Rabu, 26 Agustus 2009
AGUS CONDRO: “ANTARA SUAP DAN VICTIM OF CONSPIRACY?”
(ini merupakan tanggapan terhadap salah satu tulisan Prof.Indriyanto Seno Aji dalam bukunya "Korupsi dan Penegakan Hukum")
Pendahuluan
Label korupsi kini bukan semata-mata diperuntukkan bagi pejabat birokrasi, namun sudah disematkan pada semua instansi dan komponen masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pelayanan publik. Itulah sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya, sehingga dengan kita mendalilkan bahwa “korupsi itu biasa” karena terjadi hampir disetiap ruang dan lapisan masyarakat. Korupsi dapat terjadi apabila terdapat peluang dan keinginan pada waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari sisi mana saja: suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau seorang pejabat yang meminta uang pelicin. Orang yang menawarkan suap melakukannya karena ia menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap pejabat yang bersangkutan supaya pejabat itu mau mengabaikan peraturan, atau karena si penyuap yakin bahwa pejabat tersebut tidak akan memenuhi permintaannya tanpa meminta imbalan.
Membicarakan masalah suap, sosok Agus Condro tiba-tiba mencuat ketika mengaku ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima Rp. 500 juta pada 2002, sebagai imbalan atas terpilihnya Miranda S.Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Politisi asal Batang, Jawa Tengah, itu juga menyebut nama sejumlah rekan se-fraksinya ikut menikmati uang suap itu. Meskipun kemudian ia mengembalikan uang suap tersebut ke KPK, namun ia sudah dicap sebagai perusak nama partai, terlebih ketika itu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden RI masa kerja 2004-2009. Sebagai balasannya, kemudian posisi Agus Condro di DPR dari Fraksi PDIP kemudian dicopot. Agus dicopot karena dianggap telah membongkar sebuah kebobrokan partai, dan boleh jadi, sistem politik di Tanah Air (Kompas 2 September 2008). Oleh Prof. Indriyanto Seno Aji, kasus ini diangkat sebagai telaah apakah Agus Condro disini sebagai pelaku suap ataukah sebagai victim of conspiracy?.
Perkembangan Tindak Pidana Suap
Keberadaan pasal-pasal suap yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP ke dalam Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama ini hanya menjadi pasal “tidur” yang tidak memiliki makna. Atas dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dari keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multinormatif itu, mulai dari delik penyalahgunaan kewenangan, maupun delik penggelapan, hanya delik suap yang sangat sulit pembuktiannya.
Secara harfiah, kata suap (bribe) berasal dari istilah Perancis yaitu briberie, yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Kemudian, perkembangan selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Di dalam bahasa Indonesia sendiri, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi yang paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut (Kristianto 2009).
Sistem kekuasaan yang mengambil pola hirarki ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia (Sutherland 1979). Ketika para birokrat di Indonesia bekerja dengan sistem administrasi modern, upeti dianggap sebagai standar yang wajar sebagai alat tukar kekuasaan diantara mereka. Alat tukar ini bisa berwujud pertukaran antara jabatan resmi dan materi. Bahwa mereka yang memiliki kekuatan nominal akan mudahnya menguasai suatu jabatan penting, memiliki modal untuk membeli suatu perusahaan publik dan untuk membeli suara rakyat (venal office). Situasi ini menimbulkan kekeliruan persepsi di antara masyarakat Indonesia antara hadiah dan suap kala masyarakat berhadapan dengan birokrat (Nadler 2006). Hadiah apabila diberikan tidak menimbulkan ekspektasi antara pemberi dan penerima, sedangkan suap selalu disertai pembelokan terhadap suatu keputusan yang seharusnya diambil oleh pejabat yang bersangkutan. Oleh sebab masyarakat tidak mengerti perbedaan antara hadiah dan suap itulah, maka imbalan yang tidak resmi (suap/gratifikasi) merupakan suatu hal yang sah dan wajar-wajar saja karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu prosedur standar suatu administrasi. Oleh karena itu, hal yang wajar apabila masyarakat belum memahami bahwa suap, baik yang menerima maupun yang memberi, dikategorikan sebagai tindak korupsi. Dengan demikian, suap bisa dikategorikan sebagai asal muasal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini. Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap sudah terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pembuatan Undang-Undang (UU) di lembaga legislatif (DPR). Pada masyarakat yang kini kian materialistis, adagium “tidak ada yang gratisan” atau “selawe jaluk selamet” menjadi acuan. Akibatnya sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang karena jabatannya menjadi “diperjualbelikan” demi keuntungan pribadi.
