I. PENDAHULUAN
Etika berasal dari kata “ethos” bahasa yunani yang artinya adat kebiasaan (Aristolteles : 384-322 SM) digunakan untuk menunjukan filsafat moral. Apabila kita membatasi pada asal usul kata ini maka etika (definisi etimologis) artinya adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2004:4). Jika kita melihat dalam kamus bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) (Bertens, 2004: 5), maka terdapat tiga arti etika, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang Hak dan kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, pegertian dan penjelasan mengenai etika adalah sebagai berikut: Etika adalah kata lain dari moral. Artinya, tata cara berperilaku yang baik, yaitu yang sesuai dengan nilai-nilai yang baik, aturan yang baik, tujuan yang baik, menjaga hubungan yang baik dengan orang lain, dan sebanyak-banyaknya memberi manfaat untuk orang lain. Karena itu, setiap perilaku yang tidak sesuai dengan tata cara yang baik dan merugikan orang lain, adalah perilaku yang tidak etis. Sebagian besar etika tidak tertulis, melainkan mengikuti saja hati nurani dan kebiasaan masyarakat. Namun adakalanya (misalnya di kalangan profesi) etika itu ditulis juga. Etika yang tertulis dinamakan "Kode Etik" (www.sws.com, 2008).
Polri mempunyai kode etiknya sendiri yaitu Kode Etik Profesi Kepolisian yang dikuatkan dengan keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/01/VII/ 2003 yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya bersifat Normatif Praktis, tentunya diharapkan setiap anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan harus berdasarkan kode etik yang ada. Kode etik Polri ini sangat penting, karena dalam tugas sehari-hari, seorang polisi bisa dan boleh melakukan diskresi. Tri Brata, diharapkan perilaku setiap anggota Polri akan selalu bernilai baik, menguntungkan masyarakat dan bisa meningkatkan citra Kepolisian RI secara menyeluruh seiring dengan paradigma baru Polri.
Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota di tengah masyarakat. Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Polri pada pelaksanaan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.
Sehubungan dengan uraian di atas, terkait dengan studi kasus yang dijumpai atau wawancara yang dilakukan mahasiswa PTIK angkatan 46 bernama Ari Sandi terhadap Karmat pekerja buruh bangunan yang tinggal di daerah Mampang Prapatan. Hasil wawancara tersebut pada intinya Karmat merasa takut dan tidak simpatis atas kinerja Polri, hal tersebut berkaitan dengan tindakan anggota Polri yang memukulnya dengan tongkat polisi pada saat kerusuhan Semanggi. Namun disisi lain ada sedikit pengalaman yang baik yaitu pada saat Karmat jalan-jalan ke Bogor dari Kuningan ketika akan pulang uang mereka hilang, pada saat itulah mereka meminta tolong polisi atas kejadian yang menimpanya. Polisi memberikan mereka sepucuk surat untuk diberikan kepada sopir, yang akhirnya mereka sampai di rumah dengan selamat.
II. PEMBAHASAN
A. Tindakan Pemukulan
Walaupun Polri telah memiliki kode etik tersendiri, namun dalam kenyataan citra Polri khususnya, tidak selalu baik di mata masyarakat. Bahkan seringkali jelek. Penyebabnya adalah perilaku anggota (termasuk perwiranya) yang tidak sesuai dengan tolok ukur etika masyarakat pada umumnya (pungli, arogan dan sebagainya). Perilaku seperti ini disebut "perilaku menyimpang (deviance)". Menganalisa dari pengalaman yang dialami oleh Karmat yang mendapat sabetan tongkat polisi pada saat akan berangkat ke kantor ini merupakan tindakan kepolisian yang dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut sangat tidak profesional dan simpatik, justru dapat disimpulkan awal bahwa tindakan yang dilakukan oknum tersebut sudah tidak berprilaku sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Tidak dapat dipungkiri situasi yang sulit dialami anggota Polri pada saat melakukan pengamanan unjuk rasa, dapat dikatakan situasi yang dialami personil Polri saat itu berada pada dua simpangan. Hanya ketangguhan moral, keluhuran etika, dan keteguhan hati nuranilah yang bisa menjadi wasit sekaligus hakim untuk melawan emosi, keangkaramurkaan, kekuasaan, dan kesewenang-wenangan. Tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap Karmat bukan saja ketidak mampuannya menahan emosi namun sudah menyentuh etika khusus yang ia langgar, dimana etika khusus tersebut yaitu sebagai anggota Polri yang sudah memiliki aturan atau acuan pada penanganan unjuk rasa untuk tetap berpedoman pada petunjuk yang ada. Selain itu tindakan yang dilakukannya tidak mencerminkan seorang anggota Polri yang memiliki kode etik.
Beberapa anggapan tindakan yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut dapat dimaklumkan, namun hal tersebut tentunya ditinjau dari sudut pandang rekan kerja atau pimpinan yang bersangkutan. Sebagaimana dijelaskan dalam etika adanya prima facie yaitu sebuah etika boleh dilanggar jika memiliki tujuan untuk kepentingan etika yang lebih tinggi. Pada kasus ini tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi juga tidak dapat dikatakan prima facie, sebab tidak ada kepentingan lain yang lebih tinggi dengan memukul orang yang tidak bersalah (Karmat).
B. Membantu Masyarakat Yang Mendapat Musibah
Tindakan anggota Polri yang bertugas di Bogor sangat berbeda dengan yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oknum polisi terhadap Karmat tersebut. Yang dialami oleh Karmat justru adanya pertolongan yang dilakukan oleh anggota polisi pada saat Karmat mendapat musibah, yaitu hilangnya uang yang akan digunakan untuk ongkos pulang dengan temannya ke Jakarta.
Tindakan yang dilakukan oleh polisi tersebut sangat terpuji dan dapat disimpulkan awal yang bersangkutan cukup memahami apa tugas dan peran polisi bagi masyarakat, selain itu personil Polri tersebut juga memahami profesinya sebagai polisi sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak menyimapang dari etika dan moral.
Apabila suatu institusi bekerja dengan landaskan etika profesinya secara proporsional, maka pekerjaan yang dilakukan oleh profesi itu akan menghasilkan prestasi kerja yang dapat mengangkat citra Polri ke depan. Esensi kode etik profesi Polri haruslah mencerminkan jatidiri Polri dalam tiga dimensi hubungan meliputi : hubungannya dengan Negara dan hubungan dengan masyarakat yang menjadi komitmen moral dalam bentuk etika pengabdian, etika kelembagaan, dan etika kemandirian.
Bahwa etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Polri terhadap profesinya, etika kelembagaan adalah sebuah wujud kepatuhan setiap anggota Polri kepada Institusi/lembaga sebagai wadah pengabdiannya, sedangkan etika kemandirian adalah sikap moral setiap anggota Polri dan institusinya untuk senantiasa berlaku netral, tidak terpengaruh terhadap kepentingan politik dan golongan di dalam melaksanakan tugasnya apalagi kepentingan pribadi.
III. KESIMPULAN
Perlu adanya peningkatan pemahaman tentang kode etik kepolisian bagi seluruh anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan sehingga tidak adanya lagi oknum-oknum polisi yang bertindak tidak sesuai etika dan moral, sehingga adanya keselarasan dan keseimbangan dengan paradigma baru Polri yang menjadi dambaan masyarakat pada umumnya. Keberhasilan Polri tentunya tidak semata-mata dengan kebrhasilan menegakkan hukum semata tetapi juga diiringi dengan perubahan kultur dan budaya Polri sangat dominan pada perbaikan citra Polri ke depan.
DAFTAR PUSTAKA:
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sarwono, Sarlito Wirawan. "Etika Kepolisian" diunduh di www.sws.com.
Baca selengkapnya.....
Jumat, 31 Desember 2010
Kamis, 21 Oktober 2010
PENCITRAAN POLRI DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT
I. PENDAHULUAN
Polri sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dalam membangun dirinya harus selalu selaras dengan agenda pembangunan nasional yang memuat Visi, Misi, Strategi Pokok Pembangunan, Kebijakan dan Sasaran serta Program dan Kegiatan. Proses reformasi Polri telah menampakkan hasil pada aspek struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, serta semakin mengemukanya paradigma baru sebagai polisi yang berwatak sipil (civilian police), sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain melalui : pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya dan Kode Etik Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Sikap perilaku anggota Polri belum sepenuhnya mencerminkan jatidiri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus.
II. PERMASALAHAN
1. Kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat masih dihadapkan pada masalah separatis OPM di Papua; konflik horisontal di beberapa daerah (antar suku, antar kelompok masyarakat, antar agama, dll), serta beberapa aksi terorisme masih merupakan kondisi faktual sekaligus menjadi ancaman potensial yang menuntut perlunya penanganan secara lebih komprehensif dan terintegrasi oleh segenap komponen bangsa.
2. Perkembangan gangguan Kamtibmas berupa kriminalitas dan pelanggaran tertib lalu lintas, menunjukkan kecenderungan meningkat baik aspek kuantitas maupun kualitasnya. Bentuk gangguan Kamtibmas tersebut meliputi kejahatan konvensional terutama kejahatan dengan kekerasan/street crimes; kejahatan transnasional seperti terorisme, cyber crime, money laundering, penyelundupan senpi dan handak, perompakan, narkoba, perdagangan wanita/anak (trafficking) dan kejahatan ekonomi. Kejahatan terhadap kekayaan negara, terutama korupsi, illegal loging, illegal fishing dan illegal mining, serta kejahatan yang berimplikasi kontinjensi.
3. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin meluas, fakta menunjukkan bahwa wilayah Indonesia bukan sekedar wilayah pemasaran, tetapi untuk beberapa jenis narkoba justru sudah diproduksi di dalam negeri.
4. Rasio perbandingan Polri dengan penduduk belum mencapai rasio yang ideal 1 : 500, di samping itu kualitas profesionalisme SDM Polri masih belum memadai dan sarana prasarana untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri masih memerlukan penambahan agar sebanding dengan kuantitas SDM Polri yang tersedia.
5. Kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang diharapkan, hal ini disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak tanggap, diskriminatif dan kurang profesional dalam menangani laporan pengaduan masyarakat, ditambah lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum santun dalam memberikan pelayanan.
