Rabu, 26 Agustus 2009
FPI: ANTARA PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DAN PREMANISME
Pendahuluan
Sudah bukan menjadi peristiwa baru apabila setiap menjelang bulan suci Ramadhan, para pemilik tempat-tempat hiburan di seantero Nusantara dibuat was-was. Bukan oleh adanya peraturan daerah yang melarang dibukanya tempat hiburan tersebut atau pembatasan jam operasionalnya, namun tidak lebih pada maraknya tindakan penertiban tempat hiburan oleh sebuah organisasi masyarakat berbasis keagamaan, yaitu Forum Pembela Islam (FPI). Harus dipahami bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia yang cenderung sekuler secara nyata telah membuat sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam tidak terakomodasi dalam perangkat hukum negara. Bahwa seorang maling harus dihukum, telah sejalan dengan sebagian nilai-nilai ajaran Islam. Tapi bahwa prostitusi dan minum-minuman keras harus dilarang dapat terhadang oleh pasal-pasal hukum yang multi-persepsi. Dalam ruang yang kurang tersentuh pasal-pasal hukum inilah, FPI melakukan berbagai pendekatan solusi agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan secara lebih komprehensif. Posisi FPI disini lebih bersifat sebagai bagian dari masyarakat yang membantu penegak hukum secara aktif dan pro-aktif melalui informasi, dukungan langsung, tekanan-tekanan (pressure) politis dan tuntutan melalui jalur hukum, dengan maksud agar hukum di negeri ini dijalankan dengan lebih baik.
Dalam ilmu sosial, kelompok FPI ini dianggap sebagai suatu kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai suatu tujuan (Mills 1967: 2), yaitu bagaimana menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebajikan, mencegah kemunkaran) melalui upaya-upaya sistematis guna mengajak umat Islam agar menjalankan perintah agamanya secara komprehensif, dan mencegah umat Islam agar tidak terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang merusak moral dan akidah Islamnya. Kelompok ini semula bersifat kohesif dimana anggotanya menikmati interaksi antar mereka, dan mereka tetap bersatu dan bertahan dalam waktu yang cukup lama (Sarwono 2001: 6). Festinger mendefinisikan kohesivitas sebagai total total dari sebuah kekuatan yang berada pada anggota-anggota kelompok yang tetap bertahan pada kelompok tersebut (Festinger, Schachter, & Back 1950: 164). Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif ─dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi─ akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal (Pujanarko 2008).
Berdasarkan dalil diatas, maka perkembangan kelompok pada tubuh FPI melalui tiga fase yaitu:
1. Fase Orientasi
Anggota kelompok masih dalam proses penerimaan dan menemukan persamaan maupun perbedaan persepsi dengan anggota lainnya. Belum terlihat sebagai suatu kesatuan kelompok, masih tampak keegoan individu tersebut. Perekrutan anggota FPI dilakukan secara terbuka oleh para mubalig FPI yang melakukan ceramah, atau ada juga ustadz yang mendaftarkan para santrinya untuk menjadi anggota FPI (Rizieq 2007).
2. Fase Bekerja
Anggota kelompok sudah mulai menyatu dengan anggota yang lain. Tujuan kelompok mulai ditetapkan. Keputusan dibuat melalui mufakat dengan mengenyampingkan voting. Perbedaan ditangani melalui proses adaptasi antar individu, dan pemecahan masalah lebih diutamakan daripada konflik. Ketidaksetujuan tujuan organisasi diselesaikan secara terbuka. Pola kerja FPI adalah mengumpulkan massa baik tidak bersenjata ataupun bersenjata, kemudian bergerak ke lokasi (target) dan melakukan kekerasan fisik dengan pemukulan, pengrusakan dan penganiayaan demi tercapainya tujuan mereka. Jika aksi mereka dipertentangkan maka mereka akan berdalih bahwa aksinya adalah suatu tindakan merespon dari adanya pelanggaran hukum dan untuk menegakkan syariat Islam.
3. Fase Terminasi
Sudah mulai fokus pada evaluasi serta merangkum pengalaman kelompok. Ada perubahan perasaan dari emosi dan putus asa menjadi sedih atau puas, tergantung pada pencapaian tujuan dan pembentukan kelompok (kesatuan kelompok). Setelah melakukan tindakannya, beberapa anggota FPI yang sempat terekam kamera televisi sering meneriakkan yel-yel perlawanan terhadap kemaksiatan dan kemunkaran. Ini berarti para anggotanya secara sadar memang telah melakukan pelanggaran hukum (merusak, menganiaya, sweeping) namun karena dianggap perbuatan mereka tidak melawan hukum (membantu aparat penegak hukum menegakkan hukum) maka mereka leluasa melakukan perbuatan tersebut (Clark 1994 dalam Purwandari 2008).
Sekilas FPI dan Perspektif Media Massa Terhadap FPI
FPI merupakan sebuah organisasi Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan oleh sejumlah Habib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim, disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi ini hanya 4 (empat) bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan Orde Baru, Soeharto tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan menegakkan syariat Islam di negara sekuler. Organisasi ini didirikan sebagai wadah kerjasama antara umat Islam dan ulama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di setiap aspek kehidupan.
Semangat pendirian FPI itu sendiri tak lain dari pengimplementasian Undang-Undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dalam Pasal 1 disebutkan, Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Nah, asas tunggal Pancasila inilah yang tidak dikehendaki oleh FPI yang pada tahun 2002 menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada amandemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR pada saat itu. Namun anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk (Sinar Indonesia Baru, 6 Agustus 2002). Pembentukan organisasi yang berdasarkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah di tahun 2006.
Dalam situsnya, FPI melatarbelakangi pendirian organisasi ini karena:
1. Adanya penderitaan umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer sebagai akibat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan masyarakat.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga harkat dan martabat Islam dan umat Islam.
FPI memiliki struktur organisasi sebagai berikut:
1. Dewan Pimpinan Pusat (sebagai pengurus organisasi berskala nasional):
a. Ketua Majelis Syura DPP FPI adalah Habib Muhsin Ahmad Al-Attas.
b. Ketua Majelis Tanfidzi DPP FPI adalah Habib Rizieq (2003 – 2008)
2. Dewan Pimpinan Daerah (sebagai pengurus organisasi berskala provinsi).
3. Dewan Pimpinan Wilayah (sebagai pengurus organisasi berskala Kota/Kabupaten).
4. Dewan Pimpinan Cabang (sebagai pengurus organisasi berskala Kecamatan).
Dalam kegiatannya menegakkan syariat Islam itulah, maka sasaran yang paling banyak dituju oleh FPI adalah tempat-tempat yang dirasakan sebagai sumber kemaksiatan dan kemungkaran. Tempat-tempat hiburan, warganegara asing tertentu, dan organisasi berbasis agama lain tidak jarang menjadi sasaran apa yang mereka sebut sebagai penertiban. Tindakan yang tak jarang cenderung main hakim sendiri itu disayangkan oleh segenap pihak sebagai tindakan yang melampaui tugas dan wewenang Polri sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan. Namun Habib Rizieq menyatakan bahwa karena Polri tidak mengambil langkah apapun padahal sudah jelas-jelas hal tersebut melanggar peraturan maka gerakan tanpa kompromilah yang ia ambil sebagai bagian dari penegakan hukum itu sendiri. Namun memang tindakan para Laskar Pembela Islam (anggota paramiliter bentukan FPI) cenderung kelewat batas, seperti pengrusakan, sweeping warganegara tertentu, atau penganiayaan kelompok organisasi tertentu yang tidak sealiran dengan FPI. Namun hal tersebut dibantah oleh Habib Rizieq yang menyatakan bahwa tindakan oknum FPI tersebut dikarenakan mereka tidak mengerti Prosedur Standar FPI (Condro 2006).
Menurut Rizieq lagi, penyerbuan atau pengrusakan merupakan langkah terakhir yang diambil FPI setelah melewati tahap-tahap sebelumnya. Jika ada informasi yang menyebutkan di suatu tempat ada lokasi yang tidak beres, maka FPI mengirim intelijen yang terdiri dari beberapa orang untuk menggali informasi yang valid. Jika benar itu tempat yang tidak beres, maka ada dua pengelompokkan yang dilihat. Jika tempat maksiat itu didukung warga sekitar dalam arti banyak warga sekitar yang mencari nafkah di sana dan menggantungkan hidupnya di sana, maka kami kirim ustadz untuk memberi pencerahan. Ini sisi amar ma’ruf yang dimaksudkan oleh FPI. Namun, jika tempat maksiat itu ternyata meresahkan warga sekitar, dan banyak yang dilindungi oleh preman terorganisir atau malah ada oknum aparat yang ikut melindungi, maka tindakan FPI adalah melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian agar polisi bisa bersifat pro-aktif. Jika sampai waktu yang kami minta belum ada tindakan apa pun juga dari kepolisian, maka FPI kembali melayangkan surat untuk mendesak aparat segera turun tangan. Ini dilakukan sampai tiga kali. Namun jika aparat ternyata tetap diam, tidak menunjukkan itikad baik untuk membasmi kemaksiatan, maka FPI pun segera mengirim surat pemberitahuan bahwa FPI akan mengirim laskarnya ke tempat tersebut untuk membantu tugas kepolisian (Supriadi 2008).