Polemik Delik Suap
Penyuapan merupakan istilah yang dalam undang-undang disebut sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima oleh seorang pegawai negeri. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: (1) menerima hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di dalam KUHP, terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (pasal 209 dan 210), maupun penyuapan pasif (pasal 418, 419 dan 420) yang kemudian semuanya ditarik dalam pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi pasal 5, 6, 11 dan 12 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun 1971 (sekarang pasal 13 UU No.31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C UU No.20 Tahun 2001 tentang PTPK.
Menurut Seno Adji (2009), delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai bentuk warisan penjajah Belanda meski telah mengatur secara terperinci, dianggap sebagai delik “impoten” dalam kerangka pemberantasan korupsi. Selain sangat rentan tingkat kesulitan pembuktiannya, delik-delik ini sekadar kekuatan simbolik yang menghiasi sistem regulasi hukum pidana kita Seperti di dalam KUHP, dimana terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan 210) yang pada Perppu No. 24 Tahun 1960 pasal 1 sub a dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 209 mengenai penyuapan kepada pegawai negeri pada umumnya, dan pasal 210 mengenai penyuapan terhadap hakim dan penasihat agama dalam sidang pengadilan. Dalam pasal 209 ayat (1) tersebut, penyuapan pada seorang pegawai baru terjadi apabila pemberian atau menjanjikan sesuatu tersebut diterima oleh pegawai yang bersangkutan, sedangkan suap sudah terjadi walaupun pemberian atau kesanggupan memenuhi janji tersebut ditolak oleh pegawai yang bersangkutan maka tindakan tersebut baru merupakan percobaan untuk menyuap. Kemudian pada pasal 209 ayat (2) tidak disebutkan mengenai kesanggupan pegawai untuk memenuhi permintaan penyuap. Yang disebutkan adalah pemberian kepada pegawai yang bersangkutan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajibannya. Jadi pegawai yang menyatakan kesanggupan, tidak dikenai hukuman. Harusnya pegawai yang melakukan kesanggupan juga layak dihukum walaupun lebih ringan dari yang memberi suap (Prodjodikoro 2003: 219). Oleh sebab itu, untuk menjerat pelaku suap atau penerima suap agar dapat dimasukkan sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka makna suap pun diperluas bahwa delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap objek perbuatan suap. Si penerima suap harus membuktikan bahwa pemberian tersebut bukanlah suap, hadiah yang diberikan haruslah tidak ada kaitannya dengan jabatan yang disandangnya.
Lalu dalam rumusan gratifikasi sebagaimana penjelasan pasal 12B UU No.20 Tahun 2001 dan penjelasan pasal 12B ayat (1), bahwa tidak dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dengan cara menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi. Mengingat luasnya definisi ini, maka kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (2), dan pasal 12 huruf a, b, dan c UU No.21 Tahun 2001. Dalam hal ini menyangkut tuntutan pidana yang ditimpakannya dapat diatasi lewat pasal 63 ayat (1) KUHP mengenai perbarengan peraturan. Lebih lanjut Seno Adji mengatakan bahwa penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut, oleh karena itu aturan tentang delik suap tidak memberikan norma pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang bersifat sebagai subyek korupsi yang wajib dilindungi (Adji 2009: 499). Oleh sebab itu saya sependapat dengan Prof. Seno Adji bahwa pelaku dan penerima suap merupakan subyek korupsi yang sama-sama tidak ada perbedaan dalam perlakuan penyidikan tindak pidana korupsi.
Perlindungan Hukum Pelapor Suap
Ada dugaan bahwa status Agus Condro sebagai whistle blower bagi PDIP akan membuat ia berubah status menjadi korban tindak pidana suap. Secara definisi, whistle blower adalah seorang pegawai (employee) atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (Columbia Electronic Encyclopedia 2005). Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian saat ini (Rothschild & Miethe 1999: 15 – 16). Atas dasar dalil tersebut, Agus Condro berani meminta KPK untuk mengkategorikannya sebagai saksi dan pelapor suap, bukan pelaku suap. Menurut Seno Adji, perlindungan hukum tidak berlaku bagi saksi atau pelapor yang terlibat delik suap karena terdapat norma mengikat yang tidak dapat diintepretasikan lain dari maksud diaturnya substansi norma tersebut (Lex Certa). Untuk itu pada pasal 31 UU No.31 Tahun 1999, tidak diatur tentang pemberian perlindungan hukum terhadap saksi dan pelapor yang terlibat delik suap. Sedangkan KPK, sesuai pasal 15 huruf a UU No.30 Tahun 2002, wajib memberikan perlindungan saksi dan pelapor mengenai terjadinya tindak pidana korupsi (Adji 2009: 499).
Karena percobaan suap (poging) memang sudah dianggap sebagai delik selesai atau sebagai prasyarat suatu tindak pidana korupsi. Dalam kasus ini, apabila memang Agus Condro kemudian dilepaskan statusnya sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka KPK mengabaikan norma dan asas perlindungan hukum yang benar atau due process of legal protection, bahkan tidak akan terjadi suatu equal treatment of justice dalam rangka penegakan hukum (Adji 2009: 500). Dalam suatu perkara pidana mengesampingkan seseorang maupun perkaranya sebagai subyek tindak pidana dengan alasan demi kepentingan umum hanya dapat dibenarkan berdasarkan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai pasal 35 Huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, sedangkan KPK sama sekali tidak memiliki kewenangan demikian.
Menurut saya, saksi dan pelapor disini secara substansional merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi yang kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk menindaknya. Sedangkan apabila dia termasuk yang menerima suap, dan telah menjanjikan suatu kesanggupan untuk melakukan penyimpangan kewajiban pada jabatan yang sedang disandangnya tidak dikategorisasikan sebagai saksi. Dan meskipun dia kemudian mencium gelagat bahwa perbuatannya telah diketahui oleh penegak hukum dan kemudian dia berdalih melaporkan tindakan suap yang ditimpakan kepadanya, dengan begitu ia pun bukan termasuk sebagai pelapor tindak pidana suap karena pada awalnya ia sudah menjanjikan/memberi kesanggupan. Dalam pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 disebutkan, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Jadi jelaslah bahwa Agus Condro disini tidak serta merta dicabut statusnya sebagai tersangka kasus suap, namun dia bisa saja dikatakan sebagai saksi tergantung kesaksiannya di muka pengadilan atas kasus yang dialaminya.
Meskipun demikian, semangat Agus Condro untuk memberikan kesaksian mengenai kasus suap yang dideritanya harus diberikan perlakuan yang sepadan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dalam penyidikan, karena nasib para pelapor kasus korupsi di negeri ini ternyata kerap tidak lebih baik dari orang-orang yang mereka laporkan. Nasib para saksi pelapor korupsi (lazim disebut witness ataupun whistleblower) pada kasus-kasus sebelumnya juga tak begitu indah. Alih-alih disebut pahlawan, mereka malah mengalami kekerasan fisik hingga digugat balik atas dasar pencemaran nama baik, seperti contoh kasus Endin Wahyudin tahun 2001 yang melaporkan kasus suap hakim agung Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto, serta mantan hakim agung Yahya Harahap (Gatra 10 Oktober 2001). Oleh sebab itu, berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, maka saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 5 ayat (2) pun disebutkan bahwa hak sebagai saksi sebagaimana ayat (1) diberikan pula kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pasal 1 ayat (1) memuat tentang hak-hak saksi sebagai berikut:
1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan
3. memberikan keterangan tanpa tekanan
4. mendapat penerjemah
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. mendapat identitas baru
10. mendapatkan tempat kediaman baru
11. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. mendapat nasihat hukum; dan/atau
13. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Disamping perlindungan secara normatif, secara empiris pun masyarakat dan pemerintah wajib mengupayakan perlindungan terhadap para saksi dan whistleblowers. Antara lain dengan tidak mudah mengungkap identitas mereka dan keluarganya untuk tujuan-tujuan yang kurang penting mengingat perlindungan secara normatif dan legalis saja kurang cukup di negeri ini. UU ini bisa menjadi landasan hukum bagi para saksi dan korban kasus tindak pidana, bahwa mereka juga berhak atas perlindungan saksi. Perlindungan juga diberikan kepada keluarga saksi dan korban atas berbagai ancaman fisik serta psikis dari pihak tertentu terkait dengan pengaduannya, saksi diharapkan bisa menjadi lebih terbuka dan berani melaporkan adanya korupsi, sebaliknya, aparat penegak hukum diharapkan bisa memicu motivasi profesionalitasnya. Dengan demikian saya berpendapat, walaupun Agus Condro secara substansi merupakan subyek tindak pidana korupsi, namun ia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, karena tindakan yang ia lakukan menunjukkan itikad baik dalam memberantas korupsi.
