Senin, 30 Agustus 2010
TINDAK KEKERASAN POLISI SEBAGAI CERMINAN KULTUR NEGATIF
I. Pendahuluan
Dengan mandirinya Polri, belakangan ini isue yang berkembang adalah upaya untuk mendudukan kembali organisasi Polri yang profesional sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terbebas dari intervensi kekuatan manapun. Banyak pakar dan pengamat menyoroti hal tersebut dari dua faktor, yaitu dari faktor struktural dan faktor kultural. Dari segi struktural, kemandirian Polri menuntut adanya pemisahan kedudukan Polri yang terlepas dari ABRI dan menjadi lembaga tersendiri yang lebih otonomi, sedangkan dari kultural adalah bagaimana merubah sikap mental serta perilaku anggota Polri agar mencerminkan sosok Polri yang diharapkan, sebagaimana tercantum dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang merupakan pedoman hidup dan pedoman kerja bagi seluruh anggota Polri
Dari kedua faktor yang disoroti tersebut, kendala utama adalah pada perubahan kultur, karena hal itu mengakar pada perilaku anggota yang tercermin dalam pelaksanan tugasnya dilapangan, salah satu yang menonjol dan mendapat sorotan selama ini adalah adanya praktik-praktik kekerasan khususnya dalam melakukan tindakan kepolisian yang bersifat represif. Munculnya tindakan kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas polisi, karena dari sifat tugas telah diatur dengan ketentuan hukum, dalam hal ini tindakan kekerasan tersebut berarti fungsional. Tetapi pada kenyataanya, tindakan kekerasan oleh polisi banyak disalahartikan dan cenderung seperti pelampiasan emosi akibat kurangnya kontrol pengendalian diri. Sehingga tidaklah mengherankan kalau selama ini timbul semacam stereotip dari masyarakat bahwa perilaku polisi identik dengan kekerasan didalamnya.
Kalau kultur itu tidak segera dihilangkan, maka sulit bagi Polri untuk memperbaiki citranya, karena kesan negatif dari tindakan kekerasan tersebut akan menjauhkan Polri dari masyarakat. Dari penulisan ini akan dijelaskan tentang munculnya tindakan kekerasan oleh Polisi, benarkah bahwa kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya Polisi yang negatif, serta tidak terlepas pula adanya pengaruh budaya militer didalamnya. Dengan penjelasan tersebut kiranya dapat dipahami sampai sejauh mana sebenarnya tindakan kekerasan tersebut dilakukan.
II. Kebudayaan dan Tindakan Kekerasan Kepolisian
1. Pengertian Kebudayaan: semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmani (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat (Sumardjan dan Soemardi, 1974: 113). Dengan penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan tindakan polisi maka akan timbul suatu pertanyaan apakah kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya polisi. Untuk menganalisa masalah tersebut, maka perlu meninjaunya dari sudut struktur bagi seluruh masyarakat. Suatu super-culture biasanya dapat dijabarkan kedalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan etnik, profesi dan seterusnya yang lazim dinamakan sub culture atau kebudayaan khusus (Soekanto, 1990: 190). Oleh karenanya di lingkungan kepolisian juga terdapat budaya polisi yang merupakan bagian kebudayaan khusus yang berdasarkan profesi, sama halnya dengan budaya yang ada pada pekerjaan lainnya seperti militer, dokter, pengacara dan lain-lainnya. Dimana dari pekerjaan atau keahlian tersebut akan berpengaruh besar terhadap kepribadian dan perilakunya.
2. Tindakan Kekerasan: dalam pembahasan ini saya mengambil istilah kekerasan dengan menunjukkan pada tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta, benda, fisik, dan kematian kepada seseorang (Atmasasmita, 1992). Definisi tersebut untuk membuat batasan yang kongkrit tentang sejauh mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi, sehingga implikasi hukumnya jelas dan tidak didasarkan atas retorika yang menjurus pada stereotip selama ini bahwa polisi identik dengan kekerasan. Oleh karenanya saat ini muncul suatu ungkapan, bahwa jasa-jasa besar dari kepolisian itu dianggap wajar karena sudah merupakan tugasnya. Namun apabila polisi melakukan kesalahan, maka kesalahan itu merupakan dosa yang tidak berampun. Terlepas dari situasi apapun sejujurnya harus diakui pada kenyataannya praktik kekerasan dilingkungan kepolisian secara kasat mata terjadi dan sifatnya bukan kasuitas. Kekerasan tersebut tidak saja dijumpai pada tindakan kepolisian yang bersifat represif seperti dalam mengamankan pertandingan sepak bola atau pertunjukan konser musik, bahkan terhadap pelanggaran lalu lintas. Kondisi seperti itulah yang selama ini melekat pada citra kepolisian.
III. Kekerasan Sebagai Budaya Polisi
Seseorang kriminologi mengatakan, ketidaksetujuannya jika kecenderungan melakukan kekerasan khususnya didalam penyidikan itu disebut sebagai budaya. Karena tidak semua penyidik melakukan kekerasan, juga tidak ada polanya karena tindak kekerasan dilakukan secara spontan (Purnianti, 1995). Sementara ada juga pendapat bahwa kekerasan polisi melekat pada budaya organisasi, jadi kekerasan polisi sebenarnya bukan bersifat fenomena kasuistis, tetapi budaya organisasional (Kunarto, 1978).
