Rabu, 07 September 2011

ILMU KEPOLISIAN DAN KEAMANAN (Perspektif Pengembangan Ilmu Kepolisian di Akademi Kepolisian)


Pendahuluan

Ilmu kepolisian telah dipelajari sebagai salah satu ilmu yang mempelajari sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi, dan aksiologi, serta metodologi yang mempersatukan beragam unsur-unsur keilmuan sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga paradigma yang terkandung didalamnya adalah hubungan antar-bidang (interdisciplinary approach) daripada hubungan multi-bidang (multidisciplinary approach). Dikatakan antar-bidang dikarenakan ilmu kepolisian termasuk didalamnya berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menunjang dan saling terkait, tidak berdiri sendiri dalam masing-masing ruang keilmuannya.
Menurut Parsudi Suparlan, ilmu kepolisian itu sendiri mengandung maksud sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya (Suparlan dalam Suparlan, 2004: 12). Jadi dari definisi ilmu kepolisian tersebut dapat dikatakan tugas polisi itu sendiri juga berkaitan erat dengan masalah-masalah sosial, yang berkaitan dengan adanya gangguan keamanan dan ketertiban di sekitar masyarakat yang dianggap merugikan masyarakat itu sendiri. Masalah sosial yang terjadi di masyarakat satu belum tentu sama dengan masyarakat di tempat yang lain, karena itu tergantung pada kondisi maupun adat istiadat masyarakat sekitar. Oleh sebab itu Harsja Bachtiar menjelaskan tentang tugas-tugas kepolisian merupakan seni dan profesi yang dilaksanakan oleh polisi tersebut dipakai untuk melihat kebutuhan masyarakat sekitar dan mengembangkan pola-pola pencegahan kejahatan dan gangguan keamanan sesuai keinginan masyarakat itu sendiri (Bachtiar, 1994: 1 – 10). Karenanya, personel kepolisian diberikan pendidikan mengenai pengetahuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian sesuai kebutuhan masyarakat sesuai dengan profesinya sebagai polisi.

Profesi sendiri menurut Donald C. Whitlam dalam “The American Law Enforcement Chief Executive: A Management Profile” (Washington DC Police Executive Research Forum, 1985) terbagi dalam lima kriteria, yaitu:
a. Menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaan,
b. Keahlian yang didasarkan pada pelatihan atau pendidikan jangka panjang,
c. Pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya,
d. Memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku anggota profesi,
e. Mengembangkan kelompok profesi melalui asosiasi.

Oleh sebab itu, sebagai seorang profesional, seorang polisi harus mahir dalam hukum dan tunduk pada aturan yang terdapat didalamnya karena yang dihadapi Polri adalah masyarakat dan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan hak asasi manusia (Djamin, 2001: 139 – 140). Maka, sejalan dengan tugas kepolisian modern, pendekatan kepolisian lebih kepada kegiatan pencegahan kejahatan dan kerusuhan sosial atau kamtibmas, melalui kegiatan patroli maupun penjagaan serta penegakan hukum sesuai dengan regulasi yang ada. Kegiatan pencegahan maupun penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum atau pelaku tindak pidana tentunya harus disertai dengan peningkatan kemampuan personel polisi itu sendiri dalam menanganinya, sesuai dengan profesionalisme polisi sebagai aparat penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Sesuatu tindak pidana maupun pelanggaran yang dilakukan oleh oknum, tidak serta merta dianggap sebagai musuh negara, yang pola penanganannya sama dengan musuh yang menyerang harkat dan martabat bangsa. Hal ini yang harus dibedakan penanganan kamtibmas dalam domain pertahanan dan keamanan.