Sisi inilah yang menurut Rizieq jarang terekspos oleh media massa nasional, sehingga masyarakat hanya melabel FPI sebagai organisasi Islam radikal yang mengutamakan kekerasan dalam menyikapi segala sesuatu yang melanggar syariat Islam (Tempointeraktif.com, 12 Januari 2005). Menurutnya, ketidaknetralan media massa dalam menyikapi tindakan FPI ini didasari atas banyaknya kepentingan dari media massa itu sendiri atau bahkan mereka memang menghendaki FPI untuk dibubarkan. Dasar dari wacana pembubaran FPI ini merunut pada sejumlah kasus yang dilakukan oleh kelompok FPI di beberapa tempat di Indonesia periode tahun 2001 s/d 2008 (dikutip dari Wikipedia), antara lain:
Tahun 2001:
a. 27 Agustus. Ratusan massa yang tergabung dalam FPI berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR. Mereka menuntut MPR/DPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta.
b. 9 Oktober. FPI membuat keributan dalam aksi demonstrasi di depan Kedutaan Amerika Serikat dengan merobohkan barikade kawat berduri dan aparat keamanan menembakkan gas air mata serta meriam air.
c. 15 Oktober. Polda Metro Jaya menurunkan sekitar seribu petugas dari empat batalyon di kepolisian mengepung kantor FPI di Jalan Petamburan III Jakarta Barat dan terjadi bentrokan.
d. 7 November. Bentrokan terjadi antara laskar Jihad Ahlusunnah dan Laskar FPI dengan mahasiswa pendukung terdakwa Mixilmina Munir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dua orang mahasiswa terluka akibat dikeroyok puluhan laskar.
Tahun 2002:
a. 15 Maret. Panglima Laskar FPI, Tubagus Muhammad Sidik menegaskan, aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan yang terbukti melakukan kemaksiatan, merupakan hak dari masyarakat.
b. 15 Maret. Satu truk massa FPI mendatangi diskotik di Plaza Hayam Wuruk.
c. 15 Maret. Sekitar 300 massa FPI merusak sebuah tempat hiburan, Mekar Jaya Billiard, di Jl. Prof Dr. Satrio No.241, Karet, Jakarta.
d. 24 Maret. Sekitar 50 anggota FPI mendatangi diskotek New Star di Jl. Raya Ciputat. FPI menuntut agar diskotek menutup aktivitasnya.
e. 24 Mei. Puluhan massa dari FPI di bawah pimpinan Tubagus Sidiq menggrebek sebuah gudang minuman di Jalan Petamburan VI, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
f. 26 Juni. Usai berunjuk rasa menolak Sutiyoso di Gedung DPRD DKI, massa FPI merusak sejumlah kafe di Jalan Jaksa yang tak jauh letaknya dari tempat berunjuk rasa. Dengan tongkat bambu, sebagian dari mereka merusak diantaranya Pappa Kafe, Allis Kafe, Kafe Betawi dan Margot Kafe.
g. 4 Oktober. Sweeping ke tempat-tempat hiburan, Riziq dipenjara selama tujuh bulan.
h. 14 Oktober. Sekitar 300 orang pekerja beberapa tempat hiburan di Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI. Mereka menuntut pembubaran FPI yang mereka anggap telah melakukan aksi main hakim sendiri terhadap tempat hiburan
i. 16 Oktober. Habib Rizieq diperiksa pihak kepolisian di Mapolda Metro Jaya.
j. 6 November. Lewat rapat singkat yang dihadiri oleh sesepuh FPI, maka Dewan Pimpinan Pusat FPI, mengeluarkan maklumat pembekuan kelaskaran FPI di seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
k. Desember. FPI diaktifkan kembali.
Tahun 2003:
a. 20 April. Ketua Umum FPI Habib Rizieq Shihab ditahan di Markas Polda Metro Jaya Jakarta setelah dijemput paksa dari bandara.
b. 8 Mei. Habib Muhammad Rizieq mulai diadili di PN Jakarta.
c. 22 Mei. Koordinator lapangan laskar FPI Tubagus Sidik bersama sepuluh anggota laskar FPI menganiaya seorang pria di jalan tol, dan mereka ditangkap 23 Mei.
d. 1 Juli. Rizieq menyesal dan berjanji akan menindak anggota FPI yang melanggar hukum negara di PN Jakarta Pusat.
e. 11 Agustus. Majelis hakim memvonis Habib Rizieq dengan hukuman tujuh bulan penjara.
f. 19 November. Ketua FPI Habib Rizieq bebas.
g. 18 Desember. Menurut Ahmad Sobri Lubis, Sekretaris Jenderal FPI, usai bertemu Wapres Hamzah Haz di Istana Wapres, Jakarta, FPI akan mengubah paradigma perjuangannya, tidak lagi menekankan pada metode perjuangan melalui gerakan massa dan kelaskaran. Perjuangan lebih ditekankan lewat pembangunan ekonomi, pengembangan pendidikan dan pemberantasan maksiat melalui jalur hukum.
Tahun 2004:
a. 3 Oktober. FPI menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. FPI menuduh orang-orang Katolik menyebarkan agama Katolik karena mereka mempergunakan ruang olahraga sekolah sebagai gereja sementara sudah selama sepuluh tahun.
b. 11 Oktober. FPI Depok Ancam Razia Tempat Hiburan.
c. 22 Oktober. FPI melakukan pengrusakan kafe dan keributan dengan warga di Kemang.
d. 24 Oktober. FPI melalui Ketua Badan Investigasi FPI Alwi meminta maaf kepada Kapolda Metro Jaya bila aksi sweeping yang dilakukannya beberapa waktu lalu dianggap melecehkan aparat hukum.
e. 25 Oktober. Ketua MPR yang juga mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam cara-cara kekerasan yang dilakukan FPI dalam menindak tempat hiburan yang buka selama Bulan Ramadhan.
f. 28 Oktober. Meski menuai protes dari berbagai kalangan, FPI tetap meneruskan aksi sweeping di bulan Ramadhan menurut Sekjennya Farid Syafi'i.
g. 28 Oktober. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif meminta aksi-aksi sepihak yang dilakukan FPI terhadap kafe-kafe di Jakarta dihentikan. Dia menilai, apa yang dilakukan FPI merupakan wewenang pemerintah daerah dan kepolisian.
h. 23 Desember. Sekitar 150 orang anggota Front Pembela Islam terlibat bentrok dengan petugas satuan pengaman JCT (Jakarta International Container Terminal).
Tahun 2005:
a. 27 Juni. FPI menyerang Kontes Miss Waria di Gedung Sarinah Jakarta.
b. 5 Agustus. FPI dan FUI mengancam akan menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu.
c. 2 Agustus. Dewan Pimpinan Wilayah FPI Kab. Purwakarta, Jawa Barat, meminta pengelola Taman Kanak-kanak Tunas Pertiwi, di Jalan Raya Bungursari, menghentikan kebaktian sekaligus membongkar bangunannya. Jika tidak, FPI mengancam akan menghentikan dan membongkar paksa bangunan.
d. 23 Agustus. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid meminta pimpinan tertinggi FPI menghentikan aksi penutupan paksa rumah-rumah peribadatan (gereja) milik jemaat beberapa gereja di Bandung. Pernyataan itu disampaikan Wahid untuk menyikapi penutupan paksa 23 gereja di Bandung, Cimahi, dan Garut yang berlangsung sejak akhir 2002 sampai kasus terakhir penutupan Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot, Bandung pada 22 Agustus 2005 lalu.
e. 5 September. Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI.
f. 19 September. FPI diduga di balik ribuan orang yang menyerbu Pemukiman Jamaah Ahmadiyah di Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
g. 22 September. FPI memaksa agar pemeran foto bertajuk Urban/Culture di Museum Bank Indonesia, Jakarta agar ditutup.
h. 16 Oktober. FPI mengusir Jamaat yang akan melakukan kebaktian di Jatimulya Bekasi Timur.
i. 23 Oktober. FPI kembali menghalangi jamaat yang akan melaksanakan kebaktian dan terjadi dorong mendorong, aparat keamanan hanya menyaksikan saja.
j. 18 Oktober. Anggota FPI membawa senjata tajam saat berdemo di Polres Metro Jakarta Barat.
Tahun 2006:
a. 19 Pebruari. Ratusan massa Front Pembela Islam berunjuk rasa ke kantor Kedutaan Besar Amerika Serika dan melakukan kekerasan.
b. 14 Maret. FPI membuat ricuh di Pendopo Kabupaten Sukoharjo.
c. 12 April. FPI menyerang dan merusak Kantor Majalah Playboy.
d. 20 Mei. Anggota FPI menggerebek 11 lokasi yang dinilai sebagai tempat maksiat di Kampung Kresek, Jalan Masjid At-Taqwa Rt 2/6, Jati Sampurna, Pondok Gede.
e. 21 Mei. FPI, MMI dan HTI menyegel kantor Fahmina Institute di Cirebon.
f. 23 Mei. FPI, MMI, HTI, dan FUI mengusir KH Abdurrahman Wahid dari forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta Jawa Barat, dan sempat memaki "kiai anjing".
g. 25 Mei. FPI cabang Bekasi, mengepung kantor Polres Metro Bekasi.
Tahun 2007:
a. 25 Januari. Ratusan orang anggota FPI, yang dipimpin oleh Habib Rizieq, mendatangi markas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta dilakukannya investigasi terhadap serangan yang dilakukan Polri di kawasan Tanahruntuh, Poso, Sulawesi Tengah beberapa hari sebelumnya. Kawasan ini telah lama ditengarai sebagai pusat gerakan teror JI yang dilakukan di Kabupaten Poso.
b. 25 Maret. Massa FPI yang jumlahnya ratusan orang tiba-tiba menyerang massa Papernas yang rata-rata kaum perempuan di kawasan Dukuh Atas. FPI menuduh Papernas adalah partai politik yang menganut faham komunisme.
c. 1 Mei. Pada aksi Hari Buruh Internasional, diwarnai ketegangan antar gabungan massa aksi FPI dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dengan massa Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY). Ketegangan yang terjadi di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret Yogyakarta karena FPI dan FAKI menuduh gerakan ARPY terkait dengan Papernas yang menurut mereka beraliran komunis. Kericuhan hampir memuncak saat massa FAKI menaiki mobil coordinator aksi, dan dengan sertamerta menarik baju koordinator ARPY yang saat itu sedang berorasi.
d. 9 Mei. Puluhan anggota FPI mendatangi doskotik “Jogja Jogja” dan mengusir orang-orang yang bermaksud mengunjungi tempat hiburan itu. Alasannya, diskotek ini menggelar striptease (tari telanjang) secara rutin.
e. 12 September. FPI merusak rumah tempat berkumpul aliran Wahidiyah, karena menganggap mereka sesat.
f. 24 September. Di Ciamis, FPI merusak warung yang buka pada bulan puasa serta memukuli penjual dan pembelinya. Alasannya mereka menjual barang-barang haram di bulan Ramadhan.
g. 28 September. FPI Jakarta bentrok dengan polisi yang membubarkan konvoi mereka, sementara di Jateng FPI menegur seorang warga dengan alasan yang tidak cukup jelas.
h. 29 September. FPI merazia beberapa warung makan di Tasikmalaya. Setiap warung yang kepergok menyiapkan makanan siap saji langsung ditutup. Pemilik warung juga diberikan selebaran berisi imbauan menghormati bulan suci Ramadhan. Aksi ini dikawal polisi.
Tahun 2008:
a. 1 Juni. Massa FPI menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sebagian besar terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak di sekitar Monas. Massa AKKBB waktu itu sedang berdemo memperotes SKB Ahmadiyah. Tak hanya memukul, massa FPI juga merusak mobil-mobil yang terparkir di sekitar lokasi tersebut.
b. 24 September. FPI merazia dan merusak sejumlah warung nasi dan pedagang bakso di wilayah Pasar Wetan Tasikmalaya, karena berjualan makanan pada bulan Ramadhan. Aksi ini kemudian dibubarkan polisi.
Dari sekilas daftar aksi FPI tersebut diatas, maka jelas bahwa gerakan mereka bisa dikategorikan sebagai kegiatan vigilantisme. Vigilantisme dapat diartikan sebagai cara-cara penggunaan kekuatan melalui modus intimidasi dan cara-cara kekerasan terhadap warga sipil, baik individu maupun kelompok tertentu. Tindakan ini merupakan hal yang mahfum ditemukan pada masyarakat yang sedang tertimpa kemelut, ketika negara dianggap tidak mampu menangani setiap permasalahan sosial yang terjadi. FPI dapat dikategorikan sebagai vigilantisme kontrol kelompok sosial. Mereka menganggap bahwa hukum Islam dianggap sebagai hukum tertinggi, dan ketika aturan tersebut dilanggar oleh berbagai pihak yang mengklaim dirinya sebagai legitimasi hukum yang ternyata tidak bisa ditegakkan karena masih melihat dari norma-norma dan nilai-nilai sosial masyarakat, maka dianggap negaralah yang bertanggungjawab terhadap ketidakmampuan tersebut sehingga orang-orang Islam sendirilah yang harus “unjuk kekuatan” guna menghadang rintangan itu, meskipun dengan menghalalkan berbagai cara termasuk kekerasan (Munjid 2008).
Tindakan FPI Dilihat Dari Perspektif Kriminologi
Kasus aksi FPI ini dapat didekati dengan teori Anomi yang dikemukakan oleh Robert K.Merton. Dalam konsepsinya mengenai perilaku menyimpang (deviant behavior), Merton berpendapat bahwa “perilaku menyimpang” pada dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif. Perilaku menyimpang adalah kecenderungan dari adanya “anomie” dalam masyarakat. Anomie terjadi bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, anomie terjadi karena posisi seseorang dalam struktur sosial masyarakat tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai normatif, di mana kultur menghendaki tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur sosial (Merton 1968: 216). Bila dikaitkan dengan teori Anomie, maka kondisi masyarakat Indonesia dalam transisi simultan menghadapi sikap tindakan FPI tersebut dapat dikategorikan sebagai kondisi Anomie.