Dari pendapat diatas tentunya sama-sama benar apabila mengacu pada alasan masing-masing. Pendapat pertama yang mengganggap kekerasan bukan merupakan budaya tertentu sesuai dengan definisi kebudayaan secara umum maupun hakikat kebudayaan sebagaimana penjelasan diatas. Sebaliknya, pada pendapat kedua yang mengemukakan kekerasan sebagai budaya polisi juga dibenarkan. Karena pada kenyataannya didalam kebudayaan yang berlaku secara umum didalam masyarakat juga terdapat adanya kebudayaan khusus atau Sub Culture yang berlaku pada suatu profesi seperti halnya kepolisian.
Kebudayaan khusus tersebut akhirnya berpengaruh pada kepribadian yang terwujud dalam perilaku anggotanya. Perwujudan dari budaya polisi disini ada yang bersifat positif seperti jiwa korsa serta kesetiakawanan dan disiplin, tetapi wewenang dan lain-lain. Namun patut digaris bawahi yang disebutkan tersebut pada dasarnya merupakan pola perilaku yang bersifat umum dari suatu kelompok (polisi). Dengan demikian maka berkaitan dengan tindakan kekerasan sebagai individu-individu anggotanya. Karena kepribadian yang akan membatasi perilakunya, dimana ada individu anggota polisi yang ikut melakukan kekerasan karena menyesuaikan dengan budaya kelompoknya, tetapi sebaliknya ada anggota yang menolak untuk melakukan tindakan kekerasan karena pribadinya membatasi bahwa tindakan kekerasan tertsebut tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum.
IV. Pengaruh Budaya Militer
Munculnya tindakan kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari pengaruh budaya militer yang terinternalisasi dalam diri setiap personel polisi semenjak berintegrasi dalam ABRI. Bagaimanapun diantara keduanya terdapat doktrin yang kontradiktif, doktrin militer yang menghancurkan musuh dengan doktrin polisi melindungi dan mengayomi masyarakat secara filosofis dan nuansa kepolisian yang tidak sesuai dengan visi dan misinya (Rudini, 1999).
Apa yang diharapkan dari sosok polisi yang berjiwa sipil sesuai dengan tatanan normatif sebagai mana dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, ternyata tidak sesuai dengan praktiknya. Dalam melakukan suatu tindakan, yang sering muncul bukan sosok polisinya yang ditampilkan tetapi lebih mencerminkan pada sosok militer yang banyak diwarnai dengan kekerasan. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sardjono Jatiman bahwa budaya polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat sebenarnya sudah tidak dimiliki oleh polisi, yang dimiliki polisi sekarang adalah budaya militer.
Pengaruh budaya militer mulai tertanam sejak anggota polisi memasuki masa pendidikan dari mulai tingkat Tamtama, Bintara dan Perwira, terlebih lagi bagi mereka yang dididik di AKABRI. Selama masa pendidikan tersebut yang banyak ditonjolkan adalah perilaku militernya, sebagai contoh adalah bagaimana siswa diajarkan menembak dengan sasaran kepala atau jantung yang mematikan, cara perkelahian sangkur, serta berbagai materi lainnya yang lebih mencerminkan kekerasan. Dari permasalahan tersebut dapat kita ketahui betapa besar pengaruh budaya militer dalam membentuk perilaku anggota kepolisian, sehingga munculnya tindak kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari budaya militer tersebut.
V. Kesimpulan
1. Perubahan pada perilaku polisi merupakan sisi tersulit dalam memperbaiki citra Polri di mata masyarakat, karena disitu terdapat pula tugas dan wewenang pekerjaan yang terkadang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang diayominya.
2. Tindak kekerasan yang dilakukan polisi tidak sepenuhnya dianggap sebagai budaya polisi, namun sangat berpengaruh pada perkembangan budaya organisasional dimana personel polisi termasuk didalamnya.
3. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi sedikit banyak dipengaruhi oleh pola-pola militeristik sejak mereka direkrut menjadi polisi, doktrin-doktrin orang yang melanggar hukum atau membahayakan jiwa dianggap sebagai musuh akhirnya membawa polisi kedalam sikap skeptis terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran dianggap sebagai musuh yang harus diberantas.
VI. Saran
1. Pola pembentukan insan Polri yang humanis dan menjunjung tinggi HAM harus sudah ditanamkan sejak mereka direkrut menjadi personel polisi, jauhkan kurikulum yang mengutamakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat, serta tanamkan pemberantasan kejahatan bukan dengan menghabisi pelakunya namun tindakan kejahatannya lah yang harus dicegah (crime prevention).
2. Pemimpin harus memberikan contoh dan suri tauladan terhadap bawahannya melalui pola sikap dan pola pikir yang tidak mengedepankan kekerasan, namun harus dengan pendekatan hukum dan aturan.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT.Eresco.
Kunarto. 1997. Ham dan Polisi. Jakarta: Cipta Manunggal.
Purniati. 1995. "Kekerasan Dalam Penyidikan". Kompas, hal. 10
Rudini. 1999. Menyongsong Polri Mandiri. Makalah Seminar.
Soemardjan, Selo. 1996. Kewibawaan Polisi.
Soemardjan, Selo & Sumardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE-UI.
sumber foto: waroengseni.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar