Selasa, 06 Maret 2012

OPTIMALISASI PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN NARKOBA


I. PENDAHULUAN

Beberapa hari belakangan ini kita sering mendengar peristiwa yang berkaitan erat dengan penyalahgunaan narkoba. Baik itu peristiwa tertangkapnya pilot Lion Air yang kedapatan mengisap shabu sebelum terbang, kecelakaan maut di Tugu Tani Jakarta Pusat yang didahului oleh pesta ekstasi dan shabu oleh pengemudinya Afriyani Susanti, tertangkapnya beberapa publik figur seperti artis atau atlet nasional karena kedapatan menyimpan narkoba, bahkan kalangan pejabat pemerintahan, militer, penegak hukum sampai anak SD pun tak luput dari penyalahgunaan narkoba tersebut. Hal ini menandakan bahwa dampak penyalahgunaan narkoba sudah sedemikian besar merasuk sampai ke komponen terendah sistem masyarakat Indonesia.
Sebagai bahan komparasi statistik prevalensi (angka kejadian) penyalahgunaan narkoba di Indonesia setiap tahunnya, Pusat Penelitian kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia mencatat pada tahun 2004 terdapat sekitar 3,2 juta jiwa penyalahguna narkoba. Kemudian pada tahun 2008 angka tersebut melonjak drastis sekitar 3,6 juta jiwa (dimana 900 diantaranya termasuk dalam kategori pecandu), kemudian pada tahun 2010 prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,21% atau sekitar 4,02 juta jiwa, dan akhirnya pada tahun 2011 prevalensi meningkat menjadi 2,8% atau sekitar 5 juta orang. Siapa penggunanya? Ternyata pekerja swasta, wiraswasta dan buruh berusia diatas 30 tahun dengan latar belakang pendidikan terbanyak SMU. Sedangkan kalangan pelajar tetap mendominasi sebagai penyalahguna narkoba dengan jumlah 3,8 juta jiwa pada tahun 2010. Tidak juga oleh kalangan tersebut, ternyata Komisi Nasional Pengawasan Kinerja Pemerintahan (Komnas PKP) juga mensinyalir pada tahun 2011 saja 30% pegawai negeri sipil (PNS) baik pusat maupun daerah mengkonsumsi zat adiktif yang mengandung narkotika. Jika total ada 4,7 juta PNS, maka sekitar 1,5 juta PNS turut menggunakan narkoba. Angka yang memprihatinkan juga ditunjukkan oleh TNI, dimana kasus narkoba yang menjerat oknum personelnya ternyata meningkat 10% pada tahun 2011 menjadi 165 kasus bila dibanding dengan kasus tahun 2010 lalu sebanyak 150 kasus (citraindonesia.com, 2012). Dan pada akhirnya, berita mengejutkan muncul pada aparat penegak hukum yaitu kepolisian, dimana di Polda Aceh sekitar 1000 personil di jajaran Polda pernah menggunakan narkoba, dan untuk keseluruhan sekitar 370 oknum polisi kedapatan menyalahgunakan narkoba (mulai dari tingkat Mabes sampai Pospol).
Banyaknya pengguna narkoba tersebut membuat Indonesia menjadi pangsa pasar narkoba yang cukup tinggi. Tercatat Indonesia sebagai negara dengan peringkat ketiga pasar narkoba di dunia, dengan mencapai Rp. 28 milyar lebih (data dari bulan Januari s/d November 2011) dari peredaran narkoba tersebut (kompasiana.com, 2012). Sebuah angka yang cukup fantastis, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemainnya. Modus operandi peredaran pun sudah beragam variasi, mulai dari penyelundupan narkoba secara terang-terangan lewat kurir, pelabuhan (darat, laut, dan udara), meracik sendiri dengan bahan-bahan narkoba yang dibeli terpisah, sampai melibatkan oknum aparat yang seharusnya berwenang untuk mengawasi dan atau mencegah masuknya barang haram tersebut. Selisih harga jual narkoba yang sangat mencolok, membuat Indonesia seakan menjadi “surga” bagi para pengedar narkoba dari luar negeri. Harga shabu yang merupakan jenis narkoba favorit di Indonesia bisa mencapai Rp. 2 milyar lebih, dibandingkan harga di Malaysia yang dibandrol Rp. 300.000,-. Harga yang fantastik tersebut dianggap cukup untuk “membeli” privilege pengedar narkoba agar terhindar dari jeratan hukum di Indonesia.
Memang belum ada data yang pasti apakah peredaran narkoba di Indonesia didalangi oleh sebuah organisasi kejahatan tingkat dunia seperti halnya Mafia, Yakuza, Triad, dan sebagainya. Namun, melihat dari maraknya peredaran narkoba di negara kita, patut diduga peredarannya didalangi oleh kejahatan terorganisir (organized crime). Hal ini ditandai dengan tidak terputusnya mata rantai peredaran narkoba di tanah air, bahkan ada yang dikendalikan lewat telepon selular, lewat e-mail, bahkan melalui narapidana di lembaga permasyarakatan pun masih dapat melakukan transaksi.
Peredaran gelap narkoba yang semakin marak dekade ini turut pula dipengaruhi oleh faktor-faktor perubahan sosial di tingkat global, seperti:
1. Masih tingginya permintaan di pasar gelap dunia atas bahan-bahan narkoba.
2. Adanya perdagangan bebas yang diberlakukan di suatu negara (free trade market).
3. Sistem keuangan global.
4. Kemudahan transportasi.
5. Komunikasi yang semakin canggih.
Semua faktor diatas semakin mempermudah lalu lintas peredaran narkoba di Indonesia, apalagi dengan era globalisasi sekarang ini dimana setiap negara berlomba-lomba untuk membuka diri terhadap masuknya transaksi finansial ke negaranya untuk mendorong devisa (Nitibaskara, 2004: 145).
Upaya pencegahan bukan tidak pernah dilakukan oleh aparat penegak hukum yang concern terhadap dampak peredaran gelap narkoba ini. BNN, kepolisian maupun beberapa LSM yang peduli pada penyalahgunaan narkoba sudah beberapa kali melakukan aksinya. Undang-undang dengan sanksi berat sampai pada penjatuhan hukuman mati pun seakan tidak menghambat laju peredaran narkoba di Indonesia. Peredaran narkoba tetap melaju pesat, dimana bandar dan pengedar narkotika seakan beradu pintar dengan aparat penegak hukum kita. Mereka pintar memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat pada narkoba, berbagai jenis narkotika ditawarkan sebagai food supplement, obat tambahan nutrisi, pil penghilang nyeri, dan lain-lain (BNN, 2010: 2). Efek kehancuran moral bangsa ini pun seakan tinggal menunggu lonceng penghakiman saja, dan mengapa ini terjadi? Karena narkoba bersembunyi dibalik beban hidup masyarakatnya. Kemiskinan, kegetiran hidup, kebodohan, mengendurnya ikatan sosial dari keluarga, stress, galau, hedonisme, konsumerisme, dan lain-lain polah kehidupan manusia merupakan kunci pemenangan pengedar narkoba. Kondisi seperti ini membutuhkan peran serta juga dari masyarakat untuk menangkalnya.

II. PENYALAHGUNAAN NARKOBA MASALAH BERSAMA

Selama ini mungkin kampanye pencegahan penyalahgunaan narkoba sering dilakukan oleh mereka-mereka yang dulunya pernah terlibat langsung di dalamnya; seperti pengedar yang insyaf, pengguna yang telah menjalani rehabilitasi, atau kelompok-kelompok organisasi masyarakat yang concern terhadap dampak buruk narkoba, sedangkan peran kelompok-kelompok masyarakat lainnya seperti petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, maupun kelompok remaja seakan tidak dilibatkan secara langsung dalam setiap kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba, padahal komponen-komponen masyarakat inilah yang rentan terhadap dampak dari narkoba itu sendiri.
Sebenarnya apabila dicermati, potensi masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan narkoba sangatlah besar pengaruhnya, karena masyarakat sudah memiliki tatanan sosial yang sudah terpelihara eksistensinya walaupun mengalami adaptasi kreatif dengan perubahan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Tatanan merupakan hasil konstruksi sosial yang didalamnya berlangsung dialektika antara individu dengan struktur/kolektivitas. Susunan vertikal masyarakat dalam bentuk stratifikasi lapisan maupun polarisasi kelas; penggolongan horizontal masyarakat berdasarkan gender, ras, dan umur, serta aturan kehidupan yang disepakati pada tingkat kolektifitas sosial; pada akhirnya semua itu mempreskripsikan tindakan individu untuk boleh atau tidak boleh melakukan sesuatu (Salman, 2011). Dikaitkan dengan penyalahgunaan narkoba, maka masyarakat akan menyepakati substansi preskripsi tindakan yang terlarang sebagai acuan bersama. Bahwa narkoba tersebut sesuai dengan substansi kearifan lokal maupun keyakinan (agama) yang dianutnya merupakan hal yang tidak dibenarkan/dilarang, maka bagi individu yang membangkangi atau melanggarnya dapat dikenakan sanksi, baik itu sanksi sosial maupun sanksi hukum secara formil.
Disadari bahwa penegakan hukum dengan mengandalkan aparat penegak hukum saja tidaklah cukup, maka sudah saatnya peran serta masyarakat perlu dioptimalkan melalui pemberdayaan segenap tatanan sosial dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kunci utamanya adalah partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri agar penegakan hukum penyalahgunaan narkoba dapat berhasil guna dan berdaya guna. Penegakan hukum penyalahgunaan narkoba akan berjalan efektif apabila masyarakat turut serta dalam:
1. Memberikan informasi/laporan akan adanya penyalahgunaan narkoba di lingkungannya.
2. Membentuk sistem inisiator dan fasilitator (dari Toga, Tomas, Todat, Toda, Ormas, LSM) untuk memimpin dan menggerakkan komponen masyarakat dalam kampanye pencegahan penyalahgunaan narkoba.
3. Mengaktifkan kembali kearifan lokal (local wisdom) berupa kebijaksanaan, petuah-petuah, nasehat dari budaya lama yang masih diikuti sebagai bagian dari pencegahan penyalahgunaan narkoba.
4. Mengoptimalkan pendekatan budaya dengan baik dan pendekatan agama melalui sarana dakwah serta kegiatan keagamaan untuk menjauhi penyalahgunaan narkoba.
5. Mengawasi penegakan hukum narkoba (mulai dari pengawasan penangkapan, penahanan, penuntutan, eksekusi hukum sampai pemusnahan barang bukti), sehingga potensi penyimpangan aparat penegak hukum dapat dihindari.
6. Berperan sebagai subyek bukan obyek, agar tumbuh rasa kepercayaan bahwa masyarakat mampu untuk memberantas melalui membina, mendidik, dan mengarahkan tentang bahaya narkoba (melalui Kadarkum, lingkungan binaan yang ditopang oleh Pemda setempat) untuk mempersempit ruang gerak peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Dan apabila masyarakat telah berperan aktif, maka lembaga penegak hukum wajib memberikan perlindungan bagi siapa saja masyarakat yang aktif melaporkan kegiatan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya. Memberikan perlindungan berarti polisi wajib melindungi pelapor, merahasiakan identitas pelapor, dan segera menindak pelanggar dengan tegas. Hal ini diperlukan karena tidak menutup kemungkinan, sindikat narkoba dapat bertindak diluar batas kemanusiaan termasuk menghilangkan nyawa orang apabila diketahui potensi untuk meraup keuntungan dari narkoba digagalkan oleh masyarakat. Oleh sebab itu sudah merupakan masalah bersama baik masyarakat maupun aparat penegak hukum untuk saling sinergi memberantas penyalahgunaan narkoba.

III. PENUTUP

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sedemikian parahnya, kita sudah menjadi negara dengan peringkat ke 3 dalam peredaran narkoba. Ini dikarenakan terdapat keuntungan yang cukup signifikan apabila kita berbisnis narkoba, hal ini disebabkan oleh terbukanya Indonesia bagi perdagangan tingkat dunia. Keterbukaan ini juga dimanfaatkan oleh kejahatan terorganisir untuk turut mengedarkan narkoba karena keuntungan besar yang dapat diraih dari transaksi di Indonesia.
Kemudahan peredaran narkoba di Indonesia ditimbulkan oleh faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas maupun produktifitas masyarakat itu sendiri seperti kemiskinan, kebodohan, himpitan beban hidup, sikap konsumerisme, hedonisme, malas, kurangnya komunikasi di keluarga, dan lain-lain. Berbagai upaya untuk mengeiminir penyalahgunaan narkoba sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum (BNN dan kepolisian), namun itu dirasakan belumlah cukup karena sedemikian rapinya peredaran narkoba yang kadang tidak diketahui oleh aparat penegak hukum. Untuk itulah peran aktif masyarakat dibutuhkan untuk mencegah peredaran narkoba di tanah air. Peran serta ini termasuk pula mengaktifkan kembali peran kearifan lokal maupun kepekaan masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum dalam memberantas narkoba. Sanksi tegas tidaklah cukup apabila masyarakat kerap melindungi pengedar narkoba bahkan berlaku sebagai agen dari sindikat narkoba, oleh sebab itu sikap proaktif masyarakat sangatlah diperlukan.


Referensi:

Direktorat Advokasi Deputi Bidang Pencegahan BNN, 2010. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Lembaga/Instansi. Jakarta: BNN.

Nitibaskara, TB. Ronny Rahman, 2004. Ketika Kejahatan Berdaulat; Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi. Jakarta: Peradaban.

Salman, Darmawan. 2011. Dapatkan Kearifan Lokal Fungsional Dalam Pengelolaan Konflik Ditengah Preskripsi Global?. http://alwyrahman.blogspot.com
Baca selengkapnya.....

Senin, 13 Februari 2012

MENGUJI KESAMAPTAAN JASMANI ANGGOTA POLRI MELALUI BEEP TEST (Kajian Penggantian Tes Kesamaptaan Jasmani Konvensional)


Dalam proses rekrutmen anggota Polri, baik itu level Bintara maupun Perwira (Setukba dan Akpol), maupun pada pengujian kesamaptaan jasmani reguler bagi personil Polri dan bagi yang akan mengikuti pendidikan pengembangan (STIK, Sespimma dan Sespimmen), kita selalu menggunakan pola pengujian yang sudah baku untuk mengetahui seberapa besar kebugaran fisik anggota Polri dalam mempersiapkan diri menghadapi penugasan yang berdimensi tinggi maupun yang membutuhkan kemampuan fisik prima. Cara pengujiannya dengan melakukan kesamaptaan kategori A yaitu melakukan lari keliling lapangan selama 12 menit, melakukan kesamaptaan kategori B yaitu pull-up, sit-up, push-up dan shuttle run selama 1 menit, serta kesamaptaan kategori C yaitu renang sepanjang 25 meter. Tes kebugaran ini juga merupakan assessment bagi anggota Polri maupun calon anggota Polri untuk menuju tahap berikutnya, apabila gagal pada tes ini maka dibutuhkan waktu 6 bulan kedepan sebelum diterapkan kembali tes yang sama.
Namun terkadang kita terkendala pada tempat dan ruang yang akan dipakai dalam melakukan tes kebugaran tersebut, karena panitia tes kebugaran pastinya membutuhkan lapangan yang luas (minimal setingkat stadion yang memiliki lintasan atletik). Kalau cuaca sedang hujan, maka tes kebugaran dipastikan tidak jadi dilaksanakan atau tertunda keesokan harinya, padahal tes ini sudah dirancang beberapa waktu sebelumnya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada para anggota Polri atau calon anggota Polri. Sehingga otomatis sebelum pelaksanaan kegiatan, mereka sudah mempersiapkan diri terlebih dahulu, dan alangkah kecewanya apabila persiapan yang telah dilakukan tidak dapat dilaksanakan karena faktor cuaca.

Untuk itu disini saya berusaha mengetengahkan konsep uji kebugaran bagi personil Polri atau calon anggota Polri dengan memanfaatkan ruangan yang tidak terlalu luas, bisa dilaksanakan di kantor-kantor polisi setempat serta dapat dijadikan sebagai tolok ukur kebugaran yang dimiliki oleh anggota Polri atau calon anggota Polri. Tes kebugaran ini tercakup dalam BLEEP TEST.
Sama seperti tes kebugaran konvensional yang selama ini kita laksanakan, namun perbedaannya kita hanya melakukan 4 item saja yaitu push-up, sit-up, pull-up dan lari shuttle.

1. Uji Kekuatan Dinamis (Dynamic Strength Test)

Tes dinamis ini melibatkan dorongan dan tarikan sebanyak 35 kg. Pada tempat yang memiliki gym, maka tes ini seperti melakukan dayung. Jadi peserta harus mencapai sedikitnya 35 kg kekuatan mendorong dan menarik untuk melewati bagian ujian ini, bisa dilakukan sebanyak 15 kali tarikan-dorongan. Apabila tidak ada gym di tempat pengujian, bisa diganti dengan push-up dan sit-up selama satu menit sebanyak-banyaknya sesuai golongan umur peserta uji kebugaran.

2. Uji Kekuatan Pegangan (Grip Strength Test)

Ini merupakan bagian tes kebugaran untuk mengukur kekuatan pegangan di tangan peserta uji kebugaran dengan menggunakan alat yang disebut dinamometer. Peserta memegang alat tersebut di tangan yang dikehendaki dan mulai menarik keatas kepala peserta kemudian membawanya kebawah. Setiap peserta diperbolehkan dua kali untuk merekam pegangan maksimum, namun untuk kelulusan ditetapkan standarnya yaitu menggenggam dan menarik sebesar 32 kg. Dan tes ini bisa digantikan dengan melakukan pull-up selama satu menit, dengan menaikkan badan sesuai kemampuan peserta uji kebugaran.

3. Uji Ketahanan (Bleep test/Shuttle Run)

Uji ketahanan bagi anggota Polri maupun calon anggota Polri melibatkan peralatan pengendali (beep tools) untuk menguji tingkat kebugaran melakukan lari bolak balik (shuttle run) sepanjang 20 meter. Tes dilangsungkan pada permukaan datar dan merupakan ujian tingkat progresif, yang berarti mulai dari level yang rendah sampai pada level sulit, mulai dari beep 1 sampai beep akhir pada level 23.
Maksud dari tes ini adalah untuk menguji ketahanan fisik peserta dalam melakukan tugas sehari-sehari sebagai seorang anggota Polri. Dan untuk menjadi anggota Polri, melalui tes ini diharapkan peserta dapat lulus dengan mencapai level 5,4 pada tes bip ini.