Kesimpulan
Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu (1) menerima hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Untuk dapat mengatasi persoalan suap-menyuap yang kian hari semakin suram dan menggerus ketidakpercayaan publik terhadap para pejabat publik, harus dipahami bahwa transaksi suap dapat terjadi karena keterlibatan dua pihak, yaitu penyuap dan pejabat yang disuap. Penyuapan adalah transaksi yang bersifat timbal-balik atau resiprokal. Ini mirip seperti tari tango, yang hanya bisa dilakukan oleh dua orang dengan saling bekerjasama. It takes two for a tango, kata orang Inggris. Maka transaksi hanya bisa terjadi apabila kedua belah pihak setuju tentang besaran uangnya, keputusan yang hendak dibelokkan, dan bentuk transaksinya. Dengan demikian untuk memberantas korupsi dalam bentuk suap, hukuman harus diberikan setimpal kepada kedua belah pihak, penyuap maupun yang disuap.
Kaitannya dalam hal ini, Agus Condro barangkali seorang whistleblower karena ia termasuk menerima suap demi meluluskan Miranda S.Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI pada tahun 2004 silam. Dia pun barangkali juga tidak murni sebagai saksi pelapor. Partainya menyebut dia sebagai pengkhianat. Namun, terlepas dari status tersebut, keberanian Agus Condro patut diapresiasi oleh para legislator di negeri ini. Mungkin statusnya di mata hukum akan tetap sebagai tersangka karena secara hukum ia telah terbukti menerima uang uang tersebut, walaupun di kemudian hari dia mengembalikannya kepada KPK dengan disertai pernyataan bahwa bukan hanya dia yang telah disuap Miranda, tetapi rekan-rekan se-fraksinya juga menerima hal yang sama. Oleh sebab itu, pengakuan Agus Condro tersebut meskipun disanggah oleh PDIP dengan menyebutnya “berilusi” dan karena itu ia dianggap merusak citra partai, harus dianggap sebagai momentum KPK untuk menyelidiki kebenaran dan kedalaman kasus ini. KPK juga harus bertindak lebih cepat. Benar, pengakuan Agus belumlah cukup sebagai alat bukti hukum, tetapi tentu lebih dari cukup untuk segera memulai penyelidikan yang komprehensif. Kecepatan bertindak KPK diperlukan, untuk menghapus logika awam yang sangat liar itu bahwa KPK masih tebang pilih dalam menghunus pedang keadilannya. Untuk itu, demi mendapatkan keterangan secara terinci mengenai kasus ini karena yang dihadapi Agus Condro adalah sebuah partai besar (PDIP), maka kepadanya layak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun 2006, meskipun nantinya dalam persidangan ia tetap terbukti bersalah menerima suap.
DAFTAR ACUAN
Adji, Indriyanto Seno. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media.
Kristianto, Agustinus Edy. 2009. "Suap: Korupsi Tanpa Akhir". Harian Global 18 Februari 2009.
Nadler, Judy. 2006. When Does A Gift Become A Bribe? ed. by Jeffrey MacDonald. Diunduh dari www.csmonitor.com/2006/0125/p13s01-lire.html - 84k - pada tanggal 4 Mei 2009.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Rothschild, Joyce and Terance D. Miethe. 1999. “Whistle-Blower Disclosures and Management Retaliation: The Battle to Control Information". Work and Occupations: An International Sociological Journal, Vol. 26, No.1 (Feb): 15 - 16.
Sutherland, Heather. 1979. The Making of A Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priayi. Singapore: Asian Studies Association of Australia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ulasan yang menarik. Tinggal kita lihat saja kira-kira berani tidak KPK atau penegak hukum yang lain mengangkat kasus ini, mengingat "nama-nama besar" yang berada didalam peristiwa/ kasus ini.
Asal KPK bisa berlaku sebagai lembaga yang profesional, saya rasa masih bisa diteruskan kasusnya....tapi sebenarnya tanpa KPK pun kalau Polri dan Kejaksaan mau serius menanganinya juga diperkenankan, tinggal kedua lembaga tersebut mau dan mampu atau tidak.
Posting Komentar