Minggu, 20 Desember 2009
LUNA MAYA vs INFOTAINMENT
Bermula dari Twitter
Satu lagi sarana jejaring sosial menuai permasalahan antara komunikator dan komunikan, salah satu artis ternama Luna Maya berpeluang menghadapi permasalahan hukum terkait tulisannya di Twitter, salah satu jejaring sosial yang dianggap mencemarkan nama baik wartawan khususnya wartawan infotainment. Entah mood Luna berada dalam titik nadir terendah atau penyebab lain, Luna pun memaki habis infotainment lewat Twitter pribadinya. Bunyi tulisannya demikian:
Jadi bingung kenapa manusia sekarang lebih kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yang disebut manusia udah jadi setan semua??"
Infotement derajatnya lebh HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH!!!! May your soul burn in hell!!"
Diduga, peristiwa ini dipicu saat Luna menghadiri acara gala Premier film "Sang Pemimpi" di EX Plaza tadi malam, 15 Desember. Di acara itu Luna terlihat tengah menggendong Alea, anak kandung Ariel. Melihat adegan itu, tak heran jika para wartawan infotainment langsung mengejar Luna untuk dimintai wawancara. Merasa terganggu dan tidak nyaman, Luna spontan menghujat, ditambah dengan kepala Alea tertabrak kamera salah seorang wartawan. Meskipun si wartawan tersebut sudah meminta maaf, namun rupanya insiden ini berlanjut sampai ke penghujatan Luna terhadap infotainment (www.vivanews.com, 2009).
Akibat hujatannya tersebut, Luna pun dilaporkan PWI Jaya dan wartawan infotainment ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan lewat pasal 310, 311, 315, 335 KUHP dan pasal 27 ayat (3) jo. pasal 45 ayat (1) UU ITE, dengan ancaman hukuman 6 tahun dan denda maksimal 1 miliar rupiah (www.okezone.com, 2009).
Kerancuan Penerapan Pasal
Dari sisi hukum, ada kerancuan penerapan pasal yang dituduhkan kepada Luna Maya. Jadi apabila Luna bersikap cuek terhadap kasus ini, sangatlah wajar karena penerapan pasal yang tidak sesuai pada tempatnya. Apabila menilik pada pasal penistaan (smaad) sesuai pasal 310 ayat (1) KUHP disebutkan: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik SESEORANG dengan menuduhkan…dst…”. Dari sini jelas bahwa untuk “barangsiapa” telah memenuhi unsur yaitu Luna Maya, namun untuk “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” tidaklah jelas unsur mana yang dilanggar. Karena kalau tuduhan menista lewat tulisannya disitu Luna mengatakan “Infotainment”. Tindak pidana penistaan (smaad) ini oleh pasal 310 KUHP dirumuskan sebagai “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan tertentu (bepaald feit) dengan tujuan yang nyata (kennelijk doel) untuk menyiarkan tuduhan itu kepada khalayak ramai (ruchtbaarheid geven)” (Prodjodikoro, 2003: 97). Dalam hukum, infotainment bukan termasuk beleedigde (pihak yang dihina), karena infotainment disini merupakan sebuah unsur dalam dunia hiburan yang bersifat informasi (dari kata-kata information and entertainment), tidak disebutkan nama seseorang atau lembaga disini. Kalaupun wartawan infotainment merasa tersinggung (eergevoel), maka harus diterjemahkan lagi apakah infotainment itu merupakan lembaga berbadan hukum dan sudah diakui keanggotaan para awak/personelnya?
Hal ini (pasal 310 KUHP) juga sama penerapannya dengan pasal 311 dan 315 KUHP, sama juga dengan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, polisi harus meneliti kembali “tidak menyenangkan buat siapa?” karena dalam makian Luna di Twitter tidak disebutkan nama seseorang atau lembaga. Pun begitu dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Nama baik disini juga sama seperti yang dituduhkan kepada Prita Mulyasari bahwa harus nama baik “seseorang atau lembaga berbadan hukum”.
Mediasi atau Boikot
Menyikapi pelajaran ini, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulannya:
1. Kita harus berhati-hati memanfaatkan situs jejaring sosial, karena sifatnya yang dapat diakses oleh publik maka sangat berbahaya apabila isinya menyerang harga diri seseorang atau lembaga.
2. Dalam kasus Luna, polisi harus teliti sebelum melakukan upaya hukum dengan terlebih memperhatikan aspek hukum yang terkait dalam kasus ini, apakah sudah memenuhi unsur atau belum.
3. Para wartawan agar juga memperhatikan aspek privasi seseorang atau lembaga, jangan terlalu jauh untuk mencari keterangan/informasi yang sifatnya sudah mengganggu atau mempengaruhi kehidupan hanya demi mengejar rating program saja.
4. Para wartawan agar legowo apabila kasus ini tidak bisa ditindak lanjuti, karena unsur yang tidak lengkap tersebut. Cara lain mungkin bisa ditempuh, apakah dengan mediasi atau boikot berita tentang si artis tersebut.
Referensi:
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
“Luna Maya Maki Infotainment Lewat Twitter”, http://www.showbiz.vivanews.com (16 Desember 2009).
“Luna Maya-Infotainment Berpeluang Damai”, http://www.celebrity.okezone.com (17 Desember 2009). Baca selengkapnya.....
Senin, 14 Desember 2009
EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI INDONESIA
Pendahuluan
Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah pekerja anak tidak dapat dihindari dan memang selalu ada. Sehingga wajar bila menimbulkan keprihatinan, karena pekerja anak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak anak dalam menjalankan kehidupannya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat lebih dari 1,5 juta anak yang masih berumur 10 – 17 tahun bekerja di pertanian dan perkebunan di Indonesia dan 60 – 70 persen adalah anak perempuan (www.kontan.co.id), jumlah ini belum termasuk anak-anak yang bekerja di berbagai sektor informal lainnya seperti pedagang asongan, anak jalanan, prostitusi, atau buruh pabrik.
Pekerja Anak Akibat Kemiskinan
Fenomena pekerja anak salah satunya berkaitan erat dengan kemiskinan, dimana penghasilan orangtua yang tidak dapat mencukupi kehidupan keluarga, memaksa anak-anak untuk bekerja. Sekalipun kemiskinan merupakan pendorong utama anak-anak untuk bekerja, namun faktor sosial, budaya, demografi, atau psikososial juga turut mempengaruhinya. Bellamy (1997) mengatakan bahwa adat dan pola sosial turut memainkan peranan dalam mempengaruhi anak memasuki dunia kerja yang cukup membahayakan, sedangkan menurut Putranto (1999), konsumerisme dan gaya hidup anak muda lebih mendorong anak-anak untuk menjadi pekerja seks ketimbang menjadi buruh kerja (Usman & Nachrowi, 2004: 100 – 101).
Fenomena pekerja anak memunculkan suatu teori yaitu strategi kelangsungan rumah tangga (household survival strategy). Dalam teori ini disampaikan bahwa bila kondisi ekonomi mengalami perubahan atau memburuk keluarga dari kalangan masyarakat miskin akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia (Mahbubah dalam Susanto, 2003: 114 – 115). Salah satu upaya yang sering dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup adalah dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga, bila tenaga kerja dewasa sudah terserap semua dalam berbagai sektor tenaga kerja maka untuk memenuhi kebutuhan adalah melibatkan anak-anak untuk bekerja.
Melihat fenomena pekerja anak ini, secara struktural negara bisa disalahkan. Negara sebagai pemegang kekuasaan telah membuat kebijakan yang sering tidak berpihak pada masyarakat bawah. Kebijakan dalam mengundang unsur kapital untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia mungkin bisa dijadikan sebagai contoh. Masuknya kapitalisme di Indonesia diyakini telah merusak tatanan sosial di masyarakat, dimana lapisan atas masyarakat mengalami westernisasi dan urbanisasi sedangkan lapisan bawah menjadi semakin miskin (Sunarto, 2004: 219). Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu terjadinya pelanggaran HAM pada anak. Anak dalam keluarga miskin mengalami subordinasi ganda, yaitu ada supremasi dari yang kaya dan orang dewasa. Hak anak bisa dilanggar karena dia masih anak-anak dan miskin.
Pekerja Anak Akibat Ketimpangan Ekonomi
Globalisasi dan liberalisasi ekonomi merupakan kondisi yang tidak mungkin terelakkan. Di satu sisi, globalisasi merupakan kesempatan manakala kita telah siap menghadapinya, tetapi di sisi lain dia merupakan tantangan dalam persaingan yang sangat ketat. Kapitalisme telah merusak tatanan ekonomi masyarakat Indonesia, sumberdaya menjadi sasaran untuk dieksploitasi baik sumberdaya alam maupun manusia (Sunarto, 2004: 218). Karena itu, pemanfaatan tenaga anak sebagai sumberdaya adalah pilihan ekonomis (murah). Pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat, karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka.
Penyebab lain yang justru lebih berbahaya adalah kemiskinan pola pikir. Lingkungan permisif, sikap apatis terhadap nilai-nilai pendidikan sebagai investasi ke masa depan, dan rendahnya kesadaran tentang hak anak semakin memperbesar angka pekerja anak. Dengan alasan kebutuhan hidup keluarga, anak-anak lebih diinginkan orangtua untuk ikut bekerja ketimbang sekolah. Disamping itu, biaya pendidikan di Indonesia yang masih tinggi ikut pula memperkecil kesempatan mereka untuk mengikuti pendidikan. Problematik pemerintah dalam menekan angka pekerja anak bukan hanya dengan menghukum orang tua yang mengeksploitasi anak untuk bekerja, namun pemerintah juga harus menyediakan sektor ekonomi alternatif untuk masyarakat miskin agar mereka dapat tetap bekerja dan tidak memanfaatkan anak-anak untuk turut bekerja, juga pembenahan pendidikan agar memberi peluang bagi rakyat miskin untuk tetap bersekolah misalnya memberi pembebasan biaya sekolah hingga mengurangi jumlah anak-anak putus sekolah.
Pada akhirnya memang kesenjangan dalam pembangunan mengakibatkan anak terpaksa bekerja. Jika dalam kondisi yang sangat terpaksa anak harus bekerja, maka pengusaha dan orangtua yang mempekerjakan mereka harus memperhatikan perlindungan dan hak mereka. Akhirnya, permasalahan anak adalah masalah kita semua; orangtua, keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Semua stakeholder harus urun rembug dalam menyelesaikan permasalahan anak terutama anak yang masuk dalam kategori yang memerlukan perlindungan khusus. Terpenting dari semua segmen tersebut adalah negara, berkewajiban dengan segala sumberdaya yang ada untuk dapat memenuhi hak dan perlindungan anak ketika orangtua dan masyarakat tidak berdaya.
DAFTAR ACUAN
Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer.
Kontan Online, “Data ILO: 1,5 Juta Anak Bekerja di Sektor Pertanian dan Perkebunan”, http://www.kontan.co.id (12 Juni 2009).
Susanto, Budi (ed.). 2003. Politik & Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit FE-UI.
Usman, Hardius & Nachrowi Djalal Nachrowi. 2004. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi, Determinan, dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: PT.Grasindo. Baca selengkapnya.....
Selasa, 08 Desember 2009
KEMISKINAN DI INDONESIA SEBAGAI SUATU PROBLEM SOSIAL
Masalah dan Anatomi Kemiskinan di Masyarakat Indonesia
Sejak datangnya krisis ekonomi, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia berada dalam persoalan kemiskinan. Banyak orang jatuh miskin karena diberhentikan dari tempat kerjanya dan usahanya bangkrut. Sehingga orang tidak mempunyai penghasilan memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Saat krisis ekonomi melanda Indonesia dipertengahan tahun 1997 sampai sekarang ini, disinyalir jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di tahun 1997 penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan jumlahnya sekitar 12 juta jiwa, namun jumlahnya meningkat pada pertengahan tahun 1998 yaitu menjadi sekitar 80 juta jiwa. Sedangkan angka kemiskinan absout di pedesaan pada saat itu telah mencapai 53 % dan di perkotaan sekitar 39 % (ILO 1998: 99).
Melihat masalah kemiskinan di dalam masyarakat Indonesia, pada kenyataannya seperti melihat gambaran dengan spektrum penuh rona yang sangat luas dan beragam. Masalah kemiskinan yang melanda masyarakat Indonesia dapat terlihat dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan yang bersumbu “vertikal” dan tingkatan yang bersumbu “horizontal”. Dengan melihat kondisi Negara Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari berbagai daerah/wilayah maka kemiskinan tingkat horizontal yang membedakan antara satu daerah/wilayah dengan daerah/wilayah lain menjadi nyata (faktual) ada. Kesenjangan antara kota dan desa atau pusat dan daerah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan.
Melihat anatomi kemiskinan di dalam masyarakat Indonesia, pada kenyataannya bersumber dari adanya kesenjangan dan ketimpangan struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, sosial-budaya dan sosial-politik. Kesenjangan dan ketimpangan struktur masyarakat yang dialami bangsa Indonesia ini salah satu penyebab makin besarnya kemiskinan yang terjadi di masyarakat luas. Kesenjangan dan ketimpangan masyarakat “atas-bawah” di bidang sosial-ekonomi yang terus berjalan, menjadikan makin banyaknya masyarakat lapisan bawah (strata masyarakat menengah ke bawah) yang mengalami kemiskinan struktural.
Di bidang sosial-budaya kondisi kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat kita juga terlihat dalam berbagai aspek kehidupan yang dijalaninya. Mulai dari pergeseran tata nilai dalam masyarakat, orientasi hidup yang salah prioritas, tercabiknya tata nilai dan budaya setempat, rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat, rendahnya ketrampilan dan profesionalisme tenaga kerja, keterbatasan pemeliharaan kesehatan di masyarakat hingga keadaan masyarakat yang cenderung individualistik, hedonistik dan materialistik. Keadaan sosial-budaya masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi transisi antara masyarakat tradisional agraris menggapai masyarakat modern industrial terlihat semakin senjang dan semakin sukar dijembatani.
Problem-problem kemiskinan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia pada saat sekarang ini antara lain yaitu 1) Pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang-pangan-papan, 2) Langkanya kesempatan kerja (banyak pengangguran), 3) Pemenuhan kebutuhan dasar dalam hal pendidikan dan kesehatan, 4) Sukarnya membuka lapangan kerja baru terutama bagi masyarakat menengah kebawah, 5) Biaya hidup yang makin mahal, 6) Rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat lapisan bawah serta rendahnya tingkat ketrampilan tenaga kerja dalam negeri, 7) Kemiskinan sosial-budaya akibat pengaruh negatif informasi global, 8) Kesenjangan pembangunan antara kota-desa dan pusat-daerah, 9) Apatisme dalam berperan serta pada proses pembangunan akibat beum terpenuhinya kebutuhan dasar, 10) Terbatas dan tidak adanya tabungan dari masyarakat menengah kebawah, 11) Sukarnya mendapatkan akses dalam mendapatkan modal usaha bagi masyarakat menengah kebawah (Pawitro 2002).
Solusi Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah utama yang harus diatasi. Kemiskinan ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat berakibat antara lain : (1) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktifitas sumber daya manusia di daerah, (3) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan peayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations).
Berdasarkan permasalahan di atas maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan secara komprehensif, terpadu antar kebijakan dan antar pelaku pemerintahan pusat-daerah bersama-sama dengan masyarakat madani, swasta, serta kelompok masyarakat lokal. Adapaun strategi pokok yang dipakai dalam penanggulangan kemiskinan adalah :
1. Creating opportunities, yakni pemerintah bersama sektor swasta dan masyarakat menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin.
2. Community empowerment, yakni pemerintah, sector swasta dan masyarakat memperdayakan masyarakat miskin agar dapat memperoleh kembali hak-hak ekonomi, sosial, dan politiknya, mengontrol keputusan yang menyangkut kepentingannya, menyalurkan aspirasi, mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya sendiri.
3. Capacity Building, yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat miskin agar mampu bekerja dan berusaha secara lebih produktif, dan memperjuangkan kepantingannya.
4. Social protection, yakni pemerintah melalui kebijakan publik mengajak sector swasta dan masyarakat memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
Akhirnya, negara Indonesia secara geografis dan klimatologis merupakan Negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi yang sangat kaya, merupakan bahan yang utama untuk membuat Negara Indonesia menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan Negara Indonesia menjadi Negara yang adil, makmur, sentosa.
Daftar Acuan
Bintoro, Bambang. 2002. Peran Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Penangguangan Kemiskinan. Makalah pada Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Masyarakat Bagi Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: tidak diterbitkan.
ILO. 1998. Employment Chalenges of Indonesian Economic Crisis. Jakarta: United Nations Development Programme.
Mitchell, Duncan. 1984. Sosiologi: Suatu Analisa Sistem Sosial. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Udjianto, Pawitro. 2002. Upaya Penanggulangan Kemiskinan Di Tingkat Desa. Makalah pada Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Masyarakat Bagi Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: tidak diterbitkan.
Peters, A.A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosiologi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Razak, Puddu. 2002. Model Pengembangan Ekonomi Lokal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Lokal. Makalah pada Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Masyarakat Bagi Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: tidak diterbitkan.
Soegijoko, Sugijanto, 1994. Strategi Pengembangan Wilayah dalam Pengentasan Kemiskinan. Nomor 15/Oktober.
Sunarto, Kamanto, 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: FE-UI. Baca selengkapnya.....
REFORMASI POLRI: POLITIK DAN BIROKRASI
Pendahuluan
Tulisan ini tentang Birokrasi, yang ingin ditunjukkan adalah reformasi Birokrasi Polri sebagai suatu tindakan untuk menata kembali Organisasi Polri dalam rangka untuk menjadikan birokrasi Polri yang efektif, efisien, dan tepat sasaran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Reformasi adalah suatu perubahan secara drastis untuk perbaikan dibidang sosial, politik, ekonomi, dll disuatu masyarakat atau negara. Dalam reformasi yang telah dan sedang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk dapat mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yangdemokratis. Menurut Suparlan (1999) bahwa dalam tatanan demokratis ada beberapa unsur yang mendasar yaitu individu, masyarakat, dan negara yang unsur itu selalu berada dalam konflik karena terjadi suatu kepentingan dalam rangka proses persaingan untuk dapat memenangkan dan unsur tersebut harus seimbang karena dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Menurut Gellner (1995), masyarakat sipil adalah masyarakat dengan perangkat-perangkatnya non pemerintah yang kuat untuk menyeimbangi dari kekuasaan negara dan mendorong pada pemerintah untuk menjalankan fungsi dan peranannya dan melindungi masyarakatnya.
Polri merupakan bagian dari sistem administrasi negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya terkait dengan sub-sub sistem administrasi Negara. Keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan pengawasan meliputi pengorganisasian, manajemen personil, hubungan tata cara kerja, manajemen keuangan, manajemen materiil, dan manajemen pengawasan.
Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Menurut Bayley (1994) untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional yang melibatkan birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain (Kunarto,1998:xi).
Bangsa Indonesia sekarang ini sedang melakukan reformasi dalam rangka untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang demoktratis, meliputi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, proses hukum yang adil, pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional, nilai-nilai toleransi, dan kemajemukan politik, sosial, ekonomi. Polri sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan harus melakukan reformasi terhadap perkembangan politik yang menjadi tuntutan reformasi.
Bahasan dalam tulisan ini adalah politik dan birokrasi Polri dalam pemerintahan, reformasi dalam perubahan kebudayaan organisasi polri.
Politik dan Birokrasi
Kalau kita berbicara tentang politik maka akan berhubungan dengan Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) atau alokasi (alocation), karena politik selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan masyarakat tercakup juga kepolisian. Menurut Toha (2003), birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “official dom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu,yang menentukan orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarkis dari atas kebawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan dibawahnya. Dan semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan akan kekuasaan.
Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua penyelesaian urusan masyarakat. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan tertentu (yang dianggap basah) memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.
Perubahan Kebudayaan Organisasi Polri
Sebagai suatu kegiatan yang bermula pada sesuatu titik, maju lewat sederetan langkah, dan berpuncak dalam sesuatu hasil yang diharapkan oleh mereka yang terlibat sebagai suatu perbaikan terhadap titik awal. Perubahan pada organisasi pada hakekatnya untuk mempertahankan suatu keseimbangan dimana menuntut suatu penyesuaian untuk mencapai suatu keadaan yang diharapkan.
Budaya dalam organisasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan bersama dan berulang-ulang oleh anggota organisasi yang mempunyai makna bersama. Dalam hal ini budaya yang ada pada organisasi Polri yang menyebabkan tidak dipercaya oleh masyarakat tetapi tetap dilakukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Misalnya, anggota Polri melakukan pemerasan, melakukan pungli, dan melakukan diskresi yang mengarah ketindakan korupsi. Dalam menuju Polri yang professional perlu dilakukan perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi :
1. Kode etik Polri
Suatu peraturan atau petunjuk yang jelas dan dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman para petugas Polri dilapangan baik dari tingkat manajemen maupun individu mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek. Kode etik itu berisi aturan, norma-norma yang berkaitan dengan moral dalam pelaksanaan tugas dari pangkat Bharada sampai dengan Jendral mana yang boleh dilakukan dan yang mana tidak boleh dilakukan sehingga merupakan suatu kebanggaan bagi anggota Polri dan dapat dijadikan sebagai pegangan agar hal-hal yang memalukan dapat tidak dilakukan.
2. Standarisasi Tugas Kepolisian
Standarisasi tugas Kepolisian ini mencakup antara lain pedoman yang dimiliki oleh setiap anggota Polri, yang mana setiap fungsi berbeda dengan fungsi yang lain. Misalnya standarisasi tugas di Reserse tidak sama dengan anggota yang bertugas di fungsi Lalulintas. Dengan adanya standarisasi ini petugas kepolisian akan melaksanakan tugas dan bertindak dalam pelayanan masyarakat sesuai dengan standarisasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman disetiap fungsi.
3. Uji Kelayakan
Uji Kelayakan ini sebagai syarat utama untuk menduduki jabatan tertentu (kapolda, Kapolwil, Kapolres dan Kapolsek) atau pejabat staff yang dilakukan oleh pejabat yang independent. Dengan diadakan uji kelayakan tersebut dimaksudkan agar pejabat yang menjabat jabatan tertentu akan bekerja secara obyektif dan efektif serta mempunyai rasa tanggungjawab terhadap tugasnya. Dan apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran pejabat tersebut siap menerima hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Sistem Penilaian Kerja
Bagian yang diberi kewenangan untuk menilai kinerja menggunakan pedoman yang telah ditetapkan dalam standarisasi sehingga dalam memberikan penilaian berdasarkan dengan pedoman. Dengan mengacu pada pedoman penilaian maka pejabat yang dinilai tidak dapat melakukan KKN atas pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan dan apabila melakukan pelanggaran siap untuk menerima hukuman.
5. Sistem Penghargaan dan hukuman
Sistem ini diberikan kepada anggota Polri yang berprestasi dalam pelaksanaan tugasnya dan memberikan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka keberhasilan petugas dilapangan dapat terukur dan yang melakukan penyimpangan harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.
Analisis
Untuk Polri, reformasi birokrasi memiliki arti yang sangat penting dalam rangka menjalankan tugas pokoknya dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan dan upaya menciptakan keamanan dan ketertiban. Kita perlu mengadakan penelitian atau mempelajari sedalam-dalamnya bagaimana bentuk organisasi Polri itu. Karena bentuk organisasi itu akan menserasikan dengan misi, visi dan tugas pokok serta fungsi-fungsinya dengan beban kerjanya. Bentuk itu harus dipelajari apakah dalam bentuk system staf umum (general staff system), sistem direktorat (directory system) atau dalam bentuk gabungannya. Dengan membuat bentuk organisasi yang sudah baik maka tidak perlu lagi merubah atau ada penambahan lagi. Setelah dikaji dalam penyelenggaraannya tugas seandainya ditemukan kekurangan maka diadakan penelitian yang mendalam apakah perlu ditambah atau dikurangi. Jadi jangan setiap Pimpinan Polri baru kemudian membentuk organisasi baru pula. Hal ini akan membuat polisi menjadi tidak profesional. Penyusunan kembali atau penambahan dan pengurangan harus didasarkan pada studi yang mendalam dengan para ahli organisasi dan manajemen yang benar-benar ahli dan berpengalaman.
Dalam suatu organisasi yang besar, contohnya Institusi Kepolisian maka salah satu unsur untuk menjadi profesional adalah sistem penggajian. Saat ini besarnya gaji yang diterima hanya untuk cukup dua minggu saja maka sisa hari yang lain dengan berbagai macam akal dan rekayasa akan mencari tambahan lain guna menutupi kekurangan kehidupan keluarganya. Setelah struktur organisasi Polri dibenahi maka sistem penggajian juga dibenahi. Pejabat yang tingkat pengetahuannya, tanggungjawab dan pekerjaan yang berat harus memperoleh gaji netto yang besar. Yang sekarang sama saja hampir tidak ada perbedaan yang mencolok antara pejabat tertinggi sampai dengan pejabat terendah.
Setelah gaji dibuat adil sesuai dengan tanggungjawabnya selanjutnya pembiayaan operasional dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya. Apabila gaji sudah sesuai dengan keadilan maka pejabat Polri yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, misalnya dalam penggunaan anggaran dapat dituntut hukuman yang sangat berat. Memang menjadi kendala dalam pembiayaan untuk operasional kepolisian, namun dengan anggaran yang ada perlu direncanakan agar dapat cukup. Untuk sekarang ini jangan harap menerima anggaran untuh, apalagi separo seperempat saja sudah cukup bagus. Hal inilah yang menyebabkan kecemburuan antara pejabat dengan anggota. Anggota yang bekerja tetapi pimpinan yang mendapat uangnya.
Tuntutan Polri pada direalisasikannya renumerasi sebagai filter perilaku korup oknum polisi saya rasa bukan merupakan solusi yang tepat, karena renumerasi dengan memberikan insentif pada pejabat yang memiliki tanggungjawab kerja yang besar hanya akan menyuburkan pola-pola KKN baru. Misalkan seorang Kasat Reskrim mendapat insentif (renumerasi) 10 juta, maka akan banyak perwira yang berminat menjadi Kasat Reskrim dan akhirnya mereka berlomba-lomba melakukan tindakan KKN kepada siapapun pejabat yang bisa melapangkan jalannya menuju kursi Kasat Reskrim. Kemudian jangan lupa bahwa sifat dasar manusia adalah tidak adanya kepuasan pada satu hal tertentu, sehingga keinginan untuk kaya akan membuat si pejabat meski telah mendapat renumerasi tidak akan menolak apabila ada masyarakat yang menawarkan sejumlah uang sebagai jalan untuk memuluskan kepentingannya.
Administrasi Polri saat ini, dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan setiap kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan (rules driven). Dimana prosedur yang dilakukan terasa berbelit-belit dalam memberikan pelayanan maupun penyelesaian permasalahan. Birokrasi bercirikan oleh tugas-tugas operasi yang sangat rutin yang dicapai lewat spesialisasi, aturan atau pengaturan secara formal, tugas-tugas yang dikelompokkan kedalam departemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit, dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando. Organisasi Polri saat ini menganut birokrasi weberian yang mempunyai corak otoriter dan feodalistik. Sistem yang digunakan dalam organisasi Polri bercorak sistem paternalistik, dimana seorang bawahan tidak berani melakukan tindakan apabila tidak mendapat perintah atau restu dari atasannya.
Sehingga atasannya selalu dianggap sebagai pusat kekuasaaan karena atasan dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan yang dilakukan bawahannya sehingga mau tidak mau bawahan akan melakukannya. Misalnya seorang Kapolda dapat menunjukkan kekuasaannya terhadap Kapolres agar menghentikan kasus yang dilakukan oleh teman atasan tersebut. Kapolres akan menurut perintah atasannya karena kalau tidak menurut dianggap sebagai pembangkang dan tidak loyal sehingga dapat diganti kapolres tersebut. Dengan adanya intervensi dalam pelaksanaan tugas dilapangan akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Konflik adalah suatu proses dimana pihak yang satu merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif terhadap sesuatu. Terhadap sesuatu dapat berupa penempatan jabatan seseorang, harga diri, dan kehormatan. Misalnya, jabatan dalam lingkup organisasi Kepolisian diisi oleh orang-orang yang punya uang, ada hubungan keluarga dan yang banyak setor kepada atasan. Dengan adanya itu akan menimbulkan konflik dalam organisasi terhadap orang yang seperti tersebut diatas dengan orang atau kelompok yang hanya menerima apa adanya.
Lingkungan dalam organisasi terdiri dari lembaga-lembaga yang berada diluar organisasi tetapi dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Dalam organisasi Kepolisian sering adanya suatu lembaga diluar organisasi Polri yang dapat mengintervensi kinerja kepolisian sehingga hasil terhadap kinerja kepolisian tidak efektif. Misalnya, dalam penerimaan untuk seleksi masuk menjadi anggota Polri atau seleksi masuk sekolah pengembangan dilingkungan Polri. Dengan adanya memo-memo dari instansi diluar organisasi Polri agar orang-orang tersebut masuk sekolah akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai, karena lingkungan luar organisasi Polri tidak tahu akan kinerja yang dilakukan oleh individu-individu yang dibantunya.
Menurut Suparlan (1999), pranata yang otoriter dan bercorak feodalistik berdasarkan kesetiaan kepada atasan, bukan kesetiaan pada kerja dan produktivitas serta KKN pada korupsi.
Dari uraian diatas, yang dilakukan oleh pengemban tugas pokok masih bersifat konvensional, sehingga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada polisi, karena :
1. Sistem manajemen Polri yang sentralistik, dengan sistem ini pelaksana di tingkat bawah akan selalu berpedoman pada perintah atasan, yang menyebabkan dalam melaksanakan tugas pokok akan selalu menunggu perintah dan perintah yang dilaksanakan bersifat loyalitas serta yang terpenting tidak ada kesalahan atau tegoran. Dengan loyalitas tersebut pengemban fungsi akan melakukan kegiatan sesuai dengan pengalamannya dan kekuasaannya untuk melakukan tugas pokonya sesuai dengan seleranya.
2. Dukungan anggaran berdasarkan perintah lisan dari pimpinan birokrasi melakukan pemotongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga daftar usulan proyek yang diusulkan kesatuan bawah hanya formalitas atau hanya diperwabku (pertanggungjawaban keuangan) saja.
3. Dalam melaksanakan tugas pokok, mengedepankan pada penegakan hukum, karena tolok ukur keberhasilan tidak jelas. Siapa yang dapat mengungkap kasus yang menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat dinilai berhasil. Ukuran keberhasilan hanya ditentukan dengan penurunan angka kejahatan (crime Total) dan pengungkapan (crime clereance).
4. Sistem pendeteksian terhadap gejala sosial dibuat berdasarkan laporan rutin yang diganti hari dan tanggalnya. Sehingga kebijakan yang dibuat bersifat rutinitas dan dikejutkan adanya gangguan kriminalitas diluar perkiraan atau dugaan.
5. Dalam pembinaan karir yang berkembang karena hubungan pribadi atau hubungan personal dengan sarat KKN, dan standar pembinaan karier bersifat formalitas.
Susunan organisasi yang baik, spesialisasinya dan pengaturan tata cara kerja yang jelas penting artinya, namun yang menentukan adalah manusianya. Manusia yang baik tidak akan berprestasi bila peraturan permainan (rules of the game) tidak jelas. Oleh karena keberhasilan organisasi juga ditentukan oleh yang menduduki atau yang mengawakinya.
Penutup
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui suatu birokrasi, perlu dibangun suatu kebudayaan organisasi Polri dengan melakukan pengidentifikasi faktor-faktor penyebab tidak dipercaya oleh masyarakat, membangun aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana serta strategi yang dibuat standarisasi yang jelas sehingga dapat mendukung sistem operasional dan memperkecil penyalahgunaan wewenang. Untuk sekarang ini diperlukan suatu pimpinan yang dapat dijadikan panutan dalam pelaksanaan tugas–tugas kepolisian.
Referensi:
Djamin, Awaloedin. 1995. Administrasi Kepolisian. Jakarta: CV.Mandira Buana.
Mabes Polri. 1999. Reformasi Menuju Polri Mandiri. Jakarta: Tidak diterbitkan.
___________. 2002. Organisasi dan Tata Cara Kerja Satuan-Satuan Organisasi. Jakarta: tidak diterbitkan.
Robbins, Stephen. 1996. Perilaku Organisasi jilid 2. Jakarta: PT. Prenhallindo.
Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
Sarundajang. 2003. Birokrasi dalam Otonomi Daerah. Jakarta: PT.Surya Multi Gafika.
Toha, Miftah.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Baca selengkapnya.....
Peran Media Massa Pro Gender dalam Kasus Prita vs RS. Omni
Pendahuluan
Era reformasi adalah era demokrasi. Demokrasi yang dijalankan dengan sebenarnya, dalam arti kedaulatan benar-benar ada di tangan rakyat, dimana rakyat bisa menyuarakan ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan maupun hal-hal lain yang dianggap itu tidak berpihak pada rakyat. Ketika Montesqueiu (1689 – 1755) meluncurkan teori Trias Politika yang membagi kekuasaan kedalam tiga pilar yaitu legislatif (penyusun undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (pengadilan) (Hardiman 2004: 111 – 112), ia melupakan satu kekuatan demokrasi yang saya anggap krusial sebagai penyuara aspirasi rakyat yaitu kekuatan pers/media massa.
Oleh Edmund Burke (1729 – 1797) dan Thomas Carlyle (1795 – 1881), kekuatan media massa dianggap sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy), karena media massa sangat menentukan dalam memelihara kehidupan demokrasi. Terlebih ketika ketiga pilar sebelumnya dianggap telah terjebak dalam konflik kepentingan sehingga kehilangan gairah dan komitmen untuk menjadi pembela kepentingan rakyat (Rais 2008: 116). Media massa menjadi ujung tombak pembongkar praktik kecurangan, kejahatan, serta keculasan atas manusia dan komunitas manusia yang berposisi marjinal.
Dan ketika rakyat kembali menjadi salah satu korban ketidakadilan birokrasi penyelenggara pelayanan publik, maka media massa kembali menjadi penyuara human interest ke hadapan publik. Peristiwa inilah yang terjadi pada sosok Prita Mulyasari (32 th), seorang ibu muda yang mendapat ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan kesehatan oleh RS.Omni International Tangerang (www.kompas.com).
Kronologis Kasus
Berawal dari keluhan mengenai pelayanan RS. Omni International, Prita Mulyasari seorang ibu dua anak masing-masing berusia 3 tahun dan 1,3 tahun menghadapi permasalahan hukum. Keluhan tersebut tidak disampaikan melalui forum pembaca surat kabar, namun ia menggunakan media e-mail kepada rekan-rekannya sebagai curatan hatinya. Dalam keluhannya, ia menceritakan pengalamannya berobat dan kecurigaannya terhadap keterangan dokter yang memeriksanya. Sebagai seorang pengguna jasa pelayanan kesehatan, menurut hematnya sudah sepantasnyalah ia mendapat keterangan yang bisa memenuhi hasratnya untuk sekedar mengetahui permasalahan kesehatan yang dideritanya, karena satu-satunya ahli yang bisa menerangkan masalah itu hanya dokter, bukan dukun, bukan hansip, bahkan bukan juga perawat. Karena keterangan dokter dirasakan kurang memuaskan, ia pun memberikan kritikan terhadap pelayanan tersebut kepada pihak rumah sakit, namun tidak ada tanggapan.
Berbekal dari pengalaman itulah maka Prita kemudian bercerita melalui e-mail ke sepuluh rekannya, yang kemudian di forward ulang sehingga menjadi obrolan hangat di milis. Hal inilah yang kemudian membuat berang pihak RS. Omni International sehingga mereka mengirimkan tanggapan/sanggahan dalam kolom surat pembaca Harian Kompas dan Media Indonesia, yang merasa nama baik dokter dan perusahaan (RS. Omni) tercemar dan akan memperkarakan masalah ini lewat jalur hukum. Berbekal dari masalah ini, pihak RS. Omni kemudian mengadukan hal ini ke kepolisian, dan sampailah masalah ini menjadi isu hangat berskala nasional karena ternyata muncul asumsi masyarakat akan adanya “permainan” antara jaksa dan pihak rumah sakit, keberadaan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), definisi pencemaran nama baik, dan pengekangan hak berpendapat dan berekspresi. Prita akhirnya sempat mendekam di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wanita Tangerang sejak 13 Mei, namun kemudian ditangguhkan penahanannya pada 4 Juni. Berdasar kasus itu, ia terancam hukuman penjara enam tahun dan denda maksimal Rp. 1 miliar karena dikenakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE serta pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, pasal 310 dan 311 KUHP (www.liputan6.com).
Prita, Korban Ketidakadilan Gender
Kasus yang dialami Prita tidak mungkin terungkap ke permukaan dan menjadi polemik masyarakat apabila media massa tidak mengangkatnya sebagai salah satu agenda setting untuk mengontrol fungsi pelayanan publik pada rumah sakit, meski itu dilakukan oleh pihak swasta sekalipun. Ungkapan kekecewaannya atas pelayanan kesehatan RS.Omni melalui e-mail dianggap memenuhi unsur pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE, yang akhirnya membawa Prita menjalani penahanan selama 21 hari untuk menunggu proses hukum selanjutnya.
RS.Omni sendiri menurut saya juga bersalah karena melanggar Rekomendasi Umum No.24 tentang Perempuan dan Kesehatan pada pasal 12 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan bahwa seharusnya penyedia pelayanan kesehatan publik dan swasta memenuhi kewajibannya untuk menghormati hak perempuan dalam mendapatkan akses perawatan kesehatan (Kelompok Kerja Convention Watch 2007: 121). Selain itu, kebebasan manusia untuk beropini/berpendapat telah pula diatur dalam Resolusi PBB. Pada “The right to freedom of opinion and expression, Commission on Human Rights Resolution: 2004/42” yang diterbitkan oleh komisi HAM PBB dan “Document Indonesia: Press freedom under threat” yang diterbitkan oleh Amnesti Internasional telah diatur hak manusia untuk mengemukakan pendapat (The right to freedom of opinion and expression).
Dalam dokumen tersebut, Komisi HAM PBB mengatakan “...menghormati hak setiap orang untuk beropini tanpa diintervensi, sebagaimana kebebasan berekspresi, meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi segala macam gagasan, dengan menghormati batasan-batasan, baik secara omongan, tulisan (writing) maupun dengan cetak (print) melalui setiap media yang dipilih...” (pasal 1). Kalau dalam kasus ini RS.Omni kemudian memperkarakan kasus ini sebagai pencemaran nama baik, hal ini jelas bertentangan dengan pendapat Komisi HAM PBB yang mengatakan “Dihadapan negara: .... d) Memastikan bahwa setiap orang menggunakan haknya tanpa diskriminasi, terutama dalam ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga, sistem hukum, pelayanan sosial dan pendidikan, terutama kaum wanita.” (pasal 4 ayat d).
Jadi ada dua hal yang dilanggar oleh oknum penegak hukum (jaksa) dan oknum operator pelayanan sosial (RS.Omni). Pertama, Prita mengalami diskriminasi ketika menjalani pemeriksaan kesehatan (pelayanan sosial). Kedua, Prita juga mengalami diskriminasi dalam hal sistem hukum. Sedang Amnesti Internasional pernah menganjurkan agar pemerintah Indonesia turut menjamin hak-hak seluruh warga negara dalam hal hak berekspresi dan beropini tanpa kekhawatiran diintimidasi atau ditangkap. Jika hak berekspresi benar-benar dijamin, pertanyaannya mengapa Prita bisa diajukan ke pengadilan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terjadi pelanggaran HAM pada kasus ini, selain hak untuk memperoleh informasi kesehatan terlanggar juga kebebasan konsumen untuk menyampaikan opini terbuka sama saja dengan memberangus kebebasan jurnalisme/pers (www.antaranews.com).
Bagi saya, kasus penahanan Prita ini merupakan representasi korban ketidakadilan gender di dunia medis. Dunia medis kini menjelma menjadi “mesin ekonomi” yang mendatangkan profit bagi pemilik modal tanpa memperhatikan mutu layanan pada konsumennya. Prita yang mustinya mendapat informasi lengkap mengenai sakit yang dideritanya justru mendapat informasi yang tidak memuaskan, sehingga ia harus mengadu ke sahabat-sahabatnya lewat e-mail karena keluhannya pada pihak rumah sakit tidak digubris. Dari keluhannya itu, Prita malah dijadikan tersangka dan ditahan. Dia harus dipisahkan dari anak-anaknya dan harus dihilangkan naluri keibuannya.
Kisah perjuangan Prita dalam mencari keadilan dijadikan media massa sebagai isu hangat berskala nasional. Hal ini merupakan wujud keberpihakan media massa terhadap sensitivitas gender. Prita akhirnya memperoleh empati dari seluruh pelosok negeri melalui dukungan lewat dunia maya (blog, facebook, twitter, friendster), tokoh politik, pemerhati HAM, sampai partai politik yang saat itu tengah berkampanye. Sehingga berkaitan dengan kasus ini, RS.Omni dipanggil Komnas HAM untuk mengklarifikasi duduk perkara kasus pencemaran nama baik ini (www.republika.co.id). Ini saya anggap sebagai perjuangan multidimensi yang memiliki perspektif keadilan gender. Sebuah kisah perjuangan seorang perempuan juga seorang ibu untuk bebas dari jerat hukum yang antilogika (yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan, hanya memperhatikan legitimasi belaka), agar dapat menjadi pengasuh bagi anak-anaknya, sebuah perjuangan perempuan untuk memiliki hak kritis atas kasus ketidakadilan yang menimpanya.
Adanya media massa yang perspektif gender ini mempunyai peran sebagai piranti untuk menguasai kesadaran (consciousness) masyarakat (Olong 2006: 262). Piranti untuk merubah stereotip gender terhadap perempuan. Stereotip gender merupakan salah satu akibat ketidakadilan dalam memahami perspektif gender itu sendiri, sehingga apa yang kita sebut kodrat wanita ternyata hampir seluruhnya merupakan salah satu konstruksi sosial, bahkan malah dianggap sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan. Stereotip yang diterima oleh Prita adalah munculnya dominasi hukum dengan memanfaatkan kelemahannya sebagai perempuan. Pelaksana hukum itu sendiri saya nilai tidak melihat Prita dalam kesetaraan gender, dimana aparat penegak hukum lebih condong memperhatikan legitimasi hukum dibanding aspek kemanusiaan Prita sebagai seorang perempuan yang juga seorang ibu yang tengah mengasuh anak-anaknya.
Oleh sebab itu, adanya media massa yang berperspektif gender pada akhirnya memiliki karakteristik sosial sebagai dimensi keadilan gender bagi perempuan sebagai mindstream (pengarusutamaan) pemberitaan guna mengkontruksi suatu pengungkapan fakta ketidakadilan gender, media massa juga membantu menguatkan posisi multisosial perempuan untuk bisa dihargai martabatnya oleh komponen masyarakat yang lain, dan media massa juga mendukung konsep praksis pemihakan ketermarjinalan perempuan.
Kesimpulan
Kasus Prita ini seolah menyadarkan kita bahwa penegakan hukum tidak selamanya memandang kesetaraan gender pada pelaksanaannya. Aparat hukum kita masih terpaku pada legitimasi hukum itu sendiri ketimbang nilai-nilai keadilan gender dari kasus per kasusnya. Prita menjadi korban ketidakadilan gender, sampai kemudian media massa menggunakan fungsinya untuk melakukan kontrol sosial, dimana media massa mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat melalui pemberitaan aktif (Abdulkarim 2008: 74), sehingga kasus Prita menjadi pelajaran berharga dalam merubah mindstream gender rakyat Indonesia agar lebih memperhatikan hak-hak asasi perempuan tanpa mengurangi legitimasi hukum itu sendiri.
DAFTAR ACUAN
Buku:
Abdulkarim, Aim. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Hardiman, F.Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Kelompok Kerja Convention Watch. 2007. Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Olong, Hatib Abdul Kadir. 2006. Tato. Yogyakarta: LKis.
Rais, Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!. Yogyakarta: PPSK Press.
Internet:
“Inilah Curhat yang Membawa Prita ke Penjara”, http://www.kompas.com (3 Juni 2009).
“Jaksa: Prita Langgar HAM”, http://www.liputan6.com (18 Juni 2009).
“Direktur LAPK: Kasus Prita Membunuh Sikap Kritis”, http://www.antaranews.com (4 Juni 2009).
“Komnas HAM Akan Panggil RS.Omni”, http://www.republika.co.id (4 Juni 2009). Baca selengkapnya.....
DUGAAN DISKRIMINASI TERHADAP TIONGHOA KORBAN GEMPA SUMBAR
Pendahuluan
Mungkin belum hilang dari ingatan kita, sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009 lalu. Sebuah gempa berkekuatan 7,9 SR telah meluluhlantakkan kota Padang dan sekitarnya. Sekitar 550-an korban tewas, 3.300-an korban luka-luka baik berat maupun ringan, dan puluhan ribu rumah rusak akibat gempa tersebut (www.deplu.go.id). Sontak dunia pun berpaling ke Padang, puluhan negara mengirimkan bantuan baik dalam bentuk bahan makanan, obat-obatan, maupun tenaga kesehatan. Bantuan datang juga dari dalam negeri, aksi sosial digalang demi mendapatkan dana untuk korban gempa, tujuannya untuk membantu para korban agar lepas dari traumatik gempa dan memastikan jumlah korban yang bisa dievakuasi.
Namun dari serangkaian peristiwa heroik tersebut, muncul isu-isu sensitif seputar perlakuan diskriminasi terhadap masyarakat etnis Tionghoa di sebuah wilayah pecinan di pusat kota Padang. Sebuah pesan singkat yang beredar dari HP ke HP, misalnya, berbunyi: “Tell the world, Stop the donation to West Sumatra!!! Primordialism and racism is happening in there, Chinese people didn’t allowed to have food and was forced to buy the food aid. Family of mine was at there!!! Please sent out this massage to the world so they know the true!!!”. Benar tidaknya isu itu dijawab oleh Sutan Zaili Asril, direktur Padang Ekspres, anak perusahaan Jawa Pos di Padang bahwa sepanjang pengamatannya memang selama empat hari setelah terjadi gempa, proses evakuasi terhadap korban bencana di wilayah pecinan memang dinilai lambat. Padahal, buruknya manajemen dan ketidakberdayaan petugaslah yang sebenarnya terjadi (Jawa Pos 5 Oktober 2009).
Tionghoa Labelling
Kenapa hanya masyarakat Tionghoa yang selalu mendapat intimidasi dan teror? Ini tak lepas dari stereotip yang diterima sejak jaman dulu dimana sebagai kelompok, orang Tionghoa itu dianggap memiliki sifat negatif. Orang Tionghoa suka berkelompok-kelompok, mereka menjauhkan diri dari pergaulan sosial, dan lebih suka tinggal di kawasan sendiri (Coppel 1994: 26). Sikap ekslusif ini yang melahirkan adanya prasangka, dimana sesuai pendapat dari Allport (1954) mengenai proses terjadinya prasangka: “an effective or hostile attitude toward a person who belongs to group, simply because he belongs to that group, and is therefore presumed to have the objectionable qualities ascribed to the group” (Poerwanto 2005: 10). Pencerminan prasangka ini muncul dalam bentuk stereotip. Artinya antara prasangka dan stereotip mewakili pengertian yang sama.
Keberadaan etnis Tionghoa yang dipandang sebagai minoritas oleh pribumi diperparah lagi dengan keleluasaan mereka untuk berperan dalam bidang perekonomian, terutama pada era Orde Baru. Pemerintah era Orde Baru menjadikan etnis Tionghoa sebagai pebisnis untuk memperlancar kekuasaan mereka, tindakan tersebut membuat etnis Tionghoa seperti mendapat angin surga fasilitas pemerintahan maupun perlindungan ekonomi dan hukum (Kleden dalam Sa'dun 1999: 155). Konglomerat-konglomerat baru pun bermunculan, bahkan yang berbisnis ilegal pun seakan tidak nampak didepan mata aparat penegak hukum, karena rupanya mereka turut memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi lembaga peradilan (polisi, kejaksaan dan pengadilan). Kondisi ini kian memberi kesimpulan pada masyarakat Indonesia, bahwa etnis Tionghoa mendapat kekayaannya dari hasil korupsi dan pemanipulasian para pejabat yang sengaja mereka ciptakan untuk mengeruk sebesar-besarnya kekayaan alam Indonesia. Pemerintah pun turut membiarkan kondisi ini tetap berlangsung, sehingga dalam setiap konflik yang terjadi, orang-orang etnis Tionghoa selalu menjadi kambing hitamnya (sekaligus korbannya)(Suparlan 2004: 256).
Meskipun sudah memasuki era reformasi, dimana sekarang kebudayaan Tionghoa sudah diakui sebagai bagian dari khazanah budaya Indonesia, namun bayang-bayang akan perlakuan diskriminatif pribumi terhadap etnis Tionghoa masih membayang. Dalam setiap konflik sosial yang terjadi di masyarakat, etnis Tionghoa selalu merasa ketakutan, keamanan pribadi mereka otomatis terancam dengan situasi seperti ini. Karena tidak dapat dipungkiri, setiap konflik sosial yang terjadi akan selalu mengarah pada sentimen anti-Tionghoa.
Penutup
Kekuatiran masyarakat etnis Tionghoa korban gempa di Padang akan isu SMS tersebut tentu tidak akan terjadi apabila pemerintah sejak dulu memperlakukan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pertarungan politik yang selalu berujung pada konflik sosial berujung pada sentimen anti-Tionghoa dikarenakan stereotip yang sudah melembaga. Untuk itu perlu stabilitas ekonomi yang kuat, merata pada setiap strata kehidupan masyarakat baik pribumi maupun Tionghoa yang tentunya akan berdampak pada terjaminnya keamanan diri pribadi dari imbas konflik sosial yang terjadi di masyarakat akibat permainan politik sebagian elit yang tidak suka Indonesia dalam keadaan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Coppel,Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Poerwanto, Hari. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu, 2005.
Kleden, Ignas. Stratifikasi Etnis dan Diskriminasi. Dalam Sa’dun M., Moch. (ed.). Pri-Non Pri: Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: PT.Pustaka CIDESINDO, 1999.
Suparlan, Parsudi. Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: YPKIK, 2004.
Internet:
Deplu RI, “Press Release Pusat Komunikasi Publik untuk Gempa Padang”, http://www.deplu.go.id (4 Oktober 2009).
Surat Kabar:
“SMS Berisi Isu Diskriminasi dari Kampung Pecinan”, Jawa Pos 5 Oktober 2009. Baca selengkapnya.....
POLMAS DAN MASALAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA
Pendahuluan
Reformasi Polri telah memasuki tahun kesepuluh. Sejak pencanangan Reformasi Menuju Polri Profesional pada Hari Bhayangkara Ke-53 pada 1 Juli 1999 silam, institusi Polri bertekad melakukan perubahan mendasar menuju Polri yang profesional melalui aspek struktural, instrumental, dan kultural. Masa eforia pemisahan Polri dari ABRI terjadi pada tahun 2000, ketika terbit Ketetapan MPR Nomor VI dan No VII Tahun 2000. Dua tahun kemudian, terbitlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Setelah itu pada tahun 2005, keluar Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 mengenai Strategi Model Perpolisian Indonesia yang disebut Polmas. Tahun 2006, muncul Komisi Kepolisian Nasional. Namun, tahun berganti tahun. harapan masyarakat akan sosok Polri yang ramah, melindungi, dan melayani belum juga terwujud. Keluhan terhadap Polri masih banyak, mulai dari penyimpangan internal, korupsi, penggelapan, dan masih banyak pelanggaran lainnya (Suwarni 2009: 3). Ini menandakan belum adanya perubahan sikap dan perilaku Polri dalam melayani sebagaimana didambakan masyarakat.
Dalam sepuluh tahun reformasi, di bidang struktural, Polri sudah melakukan reorganisasi Polri, mulai dari tingkat markas besar hingga tingkat satuan kewilayahan, seiring perkembangan otonomi daerah dan tuntutan tugas sebagaimana diamanatkan UU No 2 Tahun 2002. Di bidang instrumental, Polri melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian. Polri juga menggelorakan falsafah dan penerapan strategi Community Policing atau Perpolisian Masyarakat. Istilah Perpolisian Masyarakat yang merujuk pada Skep Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 ini lebih menunjukkan pada “lembaga” atau “pranata”, namun dalam hal dimaksudkan sebagai “gaya” atau “aktivitas”-nya lebih pantas kalau digunakan istilah “Pemolisian Masyarakat” atau “Pemolisian Komunitas” (Mardjono 2006: 1). Strategi pemolisian masyarakat ini banyak dianut berbagai kepolisian di banyak negara dan hasilnya jauh lebih efektif. Dalam hal konsep Polmas sebagai democratic policing, kepala satuan dari kepala polres sampai kepala polda harus kulonuwun, berdialog dengan kepala daerah setempat, harus bertanya kepada masyarakat dalam soal pengamanan.
Sekarang bukan zamannya lagi Polri memiliki agenda tersendiri dalam pengamanan masyarakat. Polri bukanlah satu-satunya alat negara yang bertanggungjawab atas pemeliharaan ketertiban, ada banyak pihak-pihak yang terlibat yang memiliki peranan dan tanggungjawab serta kekuasaan yang berbeda pula. Ketertiban pada akhirnya sudah bukan menjadi isu milik Polri saja, walaupun dalam UU No.2 Tahun 2002 diatur bahwa lembaga Polri sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketertiban berkaitan dengan konsep keselamatan komunitas masyarakat, dengan kata lain ketertiban adalah konsep yang dipakai di “lapangan” (Osse 2006: 56). Meskipun setiap orang memiliki hak untuk merasa aman (tidak diganggu oleh bahaya atau rasa takut; selamat, terlindungi), namun itu sangat sulit untuk dijamin oleh kepolisian sekalipun, mengingat banyaknya faktor yang terlibat dalam memberikan keamanan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari internal polisi maupun eksternal.
Faktor internal polisi bisa berupa minimnya anggaran untuk pemeliharaan ketertiban masyarakat secara keseluruhan, kuantitas personel polisi yang belum sebanding dengan pertumbuhan masyarakat, sistem gaji yang belum memadai anggota polisi sehingga berpengaruh pada motivasi kerja, maupun berbagai penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi. Sedangkan faktor eksternal antara lain ketidakpedulian masyarakat untuk menjaga keamanan diri, pihak-pihak luar yang ingin ikut dalam ketertiban masyarakat namun mengacuhkan hukum, dan ketidakpatuhan masyarakat akan hukum.
Karena berbagai faktor tersebut, maka peran polisi dalam menjalankan fungsi menjaga ketertiban masyarakat akhirnya menempatkan dirinya sebatas penjaga status-quo (Rahardjo 2007: 31). Dalam artian, polisi tidak memiliki pilihan lain selain menerima laporan dan menyikapi laporan dengan tindakan atau prosedur yang telah ditetapkan. Kalau laporan tersebut sudah ditindaklanjuti, maka selesailah sudah pelayanan polisi terhadap masyarakat. Padahal esensi dari menjaga ketertiban adalah bagaimana polisi tersebut dapat mencegah kejahatan agar ekses yang telah ditimbulkan akibat proses kejahatan itu tidak terjadi pada masyarakat yang belum mengalaminya.
Dengan demikian paradigma baru Polri membawa implikasi bagi manajemen dan struktur organisasi, dimana harus menyelaraskan diri antara peran sebagai “penegak hukum” (law enforcement) dan “pencegahan dan pemecahan masalah sosial” (prevention and solution of social problem) untuk meningkatkan keamanan dalam masyarakat (Reksodiputro 2006: 7). Dan pada akhirnya, Polri kemudian melanjutkan upayanya untuk merubah corak kepolisian yang otoriter, menjadi pemberdayaan (empowering) masyarakat dengan keyakinan bahwa melalui kerjasama polisi dan masyarakat dapat dicapai “quality of life” dari masyarakat. Peranan petugas Polmas sama dengan peranan seorang ahli sosial, sebagai fasilitator dan katalis dari kegiatan pemecahan masalah. Melalui edukasi diri dan edukasi warga, petugas berperan sebagai expert dan pendidik peran tanpa memaksakan peran tersebut. Dengan korabolasi ini, diharapkan dapat memecahkan permasalahan kejahatan, rasa tidak aman, dan kerusuhan (Djamin dalam Suparlan 2004: 92).
Pemolisian Orientasi Pada Komunitas
Polmas merupakan perwujudan pemolisian sipil untuk menciptakan dan menjaga kamtibmas. Ada tiga hal yang menjadi konsepsi pemolisian pada masyarakat. Pertama, polisi bersama-sama dengan masyarakat mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. Analoginya, posisi polisi dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan adalah setara, yakni polisi bersama-sama dengan warga dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kedua, polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas. Polisi memposisikan diri di bawah masyarakat, yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman masyarakat yang dilayaninya. Ketiga, polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention). Ini mengindikasikan bahwa posisi polisi di atas, yaitu polisi dapat bertindak sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya oleh warga masyarakat dan perilakunya dapat dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya. Polisi sebagai petugas dalam Perpolisian Komuniti mengidentifikasikan warga yang taat dan patuh hukum dan diajak tidak hanya untuk mengamankan dirinya tetapi juga warga komunitinya dan polisi berupaya membentuk jejaring (network) (Muradi 2009: 297).
Konsep Polmas dalam penyelenggaraannya, disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia serta wilayah operasional Polmas. Dalam hal ini, polisi dan masyarakat bekerja sama sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala prioritas dan memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, seperti tindak kejahatan, narkoba, ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban sosial dan ketidaktertiban fisik, dan persoalan masyarakat. Namun demikian, wilayah operasionalisasi Polmas adalah lingkup wilayah yang kecil (Kelurahan atau RW) dengan tetap menitik beratkan kepada orientasi pada masyarakat yang dilayaninya (polisi cocok dengan masyarakat), sehingga polisi diharapkan mampu untuk menganalisis dan mengantisipasi segala bentuk ganguan kamtibmas baik yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi serta mampu membangkitkan peran serta masyarakat dalam menciptakan Kamtibmas.
Selama ini, ada beberapa perbedaan persepsi tiap-tiap Kewilayahan (Polda) dalam memandang Polmas sebagai konsep dan strategi. Berbagai program pendekatan dengan masyarakat seperti Polantas Goes To Campus, SIM Corner, Samsat Drive Thru, dan lain-lain sering dianggap sebagai impelementasi dari Polmas. Padahal itu masih sebatas pada program pemolisian masyarakat sebagai upaya pencerahan pada masyarakat terhadap masalah-masalah kepolisian. Sedangkan konsep Polmas sudah lebih fokus pada upaya pencerahan masalah kepolisian terhadap komunitas-komunitas masyarakat, semisal komunitas masyarakat petani, nelayan, pesantren, kampus, dan lain-lain yang cara dan metodenya akan berbeda-beda karena problem yang dihadapi setiap komunitas juga tidak sama.
Ketidaktepatan pemahaman konsep Polmas sekarang ini berdampak negatif pada tataran skala sosial makro, dimana masyarakat menjadi sangat bergantung pada polisi. Kalau dalam FKPM tidak ada polisi yang mengawasi, maka masyarakat yang ditunjuk sebagai staf FKPM pun menghilang. Atau kalau tidak dicek patroli malam Samapta, maka petugas ronda malam tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Karena itu Polri harus merumuskan Polmas secara tepat dengan bagaimana upayanya dalam menciptakan jaringan-jaringan yang luas di masyarakat, bukan sekedar menyadarkan masyarakat untuk memiliki daya cegah dan daya tangkal terhadap gangguan kamtibmas dan menjadi partner dari polisi saja, tetapi juga kesadaran terhadap wawasan kamtibmas dalam melakukan aktivitasnya. Polmas agar dirancang pola kolektifitasnya dalam memperluas jaringan kinerja dan sinergi kepolisian pada komunitas-komunitas masyarakat. Misalnya, konsep tata ruang perkotaan atau rencana tata kota bisa dimasukkan program Polmas. Atau mengembalikan kembali desa sebagai basis deteksi dini, mungkin akan lebih efektif dan efisien karena Polmas sejak dini ada di dalamnya dan setiap warga masyarakat adalah merupakan mitra dan informan polisi (Tabah 2005: 18 – 19).
Pemolisian Dalam Masyarakat Multikultural
Polmas (community policing) diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2005) gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian) akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk (plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan, memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004: 95).
Pembangunan pemolisian komuniti, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah. Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian kedalam lingkungan adat masyarakat setempat.
Hukum Adat di Indonesia
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “adatrecht”. Snouck Hurgronje merupakan orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu. Selanjutnya van Vallenhoven mengutip dan memakai istilah ini sebagai istilah teknis-juridis (Muhammad 2003: 1). Menurut van Vallenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat. Di masyarakat, hukum adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar, 2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranata-pranata di Jawa. 3. Uraian hukum secara tertulis yang merupakan suatu hasil penelitian (Wignjodipoero 1989: 13 – 22). Jadi hukum adat merupakan idiom dari undang-undang agama, lembaga-rakyat, kebiasaan, lembaga asli, dan sebagainya. Kedudukan hukum adat itu sendiri merupakan sinonim dari hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif (unstatutary law).
Terciptanya hukum adat ini tidak bisa dipisahkan dari munculnya masyarakat majemuk di Indonesia. Dalam makalahnya, Mardjono mengutip pendapat Parsudi (2004: 183) bahwa masyarakat majemuk adalah: “…..sebuah masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing” (Reksodiputro 2009: 3). Masyarakat tradisional ini membuat suatu aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya sendiri, mereka merembukkan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan disertai sanksi yang diterimanya apabila mereka melakukan hal tersebut. Aturan-aturan tersebut dirangkum sebagai hukum adat. Hukum adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan mengakomodasi kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam sehingga tetap dikenal dan menjadi elemen penting dalam perumusan hukum nasional yang adaptif dan mempunyai daya akseptabilitas yang tinggi untuk masyarakat. Hukum adat kebanyakan menyentuh permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat adat tersebut, seperti hal-hal yang berkaitan dengan kaidah kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.
Masalah Masyarakat Adat di Indonesia
Pada masa sekarang ini, hukum adat apabila dibenturkan dengan permasalahan sosial menyimpan beberapa permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: Pertama, konsep hukum adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum adat yang merupakan sumber hukum nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa adat tidak mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat, pemisahan horizontal tentang hukum tanah (Fauzi 2007). Dari berbagai terminologi tersebut, aksentuasinya jelas-jelas mendudukan kelompok masyarakat adat sebagai warga negara kelas dua. Selaku kelompok yang dianggap rentan, mereka yang seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan secara khusus dari negara karena faktor keminoritasannya, ternyata berbanding terbalik. Negara mengabaikan keberadaan masyarakat adat, hal tersebut kentara teraktualisasi dalam ragam peraturan dan kebijakan yang mengharamkan eksistensi dan hak-hak mereka.
Kehancuran sistem adaptasi tradisional merupakan akibat dari desain dan strategi pembangunan rezim Orba yang meminggirkan masyarakat lokal yang memiliki kearifan budaya yang handal untuk menjamin mereka bisa hidup sejahtera dengan lingkungan alam dan organisasi komunitasnya. Ini terlihat dengan implementasi UU No. 5 Tahun 1979, dimana Orba memaksakan pemerintahan desa ala Jawa ke dalam komunitas adat yang secara tradisional telah memiliki lembaga peme-rintahan asli yang otonom (self governing community). Akibatnya, pemerintahan adat merosot statusnya sebagai institusi informal yang mengurusi masalah-masalah yang bersifat ritual keagamaan (Bramantyo & Kurniawan 2003). Banyak masalah sosial yang tidak lagi bisa dipecahkan di dalam komunitas dengan menggunakan institusi pemerintahan desa karena tidak memiliki kapasitas dan legitimasi, sedangkan lembaga adat yang ada tidak dapat berfungi dengan baik karena hilangnya atau berkurangnya otoritas yang dimilikinya.
Banyak kasus yang menimpa masyarakat adat (terutama masalah tanah) yang dimenangkan oleh masyarakat non-adat, hal ini terjadi karena tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak adat dalam bentuk undang-undang nasional, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan ini mengundang pertanyaan, bagaimana mungkin diakui oleh pemerintah kalau hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat? Hal ini senada dengan temuan penelitian Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN) bahwa: 1) Terjadi marjinalisasi terhadap masyarakat adat; 2) Sifat mendua peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat adat; dan 3) Hilangnya otonomi masyarakat adat (Reksodiputro 2009: 2).
Polmas dan Masyarakat Adat
Pembentukan Community Policing telah menjadi cara baru polisi dalam merangkul peran masyarakat dalam menjalankan misinya, yang hendaknya sejalan dengan upaya-upaya perlindungan dan perdamaian. Dalam konteks pelayan masyarakat, polisi juga harus memahami guyup adat yang menjadi komunitas terakhir pemertahanan budaya suatu daerah. Beban adat yang berat dan besarnya potensi gesekan antara komunitas adat hendaknya juga dipelajari dan dipahami setiap polisi sebagai kasus letupan yang potensial muncul di daerah tersebut. Dalam menengahi kasus yang berkaitan dengan adat, polisi hendaknya melakukan berbagai pertimbangan terhadap tingkat dan bobot kriminalitas yang ada. Jangan semua tindakan adat yang dikategorikan melanggar secara hukum positif ditangani dengan pendekatan hukum positif. Polisi hendaknya mengedepankan langkah-langkah persuasif dalam menengahi kasus adat. Walaupun polisi sebagai pengawal hukum positif, namun dalam upaya menjaga stabilitas wilayah dan meredam konflik adat di suatu daerah, langkah penyelesaian masalah secara musyawarah adat layak untuk dikedepankan.
Masyarakat adat di Indonesia memang memiliki aturan komunitas tersendiri. Aturan ini yang mengikat terjadinya kesamaan cara pandang terhadap beban adat, termasuk hak dan kewajibannya. Warga adat wajib menghormati aturan adat yang berlaku di wilayahnya. Hak tersebut jelas mendapat perlindungan adat. Sanksi atas aturan adat ini juga diputuskan bersama, sehingga dianggap sebagai aturan. Namun, ketika aturan adat ini bersinggungan dengan hukum positif, polisilah yang harus bijaksana. Kadar kesalahan yang terjadi haruslah dipertimbangkan terlebih dahulu. Polisi harus menjadi penegak hukum yang juga bisa menjaga bertahannya komunitas adat. Dengan demikian terjaganya hubungan harmonis antar masyarakat adat merupakan kekuatan dasar untuk menjaga keamanan dan ketertiban di daerah yang hubungan adat masih dominan.
Di pihak lain, harus ada saling pengertian antara masyarakat adat dan polisi. Masyarakat adat hendaknya tidak melabrak hukum positif yang ada. Intinya harus ada saling pengertian dalam menengahi konflik adat. Untuk menuju tahapan ini, langkah persuasif akan menjadi jalan pembuka. Dalam kasus adat yang tingkat pertentangannya dengan hukum positif bersifat relatif, polisi haruslah menjadi pendorong kedamaian. Terkait dengan keterlibatan polisi dalam kasus adat, haruslah pandai-pandai dalam menangani suatu kasus. Artinya, polisi harus bisa membedakan antara kasus adat dengan tindak kriminal biasa. Bila dalam suatu kasus terjadi tindak kriminal, polisi harus ikut serta menyelesaikannya. Bila murni kasus adat, sebaiknya harus diselesaikan melalui musyawarah pemangku adat setempat terlebih dahulu. Jadi di sinilah pentingnya memilah kasus yang muncul agar tidak menjadi melebar.
Petugas Polmas di suatu daerah adat hendaknya memperdalam masalah kearifan lokal (local wisdom). Pemahaman akan kultur yang terjadi dalam lingkungan masyarakat adat, akan lebih memudahkan di dalam mengatasi gesekan yang terjadi. Kurangnya pemahaman tentang kearifan lokal, pada akhirnya sering melahirkan keputusan yang salah. Terkadang begitu melihat orang pakai pakaian adat, sudah dikatakan kasus adat. Padahal kalau ditelaah lebih jauh kasus tersebut merupakan kasus pribadi. Atau karena akibat pemahamannya yang salah kemudian dilarikan pada kasus adat.
Begitu pula dalam kasus adat, mereka yang dipercaya tergabung dalam forum Community Policing juga jangan terburu-buru membawanya ke dalam hukum positif. Selesaikan secara arif, tanpa ada yang merasa dikorbankan satu dengan yang lainnya. Begitu pula kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menyikapi sebuah masalah. Jangan dengan dalih melaksanakan hukum adat, maka dengan seenaknya menerapkan sanksi kepada masyarakat.
Kehadiran Community Policing memang sangat diharapkan masyarakat. Paling tidak kehadirannya bisa memberikan jaminan hukum kepada masyarakat yang sebelumnya sangat haus dengan kepastian hukum. Community Policing juga diharapkan bisa sebagai pengawal pertama penegakan hukum di suatu wilayah adat. Akan sangat tercela apabila kehadiran polisi masyarakat ini justru mewakili kepentingan golongan tertentu. Untuk itu menurut saya ada tiga hal yang perlu dilakukan Polri dalam mengayomi masyarakat. Pertama, polisi harus profesional dan bersikap independen alias tidak berpihak dalam menuntaskan tiap kasus. Kedua, penegakan hukum adalah segala-galanya dan konsisten mengemban amanat UU, dan ketiga Polri harus belajar hukum adat setempat.
Dalam mengembangkan konsep Polmas di daerah, Pimpinan Polri haruslah memahami sistem adat di tiap daerah yang memiliki penerapan adat dan agama yang cukup dominan (receptio in complexu). Dalam hukum adat, agama dan adat menyatu bak uang logam bermata dua (Wirawan 2008). Artinya, polisi wajib atau paling tidak harus berusaha memahami agama dan adat di wilayah tempat dia bertugas. Khusus menghadapi berbagai kasus di masyarakat yang bersentuhan dengan adat, setiap Pimpinan Polri di daerah (Kapolda/Kapolres) hendaknya mencari konsultan adecharge (konsultan yang meringankan) yang independen. Kebijakan yang diambil harus benar-benar mengedepankan keadilan, dan konsultan yang dipakai tidak punya misi lain di balik perkara. Polda juga punya konsep community policing yang disusun untuk menghadapi kehidupan adat, upaya tersebut untuk menyatukan polisi dengan kehidupan masyarakat. Ada banyak cara untuk mensinergikan masyarakat dan polisi salah satu cara adalah pembentukan FKPM, BKPM, atau lembaga kepolisian masyarakat lain yang disesuaikan dengan daerah setempat. Lembaga-lembaga ini diharapkan menjadi mitra Polri dalam menengahi setiap permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, terutama konflik massa yang dipicu oleh kasus adat.
Jadi kalau ada pertanyaan kenapa Polri sering dinilai kurang arif menangani kasus adat, ini dikarenakan ada yang salah dalam memahami kebijakan Pimpinan Polri dalam merealisasikan kesepakatan membangun sinergi polisi-masyarakat. Ada kesan pembentukan lembaga Polmas hanya sekedar simbol belaka atau menjadi alat legitimasi polisi untuk dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus selalu melibatkan masyarakat dalam pencegahan pelanggaran hukum. Setiap aspirasi warga, termasuk mencari solusi terbaik, bahkan sampai pada tingkat pengambilan keputusan hukum tentunya sangat dihargai. Dengan demikian kolaborasi antara Polri dan masyarakat adat akan semakin memperkuat proses pemolisian pada masyarakat sehingga tercipta keamanan dan ketertiban yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
DAFTAR ACUAN
Buku/Makalah:
Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
Djamin, Awaloedin. 2004. Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community Policing. Jakarta: YPKIK.
Muhammad, Bushar. 2003. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita.
Muradi. 2009. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Osse, Anneke. 2006. Memahami Kepolisian. Jakarta: Rinam Antartika.
Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT.Kompas-Gramedia.
Reksodiputro, Mardjono. 2006. Polmas Ditinjau Dari Aspek Yuridis dan Implementasi Penegakan Hukum. Makalah, tidak diterbitkan.
_____________________. 2009. Masalah-Masalah dalam Rekonseptualisasi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (Sekedar Catatan Untuk Diskusi). Makalah, tidak diterbitkan.
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi: Studi atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi. Bandung: Nusa Media.
Wignjodipoero, Soerojo. 1989. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung.
Majalah:
Tabah, Anton. 2005. Community Policing. Majalah Jagratara, 1 Juli, 18 – 19.
Internet:
Bramantyo & Nanang Indra Kurniawan. 2003. “Hukum Adat dan HAM”, http://www.ireyogya.org (23 November 2009).
Fauzi, M.Latif. 2007. “Hukum Adat dan Perubahan Sosial”. http://mlatiffauzi.wordpress.com (22 November 2009).
Wirawan, Ketut. 2008. “Teori Receptio in Complexu”. http://ketutwirawan.com (22 November 2009). Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)