Konsep aturan tes beep adalah:

a. Peserta harus menempatkan satu kaki di luar garis pembatas atau 15 atau 20 meter pada akhir masing-masing garis shuttle.
b. Jika peserta sudah berada di ujung garis sebelum bunyi bip, maka peserta harus menunggu bunyi dan kemudian dilanjutkan berlari lagi.
c. Peserta dapat terus berlari selama mungkin sampai merasa tidak mampu untuk bersaing lagi dengan kecepatan yang telah ditetapkan oleh penanda, yang mana mereka harus sukarela menarik diri dari arena lari.
d. Jika peserta gagal mencapai akhir garis sebelum bunyi bip, peserta diizinkan untuk 2 atau 3 kali mencoba dengan kecepatan yang konstan agar mendapatkan kembali kecepatan yang diperlukan sebelum dianggap selesai.
e. Catat peningkatan dan level yang dicapai oleh tim penilai.
f. Pada akhir tes, peserta melakukan program pendinginan (peregangan otot).




Cara melakukan Tes Bip
Tes ini memerlukan dua baris untuk melakukan shuttle (lari bolak balik) dengan jarak 15 atau 20 meter saja. Pencatatan waktu bip menurun setiap menitnya (sesuai level). Ada beberapa versi dari tes ini, tapi satu versi umumnya memiliki kecepatan awal 8,5 km/jam, yang terus meningkat sebesar 0,5 km/jam setiap menitnya.
Pertama yang kita butuhkan adalah:
a. Permukaan datar, licin, minimal 20 meter.
b. Ditandai dengan kerucut untuk tiap lintasan peserta.
c. Bunyi bip (melalui rekaman/CD) untuk tiap level yang diselesaikan.

Langkah 1 – ukur dulu sepanjang 15 – 20 meter dan tandai dengan kerucut penandanya.
Langkah 2 – peserta tes melaksanakan program pemanasan dengan jogging dan latihan peregangan.
Langkah 3 – tes ini dilakukan.

Pada tes ini, peserta diwajibkan untuk berlari bolak balik (shuttle) sepanjang jalur 15 atau 20 meter pada waktunya untuk serangkaian bunyi bip yang semakin lama menjadi semakin cepat seiring peningkatan level (tingkat). Peserta harus berlari selama mungkin sampai peserta mencapai titik dimana peserta tidak dapat mempertahankan kecepatan untuk bersaing dengan bunyi bip. Untuk lulus tes polisi, kebugaran peserta perlu mencapai tingkat 5,4 dengan waktu berjalan 3 menit 40 detik. Tes ini di sinkronkan dengan CD rekaman audio yang memainkan level bip pada interval tertentu. Untuk hasil tes, interval antara setiap bip berikutnya semakin berkurang, sehingga memaksa peserta tes untuk meningkatkan kecepatan selama tes ini berlangsung, sampai titik dimana peserta sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan kegiatan tes.








. Baca selengkapnya.....

Senin, 30 Januari 2012

ADAT ISTIADAT SEBAGAI SALAH SATU SUMBER ETIKA YANG HARUS DIPEDOMANI ANGGOTA POLISI


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaan ini ditandai dengan adanya kelebihan dalam hal memiliki kemampuan berpikir, hasrat nafsu. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya yang hanya cenderung memiliki satu kemampuan saja. Bahkan lebih jauh lagi, manusia dikatakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia. Kelebihan manusia yang sangat menonjol dan dibutuhkan dalam mempertahankan kehidupannya di dunia adalah kemampuan intelektualitasnya. Manusia sebagai makhluk intelektual ditandai oleh kemampuannya berfikir yang berfungsi untuk mengerti, mempertimbangkan/menganalisa dan mengambil keputusan guna membangun orientasi, sikap dan tindakan.
Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kemampuan ini dapat beragam manfaat mulai dari mengenal hal baru, memahami suatu fenomena lebih dalam, dapat mengetahui kelemahan sekaligus menganalisa, dapat mengantisipasi suatu tindakan dengan membuat strategi baru, sampai pada menemukan bentuk baru dari suatu hal. Kemampuan manusia ini dapat kita lihat pada setiap bidang tugas dan aktivitas. Tak terlepas, Polri salah satunya.
Setiap anggota Polri haruslah mengembangkan cara berfikir kritis analitis secara positif sesuai profesinya melalui perluasan pengetahuan, mengorientasikan diri ke arah keberhasilan, menghadapi orang-orang dengan penuh penghargaan sehubungan dengan kemampuan dan perannya, mewaspadai kelemahan dan kekuatan diri serta mensinergikan kemampuan kepemimpinan yang bersifat menguasai, musyawarah, membujuk, meneladani dan mendelegasikan sesuai situasi serta kondisi yang dihadapi.
Polisi diterima menjadi lembaga penegak utama dalam penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat karena keamanan dan ketertiban dapat diciptakan melalui cara paksaan yang dilakukan oleh negara atas nama rakyat (forcefull means). Hal ini dilakukan karena polisi merupakan lembaga kontrol sosial, sebagai salah satu kepanjangan tangan dari fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum.
Sebagai lembaga kontrol sosial, Polri mempunyai kewenangan yang konstan atas publik, pendidikan yang berkesinambungan, serta selalu siap dan mempunyai aturan yang membatasi dengan ketat dalam penggunaan senjata dan dengan cara damai (peacefull means) yang dilakukan organisasi atau asosiasi privat melalui cara-cara sosialisasi dan pengalaman kelompok.
Dengan kata lain Polisi mempunyai kriteria:
(1) Bekerja dan bertugas secara terus menerus selama 24 jam adalah polisi selaku pengemban harapan masyarakat
(2) Polisi itu terlatih dan selalu siap (profesional)
(3) Polisi sangat tidak gampang menggunakan senjata api
(4) Penguasaan tugas, wewenang, asas dan prinsip serta tanggung jawab secara benar.

Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya karena kepercayaan yang diberikan oleh rakyat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, maka setiap anggota Polri hendaknya bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan etika dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hal ini penting dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kamtibmas yang efektif dan mendapatkan kepercayaan yang penuh dari masyarakat.
Satu hal penting yang harus diperhatikan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya adalah bahwa masyarakat tidak hanya mengakui hukum positif saja yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga adat istiadat setempat yang masih kuat dan dijunjung tinggi, diperhatikan dan dihormati masyarakat. Beberapa kasus unras yang berakibat aksi anarkisme massa disinyalir sebagai kelemahan Polri dalam memanfaatkan keberadaan adat setempat sebagai salah satu "senjata" Polri dalam memelihara kamtibmas, belum ditambah dengan penyerangan-penyerangan markas polisi, ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi maupun aksi-aksi massa lain menambah panjang deretan catatan polisi dalam melakukan tindakan. Oleh sebab itu adat istiadat menjadi bagian penting dalam pelaksanaan pemolisian komunitas baik di level teritorial maupun kategorial (Chrysnanda, 2010: 77).

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana seorang anggota polisi harus mempelajari adat istiadat setempat demi terselenggaranya keamanan dan ketertiban yang efektif, karena adat-istiadat tersebut masih kuat di Indonesia dan masih bekerja serta diakui sebagai salah satu produk hukum yang bekerja pada masyarakat.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian-pengertian


Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar yang berhubungan dengan kebebasan dan tanggung jawab, suara hati dan etika pengembangan diri. Sedangkan etika khusus membahas penerapan dari prinsip-prinsip moral dasar tersebut dalam kehidupan yang nyata, baik dengan cara bertindak dalam artian benar/salah dan menata dalam artian baik/buruk.
Etika Kepolisian adalah:
• Norma tentang perilaku Polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan kemanan masyarakat,

• Serangkaian peraturan atau aturan yang ditetapkan untuk membimbing petugas dalam menentukan apakah tingkah laku pribadinya benar dan salah.

Sehingga jelaslah bahwa Etika Kepolisian merupakan etika khusus yang berlaku di kalangan Kepolisian baik dalam rangka interaksi internal dalam lingkungan kesatuannya dan interaksi dengan masyarakat khususnya dengan mereka yang menjadi pelanggar di tempatnya bertugas.

B. Adat Sebagai Etika

Ciri-ciri adat sebagai sistem etika di masyarakat Indonesia adalah:
1) Berisikan hal-hal yang harus dilakukan,
2) Merupakan urusan komunitas atau kelompok,
3) Peraturan-peraturan yang ada mencakup seluruh kehidupan,
4) Sumber tidak pribadi,
5) Jika sesuai dianggap wajar atau baik,
6) Diturunkan dari generasi ke generasi,
7) Dianggap memberi berkat,
8) Adanya sanksi-sanksi/reaksi masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi harus memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi adat yang berlaku di wilayah tugasnya. Hal ini berguna bagi membina terjalinnya kedekatan Polisi dengan masyarakat, sehingga pelaksanaan tugas Polisi di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dapat efektif. Makna kedekatan Polisi dengan masyarakat dalam rangka pemeliharaan kamtibmas adalah dimana kedekatan tersebut akan memudahkan petugas kepolisian untuk mengawasi dan memberikan rasa aman serta memberikan pelayanan yang diperlukan. Kedekatan juga akan membuka akses yang mudah untuk melaporkan dan meminta perlindungan terciptanya kepatuhan masyarakat akan hukum, petunjuk, nasihat dan arahan petugas Kepolisian.
Dengan memahami etika dengan mendalami adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat, maka Polisi akan mendapatkan manfaat:
(1) Dapat menyelami nilai luhur kemasyarakatan, sehingga akan menjamin kesamaan persepsi, kedekatan hubungan dan membangun pengertian, dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kamtibmas.

(2) Dapat mendalami hakekat nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu dipertahankan dan dijaga kelangsungannya demi kehidupan dan penghidupan masyarakat, sehingga dapat diupayakan menemukan filsafat, doktrin dan metode pemolisian yang tepat dengan sifat/hakikat sosial, budaya dan cita-cita masyarakat.

Menyinggung masalah adat, salah satu konsep pembinaan SDM Polri yaitu local job for local boy, merupakan salah satu pengejawantahan nyata konsep diatas. Konsep tersebut dirasakan cukup efektif karena beberapa hal, pertama, anggota yang bekerja lama pada suatu lokasi dinas akan mengenal masyarakat tempat ia bekerja; kedua, kedekatan polisi dengan masyarakat akan membuka “gembok” informasi dari masyarakat; ketiga, polisi akan tahu setiap gejala, baik yang sifatnya biasa sampai khusus yang terjadi di masyarakat; keempat, pada akhirnya polisi akan tampil sebagai penjaga sekaligus teman dari masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan tertib.
Selain itu, Polisi juga harus menjunjung tinggi profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Profesionalisme Polisi adalah sikap dan kecepatan petugas dalam merespon pelayanan kepada masyarakat untuk melindungi, memelihara ketertiban dan memulihkan ketertiban dari gangguan.
Aspek profesionalisme terdiri dari:
(1) Aspek nilai sosial dari pekerjaan yang berkenaan dengan pelayanan masyarakat, kebanggaan atas pekerjaan Polri dan penghargaan masyarakat,
(2) Aspek keterampilan teknis yang berdasarkan ilmu terapan, adanya persyaratan standar untuk pelaksanaannya dan adanya pelatihan yang terus menerus,
(3) Aspek kendali diri dan disiplin kerja manyangkut pengawasan diri terhadap pekerjaan tersebut, adanya rasa tanggung jawab yang mandiri, adanya keterikatan moral terhadap segi pekerjaan dan tugas tersendiri.

Pada hakikatnya setiap manusia ingin hidup dalam suasana yang aman dan tertib, oleh karena itu maka kewajiban Polisilah sesuai dengan tugas pokoknya untuk mewujudkan hal tersebut. Fungsi ketertiban bagi masyarakat dan kepolisian adalah suatu sistem tentang saling hubungan antar penduduk dan kebiasaan-kebiasaan yang beroperasi secara tak kelihatan guna terealisasinya kerja masyarakat.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta konfirmitas, solidaritas dan kontinuitas masyarakat sehingga mencapai tujuan agar masyarakat dapat dieksploitasi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri, dalam keteraturan, bergairah kerja dan membangun.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan


Walaupun etika tidak diberikan sanksi tertulis tetapi sanksinya lebih berat karena etika dapat membawa perasaan tidak enak, tidak dipercaya, dikucilkan, disindir, tidak disenangi di lingkungan kerjanya, merasa kualat, kadang-kadang lebih keras dan lebih menyiksa dari hukuman disiplin lainnya. Inilah yang disebut dalam ilmu sosial sebagai sanksi sosial.
Adakalanya dalam suatu masyarakat, penerapan sanksi sosial jauh lebih efektif daripada sanksi hukum. Seorang yang dihukum dalam penjara selama setahun dan keluar, kembali ke masyarakat disambut baik dengan masyarakat, tidak akan mengalami “perasaan tersiksa”. Namun situasi akan berbeda dengan seseorang yang tidak pernah dihukum karena suatu perbuatan pidananya, namun karena melanggar suatu hukum adat ia harus dicemooh, dikucilkan, dianggap tidak ada, dijauhi. Hal ini tentu saja jauh lebih berat.
Polisi yang baik adalah Polisi yang mengerti untuk apa dia berbuat, profesional baik maka secara moral juga akan baik. Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi hendaknya diharapkan bertindak dalam melaksanakan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud meliputi:
a. Mampu memahami bahwa masyarakat mempunyai aturan-aturan tentang adat istiadat, norma-norma itu sendiri, yang mungkin tidak terdapat di hukum positif di Indonesia. Tetapi norma-norma tersebut dijadikan aturan-aturan hukum yang mereka taati atas kemauannya sendiri karena memenuhi aspirasi keinginan mereka. Oleh karena itu diharapkan Polisi dapat mencari solusi yang terbaik yang tidak bertentangan dengan tugas hakikinya, dengan melihat kenyataan empirik tersebut.

b. Dapat mengkaji norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, dengan tidak mengabaikannya, sehingga akan berhasil dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan fungsinya yaitu pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, aparat penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyrakat.

B. Saran

Pada era reformasi ini, polisi dituntut untuk profesional dalam pelaksanaan tugasnya. Ukuran keberhasilan polri dalam pelaksanaan tugas terpusat pada suara masyarakat. Oleh karena itu perhatian lebih besar, harus dicurahkan pada suara masyarakat. Namun disisi lain, polisi juga harus mempersiapkan filter, karena tidak semua suara masyarakat itu adalah baik dan benar. Keberadaan polisi selain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, juga harus dapat mewujudkan rasa keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga aktifitas yang memunculkan produktifitas akan tetap hidup dan berkembang. Masyarakat harus diajak untuk hidup berdampingan, baik itu masyarakat pendatang maupun lokal. Filosofi dan strategi pemeliharaan kamtibmas dengan mengedepankan komunikasi dari hati ke hati antar komunitas merupakan suatu konsep yang sekilas sederhana namun akan diterima oleh masyarakat serta mendapat legitimasi dalam pemolisiannya apabila dilaksanakan dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang terkandung dalam adat yang diikutinya. Pemahaman kearifan lokal yang diimbangi dengan pola pemolisian yang membumi, seperti tinggal di desa bersama masyarakat (1 polisi 1 desa) sedikit banyak dapat menyuarakan legitimasi hukum bagi masyarakat yang diayominya.
Selain itu pula, pembinaan SDM Polri dengan menempatkan anggota-anggota polisi dari komunitas lokal (local boy for local job) diharapkan dapat dijadikan platform bagi perkembangan Polri kedepan dalam menghadapi era globalisasi dan transparansi masyarakat sekaligus menjembatani antara fungsi pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian, polisi dapat menjadi simbol dalam tata kehidupan sosial bermasyarakat.


referensi:

Chrysnanda, 2010. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

10 KOMITMEN BERSAMA RAPIM POLRI 2012


Berikut 10 Komitmen Bersama dalam Rapim Polri yang berakhir tanggal 19 Januari 2012 dalam menyikapi kelanjutan dari Reformasi Birokrasi di tubuh Kepolisian tahap II, yaitu:

1. Dengan penuh kesadaran dan kesungguhan hati, melaksanakan tugas kepolisian yang anti KKN dan anti kekerasan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2. Menampilkan kepemimpinan Polri yang bertanggungjawab dan penuh ketauladanan, menjamin kualitas kinerja anggota dan institusi, menjadi konsultan yang solutif bagi bawahan dan masyarakat.
3. Selalu berjasa di depan dalam melaksanakan pemolisian pre-emtif, preventif dan penegakan hukum yang bertanggungjawab, serta mengendalikan anggota untuk tidak melakukan kekerasan.
4. Mengakomodasi hak dan kewajiban bawahan, untuk berani menyampaikan penolakan terhadap perintah atasan yang bertentangan dengan norma dan ketentuan yang berlaku.
5. Dalam mengimplementasikan transparansi dan akuntabilitas, selalu melibatkan peran pengawas eksternal independen sebagai konsultan maupun pengawas yang independen.
6. Melaksanakan pemolisian dengan mengedepankan peran, tugas, kewajiban, dan tanggungjawab daripada status, hak dan kewenangan serta menghindari kepentingan pribadi.
7. Melaksanakan standar pelayanan prima dan mengakomodasi semua komplain masyarakat mulai dari kesatuan Polri terdepan secara berjenjang dan seketika.
8. Mengedepankan Polsek sebagai satuan pelayanan terdepan yang kuat dengan memberikan dukungan penuh kepada kepala kesatuan berupa personel, sarana prasarana dan anggaran.
9. Mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, solidaritas kesatuan, menghilangkan arogansi dan hak prerogatif, mengakomodasi keluhan, tuntutan serta penolakan bawahan dengan penuh empati.
10. Mengoptimalkan strategi pemolisian komunitas, dalam upaya penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan social justice, yang didukung legitimasi. Baca selengkapnya.....