6. Kadar kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat luas masih belum memadai untuk mewujudkan kondisi Kamtibmas yang kondusif, meluasnya kemiskinan dan pengangguran serta adanya kesenjangan kesejahteraan menjadi faktor dominan rendahnya kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum.
III. TANTANGAN POLRI KE DEPAN
Mewujudkan Kamtibmas yang kondusif dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dihadapkan pada tantangan diberbagai aspek kehidupan antara lain: Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Keamanan.
1. Tantangan dalam aspek politik, berkaitan dengan kualitas pemahaman budaya politik yang dibangun melalui pendidikan, komunikasi dan partisipasi politik yang belum sepenuhnya mampu memperkuat sendi- sendi demokrasi. Ada kalanya kebebasan dan keterbukaan diaktualisasikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti pemaksaan kehendak melalui pengerahan kekuatan, money politics dan perbuatan lain yang melanggar rambu-rambu hukum masih menjadi isu sentral dalam kehidupan politik yang dapat menimbulkan ketidak setabilan di bidang keamanan.
2. Tantangan dalam aspek ekonomi, dihadapkan pada berkembangnya sistem pasar bebas yang belum sepenuhnya didukung oleh infrastruktur yang kuat. Sektor industri, pertanian dan jasa belum kompetitif, daya saing masih lemah, sementara pasar domestik didominasi produk impor, turut mempengaruhi meluasnya pengangguran dan terjadinya kesenjangan kaya miskin yang semakin nyata merupakan faktor kriminogen bagi instabilitas kamtibmas.
3. Tantangan dalam aspek sosial budaya, diwarnai melunturnya nilai-nilai luhur yang menempatkan akal budi sebagai suatu kehormatan kearah penguasaan yang bersifat materiil menjadi tujuan, menyuburkan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Kehormatan selalu dinilai dari nilai kekayaan materi dan uang serta gaya hidup yang konsumtif menyebabkan longgarnya ikatan sosial, kondisi ini sangat rentan terhadap timbulnya masalah di bidang keamanan.
4. Tantangan dalam aspek keamanan, dihadapkan pada berkembangnya suasana konflik yang dilatarbelakangi masalah agama dan etnis, gagasan dan tindakan separatisme, kriminalitas yang secara kuantitas dan kualitas terus meningkat, perilaku kekerasan yang semakin intens, pengembangan isu ketidak adilan ekonomi dan sosial, membuka dan mengundang keterlibatan lembaga-lembaga internasional dalam upaya penyelesaiannya, dengan memaksakan penerapan standar global.
IV. VISI DAN MISI POLRI
1. Visi Polri.
”Terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral dan modern, sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara Kamtibmas dan menegakkan hukum”.
2. Misi Polri.
a. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, tanggap/responsif dan tidak diskriminatif, agar masyarakat bebas dari segala bentuk gangguan fisik dan psikhis.
b. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sepanjang waktu diseluruh wilayah serta memfasilitasi keikutsertaan masyarakat dalam memelihara kamtibmas di lingkungan masing-masing.
c. Memelihara kamtibselcar lantas untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus orang dan barang.
d. Mengembangkan pemolisian masyarakat (community policing) yang berbasis pada masyarakat patuh hukum (Law Abiding Citizen)
e. Menegakkan hukum secara profesional, obyektif, proporsional, transparan dan akuntabel untuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
f. Mengelola secara profesional, transparan, akuntabel dan modern seluruh sumber daya Polri guna mendukung keberhasilan tugas Polri.
V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI
1. Kebijakan di Bidang Pembangunan Kekuatan
Pembangunan kekuatan Polri diarahkan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan, agar mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum secara profesional. Sejalan dengan kebijakan tersebut, strategi pembangunan kekuatan Polri dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melanjutkan terlaksananya desentralisasi kewenangan operasional dan pembinaan kesatuan kewilayahan, sehingga dapat direalisasikan Polda sebagai kesatuan yang memiliki kewenangan penuh, Polres sebagai basis pelayanan masyarakat, dan Polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
b. Mengembangkan kuantitas anggota Polri untuk mencapai rasio perbandingan Polri dengan penduduk 1 : 500. Pengembangan jumlah personel Polri tersebut diarahkan untuk mengisi pemekaran satuan-satuan kewilayahan, dan satuan kewilayahan tertentu sesuai dengan tantangan tugas yang dihadapi.
c. Melanjutkan pembangunan satuan kewilayahan, terutama pada tingkat Polres dan Polsek diselaraskan dengan pengembangan administrasi pemerintahan daerah, dan wilayah perbatasan serta perairan.
d. Secara bertahap melanjutkan pembangunan kemampuan fungsi teknis pendukung di satuan-satuan kewilayahan, meliputi: fungsi teknis laboratorium forensik, kedokteran forensik dan identifikasi guna meningkatkan profesionalisme Polri dalam penyidikan.
e. Menggelar sistem jaringan elektronik ”e-Polri” guna meningkatkan kemampuan operasional, utamanya dalam kecepatan pemberian pelayanan masyarakat, peningkatan keamanan, kecepatan penyampaian informasi, serta untuk peningkatan dan efisiensi dalam bidang pembinaan di jajaran Polri.
2. Kebijakan di Bidang Operasional
Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, guna terwujudnya kamdagri. Sejalan dengan kebijakan tersebut, strategi yang diterapkan lebih mengedepankan langkah-langkah pre-emtif dan preventif. Dengan demikian diharapkan setiap permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, secara dini dapat dideteksi dan diselesaikan, agar tidak berkembang menjadi lebih besar dan mengganggu stabilitas kamtibmas. Terhadap gangguan keamanan yang terjadi ditangani sesuai ketentuan hukum yang berlaku serta dilaksanakan secara tegas, konsisten, obyektif dengan menjunjung tinggi HAM, sehingga menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Penerapan strategi tersebut antara lain:
a. Meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pre-emtif dan preventif, sedangkan penegakan hokum dilaksanakan sebagai upaya untuk menimbulkan dampak jera yang memiliki daya prevensi.
1) Secara konsisten menerapkan program Community Policing, dalam rangka meningkatkan pemberdayaan peran serta masyarakat dalam mengamankan diri dan lingkungannya, serta mengeliminir dan menyelesaikan permasalahan yang muncul di tengah masyarakat.
2) Meningkatkan kehadiran petugas ditengah-tengah masyarakat dalam rangka mencegah munculnya gangguan Kamtibmas, sehingga terwujud ketentraman di dalam masyarakat.
3) Meningkatkan kecepatan Polri dalam menangani permasalahan gangguan Kamtibmas yang muncul dan dilaporkan oleh masyarakat (Quick Respons).
4) Menindak secara tegas dan konsisten :
a) Kejahatan yang merugikan kekayaan negara, meliputi: korupsi, illegal logging, illegal mining, penyelundupan, dan pencurian kekayaan alam lainnya.
b) Kejahatan yang berdampak luas terhadap masyarakat, antara lain: kejahatan narkoba dan perjudian yang merambah ditengah-tengah masyarakat.
c) Kejahatan yang meresahkan masyarakat dengan prioritas kepada street crime dan banditisme.
d) Segala bentuk pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan ketidak tertiban, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, guna meningkatkan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, sekaligus mengangkat citra Polri di jalan raya. Untuk menjamin efektivitas penanganan kejahatan dan pelanggaran tersebut, dilaksanakan secara terpadu dengan instansi terkait.
5) Penegakan hukum dilaksanakan secara profesional dan proporsional, tegas, tidak diskriminatif, transparan dan akuntabel serta meningkatkan kerjasama antar penegak hukum Criminal Justice System (CJS).
6) Meningkatkan kemampuan fungsi teknis pendukung, meliputi: fungsi teknis laboratorium forensik, kedokteran forensik dan identifikasi, serta secara bertahap melengkapi satuan kewilayahan dengan kemampuan fungsi teknis pendukung tersebut.
7) Meningkatkan kemampuan dan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
8) Memperkuat kerja sama Internasional dalam wadah ASEANAPOL dan Interpol untuk memberantas Transnational Crime.
b. Menggelar kekuatan Polri di wilayah perbatasan, dalam rangka mengamankan wilayah perbatasan dan mencegah kejahatan lintas batas, antara lain dengan:
1) Menambah dan memperkuat Satuan Kepolisian dan pos-pos perbatasan yang telah ada.
2) Meningkatkan patroli udara dan patroli perairan secara terpadu.
c. Melaksanakan pencegahan, penanggulangan separatisme dan konflik yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
1) Menindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku terhadap para pelakunya, dengan tetap menghormati HAM serta hak-hak masyarakat sipil.
2) Mendorong dan meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dan lembaga kemasyarakatan :
a) Upaya penyadaran kepada warga masyarakat yang terpengaruh gerakan separatis dan konflik.
b) Mencari solusi terhadap akar masalah yang menjadi penyebab munculnya gerakan separatis dan konflik yang terjadi.
3) Dalam rangka penegakan hukum menjalin hubungan kerjasama dengan negara tempat domisili/pelarian bagi para tokoh-tokoh separatis melalui Departemen Luar Negeri.
4) Meningkatkan operasi penegakan hukum di wilayah konflik, guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Meningkatkan pencegahan dan penindakan gerakan terorisme.
1) Meningkatkan kerjasama antar pengemban fungsi intelijen dalam rangka pertukaran informasi.
2) Meningkatkan kemampuan intelijen kepolisian dengan dukungan teknologi informasi.
3) Menggalang kebersamaan dengan tokoh-tokoh masyarakat guna menumbuh kembangkan kesadaran dalam memerangi terorisme.
4) Melanjutkan pengembangan unit-unit penindak anti teroris di daerah.
5) Secara intensif memburu kelompok dan otak teroris yang belum tertangkap.
6) Meningkatkan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme.
7) Melakukan pembinaan di daerah yang potensial, guna mencegah tumbuhnya terorisme.
8) Mendorong dibenahinya sistem administrasi kependudukan ke arah single number identification (SNI) dalam rangka meningkatkan sistem keamanan.
e. Meningkatkan pelayanan administrasi kepada masyarakat, dilakukan dengan upaya :
1) Memperbaiki dan mengembangkan sistem pelayanan yang bersifat administratif kepada masyarakat, dengan menyederhanakan prosedur dan mempercepat waktu pelayanan.
2) Mengeliminir terjadinya penyimpangan yang membebani masyarakat yang membutuhkan pelayanan Polri.
f. Menjalin kerja sama dengan lembaga kemasyarakatan/LSM dalam kapasitasnya sebagai social control, guna peningkatan pelayanan masyarakat.
g. Meningkatkan kemampuan dan kecepatan penanganan musibah dan bencana alam dalam skala luas dan besar, bersama-sama dengan instansi terkait lainnya.
h. Menempatkan SLO/LO Polri di negara-negara tertentu, dengan berpegang pada azas kebutuhan, efisiensi dan timbal balik (reciprochal).
3. Kebijakan di Bidang Sumber Daya Manusia (SDM)
Kebijakan di bidang pembinaan SDM diarahkan pada peningkatan kualitas dan kuantitas SDM serta soliditas organisasi Polri, melalui strategi:
a. Melanjutkan upaya rekrutmen personil Polri golongan bintara dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi calon di berbagai daerah, menuju kepada penerapan prinsip ”Local Boy for the Local Job”. Sedang untuk golongan Perwira penugasannya tidak terkait kepada daerah asal, tapi diarahkan dalam rangka memperluas wawasan, meningkatkan rasa kebangsaan, meningkatkan rasa keadilan dalam penempatan, serta mempersiapkan mereka sebagai kader pimpinan Polri dimasa mendatang.
b. Peningkatan kualitas pendidikan Polri diprioritaskan pada kualitas calon siswa, tenaga pendidik dan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dilaksanakan :
1) Proses seleksi secara transparan, obyektif, dan melibatkan pihak luar untuk membantu mengawasi pelaksanaannya, serta menghindari segala bentuk intervensi.
2) Penempatan personil Polri yang berprestasi dan memiliki integritas moral yang tinggi sebagai tenaga pendidik, serta menetapkan jabatan tenaga pendidik sebagai jabatan promosi, serta mengesampingkan imej bahwa penempatan di lembaga pendidikan bukan merupakan ”penempatan buangan” dengan memberikan renumerasi bagi pelaksana tugas tenaga pendidiknya.
3) Penyusunan kurikulum diarahkan agar mampu membentuk anggota Polri yang profesional, humanis, terpuji dan patuh hukum.
c. Pembinaan karir personil Polri dilaksanakan secara obyektif, adil dan didasarkan atas ketentuan yang berlaku, dengan mempertimbangkan moral, kemampuan, prestasi, pendidikan, dan senioritas, tanpa mengorbankan kualitas.
d. Memelihara dan meningkatkan profesionalisme kepolisian baik perorangan maupun satuan, dengan melanjutkan program pendidikan dan pelatihan yang dilakukan :
1) Secara internal maupun eksternal melalui kerjasama dengan pihak dalam dan luar negeri.
2) Secara simultan disela-sela pelaksanaan tugas.
3) Dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.
e. Meningkatkan upaya merubah kultur anggota Polri menuju polisi berwatak sipil yang mampu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, melalui :
1) Pembenahan sistem pendidikan Polri.
2) Keteladanan setiap unsur pimpinan di setiap strata jabatan Polri dalam sikap dan perilaku terpuji.
3) Penerapan Reward and Punishment secara konsisten, obyektif dan adil.
4) Mensosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam pemaknaan Tri Brata dan Catur Prasetya serta Kode Etik Kepolisian .
5. Kebijakan di Bidang Sarana dan Prasarana
Kebijakan di bidang sarana dan prasarana diarahkan agar senantiasa siap dalam mendukung keberhasilan tugas-tugas Polri. Penerapan strategi antara lain sebagai berikut:
a. Melaksanakan debirokratisasi sistem dukungan sarana dan prasarana melalui pendelegasian wewenang ke kesatuan wilayah sesuai dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut.
b. Pengadaan sarana dan prasarana diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pengamanan perbatasan, daerah rawan, daerah terpencil, peningkatan kemampuan fungsi teknis pendukung operasional, pemenuhan perumahan dinas dan markas. Upaya-upaya yang dilaksanakan antara lain :
1) Pengadaan transportasi darat, laut dan udara untuk pelaksanaan patroli antar pulau dan wilayah perbatasan, pengejaran pelaku kejahatan, penanganan bencana alam, angkutan pasukan dan penanggulangan kejahatan.
2) Pembangunan Markas Satuan Kewilayahan baru (pemekaran) dan Pos-Pos Kepolisian di wilayah perbatasan.
3) Pengadaan peralatan fungsi teknis pendukung, meliputi Laboratorium Forensik, Kedokteran Forensik dan Identifikasi Kepolisian, yang disesuaikan dengan kebutuhan.
c. Meningkatkan pemeliharaan dan perawatan terhadap seluruh sarana dan prasarana yang dimiliki, agar selalu dalam kondisi siap pakai untuk mendukung keberhasilan tugas-tugas Polri.
d. Meningkatkan ”quality inventory control” agar setiap aset negara terjamin keberadaan dan penggunaannya untuk mendukung pelaksanaan tugas.
e. Meningkatkan pengawasan untuk mencegah penyimpangan dan pemborosan dalam proses pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemeliharaan dan penghapusan.
5. Kebijakan di Bidang Manajemen
Kebijakan di bidang manajemen diarahkan agar seluruh proses manajemen dapat berjalan disetiap unit organisasi secara efektif dan efisien. Penerapan strategi antara lain sebagai berikut:
a. Menyempurnakan sistem perencanaan Polri agar selaras dengan PP No. 21 tahun 2004 yang berorientasi pada ”penganggaran berbasis kinerja” dan menjamin transparansi serta akuntabilitas sebagai bagian dari lembaga pemerintahan.
b. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi kewenangan, pelaksanaan tugas operasional Kepolisian didorong agar sejauh mungkin dapat diselesaikan oleh satuan kewilayahan.
c. Modernisasi peralatan Polri dilaksanakan dengan memperhatikan daya guna yang tinggi untuk mendukung tugas Polri, serta kesinambungan dan kemudahan dalam pengoperasiannya.
d. Meningkatkan ”kualitas dan frekuensi penyelenggaraan pengawasan melekat dan pengawasan fungsional” untuk menjamin pencapaian sasaran perencanaan dan pencegahan kebocoran keuangan negara.
e. Mengkaji dan menyempurnakan :
1) Struktur organisasi Polri, agar mampu menjamin tergelarnya sebagian besar kekuatan dan kemampuan Polri pada Polres dan Polsek, tanpa mengabaikan prinsip efektifitas dan efisiensi.
2) Penerimaan Calon Taruna Akpol disesuaikan dengan UU Sisdiknas untuk menjamin akreditasi lembaga pendidikan pembentukan perwira Polri yang sesuai dengan regulasi, namun tetap memperhatikan mutu didik serta peserta didik dalam turut membentuk insan Bhayangkara sejati.
3) Jenjang kepangkatan di kepolisian untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pengabdian dalam rangka efisiensi dan efektivitas tugas.
4) Berbagai sistem dukungan sarana dan prasarana, keuangan dan perencanaan anggaran melalui kemajuan teknologi, agar proses penyalurannya dapat langsung kepada petugas di lapangan.
VI. PENUTUP
Menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan berbagai kebijakan dalam rangka membangun Polri yang dipercaya oleh masyarakat sebagaimana dalam uraian tadi, akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh:
1. Komitmen yang tinggi dari setiap anggota Polri, sehingga proses penyadaran setiap anggota Polri akan tugas, fungsi, peranan dan wewenang adalah merupakan kunci pokok utama yang harus dilakukan setiap atasan terhadap bawahannya. Proses internalisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya dan Etika Profesi Kepolisian harus berlangsung secara intens, agar mampu memotivasi dan mengendalikan sikap mental dan perilaku setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dalam memelihara keamanan dan menegakkan hukum.
2. Political Will dari pemerintah dan dukungan dari parlemen (DPR-RI) baik dalam pemenuhan kebutuhan Polri maupun dalam pengawasan, ”merupakan prasyarat utama”, agar program-program Polri yang mendorong perubahan menuju Polri yang profesional semakin mendekati kenyataan.
3. Partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemolisian di lingkungannya masing-masing, dan Sosial Control yang bertanggung jawab sebagai warga masyarakat yang patuh hukum (Law Abiding Citizen) merupakan mitra utama dalam mewujudkan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Baca selengkapnya.....
Senin, 27 September 2010
SEJARAH POLRI MENUJU ERA REFORMASI (Suatu Telaah Melalui Perspektif Periodisasi Sejarah, Proses dan Peran)
I. P E N D A H U L U A N
1. U m u m.
Era reformasi yang berkembang dalam kehidupan politik, hukum, dan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini dipengaruhi oleh suasana tatanan kehidupan masyarakat yang berkembang dalam lingkup global, yang pada intinya menuntut diwujudkannya iklim demokratisasi dengan ciri adanya kepastian hukum, keadilan atau keseimbangan untuk semua pihak, dan keterbukaan dalam sistem kehidupan masyarakat. Salah satu pemenuhan tuntutan kebutuhan tersebut adalah diwujudkannya organ aparat penegak hukum dan ketertiban umum yang bebas dari pengaruh kekuasaan birokrasi pemerintahan maupun militer, serta profesional dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Polri sebagai unsur penegak komponen aparat penegak hukum dan ketertiban umum dalam sistem keamanan nasional dituntut juga untuk mampu mewujudkan iklim kepastian hukum, keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan suatu kemampuan Polri yang mandiri dan profesional, setara dengan tingkat kehidupan masyarakat yang dilayaninya.
Pada hakikatnya, tuntutan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas Polri merupakan salah satu kebutuhan dalam mewujudkan berbagai tuntutan masyarakat masyarakat pada era reformasi ini. Untuk itu, berbagai pola kerja, paradigma maupun tatanan kemampuan Polri harus dapat disesuaikan dengan berbagai tuntutan kehidupan dalam era reformasi tersebut.
Status kemandirian yang diperoleh Polri saat ini tidak terlepas dari peristiwa yang sangat bersejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu saat jatuhnya Presiden Soeharto setelah melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan memakan korban dari kalangan mahasiswa, terkenal dengan sebutan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Melalui pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang sejarah Polri dan status kemandiriannya saat ini dihadapkan dengan tantangan di era reformasi, diharapkan anggota Polri dapat lebih meningkatkan pengabdiannya, yang pada muaranya akan mendukung proses reformasi itu sendiri.