Dikotomi pertahanan dan keamanan inilah yang membawa Polri ke arah organisasi yang mandiri, profesional dan netral, seiring dengan tuntutan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum dan pemelihara kamtibmas yang independen dan bertindak profesional. Tuntutan reformasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan turunnya Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Dengan demikian jelaslah bahwa tugas pokok Polri dalam era reformasi ini bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa, bernegara dan masyarakat sipil yang demokratis. Oleh sebab itu, harapan masyarakat akan sosok polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikan ke dalam tugas-tugasnya) lebih didambakan ketimbang sosok yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika masyarakat dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) (Chrysnanda dalam Suparlan, 2004: 96).

Keamanan

Membicarakan tentang keamanan itu sendiri, sejak tahun 1994 seiring dengan keluarnya The Human Development Report dari UNDP, muncul istilah human security yang mempunyai makna (1) keamanan dari ancaman kronis kelaparan, penyakit, dan penindasan; (2) perlindungan dari gangguan mendadak yang merugikan pola kehidupan sehari-hari di rumah, di tempat kerja maupun dalam masyarakat. Dari human security tersebut kemudian diidentifikasi dalam 7 (tujuh) elemen yaitu: (1) economic security, (2) food security, (3) health security, (4) environmental security, (5) personal security, (6) community security, dan (7) political security. Jadi terlihat disini fokus dari human security adalah manusia, bukan negara (Djamin, 2007: 2). Bahkan dalam Webster Dictionary sendiri, dikatakan bahwa “secure” berarti “free from care, anxiety, free from fear, safe, fixed, stable, in close custody, certain, confident”. Sedangkan istilah “security” diartikan sebagai “being secure, protection, assurance, anything given as bond, caytion, or pledge”. Dalam konsep Tata Tentrem Kerta Raharja sendiri, keamanan dari kata “aman” memiliki empat unsur pokok yaitu:
1) Security, perasaan bebas dari gangguan fisik maupun psikis,
2) Surety, perasaan bebas dari kekhawatiran,
3) Safety, perasaan bebas dari risiko, dan
4) Peace, perasaan damai lahir dan batin (Kelana, 2009: 39).

Seperti yang disampaikan diatas, karena berfokus pada manusia, maka polisi membutuhkan seorang sipil yang bukan semata-mata memiliki kemampuan fisik dan penggunaan senjata tetapi juga kemampuan keahlian yang memiliki rasa kemanusiaan yang bertanggungjawab, disamping kemampuan keahlian dalam ilmu-ilmu sosial dan hukum, penyidikan, dan manajerial (Suparlan dalam Suparlan, 2004: 78). Posisi ini untuk menegaskan peran polisi yang bertugas untuk memelihara keamanan dalam negeri, dimana sesuai dengan pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Ilmu Kepolisian dan Keamanan

Seperti yang sudah disampaikan pada pendahuluan, maka ilmu kepolisian mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi berupa gangguan yang terjadi pada masyarakat serta faktor-faktor yang memperkuat keteraturan yang ada (faktor integratif). Banyaknya aspek ilmu kepolisian itu menegaskan kembali bahwa ilmu kepolisian tidak berdiri sendiri, namun membutuhkan kontribusi dari disiplin ilmu lain. Oleh sebab itu, dikaitkan dengan “keamanan” merupakan konsep yang berkembang menjadi istilah teknis dalam ilmu kepolisian itu sendiri. Konsep mengenai istilah dan metode dalam pengelolaan keamanan yang pre-emtif, preventif dan represif bertolak dari asas kewajiban umum kepolisian (Kelana, 2009: 49).
Ilmu kepolisian juga membahas mengenai perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dihukum, dan jenis hukuman yang dijatuhkan, serta prosedur melaksanakan hukum substantif yang harus dilaksanakan oleh polisi sebagai aparat penegak hukum. Untuk menguatkan peran polisi sebagai penegak hukum dibutuhkan peranan ilmu lain untuk menunjang penyelidikan dan penyidikan seperti ilmu kedokteran forensik, psikologi forensik, identifikasi, teknologi informatika, serta cabang ilmu untuk teknis pembuktian seperti kriminologi dan viktimologi. Bukan itu saja, semakin spesifiknya kejahatan berdimensi tinggi seperti people smuggling (penyelundupan manusia), narkoba, terorisme, cybercrime, perbankan, maupun kejahatan-kejahatan transnasional membutuhkan keahlian dan kemampuan khusus dalam penanganannya baik secara hukum maupun teknis kepolisian (Kelana, 2009: 49).

Luasnya cakupan ilmu kepolisian dibanding dengan terminologi keamanan itu sendiri, menjadikan ilmu kepolisian berbeda dibandingkan disiplin ilmu lain yang cenderung multi-bidang yang kemudian menghasilkan bahasan yang komprehensif dan khas secara keilmuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Daud Joesoef (1980) bahwa disiplin ilmu kepolisian adalah hasil dari satu proses yang berkelanjutan dari cara pendekatan dan berfikir interdisipliner, dalam mencapai keterpaduan yang sempurna tentang pengertian ilmiahnya. Aspek pendekatan interdisipliner akan mewujudkan sinergi ilmu kepolisian dengan ilmu lainnya guna membantu pemecahan masalah sosial kemasyarakatan yang menimbulkan potensi kejahatan dan bagaimana pencegahannya (Kelana, 2009: 138). Penggunaan pendekatan praktis akan melahirkan pemahaman ilmu kepolisian terapan, sedangkan pendekatan empirik akan melahirkan pemahaman ilmu kepolisian yang masuk dalam kategori ilmu sosial yang empiris. Dan dikarenakan polisi harus memahami bagaimana mendeteksi dan mencegah kejahatan serta mencegah terjadinya kerusuhan sosial sebagaimana konsepsi polisi masa depan, maka polisi diharapkan bersama-sama masyarakat untuk mencarikan jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat tersebut, mengurangi rasa takut akan gangguan kriminalitas, mengutamakan pencegahan kejahatan dan berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat (Chrysnanda dalam Suparlan, 2004: 110). Hal ini menandakan bahwa personel Polri harus mengenal tugas pokok dan fungsinya, bukan berdasarkan kecabangan profesi yang dimilikinya. Jadi seorang Polantas juga harus bisa menyidik (perkara lalu lintas), seorang reserse juga harus bisa berperan sebagai seorang babinkamtibmas, seorang babinkamtibmas harus memiliki ketajaman analisis seorang intelijen, begitu seterusnya. Ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi Polri bukan sebagai alat kekuasaan atau pemerintah tetapi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, yang merupakan pengejawantahan institusi wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi kepolisian. Kemampuan inilah yang membedakan Polri dibanding aparatur pemerintahan lain dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Posisi Akademi Kepolisian dalam Sistem Pendidikan Nasional

Saat ini pengembangan ilmu kepolisian telah dilakukan di STIK-PTIK (sarjana dan magister) dengan mengedepankan kemampuan akademik yang lebih banyak daripada keterampilan fisik. Kurikulum ilmu kepolisian memang seyogyanya berkesinambungan mengingat input peserta didik STIK-PTIK merupakan lulusan dari Akademi Kepolisian (Akpol). Kurikulum Akpol seharusnya terdiri dari beberapa mata kuliah wajib yang tercakup dalam kurikulum inti dan kurikulum pilihan, kurikulum Akpol haruslah disusun untuk mengakomodir kebutuhan Polri dalam pemenuhan personel Polri yang mahir dan terampil serta patuh hukum. Oleh sebab itu kurikulum yang disusun mencakup keterampilan teknik kepolisian, kemampuan kepemimpinan (leadership), pengetahuan manajerial tingkat pertama, dan pengetahuan mengenai masalah sosial dan pengelolaan kamtibmas.
Berkaitan dengan jenis pendidikan, Polri mengenal beberapa jenis pendidikan yaitu (1) pendidikan pembentukan seperti Setukba, Setukpa, Akpol, dan PPSS, (2) pendidikan kejuruan/spesialisasi untuk pengembangan kemampuan teknis profesional khas kepolisian yang personelnya harus mahir pada bidang itu (terapan), (3) pendidikan manajerial seperti STIK-PTIK, Sespimma, Sespimmen, dan Sespimti.

Menurut Awaloedin Djamin, sesuai UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Akpol dan STIK-PTIK merupakan perguruan tinggi yang juga perguruan tinggi kedinasan, karena pendidikannya diarahkan untuk mengisi kebutuhan dinas yaitu Polri (Djamin, 2007: 174). Sedangkan menurut mantan Mendiknas Bambang Sudibyo, untuk pendidikan di Akademi TNI dan Akademi Kepolisian tidak termasuk dalam pendidikan kedinasan karena telah diwadahi oleh UU Pertahanan Negara dan UU Kepolisian (Antaranews.com, 2007). Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus (pasal 1 PP Nomor 14 Tahun 2010). Melihat kondisi pendidikan kedinasan di beberapa lembaga penyelenggaranya, sebenarnya tidak diperlukan karena dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum kecuali untuk bidang militer, kepolisian, keuangan, dan beberapa bidang khusus lainnya. Jika dilihat jenis keahlian yang dibutuhkan suatu institusi dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum, maka sebenarnya tidak diperlukan lagi pendidikan kedinasan diselenggarakan oleh lembaga pemerintahan.

Dari pendapat dua pakar pendidikan ini, muncul kerancuan saat munculnya PP tersebut dimana pada pasal 5 ayat (1) bahwa program pendidikan kedinasan merupakan program pendidikan profesi setelah program sarjana (S1) atau diploma IV (D-IV) yang diselenggarakan di dalam/atau di luar satuan pendidikan yang ada pada kementerian, kementerian lain, atau LPNK terkait, baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal sepanjang memiliki kontribusi terhadap penerapan profesi kedinasan di lingkungan kerjanya. Jadi kalau memang pendidikan militer dan kepolisian yang direpresentasikan oleh Akademi TNI dan Akpol bukan merupakan pendidikan kedinasan, maka digolongkan kedalam apakah kedua jenis pendidikan tersebut?
Sebelum melihat posisi Akademi TNI dan Akpol, ada baiknya menengok terlebih dahulu kategorisasi program pendidikan yang diatur dalam regulasi sistem pendidikan nasional. Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003, program pendidikan di pendidikan tinggi mencakup (1) pendidikan akademik (sarjana, magister, dan doktor), (2) pendidikan profesi/spesialis, dan (3) pendidikan vokasi (diploma). Pendidikan tinggi penyelenggara pendidikan tersebut dapat memberikan gelar akademik (sarjana, magister, dan doktor), gelar profesi/spesialis, dan gelar vokasi. Dengan demikian bila melihat dari jenis perguruan tinggi, Akpol digolongkan kedalam perguruan tinggi kedinasan, namun untuk program pendidikan maka digolongkan kedalam pendidikan vokasi (diploma) karena dihitung dari jumlah SKS selama mengikuti pendidikannya. Adapun pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi akan mendapatkan gelar vokasi. Berdasarkan rujukan tersebut, berikut gambaran ringkas tentang ketiga jenis progam pendidikan tersebut.

1. Pendidikan Akademik

Pendidikan akademik adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tertentu, yang mencakup program pendidikan sarjana, magister, dan doktor. Lulusannya mendapatkan gelar akademik sarjana, magister, dan doktor. Sebagai contoh, lulusan pendidikan akademik sarjana ekonomi bergelar S.E., sarjana kedokteran mendapat gelar S.Med., sarjana teknik mendapat gelar S.T., dan sarjana hukum bergelar S.H.; demikian juga gelar magisternya sesuai dengan bidang atau rumpun ilmu; sedangkan gelar pendidikan doktor sama, yakni Doktor (Dr). Lazimnya, pendidikan sarjana diarahkan untuk penerapan ilmu, pendidikan magister diarahkan untuk pengembangan ilmu, dan pendidikan doktor diarahkan untuk penemuan ilmu.

2. Pendidikan Profesi

Pendidikan profesi adalah sistem pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk menguasai keahlian khusus. Lulusan pendidikan profesi mendapatkan gelar profesi. Sebagai contoh, setelah bergelar S.E, seseorang menempuh pendidikan profesi Akuntan, maka dia bergelar S.E. Ak; setelah bergelar S.Med., seseorang menempuh pendidikan profesi dokter, maka dia mendapat gelar dr. (dokter) dan seorang yang telah bergelar profesi dokter (umum) melanjutkan ke program pendidikan spesialis (PPDS), dia mendapat gelar spesialis tententu, misalnya, dr. Sp.M (spesialis Mata), dr. Sp.A (spesialis Anak), dr. SpKJ (spesialis Kesehatan Jiwa), dsb.

3. Pendidikan Vokasi

Pendidikan vokasi adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program pendidikan diploma I, diploma II, diploma III, dan diploma IV. Lulusan pendidikan vokasi mendapatkan gelar vokasi, misalnya A.Ma (Ahli Madya), A.Md (Ahli Madya).

Lalu mendasari Surat Dirjen Dikti No. 498/E/T/2011 tanggal 13 April 2011 tentang Kualifikasi D4 sama dengan S1, pendidikan Akpol apabila hendak mengkategorikan diri ke dalam kualifikasi kesarjanaan atau kediplomaannya harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini:
1. Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 19, pendidikan tinggi mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan pendidikan tinggi.
2. Sesuai UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 20, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
3. Sesuai Kepmendiknas No. 178/U/2001 tahun 2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi pasal 10 ayat 1, lulusan Program Diploma IV bergelar Sarjana Sains Terapan disingkat SST.
4. Bahwa kualifikasi lulusan perguruan tinggi Program Diploma IV sama dengan Sarjana Strata 1 (S1), baik yang dari Sekolah Tinggi, Politeknik, Institut, atau Universitas. Diploma IV merupakan program vokasional, sedangkan S1 merupakan program akademik yang memiliki muatan kredit sama yaitu 144 SKS dan ditempuh dalam waktu 4 (empat) tahun.

Mengenai pendidikan vokasional seperti tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 2004 merupakan:
• Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).
• Merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang pekerjaan tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22 Ayat [1]).
• Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna (berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill (Pasal 22 Ayat [2]).
• Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).
• Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).
• Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi, indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).
• Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia kerja (dunia usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).
• Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).
• Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]).

Lalu penempatan Akpol apakah dibawah D-III atau D-IV sebaiknya dilihat kembali pada Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) yaitu:
Ayat (4) Program diploma III diarahkan pada lulusan yang menguasai kemampuan dalam bidang kerja yang bersifat rutin maupun yang belum akrab dengan sifat-sifat maupun kontekstualnya, secara mandiri dalam pelaksanaan maupun tanggungjawab pekerjaannya, serta mampu melaksanakan pengawasan dan bimbingan atas dasar keterampilan manajerial yang dimilikinya.
Ayat (5) Program diploma IV diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk ketrampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki ketrampilan manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam bidang keahliannya.

Sedangkan dalam pemberian gelar, maka sesuai PP Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi pasal 22 ayat (3) perihal pemberian gelar lulusan politeknik, maka sebutan profesional Ahli Pratama bagi lulusan Program Diploma I, Ahli Muda bagi lulusan Program Diploma II, Ahli Madya bagi lulusan Program Diploma III dan Sarjana Sains Terapan bagi lulusan Program Diploma IV ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas penggunaan sebutan yang bersangkutan. Gelar ini sama dengan gelar Bachelor of Applied Science untuk lulusan University of Applied Science. Lama pendidikan antara Program SST dengan S1 adalah sama yaitu 8 (delapan) semester atau 4 (empat) tahun dengan jumlah SKS yang harus ditempuh sebanyak 152 SKS, perbedaan dasarnya lebih terletak pada sistem pola kurikulumnya sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah c/q Mendiknas. Lulusan Program SST memiliki kecenderungan pada penguasaan teknologi lebih baik secara praktik, dan lebih fleksibel mengaplikasikan ilmu pengetahuan pada keadaan sebenarnya di dunia kerja/profesi. Penguasaan teknologi di kepolisian tidak dipelajari oleh semua personel Polri, namun hanya dengan spesialisasi khusus saja, oleh sebab itu di kepolisian tidak mengenal kecabangan yang tentunya berbeda dengan militer. Di militer, sejak pendidikan sudah ditentukan matranya dan sampai pensiun tidak bisa berpindah kecabangan (dari artileri tidak mungkin menjadi zeni, dari zeni tidak mungkin ke kavaleri), sedangkan di kepolisian bisa saja berpindah fungsi sesuai dengan kebutuhan organisasi (dari reskrim mutasi ke intel, dari samapta ke lalu lintas, dari intel ke SDM, dll). Apalagi dengan jumlah SKS yang sama dengan S1, maka apabila Akpol menjadi D4 tidak perlu lagi mengikuti pendidikan di STIK untuk mendapat gelar Sarjana Ilmu Kepolisian karena memiliki status pendidikan yang sama antara S1 dan D4. Perbedaannya hanyalah, S1 diarahkan pada penerapan ilmu sedangkan D4 diarahkan pada penerapan teknologi. Apakah kepolisian melulu pada pengembangan teknologi kepolisian saja menimbang perkembangan ilmu kepolisian yang hendak digadang-gadangkan oleh Polri dalam menangani permasalahan masyarakat?

Oleh sebab itu —sesuai UU— maka menurut pendapat penulis, sebaiknya Akpol tetap diletakkan sebagai pendidikan profesi (non akademik) yang bulat, dengan kualifikasi D3, namun kredit semester di Akpol dapat diperhitungkan untuk menjadi SKS guna mengikuti pendidikan S1 di STIK-PTIK. Ini karena Akpol mendidik perwira yang memiliki kemampuan supervisory level police management yang dibedakan dengan pendidikan kejuruan teknis profesional (yang diselenggarakan di Pusdik Spesialisasi) yang lebih bersifat terapan/penguasaan teknologi kepolisian khusus. Adanya pemisahan peran dan fungsi Polri dan militer, ada baiknya diikuti dengan pengelolaan kebijakan yang tetap sesuai pada rel reformasi Polri, bahwa apa yang diselenggarakan oleh Polri memang memiliki kekhususan dan perbedaan dengan militer, termasuk pola pendidikannya. Dan apabila pelantikan perwira remaja Polri dan TNI ingin digabung, hendaknya kurikulum pendidikan saja yang dirubah apakah dengan memperbanyak waktu magang atau dikjur (3 bulan dikjur dan 4 bulan magang), ataukah ditempatkan terlebih dahulu kemudian dipanggil lagi untuk mengikuti Praspa (Prasetya Perwira). Hal ini dimaksudkan agar Polri tidak mengorbankan semangat reformasi, tidak melupakan sejarah Polri itu sendiri (pendirian Akpol, pengembangan PTIK, dan pengembangan ilmu kepolisian), serta tetap menjaga netralitas.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan falsafah keilmuan, maka ilmu kepolisian merupakan salah satu dari disiplin ilmu mandiri.
2. Ilmu kepolisian memiliki keunikan dengan menaungi ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan (applied science). Ilmu murni digunakan dalam kepolisian untuk mencari kebenaran demi kebenaran atas suatu kasus yang ditangani oleh polisi dalam upayanya menyingkap suatu tindak pidana (identifikasi sidik jari, metalurgi, balistik, DNA, dll). Sedangkan ilmu terapan mengikuti perkembangan masyarakat dan munculnya tugas serta fungsi kepolisian dalam menyikapi perkembangan tersebut.
3. Keamanan merupakan sebuah konsep yang erat kaitannya dengan tugas polisi, pada intinya keamanan yang berasal dari kata “aman” memiliki konteks tidak merasa takut/kuatir dan keadaan yang sentosa/tidak menakutkan. Sedangkan ilmu kepolisian sendiri mencakup didalamnya segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan yang mengikatnya, termasuk didalamnya memelihara kamtibmas. Berarti cakupan ilmu kepolisian lebih luas dari keamanan itu sendiri, sesuai dengan filsafat keilmuannya.
4. Akpol merupakan pendidikan kedinasan karena sudah diatur dalam UU Kepolisian serta lulusannya nanti untuk memenuhi kebutuhan kedinasan yaitu Polri. Sedangkan menurut UU Sisdiknas, Akpol digolongkan ke dalam pendidikan vokasional yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Adanya friksi di kalangan internal membuat posisi Akpol mempunyai keunikan tersendiri dalam sistem pendidikan nasional, apakah termasuk program Diploma III ataukah Diploma IV. Kalau dimasukkan dalam D3, maka untuk meneruskan ke jenjang sarjana bisa diteruskan ke STIK-PTIK, sedangkan kalau dimasukkan dalam D4 maka tidak perlu diteruskan ke STIK-PTIK untuk meraih lagi jenjang kesarjaanaan karena SKS sudah sama dengan prodi S1.

Saran

1. Agar istilah keamanan dirumuskan terminologinya sehingga tidak muncul ketidakserasian dalam pemakaian istilah tersebut apakah termasuk dalam konsep ataukah ilmu.
2. Pendidikan Polri agar diselaraskan dengan UU Sisdiknas agar tidak menimbulkan kerancuan sekaligus mengawal reformasi kepolisian sesuai dengan harapan masyarakat.
3. Untuk mendapatkan profil lulusan Akpol yang berkualitas dan profesional, ada baiknya pola pendidikan Akpol dimasukkan dalam Diploma III (D3). Kemudian setelah lulus Akpol, para perwira remaja ini ditugaskan di satuan kerja dalam lingkup organisasi Polri dan setahun kemudian dipanggil kembali untuk mengikuti pendidikan akademik di STIK-PTIK untuk meraih gelar Sarjana Ilmu Kepolisian (SIK). Hal ini dimaksudkan selama penugasan, mereka sudah mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan penelitian serta menggambarkan suasana kerja/permasalahan sosial yang dialaminya untuk dipadu padankan dengan konsep dan teori yang diterimanya di STIK-PTIK.
4. Apabila pelantikan perwira Polri hendak disandingkan dengan perwira akademi kemiliteran, maka pola pendidikan dapat dirubah tanpa harus melanggar peraturan perundang-undangan lain yang mengikatnya, misalnya memanfaatkan waktu menunggu Praspa dengan menggelar dinas magang dan pendidikan spesialisasi/kejuruan fungsi kepolisian.

Daftar Acuan:

Djamin, Awaloedin. 2001. Menuju Polri Mandiri yang Profesional; Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat. Jakarta: PTIK Press.

Djamin, Awaloedin. 2007. Tantangan dan Kendala Menuju Polri yang Profesional dan Mandiri. Jakarta: PTIK Press.

Kelana, Momo. 2009. Persepsi Seorang Praktisi tentang Ilmu Kepolisian di Indonesia. Jakarta: PTIK Press.

Suparlan, Parsudi. 2004. Ensiklopedia Ilmu Kepolisian. Jakarta: YPKIK Press.

Hampir Semua Pendidikan Kedinasan Langgar UU Sisdiknas”, www.antaranews.com, 7 Juni 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar