidak bisa dilepaskan, keduanya saling mempengaruhi. Artinya, dalam melaksanakan tugas-tugasnya polisi perlu sekali menggandeng masyarakat sebagai mitra kerja, agar semua masalah polisi yang umumnya berhubungan dengan masyarakat dapat cepat diselesaikan. Masyarakat pun tidak bisa hanya bersikap pasif seakan-akan sebagai penonton saja, melainkan masyarakat sebagai bagian dari pengawas hukum haruslah aktif. Dengan demikian dapat tercipta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Kesimpulan

Era globalisasi yang melanda hampir diseluruh tatanan kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengakibatkan terjadinya perubahan sosial pada kehidupan masyarakat. Demokratisasi, kebebasan berpendapat, dan penegakan hak asasi manusia merupakan isu-isu yang digulirkan oleh segenap elemen bangsa saat ini. Perubahan ini berdampak pada bagaimana Polri harus bersikap dalam menghadapi masyarakat. Polri dituntut untuk menjadi aparat pemerintah yang selama 24 jam sehari untuk melakukan interaksi dengan masyarakat. Proses demokratisasi, penjaminan kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia akan tercermin dari bagaimana pelaksanaan tugas polisi di lapangan. Sebagaimana dikutip PV. Murphy dalam Farouk Muhammad (2003):
See the manace of crime most directly; their lives are dominated by their professional task. Every police-citizen contact necessarily involves a measure of intimacy: a matter of routine police action can affect a citizen’s dignity, his self-respect, his sense of privacy, his civil rights. Many of the decisions a policeman must take affect life and death, honor or dishonor, freedom or confinement.
Di dalam perkembangannya, polisi dituntut untuk tidak pasif dalam setiap penanggulangan kejahatan. Polisi harus bersikap proaktif dalam melakukan pembinaan kamtibmas, tidak sekadar menjaga agar keamanan dapat terwujud namun juga bagaimana menggerakkan masyarakat agar ikut berperan aktif dalam memelihara keamanan dan ketertiban, minimal menjaga keamanan dan ketertiban diri masyarakat itu sendiri. Tugas-tugas polisi ini untuk membantu masyarakat dalam pemenuhan akan rasa aman demi tercapainya kesejahteraan.
Masyarakat Indonesia yang multikultural harus dilihat oleh Polri sebagai suatu potensi, bukan sebagai ancaman. Potensi yang menciptakan rasa tenteram dan aman di lingkungan warganya, sehingga segala kegiatan produksi dapat berjalan secara maksimal dan bukan hanya mensejahterakan kehidupan mereka tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan terciptanya ketahanan produksi maka akan menghasilkan devisa yang berguna bagi kepentingan pemerintah dalam upayanya memakmurkan masyarakat serta membiayai seluruh roda pembangunan negeri ini. Kaitannya dengan kepolisian, terwujudnya keamanan dan rasa aman akan membuat orang tidak berpikiran untuk berbuat kriminal.
Guna tercapainya tujuan Polri untuk memelihara kamtibmas di segala bidang, salah satu terobosan yang tengah dijalankan yaitu Community Policing (CP). Secara garis besar, CP adalah gaya pemolisian yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat disini merupakan subyek, bukan obyek dari pemolisian. Dimana polisi yang bukan menentukan apa yang harus dilakukan dan akan dilakukan, namun masyarakatlah yang menentukan. Awal mula dikembangkan pendekatan ini dari Kanada pada pertengahan dan akhir era 1980-an, dimana konsep yang dimunculkan adalah kemitraan komunitas yang merupakan ujung tombak tugas polisi. Termasuk didalamnya adalah program pengawasan dan patroli yang dilakukan oleh masyarakat. Sementara itu polisi hanya bertugas sebagai konsultan dalam memberikan pelayanan di saat masyarakat melaksanakan kegiatan pemolisiannya.
Semakin berkembangnya konsep CP memberikan pergeseran filosofis dari polisi yang dilayani menjadi polisi yang melayani masyarakat. Inti dari konsep ini sebenarnya terletak pada petugas polisi sebagai garda terdepan dalam melakukan analisa masalah yang terjadi di masyarakat. Dengan menganalisa permasalahan, polisi diharapkan menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut dengan bantuan masyarakat. Karena, yang ingin ditonjolkan dalam konsep CP ini adalah bagaimana menempatkan masyarakat sebagai komunitas yang terikat hubungan sosial kemasyarakatan untuk memahami arti penting keamanan dengan melakukan kegiatan bersama polisi.
Situasi masyarakat Indonesia pasca reformasi masih dilanda euforia kebebasan yang kerap disalahartikan, ini diwujudkan dengan masyarakat yang berperan terlalu jauh dalam memerangi kejahatan dengan caranya sendiri yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral dan hukum. Seperti contoh: mengarak bugil pasangan selingkuh, membakar pencuri sepeda motor yang tertangkap tangan, atau merusak warung remang-remang yang diduga menjual minuman keras. Oleh sebab itu, maka Polri kemudian melakukan pendekatan-pendekatan kemasyarakatan guna menganalogikan CP sebagai perwujudan “pemolisian sipil”. Dari konsep CP ini diharapkan Polri bersama-sama dengan masyarakat dapat mencari solusi yang tepat bagi penyelesaian segala masalah sosial yang terjadi (yang berkaitan dengan masalah keamanan), meniadakan rasa takut masyarakat akan gangguan kriminalitas, lebih mengutamakan pencegahan kejahatan (preventif), dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Konsep CP ini juga dimaksudkan untuk melatih polisi mengandalkan aspek rasionalitas dalam bertugas. Konsekuensinya adalah polisi harus mampu “menyayangi” masyarakat. Konotasi dari “menyayangi” adalah bagaimana memposisikan diri sebagai bagian dari warga masyarakat yang dilayani, sehingga muncullah yang disebut sebagai empati.
Membangun empati polisi - masyarakat, mengharuskan setiap anggota polisi untuk tidak merasa superior dibanding masyarakat. Kenyataannya di lapangan, banyak masyarakat yang tidak simpati pada polisi dikarenakan masih diwarisinya nilai-nilai militeristik yang penuh arogansi sebagai bagian dari ABRI dahulu. Polisi setiap berkunjung ke rumah-rumah warga bukannya memberikan solusi atas situasi keamanan di lingkungannya, tapi malah meminta imbalan baik itu berupa uang maupun barang (biasanya sembako). Belum lagi faktor kemalasan anggota untuk mengunjungi daerah binaannya dengan alasan jauh, tidak ada bahan bakar, minim sarana kontak, ada tugas yang diembannya (karena banyak petugas Polmas yang merangkap tugas), dan banyak alasan lain yang dikemukakan. Faktor-faktor tersebut yang membuat mengapa CP masih belum mengena di masyarakat kita.
Agar konsep CP ini bisa berjalan dengan baik, maka diperlukan komitmen dari Polri untuk menjadikan CP bukan untuk menekan angka kejahatan, tetapi menjadikan kejahatan itu tidak terjadi. Pelibatan dengan masyarakat terutama pemolisian pada lingkungan sekitar (neighborhood), bisa dengan mengajak patroli bersama masyarakat, kegiatan coffee morning dengan masyarakat untuk membahas masalah-masalah keamanan lingkungan, atau mengajak masyarakat untuk ikut melayani masyarakat lain lewat forum BKPM (Balai Komunikasi Polisi dan Masyarakat).
Orientasi polisi untuk menciptakan situasi aman di lingkungan masyarakat memerlukan kepolisian yang demokratis. Menurut Bayley (2001), kepolisian demokratis harus bertindak sesuai dengan norma-norma yang diberlakukan untuk menuju kearah itu. Pertama, polisi harus memprioritaskan pelayanan individual warganegara dan kelompok-kelompok swasta. Kedua, polisi harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan hukum kepada pemerintah. Ketiga, polisi harus melindungi hak asasi manusia terutama kegiatan-kegiatan politik yang merupakan ciri dari demokrasi. Keempat, polisi harus transparan dalam aktivitas-aktivitas mereka.
Fungsi polisi adalah menjamin keamanan dan ketertiban masyarakatnya agar dapat bersosialisasi dan berproduksi tanpa diliputi rasa tidak aman. Menurut Rahardjo (2000), sosok polisi yang ideal adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Cocok disini mengandung arti bahwa dibutuhkan sosok polisi yang protagonis (terbuka) dibandingkan sosok polisi yang antagonis (tertutup). Sehingga merupakan cerminan dari masyarakat, tidak akan didapat polisi yang baik dari masyarakat yang bobrok.


Rekomendasi Eksekutif

Dari kesimpulan diatas, maka kondisi masyarakat dan polisi yang ideal diibaratkan seperti ikan dan air. Memang tidak mudah diwujudkan, karena masyarakat tentu menghendaki kebebasan, sedangkan polisi bertugas membatasi kebebasan tersebut demi kepentingan masyarakat itu sendiri. Walaupun demikian secara umum masyarakat menyadari bahwa eksistensi polisi itu memang diperlukan, meski dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Agar fungsi kepolisian dapat berjalan dengan baik, maka saya menyarankan:
1. Melakukan percepatan reformasi Polri di segala lini, mulai dari aspek instrumental, struktural sampai pada kultural. Titik berat yang harus segera dibenahi adalah aspek kultural (budaya), ini penting dalam kaitannya dengan menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat.
2. Meningkatkan kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat, terutama di saat-saat masyarakat memang membutuhkannya. Seperti saat pulang kerja, saat bencana alam, pada tengah malam, dan lain-lain.
3. Meningkatkan quick response (ketanggapsegeraan) setiap pelaporan masyarakat.
4. Memperpendek birokrasi. Salah satu yang sering dikeluhkan oleh masyarakat adalah seringnya di-ping pong saat hendak melakukan kewajibannya sebagai warga, apakah itu saat membuat SIM, membuat SKCK, mengikuti prosedur penyidikan, dan lain-lain, dikarenakan birokrasi yang berbelit-belit dan cenderung dipersulit guna memungut imbalan dari setiap jenjang administrasi tersebut.
5. Menegakkan aturan sesuai perundang-undangan yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA

Bayley, David H. Polisi Masa Depan (disadur oleh Kunarto dan NKM. Arif Dimyati dari buku Police For The Future, New York: Oxford University Press, 1994). Cipta Manunggal, Jakarta, 1998.

Djamin, Awaloedin. Manajemen Sumber Daya Manusia 1 Kontribusi Teoretis Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi. Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri, Bandung, 1995.

Kadarmanta, A. Membangun Kultur Kepolisian. Forum Media Utama, Jakarta, 2007.

Kunarto. Polisi dan Masyarakat. Hasil Seminar Persatuan Kepala Polisi Asia Pasifik ke-6 di Taipei 11 – 14 Januari 1998, Cipta Manunggal, Jakarta, 1998.

Kristiadi, J. Bunga Rampai Polri Mandiri Menengok Ke Belakang Menatap Masa Depan. Panitia Workshop Wartawan POLRI, Jakarta, 2001.

Muhammad, Farouk. Menuju Reformasi Polri. PTIK Press, Jakarta, 2003.

Nitibaskara, Ronny Rahman. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006.

Rahardjo, Satjipto. Membangun Polisi Sipil – Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007.

Rahardjo, Satjipto dan Anton Tabah. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Rahardi, Pudi. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007.

Sadjijono. Hukum Kepolisian – Perspektif Kedudukan dan Hubungannya Dalam Hukum Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2006.

Sitompul, DPM. Beberapa Tugas dan Wewenang Polri. Tidak ada Penerbit, Jakarta, 2005.

Skolnick, Jerome H. & James J. Fyfe. Brutalitas Polisi – Penggunaan Kekerasan Yang Berlebihan (disadur oleh Kunarto dari buku Above The Law – Police and The Excessive Use of Force, New York: The Free Press, 1994). Cipta Manunggal, Jakarta, 2000.

Suparlan, Parsudi. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2004.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Baca selengkapnya.....

KETIDAKADILAN HUKUM DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN


Pendahuluan

Di dunia ini, jenis kelamin mempengaruhi kesempatan dalam hidup, bersama-sama dengan variabel penting lainnya seperti kelas sosial-ekonomi atau kasta, ras atau etnis. Peran masyarakat turut memberikan atribut dan kesempatan yang berbeda pada laki-laki dan perempuan, dimana mereka disosialisasikan pada bagaimana laki-laki dan perempuan harus menempatkan dirinya dalam pergaulan maupun pekerjaan. Makna-makna sosial yang diberikan atas dasar perbedaan jenis kelamin secara biologis tercakup dalam istilah gender. Gender merujuk pada perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang memiliki variasi di dalam pemaknaannya secara budaya serta dapat berubah dari waktu ke waktu. Semisal di banyak negara, perempuan yang memelihara dan membesarkan anak yang masih kecil, namun sekarang ada juga laki-laki yang ikut merawat anak yang masih kecil.
Norma dan nilai gender sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemikiran masyarakat untuk menginterpretasikan sikap-sikap seorang laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan hanya melayani suami saat pulang kerja (Murniati 2004: 228). Hal-hal tersebut yang nantinya mengarahkan adanya stereotip akan gender, dimana masyarakat memandang apa yang layak dilakukan oleh laki-laki dan yang layak dikerjakan oleh perempuan, semisal laki-laki tidak boleh menjadi perancang busana dan perempuan tidak boleh jadi montir (Handayani & Novianto 2004: 161).
Hal-hal yang kemudian membedakan pada jenis kelamin dan berakibat pada peniadaan atau pengurangan kesetaraan kesempatan dan perlakuan didefinisikan sebagai diskriminasi gender (Priastana 2005: 7). Diskriminasi gender terbagi dalam dua jenis:
1. Diskriminasi langsung. Diskriminasi yang secara sengaja dan eksplisit terdapat dalam hukum. Contohnya:
a. perempuan tidak dapat sah memiliki harta dalam bentuk tanah dan bangunan.
b. batas umur pensiun laki-laki dan perempuan berbeda.
c. perempuan dibatasi bentuk pekerjaan tertentu menurut undang-undang.
2. Diskriminasi tidak langsung. Aturan yang ada terlihat netral dan menghargai kesetaraan gender, namun praktiknya tetap menganut faham perbedaan karena perbandingan stereotip. Misalnya: posisi direktur harus diisi oleh pria, sedangkan perempuan tidak diberikan posisi tersebut karena diragukan kemampuannya.
Adanya diskriminasi terhadap kesetaraan gender ini secara samar jelas melanggar hak asasi manusia, dimana hak asasi manusia merupakan hak dasar dan mutlak yang dimiliki setiap orang. Hak ini ada mengingat rentannya posisi manusia dalam proses bermasyarakat, budaya, ekonomi, sosial, dan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan. Setiap manusia memiliki hak ini walaupun sejauh mana hak-hak tersebut dipenuhi dalam praktiknya sangat bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya.
Pada level internasional, beberapa hak asasi telah diuraikan dalam DUHAM PBB 1948 seperti hak untuk memiliki harta, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk berkebangsaan, hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak untuk bebas bergerak, dll. Sedangkan hak yang paling fundamental adalah setiap negara harus menjamin hak warganegaranya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, ras, etnis, agama, dan status lainnya. Dengan demikian perlakuan yang membedakan dalam perspektif gender sudah merupakan rumusan penting dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Berbagi Tugas dan Tanggungjawab Dalam Keluarga

Dalam kehidupan manusia membina keluarga ditujukan untuk meneruskan keturunan mereka. Kehidupan yang langgeng dalam membina rumah tangga tak pelak menjadi barometer dalam setiap keluarga yang harmonis, rukun, dan utuh. Keluarga yang dibina dari hasil perkawinan, seyogyanya merupakan penyatuan dua hal yang berbeda. Mulai dari perilaku, hobi, kemauan, kebudayaan, maupun komunikasi. Keberbedaan itu disatukan dalam tali perkawinan dengan maksud suami dan istri saling bersimpati dan berempati satu sama lain, sehingga keberbedaan yang timbul dari penyatuan tersebut menghasilkan kemampuan untuk saling menghargai satu dengan yang lainnya. Riak-riak kecil kadang terjadi dari proses penyatuan tersebut, hal ini wajar karena suami istri pada dasarnya bukan dilahirkan dari satu rahim yang sama, yang sudah barang tentu akan berbeda pola pengasuhan dan kebudayaannya sejak kecil.
Perbedaan ini secara tidak disengaja akan terbawa sampai pada tingkat penghasilan dan jabatan yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan, yang tentunya dapat berdampak pada kelangsungan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Berbagai studi di seluruh dunia menunjukkan bahwa perempuan apabila bekerja akan menggunakan penghasilan dan waktunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan makanan, rumah, pendidikan anak dan kesehatan keluarga. Sedangkan laki-laki cenderung menggunakan penghasilannya untuk sumberdaya yang lain. Pada umumnya laki-laki memiliki kontrol yang lebih besar terhadap anggaran keluarga dibandingkan perempuan, karena ia bertanggungjawab untuk menafkahi keluarganya. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya para suami harus belajar untu berbagi kekuasaan dengan istrinya dalam setiap pengambilan keputusan khususnya mengenai pengalokasian anggaran belanja rumah tangga.

Pembagian Harta Bersama

Penghasilan dalam rumah tangga dikategorikan sebagai harta bersama, dimana harta tersebut dihasilkan dari suami dan istri yang bekerja, sehingga menambah perbendaharaan harta mereka (Irianto & Cahyadi 2008: 79). Pengertian bekerja itu sendiri lambat laun semakin luas dan kabur, sehingga seorang istri yang bekerja di rumah saja untuk memelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja, sehingga dalam hal ini semua kekayaan yang in concreto diperoleh suami menjadi harta bersama.
Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, sebab meskipun istri tidak bekerja untuk memperoleh harta tersebut, tetapi dengan memelihara, mendidik, dan menjaga anak-anak serta mengurus rumah tangga, bagi suami itu merupakan bantuan yang sangat berharga karena dapat memperlancar segala aktivitasnya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Apalagi, kalau dalam mengurus rumah tangga, istri mampu melakukan penghematan yang wajar, maka secara langsung istri juga membantu suami memelihara harta milik bersama tersebut. Oleh karena itu, harta yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama suami istri, tanpa mempersoalkan siapakah sesungguhnya yang menguras jerih payahnya untuk memperoleh harta itu.
Membicarakan harta bersama terlihat sangat tabu dan merupakan hal yang naïf untuk dibicarakan, karena suami dan istri masih memegang teguh komitmen perkawinan untuk membentuk keluarga yang langgeng dan harmonis sampai ajal kelak. Namun hal ini mengemuka ketika mereka didera masalah perceraian, baik karena kematian atau perselisihan dalam rumah tangga yang berujung pada gugatan perceraian antara suami dan istri di Pengadilan. Di sinilah suami dan istri saling klaim terhadap status harta bersama selama dalam perkawinan mereka. Tentunya hal tersebut menjadi tidak adil dimata si istri, karena harta bersama bisa dilakukan sita jaminan (conservatoir beslag) oleh Pengadilan Agama sesuai UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35 s/d 37 dan KUH Perdata pasal 119 – 123 (Susanto 2008: 8).

Peran Aparat Hukum Sensitif Gender

Dalam sebuah contoh kasus; si suami pada awalnya kurang mampu dari sisi finansial untuk mengikuti pendidikan, dan kemudian si istri membantu dengan menjual harta benda miliknya demi keberhasilan pendidikan si suami lantas dari pendidikan tersebut meningkatkan karirnya dalam tugas yang berakibat pada meningkatnya penghasilan si suami, dan kemudian terjadi konflik karena suami menganggap si istri tidak mendukung karena terlalu berkutat pada mengurusi keluarga, maka terjadilah perceraian tentu dirasakan kurang adil dari sisi si istri.
Ketidakadilan ini semestinya diperhatikan oleh para penegak hukum, karena tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan. Dari kasus diatas, seorang hakim harus dapat menilai bahwa perbuatan si suami sudah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT tidak melulu kekerasan fisik, namun mencakup pula kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Kekerasan ekonomi adalah mencakup perbuatan yang mengakibatkan kerugian ekonomi, ketergantungan ekonomi, terjadinya eksploitasi, dan terlantarnya anggota keluarga. Dengan demikian, untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Inilah yang menjadi asas yang melandasi undang-undang ini sebagai bentuk penghormatan terhadap martabat manusia. Oleh karena itu, asas dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gender; (c) non-diskriminasi, dan (d) perlindungan korban. Tujuannya adalah (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Daftar Acuan:

Handayani, Christina S. & Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Irianto, Sulistyowati & Antonius Cahyadi. 2008. Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Murniati, Nunuk. 2004. Getar gender: buku 1. Perempuan Indonesia dalam perspektif sosial, politik, ekonomi, hukum, dan HAM. Jakarta: Indonesia Tera.

Priastana. 2005. Buddhidharma dan Kesetaraan Gender. Jakarta: Yashodara Puteri.

Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta: Visimedia.

Baca selengkapnya.....

Kamis, 04 Agustus 2011

KOMUNIKASI KORUPSI


Korupsi merupakan masalah terbesar di negara ini, dimana peringkat Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah berubah bahkan cenderung menukik drastis. Korupsi sudah dianggap endemik, sistemik, dan menyebar ke seluruh lapisan.....sudah kronis (Syakhroza, 2011). Mengapa bisa demikian? Karena budaya kita sudah bergeser dari budaya gotong royong menjadi budaya koruptif, dimana sekarang tidak ada lagi menolong orang dengan sukarela pasti menuntut suatu imbalan atas kerja yang dihasilkannya. Dahulu dengan ucapan terima kasih saja dan jabat tangan, kita sepertinya sudah senang karena sudah dihargai jerih payah kita selama bekerja. Namun saat ini, ucapan terima kasih masih harus ditambah dengan “salam tempel” plus basa basi agar pertolongan kita dihargai. Masyarakat kita berarti sudah terkepung oleh perilaku koruptif di setiap aspek kehidupan mereka, bahkan membantu mencarikan tempat parkir saja harus memberikan tip bagi orang yang mencarikannya meskipun disitu tertulis “tidak diperkenankan memberi tip”.

Sekarang ini kita tidak tahu bidang pekerjaan apa yang bebas dari perilaku koruptif. Bahkan kalau dikalkulasikan hampir semua bidang pekerjaan selalu bersentuhan dengan perilaku tersebut. Sebenarnya permasalahan ini tak lepas dari tatanan kita dalam berkomunikasi. Lantas, kaitan antara perilaku koruptif dan komunikasi apa?
Pertama kita gali dulu apa arti dari komunikasi itu sendiri, menurut Theodorson (1969) komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau kelompok lain (Rohim, 2009: 11). Disini terlihat bahwa Theodorson memandang komunikasi akan berjalan dengan efektif apabila adanya hubungan timbal-balik yang berlaku saat interaksi tersebut berlangsung, bukan hanya menyangkut isi dari pesan yang disampaikan namun juga kedekatan antara komunikator dan komunikan. Hal ini terkait dengan hakikat dari komunikasi itu sendiri yaitu adanya usaha, bagaimana penyampaian pesan, dan dilakukan antarmanusia (Vardiansyah, 2004: 9). Usaha berarti komunikasi itu dilakukan secara sengaja dengan maksud untuk menyampaikan sebuah pesan kepada manusia lain. Lalu penyampaian pesan itu sendiri terkait dengan perilaku manusia yang membawakan pesan tersebut, apakah atraktif ataukah diam. Kalau atraktif mencari cara untuk menyampaikan pesan, maka dipastikan pesan akan tersampaikan dengan baik. Namun apabila manusia itu diam, maka tidak ada pesan yang disampaikan. Dan terakhir adalah antarmanusia, dimana ilmu komunikasi merupakan interaksi antarmanusia, baik sebagai penyampai pesan maupun sebagai penerima pesan bukan dengan makhluk lain selain manusia. Oleh sebab itu, ketika komunikasi memasukkan konsep pertukaran didalamnya, maka komunikasi tersebut berpotensi mendatangkan keuntungan yang diraih baik komunikator atau komunikan, tergantung dari sisi mana komunikasi itu berlangsung.

Kedua yang akan kita gali adalah konsep pertukaran itu sendiri, adalah George C.Homans (1961) yang berpandangan bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu. Jadi perilaku yang mendasari pertukaran tersebut mengarah kepada penjelasan seluruh kelompok (Poloma, 1994: 81). Teori ini kemudian dikritik oleh Peter M.Blau (1964) yang mengatakan bahwa tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial yang kemudian digeneralisasikan kepada organisasi berskala besar. Blau dalam Advance in Experimental Social Psychology vol. 17 (1984) mengatakan “conception of the exchange relationship is the assumption that the actor’s behavior is directed towards goals that can only be attained by social means and that, consequently, exchange behaviors often represent strategic accommodations to other in order to achieve those goals” (Berkowitz, 1984: 203). Bahwa agar terjadi proses pertukaran, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang mengarah pada pertukaran sosial:
a. Perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dicapai melalui interaksi dengan orang lain.
b. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Dalam konsep pertukaran, seorang individu secara sukarela memberikan kemanfaatan (benefit) kepada orang lain. Hal itu menyebabkan timbulnya kewajiban pihak lain untuk membalas dengan cara memberikan beberapa kemanfaatan kepada pihak pemberi. Dengan demikian ketika untuk pertama kali seseorang membangun pertukaran sosial dimana persoalan yang cukup berarti adalah membuktikan bahwa orang tersebut dapat dipercaya dan mau memberikan apa yang diinginkan.
Bila dalam interaksi tersebut orang ternyata tidak memberikan yang sebanding dengan apa yang dilakukan terhadap orang tersebut sebagai tukarannya, maka ada empat kemungkinan yang akan terjadi, yaitu:
a. Orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya.
b. Orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Orang itu dapat mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkan dari orang lain, dan
d. Orang ini mungkin akan menundukkan diri terhadap orang lain dan memberikan penghargaan yang sama dalam hubungan mereka, kecuali orang tersebut menarik penghargaan ini ketika menginginkan orang yang ditundukkan itu melakukan sesuatu (Ritzer & Goodman, 2004: 369).

Pada dasarnya antara Homans dan Blau sependapat bahwa individu-individu dalam kelompok saling memiliki interest (ketertarikan) akibat keinginan memperoleh berbagai kemudahan. Walaupun Blau mengakui tidak semua hubungan bersifat simetris (semua anggota kelompok menerima ganjaran sesuai dengan yang diberikan) dan berdasarkan pertukaran sosial seimbang, maka dapat disebut bahwa hal demikian sebagai hubungan pertukaran. Agar pihak-pihak dalam pertukaran ini sama merasakan keuntungan, maka dalam interaksi sosial harus melibatkan perasaan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada kerugian yang didapatkan nantinya (Vaviriyantho, 2010: 63 – 64).

Dari kedua konsep tersebut diatas, nampak jelas adanya korabolasi antara komunikasi dan pertukaran. Perilaku koruptif salah satunya ditimbulkan dari munculnya komunikasi dalam pertukaran, dimana orang yang menginginkan sesuatu akan berupaya dengan berbagai strategi untuk mendapatkannya. Kembali dalam konsep komunikasi, bahwa ada usaha yang ditempuh agar penyampaian pesan tersebut dapat mencapai sasaran. Seorang petani yang akan mengembangkan usahanya akan terbentur pada masalah perijinan, namun ketika ia mengkomunikasikan permasalahannya tersebut pada oknum pejabat daerah setempat maka perijinan yang terhambat akan dapat diperoleh dengan mudah karena ada imbalan yang dijanjikan apabila perijinan ini keluar. Kalau kita lihat ilustrasi ini, maka tampak sekali bahwa budaya koruptif sudah melembaga ke hampir setiap lapisan.

Kemudian bagaimana untuk mengurangi perilaku koruptif tersebut? Ada baiknya kalau kita melakukan kegiatan melalui komunikasi juga. Komunikasi yang bagaimana yang harus ditempuh? Yaitu komunikasi interaksi, dimana kita harus melibatkan penyampai pesan untuk memberikan pesan baik verbal maupun non-verbal, yang kemudian direspons dengan segera oleh penerima pesan secara aktif, dinamis dan timbal balik (Rohim, 2009: 10). Penyampaian pesan yang segera direspon berarti menuntut keaktifan penyampai pesan untuk memberikan materi secara atraktif untuk dapat memprovokasi penerima pesan agar mengikuti apa yang disampaikan. Oleh sebab itu dalam menyampaikan pesan anti-korupsi, ada baiknya pesan tersebut disampaikan pada setiap level pendidikan, para pegawai negeri (yang terkait dalam birokrasi), LSM dan masyarakat. Karena pada lapisan inilah potensi terjadinya korupsi akan mengemuka yang nantinya akan menyentuh kepada masyarakat juga.

Penerima pesan harus mengetahui bahwa korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang akan mematikan kehidupan umat manusia. Korupsi merupakan suatu kejahatan terstruktur dan merupakan suatu sistem yang saling terkait yang menjerat harkat dan martabat manusia, karena yang menikmati hanya segelintir orang saja namun yang menanggung akibatnya adalah banyak orang (Chrysnanda, 2010: 290). Oleh sebab itu penting bagi kita untuk mengedepankan edukasi mengenai anti-korupsi sedini mungkin pada setiap level kehidupan menggunakan teknik-teknik dan metode komunikasi interaksi agar pesan yang disampaikan dapat bergerak cepat dan menyeluruh sehingga memunculkan gerakan sosial anti-korupsi di setiap tingkatan kehidupan.

Referensi:

Berkowitz, Leonard. 1984. Advance in Experimental Social Psychology vol. 17. Orlando: Academic Press Inc.

Chrysnanda, DL. 2010. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan Dengan Polisi?. Jakarta: YPKIK Press.

Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern (Alimandan, Penerjemah). Jakarta: Kencana.

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Syakhroza, Ahmad. 2011. KPK, Antara Harapan dan Kenyataan. Harian Media Indonesia, 4 Agustus.

Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Vaviriyantho, Arri. 2010. Perilaku Polisi Lalu Lintas Polres Singkawang Terhadap Masyarakat Etnis Tionghoa (Kajian Atas Birokrasi dan Pola Komunikasi). Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Baca selengkapnya.....