2. Khusus
Isue yang sering terungkap selama ini adalah menggambarkan persepsi kepolisian di Indonesia dalam kondisi role conflict atau mungkin disfungsional. Dari beberapa pernyataan yang menggambarkan sikap dan pandangan tentang gagasan pembaharuan kepolisian di Indonesia, perlu kita pahami persepsi secara wajar. Pemahaman subyektif terhadap masalah tidaklah akan membuat terang perkaranya, lebih-lebih bila mengatasi tidak secara benar.
Sejalan dengan kondisi tersebut, tuntutan-tuntutan untuk dilakukannya suatu perubahan telah ditanggapi dengan memfungsikan kembali bagian-bagian dalam kehidupan sosial yang mengalami disfungsi atau non fungsi. Perspektif ini juga sering dikatakan sebagai integration approach, order approach atau equilibrium approach, system approach, yang pada prinsipnya memusatkan perhatian kepada masalah keteraturan (order).
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai organisasi besar dan kompleks mengemban tugas yang sangat luas, karenanya diperlukan : (1) kemampuan teknis operasional yang harus didukung oleh teknologi kepolisian yang sederhana, madya, maupun yang canggih. Perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam dalam lingkup nasional maupun internasional dimasa mendatang diperkirakan akan diikuti oleh kriminalitas dan gangguan kamtibmas yang lebih berat dan menggunakan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang lebih canggih; (2) manajer-manajer kepolisian dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi dan manajer-manajer fungsiomal yang lebih berkualitas.
Peran Polri lebih ditekankan pada pelayanan, pengayoman, dan pelindung masyarakat, sehingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat lebih kreatif dan produktif.
3. Maksud dan tujuan.
a. Maksud.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang sejarah perkembangan kepolisian sampai dengan tuntutan reformasi termasuk reformasi Polri serta upaya Polri menyikapi era reformasi.
b. Tujuan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pengabdian anggota Polri, serta dalam hal ini juga sebagai bahan informasi mengenai perjalanan reformasi Polri.
4. Ruang lingkup.
Ruang Lingkup penulisannya meliputi dibatasi pada sejarah Polri serta peran Polri dalam era reformasi.
5. Pendekatan.
Penulisan karya tulis tentang Polri di era reformasi ini menggunakan pendekatan sejarah, sebab dan akibat. Dengan pendekatan sejarah akan diuraikan perkembangan Polri sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Orde Baru. Pendekatan sebab dan akibat akan menguraikan proses reformasi yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan Polri terpisah dari ABRI/TNI dengan segala implikasinya.
6. Tata Urut.
BAB I P E N D A H U L U A N
BAB II SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI SEBELUM ERA REFORMASI
BAB III PROSES TERJADINYA REFORMASI DI TUBUH POLRI
BAB IV UPAYA POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT DI ERA REFORMASI
BAB V P E N U T U P
II. SEJARAH KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI SEBELUM ERA REFORMASI
7. Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :
a. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.
Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata–mata adalah alat kolonial.
b. Kepolisian pada jaman Jepang.
Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap–tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari–hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan/pemerintahan tentara Jepang.
c. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang–undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden.
d. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.
Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi–operasi militer.
e. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru.
Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara.
Brigjen Pol. Drs. R.Abdussalam SH. MH. dalam artikelnya yang berjudul "Hormatilah Kompetensi Polri", dimuat di Jurnal Police Watch 1, menyatakan bahwa selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System (CJS).
8. Mencermati perkembangan kedudukan, tugas, fungsi dan peranan kepolisian dari jaman penjajahan Belanda hingga jaman Orde Baru, tersirat adanya pergeseran misi, visi dan tujuan Kepolisian. Hal ini disebabkan oleh kedudukan Polri dan peran kepolisian dalam sistem politik negara yang memberikan beban kepada Kepolisian sebagai alat kekuasaan yang jelas bertentangan dengan visi, misi dan tujuan Kepolisian secara universal. Tujuan menangkal bahaya, memberikan pelayanan dan pengayoman untuk mencapai ketentraman serta memberikan jaminan terhadap tegaknya kebenaran dan keadilan menjadi terabaikan. Pada akhirnya Polri menjadi tidak profesional dan jauh dari masyarakat.
9. Organisasi di mana Polri berada, mewadahi dan memberi struktur pada pelaksanaan fungsi kepolisian yang pada gilirannya memberikan cap terhadap aktivitas perpolisian di situ. Dalam hubungan ini, kita mempunyai sejarah yang penting, yaitu pada waktu Polri dimasukkan ke dalam organisasi ABRI. Banyak pekerjaan kepolisian yang rusak dan bernoda (tainted) karena diwadahi dalam ABRI tersebut. Kasus–kasus besar seperti Marsinah, Udin, Tjetje di masa lampau merupakan contoh–contoh menonjol tentang bagaimana aktivitas dan kinerja Polri sejak militer merupakan faktor dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Jadi tidaklah mengherankan bila banyak pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara militer” daripada “secara polisi”.
III. PROSES TERJADINYA REFORMASI DI TUBUH POLRI
10. Desakan agar Polri memisahkan diri dari ABRI sebenarnya sudah sejak lama diperbincangkan oleh para tokoh, masyarakat, praktisi hukum dan lain sebagainya, melalui berbagai seminar, lokakarya dan diskusi. Pakar Hukum Pidana Unair, Prof.Dr. JE Sahetapy, pada tahun 1993 telah mulai menyuarakan agar Polri keluar dari ABRI tanpa suatu pretensi ataupun motivasi apapun, apalagi yang bernafaskan politik. Pemikiran tersebut mengemuka dengan alasan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme Polri sebagai barisan terdepan dalam menjaga ketertiban masyarakat dari berbagai kejahatan. Dengan keluarnya Polri dari ABRI, fungsi utamanya bisa dijalankan dan bisa berperan sebagai pengayom masyarakat yang disegani dan dihormati, bukan ditakuti. Beberapa tokoh menyuarakan bahwa posisi Polri bisa berada di bawah Departemen Dalam Negeri atau Kehakiman, bahkan kalau perlu di bawah Presiden. Namun tidak sedikit juga di antara para tokoh yang menganggap bahwa polisi tidak perlu keluar dari ABRI untuk meningkatkan profesionalismenya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pemisahan Polri dari ABRI tidak penting, yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan citra, idealisme, profesionalisme dan semangat pengabdian polisi.
11. Gelombang reformasi yang digerakkan oleh peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 memang melanda segenap tata kehidupan kenegaraan, yang pada akhirnya berdampak pada tuntutan perlunya mereformasi Polri. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya menyangkut jatuhnya rezim Orde Baru yang memungkinkan terjadinya reformasi di segala bidang, termasuk terhadap Polri sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia, dapat dilihat sebagai berikut ini :
a. Pemerintahan Orde Baru mulai dikritik secara tajam pada akhir tahun 1996 dan awal 1997. Trik–trik penyelenggaraan pemerintahan mulai disorot, yang kemudian diperkeruh lagi dengan adanya penemuan riset korupsi yang diekspose oleh Majalah Jerman “Der Spiegel” yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup ketiga di dunia dari 43 negara. Disorot juga adanya kebijakan politik yang mempertahankan “single majority” Golkar yang mengarah pada mendudukkan kembali Jenderal Tni (Purn.) Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya.
b. Pada saat bersamaan, muncul kerusuhan–kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi di berbagai tempat. Pemerintah Orde Baru dan ABRI berusaha meredam kerusuhan yang ada dengan segala cara. Terjadilah beberapa peristiwa yang sangat menjadi perhatian publik, antara lain: peristiwa penculikan aktivis politik dan penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang memakan banyak korban.
c. Tindakan represif aparat dengan berbagai ancaman dan penculikan, justru semakin menyulut keberanian mengungkapkan pendapat yang mengecam kebrengsekan pemerintahan Orba dan para penyelenggara negara.
d. Kekuatan yang benar–benar menggoyahkan sendi–sendi kekuatan Orba adalah krisis moneter yang bergulir sejak Juni 1997, yang kemudian membangkitkan kritik, isu, dan pernyataan–pernyataan yang semakin menajam. Dunia universitas bangkit, yang menyebabkan mahasiswa secara spontan menanggapinya dengan menggelar aksi demonstrasi yang merupakan gerakan kampus. Selama bulan Januari sampai dengan awal Mei 1998 suasana politik makin panas. Walaupun demikian, Presiden Soeharto masih tetap mengendalikan negara.
e. Awal April 1998, gerakan mahasiswa sudah mulai menyuarakan agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Kata “reformasi” sudah mulai terbiasa digunakan, bahkan menggema sebagai perwujudan sikap yang menginginkan perubahan. Pihak mahasiswa menuntut perubahan secepatnya (reformasi total) sedangkan pemerintah dengan back up ABRI menyatakan bahwa mereka juga menginginkan perubahan namun harus bersifat gradual, karena perubahan total hanya akan melahirkan gejolak yang mengganggu stabilitas. Posisi yang berseberangan ini lalu makin mempertajam ketegangan. Tuntutan reformasi politik mahasiswa sendiri adalah pembaharuan politik dengan lima isu perubahan yaitu perubahan pemimpin, perubahan eksekutif, pemerintahan yang bersih, kebijakan publik yang tepat dan berkembangnya masyarakat sipil/madani.
f. Polisi berada pada masa yang sangat sulit, karena memihak yang manapun tidak menguntungkan. Polri seharusnya kembali pada hakekatnya sebagai polisi negara, bukan polisi pemerintah. Prof. Satjipto Rahardjo pernah menulis sebuah artikel agar Polri dan mahasiswa bersatu, artinya bila ada demonstrasi, maka polisi akan mengawalnya agar tidak terjadi gangguan. Kenyataannya polisi malah harus berhadapan dengan mahasiswa.
g. Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.
h. Sidang Istimewa MPR 1998 dengan TAP MPR No. X / MPR / 1998 kemudian menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :
“menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”
i. Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI.
j. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah–langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
12. Walaupun Polri telah mendapatkan kejelasan posisinya dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu langsung di bawah Presiden, namun dalam pelaksanaannya, upaya mewujudkan kemandirian Polri masih terkesan tersendat–sendat yang berakibat kemandirian dan profesionalisme Polri masih menampilkan sikap dan corak kemiliteran yang mengandung kesan reaktif-represif sehingga tidak menimbulkan kesan sebagai pengayom masyarakat yang berunjuk kerja proaktif-preventif. Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsif terhadap kepentingan masyarakat.
IV. UPAYA POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT DI ERA REFORMASI
13. Sejak dipisahkan dari militer, masyarakat ingin melihat terjadinya perubahan penting pada polisinya. Sekalipun hal itu merupakan hal yang lumrah dan wajar, tetapi tentu saja merupakan hal yang sangat susah untuk dipenuhi. Tiga puluh tahun berada dalam situasi militer dan di bawah komando militer adalah waktu yang sangat lama yang mampu membentuk pola perilaku dan tradisi tersendiri. Dalam konteks reformasi yang dilancarkan bangsa Indonesia dewasa ini, pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan Polri dari ABRI dan sering kali dikemukakan adalah pertimbangan praktis, yaitu intervensi ABRI dalam pelaksanaan tugas–tugas operasional Polri, seperti penyidikan perkara–perkara yang ada kaitannya dengan jaringan kekuasaan dan pengontrolan atas kegiatan–kegiatan politik.
14. Kasus demonstrasi oleh para ibu di Bundaran Hotel Indonesia di tahun 1997, yang antara lain memintakan perhatian terhadap naiknya harga susu bayi, adalah termasuk perbuatan ringan yang cukup diperingatkan saja. Tetapi karena Polri tunduk pada perintah militer yang waktu itu harus mengamankan Sidang Umum MPR 1997, maka Karlina Leksono harus diproses secara hukum dan ditahan polisi. Polisi tidak dapat menolak perintah dari atas, karena sebagai bagian dari ABRI, Polri harus menerima kenyataan bahwa perintah adalah perintah dan mutlak harus dijalankan.
15. Posisi Polri yang mandiri akan membuat dirinya terbebas dari penyalahgunaan peran, fungsi dan wewenangnya sebagai alat kekuasaan pemerintah. Hal ini akan mendorong ke arah tercapainya masyarakat madani yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Pengertian masyarakat madani dapat disampaikan sebagai berikut:
Masyarakat madani atau masyarakat sipil menurut Gellner (1995:32) adalah sebuah masyarakat dengan seperangkat pranata non pemerintah yang cukup kuat untuk menjadi penyeimbang dari kekuasaan negara dan pada saat yang sama, mendorong pemerintah untuk menjalankan peranannya sebagai penjaga perdamaian dan penengah di antara berbagai kepentingan utama dalam masyarakat, serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah negara untuk mendominasi dan mengecilkan peranan masyarakat.
Masyarakat madani atau sipil yang modern dibangun berlandaskan demokrasi yang mencakup prinsip–prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dan yang diperintah oleh kekuasaan mayoritas, hak–hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan hak di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi dan politik, nilai–nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat (Lubis, 1994).
16. Tim Pokja Reformasi Polri dalam buku Reformasi menuju Polri yang mandiri telah merumuskan Langkah–langkah yang perlu diambil Polri untuk mewujudkan jati diri dan profesionalisme Polri dalam perspektif reformasi melalui penyesuaian dan perubahan aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental, yaitu :
a. Perubahan aspek struktural mencakup perubahan kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Dari segi kelembagaan, Polri harus bersifat otonom dan mandiri. Polri seyogyanya diperlakukan sebagai suatu lembaga khusus negara, yang secara administratif berkedudukan langsung di bawah Presiden, tetapi mandiri (independence) dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.
b. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
c. Perubahan aspek kultural sebagai muara dari perubahan aspek struktural dan aspek instrumental, karena semuanya harus terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat.
17. Perubahan–perubahan tersebut di atas hendaknya dilandaskan pada UUD 1945 amandemen kedua tahun 2000 dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terutama menyangkut tugas, tujuan dan fungsinya dengan tidak mengabaikan kandungan nilai Tribrata, doktrin Polri “Tata Tentrem Kerta Raharja”, dan Kode Etik Polri sebagai nilai ideal tentang Polri yang bersumber dari Pancasila, Tribrata dan Catur Prasetya.
Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 amandemen kedua tahun 2000 menyebutkan tentang tugas Polri sebagai berikut :
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Sedangkan dalam pasal 2 dan 4 UU NO. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan tentang fungsi dan tujuan Polri sebagai berikut :
Pasal 2
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
18. Khusus masalah kemandirian Polri, dalam rangka memajukan profesionalisme kepolisian dan meningkatkan peranannya sebagai aparat penegak hukum yang diharapkan bebas dari intervensi politik, sebagai tujuan dari reformasi Polri, seyogyanya kita mempertimbangkan secara matang penempatan Polri dalam konstelasi ketatanegaraan RI.
19. Penempatan Polri di bawah Presiden dipandang lebih “aman”, tetapi menjadikannya sebagai suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen merupakan kebijakan yang keliru karena sebagai “instrument of policy”, pembentukan dan pembubarannya didasarkan atas hak prerogatifnya presiden.
20. Selanjutnya sebagai filter atas kemungkinan intervensi (kepentingan politik) pribadi Presiden, perumusan kebijakan kepolisian termasuk kontrol atas Polri seyogyanya dilakukan oleh suatu komisi yang terdiri atas menteri–menteri terkait, perwakilan anggota DPR dan tokoh sosial masyarakat. Dengan jalan demikian, mudah – mudahan di kemudian hari, kita akan memiliki Polri yang sejauh mungkin bebas dari pengaruh kepentingan politik penguasa, yang tidak saja berorientasi kepada negara, tetapi juga kepentingan masyarakat, dan yang mandiri (independen) dalam penegakan hukum serta profesional dalam pelaksanaan tugas–tugasnya, polisi yang disegani dan dicintai masyarakat.
21. Di negara–negara yang lebih demokratis dan sistem kehidupannya telah cukup mapan, intervensi negatif politik dalam tugas–tugas kepolisian hampir tidak menjadi problematik. Di sana, sistem kepolisiannya relatif sudah cukup mapan dan kualitas awaknya relatif cukup tinggi, sehingga bisa membedakan dengan tegas antara kemandirian (independensi) dengan loyalitas kepada pimpinan termasuk penguasa politik.
22. Di Indonesia, loyalitas kepada atasan merupakan prasyarat penilaian untuk promosi, tetapi biasanya diartikan secara sempit, yaitu dalam arti “membenarkan segala pemikiran dan perintah atasan walaupun salah, atau bertentangan dengan hukum dan peraturan."
23. Apa yang diperintahkan Presiden Gus Dur kepada Kapolri untuk melakukan penangkapan–penangkapan, menurut Guru Besar Sosiolog Universitas Indonesia, Prof.Dr. Sardjono Jatiman, SH tidak dapat dikatakan sebagai upaya mengintervensi Polri. Menurutnya, polisi bisa menolak apa yang diminta presiden. Soalnya, permintaan itu bukan merupakan perintah presiden, tetapi hanya pernyataan biasa dalam sebuah pidato dan tidak dituangkan dalam sebuah surat. Hal ini bisa dikatagorikan sebagai laporan yang biasa saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Menurutnya, hal ini terjadi karena kita sudah terbiasa dengan apa yang diucapkan presiden langsung dianggap sebagai perintah. Anggapan itu merupakan budaya lama di jaman Orde Baru. Tapi ini semua tergantung dari Kapolri, kalau ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu perintah, maka hal tersebut merupakan bentuk intervensi.
24. Setiap bangsa akan mengisi makna kemandirian secara berlainan sesuai dengan pengalaman sejarahnya. Misalnya Amerika yang mengatakan bahwa metode kepolisian yang melepaskan diri dari partisan politik. Untuk itu kepolisian tidak boleh tunduk pada otoritas dan tuntutan politik, melainkan harus menciptakan sendiri kriteria kepolisian yang sesungguhnya.
25. Dalam sebuah masyarakat yang otoriter maka fungsi kepolisian adalah melayani atasan atau penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa. Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis-modern dan bercorak majemuk, seperti Indonesia masa kini yang sedang mengalami reformasi menuju masyarakat madani yang demokratis, maka fungsi kepolisian juga harus sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaan Indonesia tersebut. Jika tidak, maka polisi tidak akan memperoleh tempat dalam masyarakat Indonesia sebagai pranata otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia.
26. Semua pihak harus mengerti dan menghormati kompetensi Polri. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kompetensi berarti kewenangan (kekuatan) untuk menentukan dan memutuskan sesuatu. Kompetensi Polri dapat dibagi menjadi dua bagian : kompetensi berdasarkan hukum dengan asas legalitas dan kompetensi berdasarkan pada asas kewajiban. Polri tidak perlu goyah lagi walaupun ada intervensi darimanapun baik pemerintah maupun pressure groups yang berusaha mempengaruhi kompetensi penegakan hukum tanpa berdasarkan hukum.
V. P E N U T U P
27. Kompleknya permasalahan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam masa reformasi ini, ditambah lagi dengan kemunculan berbagai partai politik dengan perjuangan untuk menguasai politik negara di satu pihak dengan perjuangan politik negara di lain pihak, serta munculnya berbagai kerusuhan antar suku bangsa dan konflik ideologi, menghadapkan polisi pada situasi yang menuntut kemampuan profesional untuk dapat mengatasi dan meredamnya secara tepat dan bijaksana.
28. Untuk itu, berbagai pedoman bertindak yang diwarisi dari jaman pemerintahan orde baru di mana polisi menjadi bagian dari doktrin ABRI atau militer sudah harus ditinggalkan diganti dengan pedoman perpolisian yang sesuai dengan fungsi polisi yang baru, yaitu sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum.
29. Keberhasilan reformasi Polri bukan hanya ditentukan oleh Polri, tetapi juga oleh peran serta masyarakat terutama elit politik dengan cara memberikan kesempatan kepada Polri untuk melaksanakan tugasnya secara independen tanpa intervensi pengaruh politik.
30. Dengan demikian dapat diwujudkan jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih profesional, mahir, terampil, bersih dan berwibawa sehingga Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak semata – mata mampu melaksanakan tugas dengan sebaik – baiknya dalam era refromasi ini, tetapi sekaligus mampu membuktikan keberadaannya sebagai institusi nasional yang dicintai masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam. Hormatilah Kompetensi Polri. Jurnal Police Watch 1 (Juli 2000) : 9
Djatiman, Sardjono. Permintaan Presiden Dapat Ditolak Polri. Jurnal Police Watch 1 (Juli 2000) : 8
Indonesia, Undang–Undang Dasar 1945 setelah Amandemen kedua tahun 2000.
Indnesia, Undang–Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Indonesia, TAP MPR NO. VI dan VII / MPR / 2000.
Kelana, Momo. Hukum Kepolisian. Cet. 5. Jakarta: PTIK – Grasindo, 1994.
Kunarto. Polri Mandiri, Merenungi Kritik Terhadap Polri. Jakarta: Cipta Manunggal 1999.
Kunarto. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta: Cipta Manunggal 1997.
Mabes Polri, Tim Pokja. Reformasi Menuju Polri yang Profesional. 1999.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta: Markas Besar Republik Indonesia,1999.
Sumber foto: adibsusilasiraj.blogspot.com Baca selengkapnya.....
Prosedur Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Mainan
Info ini saya sadur dari http://www.komisikepolisianindonesia.com, semoga bermanfaat.
Perihal: Penjelasan tentang prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata mainan / air soft guns
1. Rujukan :
a. Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep / 82 / II / 2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang pengawasan dan pengendalian senjata api dan amunisi non organik TNI / POLRI
b. Telegram Kapolri No. Pol. : TR/768/IV/2008 tanggal 10 April 2008 perihal wasdal peredaran senjata mainan / air soft guns secara ilegal.
c. Nota Dinas Kabid Telematika Polda Jatim No. Pol. : B/ND-168/VI/2008/Bid Telematika tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengaduan masyarakat.
2. Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, terkait dengan prosedur perijinan kepemilikan dan penggunaan senjata mainan / air soft guns disampaikan sbb:
a. Bahwa senjata mainan / menyerupai senjata api (air soft guns) digolongkan sebagai peralatan keamanan sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep / 82 / II / 2004 tanggal 16 Februari 2004.
b. Dalam hal pemilikan dan penggunaan, pembawaan dan penyimpanan peralatan keamanan belum diatur dalam perundang-undangan atau ketentuan lainnya namun dilihat dari akibat penggunaannya dapat membayakan bagi keselamatan jiwa seseorang dan dapat digunakan untuk melakukan kejahatan, maka untuk kepemilikan dan penggunaannya diberlakukan seperti senjata api.
c. Terhadap senjata mainan / menyerupai senjata api (air soft guns) dapat diberikan izin penggunaan dan pemilikan dan nomor registrasi diterbitkan oleh Kabid Yanmin Baintelkam Polri.
d. Terhadap senjata mainan / menyerupai senjata api (air soft guns) diberikan untuk peruntukan olahraga menembak target dan tidak diberikan untuk peruntukan bela diri.
e. Terhadap senjata mainan / menyerupai senjata api (air soft guns) yang telah mendapatkan izin penggunaan dna pemilikan dapat disimpan dirumah dengan surat izin penyimpanan dari Polda setempat.
f. Persyaratan kepemilikan dan penggunaan sebagai berikut :
- Surat ijin import.
- Rekomendasi Pengda Perbakin / club menembak.
- Anggota Perbakin / club menembak.
- Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
- Umur 18 s/d 65 tahun.
- Pas foto ukuran 2 x 3 sebanyak 4 lembar.
kode HS / HS code dari air soft guns - untuk penetapan pajak, berdasarkan klasifikasi jenis produk
kode HS untuk airsoftgun adalah : 930400 (atau 9304xxxxx . angka "x" tergantung tipe) yg artinya :
- Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara (indonesia)
- Other arms, for example, spring, air or gas guns and pistols, truncheons. (internasional)
untuk itu masuk kedalam kategori daftar barang kena pajak yg tergolong mewah selain kendaraan bermotor yg atas penyerahannya dan impornya dikenakan pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif 50%
Sumber gambar: rixco.multiply.com Baca selengkapnya.....
Senin, 30 Agustus 2010
TINDAK KEKERASAN POLISI SEBAGAI CERMINAN KULTUR NEGATIF
I. Pendahuluan
Dengan mandirinya Polri, belakangan ini isue yang berkembang adalah upaya untuk mendudukan kembali organisasi Polri yang profesional sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terbebas dari intervensi kekuatan manapun. Banyak pakar dan pengamat menyoroti hal tersebut dari dua faktor, yaitu dari faktor struktural dan faktor kultural. Dari segi struktural, kemandirian Polri menuntut adanya pemisahan kedudukan Polri yang terlepas dari ABRI dan menjadi lembaga tersendiri yang lebih otonomi, sedangkan dari kultural adalah bagaimana merubah sikap mental serta perilaku anggota Polri agar mencerminkan sosok Polri yang diharapkan, sebagaimana tercantum dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang merupakan pedoman hidup dan pedoman kerja bagi seluruh anggota Polri
Dari kedua faktor yang disoroti tersebut, kendala utama adalah pada perubahan kultur, karena hal itu mengakar pada perilaku anggota yang tercermin dalam pelaksanan tugasnya dilapangan, salah satu yang menonjol dan mendapat sorotan selama ini adalah adanya praktik-praktik kekerasan khususnya dalam melakukan tindakan kepolisian yang bersifat represif. Munculnya tindakan kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas polisi, karena dari sifat tugas telah diatur dengan ketentuan hukum, dalam hal ini tindakan kekerasan tersebut berarti fungsional. Tetapi pada kenyataanya, tindakan kekerasan oleh polisi banyak disalahartikan dan cenderung seperti pelampiasan emosi akibat kurangnya kontrol pengendalian diri. Sehingga tidaklah mengherankan kalau selama ini timbul semacam stereotip dari masyarakat bahwa perilaku polisi identik dengan kekerasan didalamnya.
Kalau kultur itu tidak segera dihilangkan, maka sulit bagi Polri untuk memperbaiki citranya, karena kesan negatif dari tindakan kekerasan tersebut akan menjauhkan Polri dari masyarakat. Dari penulisan ini akan dijelaskan tentang munculnya tindakan kekerasan oleh Polisi, benarkah bahwa kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya Polisi yang negatif, serta tidak terlepas pula adanya pengaruh budaya militer didalamnya. Dengan penjelasan tersebut kiranya dapat dipahami sampai sejauh mana sebenarnya tindakan kekerasan tersebut dilakukan.
II. Kebudayaan dan Tindakan Kekerasan Kepolisian
1. Pengertian Kebudayaan: semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmani (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat (Sumardjan dan Soemardi, 1974: 113). Dengan penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan tindakan polisi maka akan timbul suatu pertanyaan apakah kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya polisi. Untuk menganalisa masalah tersebut, maka perlu meninjaunya dari sudut struktur bagi seluruh masyarakat. Suatu super-culture biasanya dapat dijabarkan kedalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan etnik, profesi dan seterusnya yang lazim dinamakan sub culture atau kebudayaan khusus (Soekanto, 1990: 190). Oleh karenanya di lingkungan kepolisian juga terdapat budaya polisi yang merupakan bagian kebudayaan khusus yang berdasarkan profesi, sama halnya dengan budaya yang ada pada pekerjaan lainnya seperti militer, dokter, pengacara dan lain-lainnya. Dimana dari pekerjaan atau keahlian tersebut akan berpengaruh besar terhadap kepribadian dan perilakunya.
2. Tindakan Kekerasan: dalam pembahasan ini saya mengambil istilah kekerasan dengan menunjukkan pada tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta, benda, fisik, dan kematian kepada seseorang (Atmasasmita, 1992). Definisi tersebut untuk membuat batasan yang kongkrit tentang sejauh mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi, sehingga implikasi hukumnya jelas dan tidak didasarkan atas retorika yang menjurus pada stereotip selama ini bahwa polisi identik dengan kekerasan. Oleh karenanya saat ini muncul suatu ungkapan, bahwa jasa-jasa besar dari kepolisian itu dianggap wajar karena sudah merupakan tugasnya. Namun apabila polisi melakukan kesalahan, maka kesalahan itu merupakan dosa yang tidak berampun. Terlepas dari situasi apapun sejujurnya harus diakui pada kenyataannya praktik kekerasan dilingkungan kepolisian secara kasat mata terjadi dan sifatnya bukan kasuitas. Kekerasan tersebut tidak saja dijumpai pada tindakan kepolisian yang bersifat represif seperti dalam mengamankan pertandingan sepak bola atau pertunjukan konser musik, bahkan terhadap pelanggaran lalu lintas. Kondisi seperti itulah yang selama ini melekat pada citra kepolisian.
III. Kekerasan Sebagai Budaya Polisi
Seseorang kriminologi mengatakan, ketidaksetujuannya jika kecenderungan melakukan kekerasan khususnya didalam penyidikan itu disebut sebagai budaya. Karena tidak semua penyidik melakukan kekerasan, juga tidak ada polanya karena tindak kekerasan dilakukan secara spontan (Purnianti, 1995). Sementara ada juga pendapat bahwa kekerasan polisi melekat pada budaya organisasi, jadi kekerasan polisi sebenarnya bukan bersifat fenomena kasuistis, tetapi budaya organisasional (Kunarto, 1978).
Dari pendapat diatas tentunya sama-sama benar apabila mengacu pada alasan masing-masing. Pendapat pertama yang mengganggap kekerasan bukan merupakan budaya tertentu sesuai dengan definisi kebudayaan secara umum maupun hakikat kebudayaan sebagaimana penjelasan diatas. Sebaliknya, pada pendapat kedua yang mengemukakan kekerasan sebagai budaya polisi juga dibenarkan. Karena pada kenyataannya didalam kebudayaan yang berlaku secara umum didalam masyarakat juga terdapat adanya kebudayaan khusus atau Sub Culture yang berlaku pada suatu profesi seperti halnya kepolisian.
Kebudayaan khusus tersebut akhirnya berpengaruh pada kepribadian yang terwujud dalam perilaku anggotanya. Perwujudan dari budaya polisi disini ada yang bersifat positif seperti jiwa korsa serta kesetiakawanan dan disiplin, tetapi wewenang dan lain-lain. Namun patut digaris bawahi yang disebutkan tersebut pada dasarnya merupakan pola perilaku yang bersifat umum dari suatu kelompok (polisi). Dengan demikian maka berkaitan dengan tindakan kekerasan sebagai individu-individu anggotanya. Karena kepribadian yang akan membatasi perilakunya, dimana ada individu anggota polisi yang ikut melakukan kekerasan karena menyesuaikan dengan budaya kelompoknya, tetapi sebaliknya ada anggota yang menolak untuk melakukan tindakan kekerasan karena pribadinya membatasi bahwa tindakan kekerasan tertsebut tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum.
IV. Pengaruh Budaya Militer
Munculnya tindakan kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari pengaruh budaya militer yang terinternalisasi dalam diri setiap personel polisi semenjak berintegrasi dalam ABRI. Bagaimanapun diantara keduanya terdapat doktrin yang kontradiktif, doktrin militer yang menghancurkan musuh dengan doktrin polisi melindungi dan mengayomi masyarakat secara filosofis dan nuansa kepolisian yang tidak sesuai dengan visi dan misinya (Rudini, 1999).
Apa yang diharapkan dari sosok polisi yang berjiwa sipil sesuai dengan tatanan normatif sebagai mana dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, ternyata tidak sesuai dengan praktiknya. Dalam melakukan suatu tindakan, yang sering muncul bukan sosok polisinya yang ditampilkan tetapi lebih mencerminkan pada sosok militer yang banyak diwarnai dengan kekerasan. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sardjono Jatiman bahwa budaya polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat sebenarnya sudah tidak dimiliki oleh polisi, yang dimiliki polisi sekarang adalah budaya militer.
Pengaruh budaya militer mulai tertanam sejak anggota polisi memasuki masa pendidikan dari mulai tingkat Tamtama, Bintara dan Perwira, terlebih lagi bagi mereka yang dididik di AKABRI. Selama masa pendidikan tersebut yang banyak ditonjolkan adalah perilaku militernya, sebagai contoh adalah bagaimana siswa diajarkan menembak dengan sasaran kepala atau jantung yang mematikan, cara perkelahian sangkur, serta berbagai materi lainnya yang lebih mencerminkan kekerasan. Dari permasalahan tersebut dapat kita ketahui betapa besar pengaruh budaya militer dalam membentuk perilaku anggota kepolisian, sehingga munculnya tindak kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari budaya militer tersebut.
V. Kesimpulan
1. Perubahan pada perilaku polisi merupakan sisi tersulit dalam memperbaiki citra Polri di mata masyarakat, karena disitu terdapat pula tugas dan wewenang pekerjaan yang terkadang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang diayominya.
2. Tindak kekerasan yang dilakukan polisi tidak sepenuhnya dianggap sebagai budaya polisi, namun sangat berpengaruh pada perkembangan budaya organisasional dimana personel polisi termasuk didalamnya.
3. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi sedikit banyak dipengaruhi oleh pola-pola militeristik sejak mereka direkrut menjadi polisi, doktrin-doktrin orang yang melanggar hukum atau membahayakan jiwa dianggap sebagai musuh akhirnya membawa polisi kedalam sikap skeptis terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran dianggap sebagai musuh yang harus diberantas.
VI. Saran
1. Pola pembentukan insan Polri yang humanis dan menjunjung tinggi HAM harus sudah ditanamkan sejak mereka direkrut menjadi personel polisi, jauhkan kurikulum yang mengutamakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat, serta tanamkan pemberantasan kejahatan bukan dengan menghabisi pelakunya namun tindakan kejahatannya lah yang harus dicegah (crime prevention).
2. Pemimpin harus memberikan contoh dan suri tauladan terhadap bawahannya melalui pola sikap dan pola pikir yang tidak mengedepankan kekerasan, namun harus dengan pendekatan hukum dan aturan.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT.Eresco.
Kunarto. 1997. Ham dan Polisi. Jakarta: Cipta Manunggal.
Purniati. 1995. "Kekerasan Dalam Penyidikan". Kompas, hal. 10
Rudini. 1999. Menyongsong Polri Mandiri. Makalah Seminar.
Soemardjan, Selo. 1996. Kewibawaan Polisi.
Soemardjan, Selo & Sumardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE-UI.
sumber foto: waroengseni.blogspot.com Baca selengkapnya.....
Sabtu, 21 Agustus 2010
SAMBUT LIGA SUPER INDONESIA 2010/2011
Tak terasa Djarum Indonesia Super League 2009/2010 telah usai dengan melahirkan Arema Indonesia sebagai kampiunnya. Pertarungan menuju tangga juara sepertinya tidak dapat diduga sebelumnya, dimana juara bertahan Persipura Jayapura yang semula diunggulkan sebagai calon juara, ternyata pada pertengahan musim tersalip oleh kedigdayaan Arema Indonesia. Padahal sebelumnya kekuatan Arema tidak terpikirkan oleh lawa-lawannya, ini dimaklumi karena saat itu Arema diperkuat oleh pemain-pemain muda yang sebenarnya miskin pengalaman ISL, ditambah pelatih baru Robert Rene Alberts yang masih belum mengetahui kualitas kompetisi Indonesia. Namun kekurangan ini berhasil ditutupi oleh semangat profesional Arema untuk membangun tim muda berkualitas ditambah dengan dukungan suporter Aremania yang seharusnya menjadi contoh pembinaan suporter-suporter klub lain di Indonesia agar sepakbola profesional Indonesia menjadi tontonan yang berkualitas dan menghasilkan prestasi.
Menilik balik kompetisi ISL 2009/2010 mungkin menjadi pelajaran bagi PT. BLI untuk mengemas kompetisi 2010/2011 menjadi lebih baik lagi. Ini dimaksudkan agar kompetisi ISL tetap menjadi titik tolak pembangunan sepakbola nasional menuju kompetisi yang profesional dan berkualitas. Ada beberapa hal yang menjadi nilai negatif dari ISL 2009/2010, yaitu:
1. Jadwal
Sudah bukan rahasia lagi kalau salah satu sebab carut marutnya kompetisi ISL 2009/2010 adalah jadwal pertandingan yang tidak sinkron. Ketidaksinkronan jadwal pertandingan ini turut dipersulit dengan agenda politik yang berbarengan seperti Pilkada, peringatan hari besar nasional, rapat paripurna DPR/MPR, atau demonstrasi yang menyedot perhatian nasional. Kesemua agenda politik ini selalu akrab dengan kekisruhan, sehingga otomatis aparat keamanan akan terfokus pengamanannya untuk mengantisipasi kelancaran agenda politik tersebut, dengan demikian pertandingan sepakbola menjadi terhambat karena ditolak perizinannya. Mungkin ada baiknya meniru jadwal kompetisi negara-negara maju di persepakbolaan seperti Inggris, Perancis, atau Belanda dimana negara mereka selalu memulai musim kompetisinya di bulan Agustus dan diakhiri pada bulan Mei. Sedangkan bulan Juni s/d Juli biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan nasional seperti ujicoba persahabatan atau mengikuti turnamen antarnegara. Agar manajemen klub tidak mengeluh padatnya jadwal, ada baiknya ISL bermain pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan hari Rabu digunakan hanya untuk 1 atau 2 pertandingan saja. Saya rasa dengan jadwal sedemikian akan mengurangi kepadatan pertandingan dan juga bisa mengistirahatkan pemain ketimbang mereka harus menyelesaikan 2 sampai 3 pertandingan dalam waktu seminggu. Tentunya ini akan menjadi preseden buruk juga bagi persiapan timnas, dimana fisik pemain akan kendor dan saat pertandingan yang justru sangat krusial akan kehabisan tenaga, dan akhirnya kembali pihak klub menyalahkan jadwal yang ketat sebagai biang keladinya.
2. Perizinan
Gagalnya sejumlah pertandingan dilaksanakan karena proses perijinan mereka dengan pihak keamanan dalam hal ini kepolisian yang menemui kendala. Kendala tersebut karena masalah suporter anarkis, berbarengan dengan agenda politik, atau tidak ada pemberitahuan revisi jadwal. Mungkin ada baiknya pihak klub pada saat rehat kompetisi mengambil inisiatif untuk mengumpulkan korwil-korwil mereka untuk mengajarkan cara mensupport klub dengan cara yang elegan dan menanggalkan kekerasan untuk mendukung klub, kemudian PT.BLI ada baiknya bekerjasama dengan kepolisian untuk meminta jadwal agenda politik tetap seperti Pemilu, Pilkada atau Pilpres sehingga dalam menyusun jadwal bisa menghindari kegiatan yang berbarengan tersebut.
3. Infrastruktur Stadion
Dalam salah satu klausul verifikasi ISL salah satunya adalah kualitas stadion. Saya rasa tepat sekali apabila klausul tersebut tetap menjadi patokan bagi klub-klub yang ingin berkiprah di ISL, karena sepanjang mata memandang stadion-stadion kita nampaknya sudah tidak layak untuk menyelenggarakan pertandingan dengan label profesional. Disamping kapasitas yang tidak memadai, masih ditambah dengan umur stadion tersebut yang sudah tua. Apabila dibandingkan dengan stadion-stadion kelas dua di Eropa atau Korea dan Jepang, jelas stadion kita sekelas dengan lapangan distrik disana. Sudah seharusnya pihak Pemda melihat pembangunan stadion menjadi salah satu daya tarik daerah mereka untuk dijual ke khalayak. Apalagi dengan adanya siaran langsung televisi, sudah barang tentu menjadi aspek bisnis yang segera dimanfaatkan. Mungkin pihak Pemda yang berkompeten dalam bidang ini bisa melakukan studi banding pembangunan stadion di luar negeri, agar bisa menggunakan dana APBD guna membangun stadion baru di lahan yang lebih luas. Stadion yang nantinya dibangun harus memperhatikan aspek kenyamanan, keamanan, bisnis, dan kegunaan. Ada bagusnya di dalam stadion bisa menjadi museum sepakbola klub yang bersangkutan, disitu bisa diletakkan memorabilia klub dari saat berdiri sampai sekarang, kemudian stadion bisa menjadi wisata sepakbola dimana pada hari-hari tertentu turis domestik bisa berkeliling stadion. Lengkapi stadion tersebut dengan fasilitas restoran dan merchandise shop yang menjual atribut-atribut klub, serta fasilitas-fasilitas lainnya layaknya mall. Konsep ini sudah dijalankan di stadion Emirates milik Arsenal, Alianz milik Bayern Muenchen, atau San Siro di Milano. Dengan demikian klub memiliki pemasukan lain diluar tiket masuk dan hak siar, yang bisa digunakan untuk pemeliharaan infrastruktur atau menggaji pemain, dengan demikian bisa melepas APBD sebagai pemasukan bagi klub.
Ditambahkan juga, kualitas rumput stadion haruslah menjadi perhatian bagi kontraktor atau manajemen stadion, dengan kualitas rumput yang bagus maka pertandingan akan enak untuk ditonton. Tidak seperti kebanyakan stadion kita yang keluhannya hampir seragam, permukaan yang tidak rata dan rumput yang gundul.
4. Konflik antar suporter
Konflik antar suporter bukan hanya terjadi di negara kita saja, di negara-negara lain selalu saja ada pertikaian antar suporter ini. Di Italia kita mengenal Ultras sebagai suporter garis keras, atau di Inggris yang terkenal dengan hooligans-nya, dan di Jerman dengan kelompok skinhead. Namun skala pertikaian mereka tidak sampai menyebar ke seluruh kota, dibandingkan dengan di Indonesia. Disini, sudah didalam stadion rusuh masih ditambah di sekitar kota atau bahkan perjalanan ke kota asal pun bisa juga rusuh. Ada baiknya masing-masing klub memberikan pembelajaran bagi korwil suporter untuk dapat bertindak profesional dan mengesampingkan tindakan-tindakan mendukung klub yang mengagungkan kekerasan, masukkan filosofi kalah-menang dalam pertandingan adalah hal yang biasa. Suporter kadang bertindak anarkis kadang dipengaruhi oleh tingkah laku pemain atau ofisial yang turut memancing emosi, ada baiknya para pemain dan ofisial diajarkan terlebih dahulu peraturan-peraturan FIFA tentang pertandingan dan cara menyampaikan keberatan ke pengawas pertandingan, bukannya memancing suporter untuk mengiyakan tindakan anarkis pemain kepada suporter.
5. Pemain muda
Salah satu kekurangan yang disadari oleh sepakbola kita adalah Indonesia kekurangan pemain muda yang berbakat. Memang banyak pemain-pemain muda di berbagai SSB yang tersebar, namun karena pola pembinaan mereka yang tidak seragam, maka terkadang pada saat pemain tersebut akan diorbitkan ke tim senior penyakit demam panggung mereka pun muncul, sehingga tak jarang pelatih menyingkirkan mereka ke kursi cadangan. Mungkin tak habis pikir ketika tim kelompok umur bermain di luar negeri mereka dapat mencapai hasil bagus (Piala Danone 2007 peringkat 4, dan Gothia Cup 2010 babak ketiga), namun saat bermain di tim senior mereka langsung melempem. PSSI masih menyukai pola-pola instan seperti mengirim pemain muda mengikuti kompetisi di luar negeri atau dititipkan pada klub primavera ketimbang mengembangkan pembinaan usia dini. Tersebarnya SSB di seluruh Indonesia harusnya disikapi oleh klub-klub dengan membentuk pembinaan pemain muda sesuai kelompok umur yang dimaksudkan sebagai stok pemain klub ISL. Konsep akademi La Masia milik Barcelona mungkin dapat dijadikan contoh, dimana mereka dikumpulkan dalam kelompok-kelompok umur untuk kemudian setahun sekali diadakan ujian untuk kenaikan tingkat, yang sesekali di usia tertentu bagi mereka yang berbakat dapat diajak bergabung di klub senior. Jadi misalnya Persija membentuk Persija U-10, U-12, U-14, U-16, dan U-18. Pembiayaan klub bisa berasal dari iuran perbulan dari masing-masing siswa atau dari donasi perusahaan mitra klub. Dengan demikian akan dapat dihasilkan pemain-pemain lokal yang berkualitas karena secara berjenjang pemain tersebut dipantau sejak umur 10 tahun sampai 18 tahun sebelum diorbitkan mengikuti kompetisi ISL U-21 dan ISL.
6. Pemain Asing
Konsep 3+2 untuk pemain asing saya rasa cukup baik, namun ada baiknya kita mengikuti manual AFC dimana saat kompetisi antarklub Asia yang dipakai adalah konsep 3+1 (3 pemain non-Asia dan 1 pemain Asia). Ini dimaksudkan agar kita tidak gelagapan saat mendaftarkan pemain apabila kualitas pemainnya setara. Kemudian ada baiknya pihak manajemen klub memanfaatkan teknologi internet untuk mencari CV pemain asing incarannya. Situs-situs sepakbola seperti transfermarkt, soccerway, zerozerofootball, atau afc bisa dijadikan dasar bagi klub untuk mentransfer pemain. Yang saya perhatikan ada beberapa pemain asing yang kurang familiar dan tidak terdapat CV-nya di internet dijadikan personel klub hanya karena dia berasal dari Brasil atau Argentina saja, namun tidak jelas dia sebelum di Indonesia bermain dimana, level klub yang diikutinya, atau kualitas pemain tersebut. Ada banyak pemain timnas dari negara-negara kelas dua seperti El Salvador, Honduras, Lebanon, Liberia, Mozambik, Marokko, atau Aljazair yang bisa dijajaki oleh klub-klub Indonesia. Pemain-pemain tersebut bisa dibrowsing dari internet termasuk CV dan kisaran harganya, tentunya kisaran harganya yang sesuai dengan kantong manajemen klub dan durasi kontrak seharusnya bukan setahun namun memakai musim kompetisi. Untuk pemain asing ada baiknya memakai konsep dari AFC yaitu 3+1 saja, dengan maksud kuota 1 pemain asing bisa dipakai pemain lokal. Disamping efisiensi klub, juga agar tidak mubazir apabila mengikuti kompetisi antarklub Asia. Ada beberapa pemain asing yang mungkin bisa menjadi patokan bagi klub-klub untuk direkrut, mereka saya dapat dari mem-brows internet dan kisaran harganya dibawah USD 150.000 (Rp. 1,35 milyar), diantaranya:
Zona Amerika Selatan:
Walter Martinez (Honduras) klub Marathon umur 28 th (midfielder)
Isidro Gutierrez (El Salvador) klub Municipal Limeno umur 20 th (forward)
Danny Torres (El Salvador) klub Atletico Marte umur 22 th (forward)
Rolando Bogado (Paraguay) klub Rubio Nu umur 26 th (defender)
Cristian Bogado (Paraguay) klub Rubio Nu umur 23 th (midfielder)
Matias Escobar (Argentina) klub Atletico Tucuman umur 28 th (midfielder)
Matias Villavicencio (Argentina) klub Atletico Tucuman umur 28 th (defender)
Martin Seri (Argentina) klub San Martin de San Juan umur 26 th (midfielder)
Zona Afrika:
James Zotiah (Liberia) klub Black Star Liberia umur 22 th (midfielder)
Seleman Kombo (Liberia) tanpa klub umur 20 th (midfielder)
Campira (Mozambique) klub Maxaquene umur 28 th (defender)
Mauricio (Mozambique) klub Liga Muculmana umur 26 th (forward)
Joauad Akaddar (Maroko) klub Moghreb Tetouan umur 25 th (forward)
Abdellah Lahoua (Maroko) klub Difaa el Jadida umur 24 th (midfielder/Maroko U-23)
Iles Ziane Cherif (Aljazair) klub ASO Chlef umur 26 th (defender)
Youcef Ghazali (Aljazair) klub WA Tlemcen umur 22 th (forward)
Mohammed Boussefiane (Aljazair) klub NA Hussein Dey umur 25 th (forward)
Hocine Fenier (Aljazair) klub CR Belouizdad umur 27 th (forward)
Sam Obi Metzger (Sierra Leone) klub Tampere (Finlandia) umur 22 th (forward)
Mohammed Boussefiane (Aljazair)
Zona Asia:
Teeratep Winothai (Thailand) klub BEC Tero Sasana umur 25 th (forward)
Suchao Nutnum (Thailand) klub Buriram PEA umur 26 th (midfielder)
Ponlawat Wangkahad (Thailand) klub TOT Cat umur 23 th (defender)
Le Cong Vinh (Vietnam) klub T & T Hanoi umur 24 th (forward)
Shakhboz Erkinov (Uzbekistan) klub Shurtan Guzar umur 23 th (forward)
Sohib Savankulov (Tajikistan) klub Vakhsh umur 21 th (defender)
Kim Dae-kyun (Korsel) klub Gimhae FC umur 22 th (midfielder)
Park Tae-gyu (korsel) klub Gimhae FC umur 20 th (forward/Korsel U-20)
Shin Dong-bin (korsel) klub Yesan FC umur 25 th (defender)
Kim Yong-han (korsel) klub Nowon Hummel FC umur 24 th (forward)
Choi Chang-yong (korsel) klub Nowon Hummel FC umur 24 th (defender)
Lee Jung-yong (korsel) klub Ulsan Mipo Dockyard umur 27 th (midfielder)
Chu Jung-hyun (korsel) klub Yongin City FC umur 22 th (midfielder)
Teeratep Winothai (Thailand)
Zona Eropa:
Denis Calincov (Moldova) klub Khazar Lankaran umur 24 th (forward)
Justine Tahapary (Belanda) klub FC Eindhoven umur 25 th (defender)
Ashwin Manuhutu (Belanda) klub BV Veendam umur 26 th (defender)
Danijel Kozul (Bosnia) klub Siroki Brijeg umur 22 th (midfielder)
Sanid Mujakic (Bosnia) klub Travnik umur 22 th (forward)
Emir Obuca (Bosnia) klub NK Celik Zenica umur 31 th (forward)
Nikola Cesarevic (Serbia) klub BSK Borca umur 26 th (midfielder)
Davor Bubanja (Slovenia) klub FC Luka Koper umur 22 th (forward)
Johannes Zwickl (Jerman) klub FC Memmingen umur 26 th (defender)
Andreas Rucht (Jerman) klub FC Memmingen umur 22 th (forward)
Niko Rummel (Jerman) klub SG Sonnenhof Grossaspach umur 24 th (forward)
Rene Greuter (Jerman) klub SC Pfullendorf umur 21 th (forward)
Julian Schmidt (Jerman) klub SC Verl umur 24 th (defender)
Mariusz Rogowski (Polandia) klub SC Weidenbruck 2000 umur 30 th (defender)
Altan Arslan (Turki) klub SC Weidenbruck 2000 umur 24 th (midfielder)
Denis Calincov (Moldova)
Sanid Mujakic (Bosnia Herzegovina)
Referensi:
olahraga.kompasiana.com
www.transfermark.de
eni-news.com Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)