Dari hasil analisis yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan aksi agresif FPI
Ada 4 (empat) tujuan utama mengapa FPI melakukan aksi agresif dalam menegakkan aturannya, yaitu: Pertama, FPI berpegang pada amar ma’ruf nahi munkar. Artinya mereka ingin melaksanakan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Kedua, berjuang untuk hidup mulia dan mati syahid (seorang muslim tidak akan hidup mulia jika tidak berharap syahid, dan ia mustahil mendapatkan syahid jika ia tidak hidup tak mulia). Ketiga, Haq (kebenaran) tanpa sistem dikalahkan oleh Bathil dengan sistem, kebathilan pada prinsipnya lemah tapi kalau diatur secara sistematis dan terorganisir dengan baik maka kebathilan akan muncul dalam bentuk yang kuat dan kokoh. Teknis perjuangan untuk menegakkan kebenaran memerlukan organisasi yang rapi dan sistematis. dan Keempat, kemaksiatan tidak dibenarkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Apalagi kemaksiatan tersebut dibuat oleh orang yang bukan dari agama Islam, ini menurut mereka sama saja dengan mengajak umat Islam untuk berlomba-lomba masuk neraka atau kalah dalam keimanan mereka.
b. Gejala anomie pada tindakan FPI
Dalam kondisi Anomie (Merton 1957), ada lima alternatif sikap perilaku warga masyarakat yaitu:
1) Conformity, dalam bentuk sikap mengikuti ketentuan yang berlaku dengan menerima segala resiko dan konsekwensinya.
2) Innovation, dalam bentuk sikap mengambil jalan pintas mencapai tujuan karena tidak mampu mengikuti nilai-nilai dan prosedur yang berlaku.
3) Ritualism, dalam bentuk sikap mengikuti pola sikap masyarakat pada umumnya tanpa mengetahui tujuan-tujuannya.
4) Retreatism, dalam bentuk sikap apatis dan menarik diri dari kegiatan-kegiatan sebagai bentuk dari keputusasaan.
5) Rebellion, dalam bentuk sikap berontak dan penentangan terhadap nilai-nilai yang berlaku dan berusaha secara mendasar menggantinya dengan nilai-nilai baru.
Anomi, menurut Soerjono Soekanto, berarti keadaan tidak adanya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan tingkah laku serta tata tertib, atau keadaan dimana terjadi konflik kaidah-kaidah (Soekanto 1989: 39). Sebenarnya bukan “tidak ada aturan-aturan yang berlaku”, namun terlebih pada “tidak berfungsinya aturan tersebut secara efektif”. FPI melihat melempemnya Perda maupun SK Gubernur dalam menindaklanjuti menjamurnya “sumber-sumber penyakit masyarakat”. Masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum maupun aturan, menandakan fungsi kontrol dari aparat penegak hukum seperti Dinas Tramtib, Satpol PP maupun polisi tidak berfungsi efektif. Masih banyak kekebasan yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha tempat hiburan tersebut sehingga mereka terkesan tidak mengindahkan aturan yang telah dibuat tersebut. Mungkin menurut FPI, selama bukan bulan Ramadhan kegiatan tersebut bisa ditolerir meskipun sebenarnya tidak perlu menunggu bulan suci Ramadhan saja untuk mencegah kemaksiatan. Namun apabila telah sampai bulan Ramadhan, bulan yang suci bagi umat Islam, bulan dimana kekuatan jahat dibelenggu oleh Allah Swt, bulan dimana berbuat kebajikan akan dibalas dengan sejumlah pahala yang berlimpah, maka apabila rahmat bulan suci tersebut dinodai dengan berbuat kemaksiatan, maka FPI mengambil inisiatif melakukan aksi sendiri untuk “menertibkan” tempat-tempat kemaksiatan yang tetap beroperasi di bulan suci tersebut. Mereka seakan geram dengan tindakan aparat yang terkesan “menutup mata” dan pura-pura tidak tahu terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Mereka kemudian menerapkan penegakan hukum sendiri tanpa memperdulikan legitimasi hukum yang berkuasa diatasnya. Aksi tersebut terjadi karena buntunya komunikasi antara para pihak, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesalah pahaman.
Pihak FPI tidak pernah tahu kendala-kendala dalam penegakan hukum dan tidak mau menghargai nilai yang dianut orang lain, yang bisa jadi berbeda dengan nilai yang dianut FPI. Pihak aparat juga bersalah, karena tidak pernah mengajak berkomunikasi, tapi lebih memilih pendekatan yang bersifat represif, seperti yang tampak dalam kasus tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan pihak pengelola hiburan, mereka terkesan menghalalkan segala macam cara (means) untuk mencapai tujuan (goals), dengan tanpa memperhatikan beberapa, kalau tidak boleh dikatakan sebagian besar, aspirasi umat Islam yang sebenarnya tidak setuju dengan bisnis mereka yang mempertaruhkan moral masyarakat (Mubahitsin 2008).
Pada akhirnya, kebuntuan dan kekacauan yang seperti itu meledak dan termuntahkan ke dalam sebuah perilaku, sebagaimana yang telah kita saksikan bersama. Berdasarkan paparan di atas, dapatlah disimpulkan kiranya, bahwa aksi brutal FPI terjadi karena keadaan tidak berfungsinya aturan hukum secara efektif. Keadaan tersebut sebagai akumulasi dari: Pertama, ketidakpercayaan FPI terhadap aparat penegak hukum, sehingga mereka mengambil jalan pintas menegakkan hukum versi mereka sendiri karena dianggap suara mereka apabila mengambil cara konvensional (mengirim surat keberatan, melaporkan pelanggaran, dll) tidak didengar, maka mereka mengambil cara kekerasan sebagai alternatif. Sehingga mereka mengharapkan tindakan mereka ini dapat menjadi tolok ukur aparat sudah saatnya mereka menegakkan hukum secara benar. Kedua, terjadinya kebuntuan komunikasi antar masing-masing stakeholders (pemilik tempat hiburan, aparat, dan FPI). Masing-masing merasa dirinya benar. Pemilik tempat hiburan merasa benar bahwa mereka melakukan kegiatan karena memiliki ijin operasi, membayar retribusi/pajak hiburan. Aparat merasa bahwa tindakan main hakim FPI adalah salah karena tidak mengikuti prosedur yang benar, dan FPI merasa bahwa sudah menjadi tujuannya untuk menegakkan syariat Islam secara benar mengingat kemaksiatan yang bisa merusak makna suci bulan Ramadhan. Dan Ketiga, ketidakberhasilan dalam perjuangan mereka untuk meniadakan kemaksiatan dan kemungkaran yang semakin mendorong terbentuknya sikap anomie sebagai akibat dari keputusasaan dan kehilangan tujuan organisasi FPI yang ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara damai.
Tindakan FPI Bukan Dikategorikan Sebagai Premanisme
Secara sekilas banyak orang yang berpendapat sama apabila melihat sepak terjang FPI selama ini, FPI bersikap seperti preman. Apabila kita melihat perspektif premanisme menurut Miller (1958), untuk menjadi seorang preman harus memiliki tradisi yang dibangun di atas enam focal concern yaitu trouble, toughness, smartness, excitement, fate, dan autonomy (Hirschi 1969: 212). Ini dilakukan untuk memperkuat soliditas kelompok dan mempertegas tujuan perlawanannya terhadap otoritas yang ada dalam masyarakat untuk menunjukkan keberadaan mereka (Nitibaskara 2001: 85).
Mari kita telaah satu persatu ke-enam focal concern premanisme tersebut untuk dikaitkan dengan segala tindakan FPI:
1. Trouble. Sengaja untuk mencari keributan, dengan harapan polisi turun tangan. Bagi preman, mencari gara-gara bukan merupakan pekerjaan yang tabu, ianya telah menjadi suatu kewajiban sebagai tolok ukur prestasi kelompok tersebut. Untuk kasus FPI disini, mereka memang mencari permasalahan yang selalu berujung pada tindakan anarkis, namun secara locus delicti mereka selalu konsekuen dalam melaksanakannya. Sasarannya kalau tidak tempat hiburan atau sekte-sekte tertentu yang menistakan agama Islam. Untuk waktu, FPI sering mengambil momen bulan suci Ramadhan dalam bertindak. Tidak seperti preman yang serampangan memilih waktu dan tempat.
2. Toughness. Di kalangan preman nilai keberanian dilihat dari fisik yang sanggup menahan derita kala ditangkap polisi atau dihakimi massa, dan selalu mengulangi perbuatannya (tidak kapok). FPI selalu berkelompok dalam melakukan aksinya, karena mereka selalu menerima petunjuk dari komandan lapangan “Laskar Islam”. Kalau tidak ada perintah, para anggota FPI tidak berani serampangan menunjukkan aksinya.
3. Smartness. Seorang preman harus memiliki kemampuan untuk tidak tertipu oleh orang lain (menunjukkan kelihaiannya). Sedangkan anggota FPI selalu berpegang pada aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dimana pantang untuk menipu kesesama umat manusia.
4. Excitement. Selalu yang identik dengan tingkah laku preman adalah meluapkan kegembiraan dengan minum alkohol, main judi, prostitusi, dan sebagainya. Sedangkan FPI sudah jelas adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, jadi segala kegembiraan dengan cara yang maksiat merupakan lawan/musuh mereka.
5. Autonomy. Para preman menolak segala pembatasan-pembatasan dari luar kelompoknya. Sedangkan FPI apabila hukum telah ditegakkan secara benar dan dilaksanakan dengan kesungguhan, maka mereka tidak akan melakukan kegiatan yang berbau kekerasan. Jadi, FPI masih toleransi pada hukum yang berlaku di Indonesia. Namun apabila hukum tersebut tidak diindahkan, maka prinsip mereka adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebenar-benarnya.
6. Fate. Para preman percaya bahwa mereka dilahirkan sebagai preman, dan sudah menjadi nasibnya mereka menjadi begitu, sekeras apapun usaha mereka untuk merubahnya, mereka tetap percaya bahwa Tuhan sudah “mentakdirkan” mereka untuk menjadi preman. Sedangkan FPI percaya bahwa mereka masih bisa berbuat baik dengan atau tidak mengikuti aksi, karena mereka percaya bahwa setiap perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan maka berarti ia hidup mulia dan matipun secara syahid.
Jadi, apabila kita lihat dalil premanisme diatas, maka jelaslah bahwa setiap tindakan yang dilakukan FPI selama ini bukanlah dikategorikan sebagai premanisme. Walaupun tindakan mereka terkesan menghalalkan segala cara (mirip premanisme), namun mereka melihat itu semua dari sisi pelaksanaan aqidah manusia dalam menjalani kehidupannya. Apabila menurut FPI, manusia telah berjalan dalam rel kehidupan yang sebenarnya dengan menjauhi pekerjaan keji dan munkar (berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku) maka perjuangan FPI dianggap berhasil (tanpa harus melalui cara-cara kekerasan).
Penutup
Harus dipahami bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia yang cenderung sekuler secara nyata telah membuat sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam tidak terakomodasi dalam perangkat hukum negara. Dalam ruang yang kurang tersentuh pasal-pasal hukum inilah, FPI melakukan berbagai pendekatan solusi agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan secara lebih komprehensif. Namun pendekatan yang ditempuh oleh FPI tersebut ternyata menghalalkan segala cara untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan celakanya mereka menempuh jalan kekerasan. Padahal beberapa ustadz dalam setiap ceramahnya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menomorsatukan cinta damai dan anti akan kekerasan. Apa yang dilakukan FPI bahkan cenderung brutal. Hal tersebut dikarenakan munculnya rasa tidak percaya pada penegakan hukum, adanya kebuntuan komunikasi antara stakeholders yang terkait, dan ketidakberhasilan perjuangan FPI yang menimbulkan keputusasaan.
Langkah yang harus ditempuh sebenarnya bukan cuma menghukum FPI baik secara kelembagaan maupun individual, FPI hanya menganggap bahwa hukuman itu sebagai cobaan dalam upayanya melakukan jihad di jalan Allah SWT. Mereka akan tetap melakukan perbuatan tersebut sampai manusia tersadar bahwa kemaksiatan yang dibuat akan merusak moral manusia itu secara keseluruhan. Juga bukan dengan melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985, yang akhirnya akan menimbulkan gejolak bagi ormas lainnya sebagai bentuk diskriminasi negara terhadap kebebasan warganegara untuk berkumpul dan berserikat. Mungkin solusi yang bisa ditempuh adalah dengan menegakkan hukum itu secara benar dan tidak ada tebang pilih terhadap mereka yang terlihat melanggar peraturan. Sehingga timbul kepercayaan dari semua pihak atas legitimasi hukum, sehingga tercapai rasa saling hormat menghormati antara pihak yang terkait, sehingga tidak ada pihak yang merasa dikecewakan dan mengambil langkah main hakim sendiri sebagai pelampiasannya.
DAFTAR ACUAN:
Buku:
Festinger, Leon, Stanley Schachter and Kurt Back. 1950. Social Pressure in Informal Groups; A Study of Human factors in Housing. California: Stanford University Press.
Hirschi, Travis. 1969. Causes of Delinquency. Berkeley: University of California Press.
Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press.
Mills, Theodore M. 1967. The Sociology of Small Groups. Englewood Cliffs. NJ: Prentice Hall.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekanto, Soerjono. 1989. Analisa Fungsional; Seri Pengenalan Sosiologi Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali.
Blog/Website:
Condro, Ari. 2006. Sikap Tegas Pemerintah Pada Tindakan. Diunduh dari sudarjanto.multiply.com pada tanggal 1 Juni 2009.
al-Muhabitsin, M. Lubab. 2008. Analisis Kriminologi Atas Aksi Brutal Laskar FPI Terhadap Beberapa Tempat Hiburan di DKI Jakarta. Diunduh dari lubabulmuhabitsin.blogspot.com pada tanggal 25 Mei 2009.
Munjid, Ahmad. 2008. Hentikan Vigilantisme FPI. Diunduh dari www.indonesianmuslim.com pada tanggal 2 Juni 2009.
Pujanarko, Imung, 2008. Kelompok dan Pengaruhnya Terhadap Komunikasi. Diunduh dari www.kabarindonesia.com pada tanggal 23 Mei 2009.
Purwandari, Retno. 2008. Dinamika Kelompok. Diunduh dari khairilusman.wordpress.com pada tanggal 28 Mei 2009.
Rizieq, Habib Syihab. 2007. Proses Perekrutan Anggota FPI. Diunduh dari www.youtube.com pada tanggal 1 Juni 2009.
Supriadi, Adi. 2008. FPI Yang Dinantikan Kehancurannya. Diunduh dari www.kabarindonesia.com pada tanggal 30 Mei 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar