Jumat, 29 Mei 2009

Sistem Kepolisian Terpadu untuk Polri


BAB I
POLEMIK KEDUDUKAN POLRI

Posisi Polri Di Bawah Departemen


Bicara menyangkut Polri berada di bawah satu departemen, seperti tak ada ujungnya. Tapi jika ingin menyaksikan keberadaan Polri kedepan yang ideal, dibutuhkan kajian yang komprehensif dan mendalam. Bukan malah terjebak polemik dan kekhawatiran. Posisi Polri yang kini di bawah Presiden sepertinya tengah digugat banyak orang. Situasi itu mencuat setelah wacana RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang tengah digodok Departemen Pertahanan (Dephan) dilontarkan.Tak ayal lagi, wacana ini pun mengundang polemik. Ada yang setuju, ada yang tidak. Bahkan ada suara-suara yang menghendaki agar status Polri berada di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan (Depkumdang) atau di bawah Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Dephan sendiri tetap berpandangan kalau Polri tetap berada di bawah Departemen pemegang otoritas politik keamanan dalam negeri, guna memaksimalkan koordinasi pengendalian faktor keamanan dan pertahanan nasional. Polri secara tegas tetap menolak konsep tersebut dengan alasan amanat reformasi 1998 menghendaki Polri mandiri tanpa campur tangan pihak manapun. Dengan kemandirian yang dimiliki Polri saat ini, institusi ini sudah dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal.
Menurut saya, Polri lebih baik bertanggungjawab kepada Presiden mengingat posisi Polri di masa lalu yang penuh intervensi, seperti dalam penegakan hukum, politik, dan personel. Saat berada di bawah Presiden, intervensi itu tidak ada.
Membicarakan masalah keamanan dalam negeri memang bukan menjadi domain Polri saja. Keamanan merupakan tanggung jawab seluruh warga negara. Polri tidak mungkin mampu mengurusi seluruh masalah keamanan tanpa kerja sama dengan masyarakat. Namun, dalam soal penegakan hukum, di mana ada upaya paksa, hal itu baru menjadi kewenangan dari Polri.

Kepentingan Bangsa

Dalam RUU Kamnas tersebut, sebenarnya selain Polri semua instansi yang berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk TNI, akan berkoordinasi menjadi sebuah wadah, yakni Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang berada di bawah Presiden. Urgensi RUU Kamnas adalah mengkoordinasikan perbantuan di lapangan antara TNI dan Polri. Selama ini tidak ada UU yang menjembatani UU Pertahanan Negara, UU Polri, dan UU TNI sehingga pelaksanaan di lapangan masih kacau. Reposisi kedudukan TNI dan Polri dibawah Dephan dan Depdagri harus berdasarkan putusan politik, dan sesuai sistem pemerintahan Indonesia. Karenanya, reposisi kedudukan TNI dan Polri itu harus dilaksanakan secara cermat setelah melalui kajian- kajian yang komprehensif dan mendalam. Melalui kajian itu maka akan bisa diperkirakan apakah TNI dan Polri lebih efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam posisi sekarang, yakni dibawah Presiden, atau cukup dibawah Departemen Pertahanan dan Depdagri. Namun yang terpenting dalam kajian itu adalah reposisi kedudukan TNI dan Polri itu harus demi kepentingan bangsa dan negara.
Menurut saya keinginan sejumlah kalangan agar Polri berada di bawah satu departemen merupakan langkah mundur. Kedudukan Polri di bawah Presiden adalah bentuk paling ideal seperti saat ini. Dengan berada langsung di bawah Presiden, maka Polri tidak akan menjadi alat kekuasaan, sedangkan kalau di bawah departemen akan memungkinkan intervensi tugas-tugas kepolisian. Tuntutan masyarakat dalam era reformasi adalah agar Polri menjadi polisi sipil yang melindungi masyarakat dan bukan sebagai alat kekuasaan sehingga di era reformasi ini Polri dipisahkan dari TNI.
Kedudukan Polri di bawah Presiden seperti sekarang ini merupakan manifestasi polisi sipil yang terbaik, sangat ideal, mandiri, proporsional, profesional, dan berdasarkan konstitusi katanya. Kendati berada di bawah Presiden, mekanisme kontrol Polri tetap berjalan bahkan saat ini telah terbentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang diketuai oleh Menko Polhukkam dengan anggota diantaranya Mendagri dan Menteri Hukum dan HAM.

Departemen Baru

Terkait dengan fungsi dan keberadaan Polri jangka panjang, dalam penilaian Dosen Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (UI) Ahwil Luthan, sudah saatnya membentuk departemen baru yang membawahi keamanan nasional secara menyeluruh. Dalam kuliahnya dihadapan mahasiswa KIK Angkatan XIIII, Ahwil Luthan mengatakan “perlu departemen keamanan publik guna membawahi Polri dan lembaga terkait lainnya seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, Badan Narkotika Nasional (BNN), bahkan kalau perlu Badan Intelejen Nasional (BIN), serta penjaga pantai (Coast Guard)”. Imbuhnya lagi, “penempatan institusi Polri bisa mencontoh Jepang, Cina, ataupun Meksiko yang membuat fungsi kepolisian tetap independen dalam mengurusi persoalan keamanan dan ketertiban publik namun masih berada dalam naungan satu departemen. Ini kalau mau bicara Polri berada di bawah satu departemen tertentu. Namun sebelumnya, kembalilah mempelajari dulu sejarah kepolisian sebelum terjebak dalam polemik dan kekhawatiran mengenai keberadaan polri yang berkepanjangan”.
Kemudian tambahnya lagi “keliru kalau akhirnya terjebak dalam arus pemikiran yang menempatkan begitu saja Polri di bawah Depdagri atau Depkumdang, tanpa melihat sejarah kelahiran Polri. Ada perbedaan sejarah yang harus dipahami terlebih dahulu saat bangsa ini masuk dalam masa transisi untuk mencari format yang lebih baik... pedoman hidup Tri Brata yang dimiliki Polri sempat terpasung dengan doktrin militer saat polri masih di bawah pengaruh militer. Kondisi saat itu, memang membuat Polri menjadi rentan untuk dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh kekuatan politik yang ada. Di negara China, terdapat kementrian keamanan publik yang membawahi sejumlah institusi yang bertanggung jawab dalam masalah keamanan nasional yang luas. Begitu juga dengan Meksiko dan Jepang. Menteri keamanan publik China ini membawahi kepala kepolisian nasional dan lembaga terkait lainnya. Sedangkan di Meksiko juga ada kementerian keamanan publik yang membawahi kepala kepolisian keamanan federal. Di Jepang sendiri, kepolisian berada dalam satu dewan yang dikontrol kantor perdana menteri. Namun jauh di atas segalanya, adalah bagaimana mengurusi masalah keamanan nasional secara menyeluruh yang lebih civilized ketimbang memperlihatkan kesan militeristiknya" (Luthan, 2008).
Sejak reformasi, Polri terpisah dari TNI dan kini berada dibawah Presiden langsung. Sementara itu, penyalahgunaan lembaga Polri semasa reformasi terjadi justru ketika institusi tersebut berada di bawah langsung Presiden. Konsekuensinya, polisi menjadi mudah dimanfaatkan oleh kekuasaan. Contohnya, kasus rekaman video, Polres Banjarnegara dalam pemilihan presiden beberapa waktu lalu. Polri kemudian menjadi enggan untuk dikontrol oleh departemen tertentu nyaris tanpa kontrol dari otoritas politik manapun karena langsung bertanggungjawab kepada presiden. Pasca pemisahan dari TNI, Polri memiliki dua kekuasaan yang besar, yaitu sebagai pemegang otoritas keamanan dan ketertiban masyarakat sekaligus juga sebagai otoritas penegak hukum.

BAB II
SISTEM KEPOLISIAN DI INDONESIA

Sistem Kepolisian Indonesia Saat Ini

Sebagaimana telah diungkapkan di bab sebelumnya, kedudukan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan kita berada di bawah Presiden. Dimana secara teori Presiden berhak mengendalikan langsung kepolisian, hal ini sebagai konsekuensi logis jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan, dimana tugas dan wewenang kepolisian adalah menjalankan salah satu fungsi pemerintahan. Di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni pada pasal 30 ayat (4) UUD 1945, pasal 6 ayat (1) Tap MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, disebutkan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum (Rahardi 2007: 25). Dengan membawah kepolisian, Presiden berarti memiliki tanggungjawab konstitusional pada kepolisian mengingat fungsi tersebut dipimpin oleh Presiden.
Sistem yang dianut oleh Polri adalah sistem kepolisian nasional (national police system). Suatu sistem kepolisian yang menurut saya mendekati sistem kepolisian yang berada di bawah pemerintahan (centralized police system), dimana secara tradisi kita tidak berawal dari polisi-polisi lokal laiknya sistem kepolisian di AS atau Inggris. Sistem ini masih menganggap Mabes sebagai pengambil kebijakan yang paling sahih (the top decision maker), sehingga terjadi pengkerdilan peran kepolisian di daerah. Padahal saat sekarang ini tengah gencar-gencarnya euforia otonomi daerah, yang didalamnya mengandung sejuta permasalahan yang berdampak bagi daerah itu sendiri. Sehingga segala keputusan yang diambil menyangkut keamanan di daerah tersebut cuma diketahui oleh kepolisian setempat, bukan kepolisian pusat yang ambil bagian. Pusat dapat mencampuri apabila mendapat permintaan bantuan dari daerah, dikarenakan operasionalisasi logistik dan personel yang kurang.
Konsep otonomi daerah berkaitan dengan sistem pemerintahan suatu negara selalu dikaitkan dengan konsep desentralisasi. Keduanya merupakan konsep yang saling tumpang tindih dalam praktek pemerintahan, tetapi sebenarnya memiliki makna berbeda. Konsep desentralisasi pemerintahan selalu dipertentangkan dengan konsep sentralisasi pemerintahan. Sentralisasi pemerintahan yang diartikan sebagai kewenangan pengelolaan dan pengaturan pemerintahan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Sebaliknya konsep desentralisasi dalam praktek pemerintahan diartikan sebagai pelimpahan atau pembagian sebagian kekuasaan atau kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Sarundajang, 2001; Nugroho, 2000).
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia no 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Bab I pasal 1 huruf (e), bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia (Sadjijono 2006: 69).
Selanjutnya dalam desentralisasi pemerintahan dikenal dua macam model desentralisasi yaitu model dekosentrasi dan model desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik. Model dekosentrasi dapat diartikan sebagai pendelegasian kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam model ini kewenangan atau kekuasaan tetap berada di tangan pemerintahan pusat dan dalam pelaksanaannya tidak mengikut sertakan rakyat. Model desentralisasi politik atau ketatanegaraan adalah model desentralisasi yang melimpahkan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya, dengan melibatkan rakyat dalam pemerintahan melalui saluran-saluran tertentu/perwakilan.
Dengan demikian, jelaslah apabila dilihat dari penjelasan diatas maka desentralisasi sistem kepolisian yang ada di Indonesia masih menganut model desentralisasi administrasi dan sentralisasi secara seimbang. Artinya Mabes masih memiliki kewenangan dalam pengangkatan Kepala Polisi Daerah serta kenaikan pangkat tertentu (yang menjadi otoritas Mabes Polri), pelaporan atas tanggungjawab penyelenggaraan kepolisian tingkat daerah, distribusi sarana dan prasarana serta anggaran, sedangkan desentralisasi administrasi terlihat dari adanya pembagian daerah hukum, pengoperasionalan anggaran dan pendelegasian wewenang terbatas.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Menyikapi Masalah Keamanan

Kebutuhan akan situasi dan kondisi yang aman dan tertib, mendorong Pemerintah Daerah peduli terhadap upaya-upaya pencegahan kejahatan. Untuk mendukung keberhasilan program pembangunan dalam iklim otonomi daerah, keamanan merupakan faktor yang utama, khususnya pada masa krisis multi dimensi.
Dalam menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, polisi tidak dapat melakukannya sendirian. Tidak hanya dalam upaya pencegahan, dalam melaksanakan tugas represif (penindakan terhadap pelaku kejahatan) polisi sangat membutuhkan kerjasama dengan masyarakat, seperti: mendapatkan petunjuk-petunjuk dan informasi tentang suatu peristiwa yang terjadi. Dalam upaya pencegahan kepolisian sangat memerlukan peran serta dari masyarakat. Pemerintah Daerah dan masyarakat di Indonesia pun menyadari kepolisian tidak bisa melakukan tugasnya sendirian, sehingga Pemerintah Daerah sangat peduli terhadap tugas-tugas pencegahan kejahatan.
Kepedulian tersebut diwujudkan dengan menganggarkan biaya untuk penyelenggaraan keamanan dan diberikan kepada kepolisian di daerahnya. Seperti yang penulis alami saat bertugas di Polres Kolaka, Sulawesi Tenggara pada tahun 2007, Pemda setempat menganggarkan anggaran penyelenggaraan keamanan dan juga memberikan bantuan berupa kendaraan patroli bagi Polres Kolaka.
Kerjasama dalam penyelenggaraan keamanan secara bersama-sama ini semakin disadari bukan hanya kalangan aparat pemerintahan tetapi juga oleh kalangan masyarakat. Masyarakat memberikan andilnya dalam mengupayakan pencegahan kejahatan dengan cara menjaga keamanan di lingkungannya. Kerjasama dan dukungan dalam upaya pencegahan dijelaskan juga oleh Bayley (1994), sebagai berikut: “Agar kejahatan dapat dicegah secara efektif, tanggung jawab untuk mendiagnosa kebutuhan dan merumuskan rencana tindakan harus diberikan dalam suatu peran pendukung, baik dengan memberikan sumberdaya yang dibutuhkan atau dengan mengurus organisasi dengan cara mempermudah” (Bayley 1998: 246).
Kepolisian memang bukan merupakan satu-satunya institusi yang dapat mencegah dan memberantas kejahatan. Upaya community policing atau pemberdayaan masyarakat dalam melindungi dirinya sendiri adalah salah satu keyakinan kepolisian akan keterbatasan kemampuannya. Kenyataan ini dijelaskan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa “…suatu sistem peradilan yang baik harus menyadari keterbatasannya dan menyampaikan kepada masyarakat bahwa tugas mereka memang adalah hanya menjaga ketertiban umum (public order maintenance)” (Reksodiputro 1997: 6).
Keyakinan akan upaya pencegahan tersebut dijelaskan pula oleh Bayley, bahwa “Inilah yang saya sebut penegakan hukum yang jujur. Polisi tidak lagi memonopoli pencegahan kejahatan. Harus diciptakan situasi-situasi lain untuk mengembangkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan kejahatan” (Bayley 1998: 242).
Dengan terselenggaranya upaya kerjasama dalam memelihara keamanan dan ketertiban memungkinkan pemerintah daerah tersebut dapat melakukan aktivitas pembangunan dan pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Pembangunan akan terhambat dan tidak dapat dilakukan apabila di daerah tersebut terjadi pemberontakan dan kerusuhan. Sehingga kerjasama terhadap kepolisian setempat akan sangat bermanfaat bagi setiap kepala pemerintah daerah. Dukungan pemerintahan daerah tersebut akan membantu kepolisian dalam menyelenggarakan aktivitasnya.

Adopsi Sistem Kepolisian Negara Lain

Menurut saya, sistem kepolisian yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah Integrated Police System (Sistem Kepolisian Terpadu). Konsep ini untuk mengakomodir semangat reformasi yang kemudian dikaitkan dengan otonomi daerah. Pembentukan daerah baru sudah tentu akan diikuti pembentukan kepolisian daerah baru, kenapa? Karena suatu daerah dimekarkan menimbang faktor ekonomi dan keamanan daerah tersebut. Ekonomi akan berkembang apabila investor dijamin keamanannya dalam berinvestasi.
Kondisi yang diharapkan dari sistem ini adalah kekurangan personel dan fasilitas yang selama ini selalu dihubungkan dengan kecepatan bertindak polisi di lapangan dapat dieliminir, karena polisi yang tersedia akan tersedot di daerah-daerah. Yang ada selama ini adalah Mabes Polri terlihat ’gemuk’ dengan personel yang ’bertumpuk’, banyaknya personel di Mabes Polri tersebut bisa disebabkan berbagai alasan antara lain menghindar dari tugas di daerah, peluang sekolah dan karir yang membentang dibandingkan di daerah, dekat dengan Pimpinan Polri, suasana kerja yang semarak (karena dekat dengan ibukota), atau sudah memiliki tempat tinggal yang permanen di ibukota. Dari situ saja bisa timbul pertanyaan, kenapa Mabes Polri tidak diisi oleh PNS-PNS Polri saja ditambah dengan unsur Polri aktif yang berfungsi sebagai pembina fungsi pembinaan dan operasional daerah. Banyaknya perwira dan bintara yang bertugas di Mabes Polri menimbulkan kesenjangan proses pembinaan SDM Polri itu sendiri, disaat setiap Polda membuat telaahan staf mengenai kekurangan personel akan selalu dijawab oleh Mabes dengan ’sesuaikan dengan kondisi personel yang ada’.
Rencana strategik pemetaan SDM Polri yaitu Mabes kecil, Polda cukup, Polres besar, dan Polsek kuat akan dapat mengakomodir sistem kepolisian ini. Dengan perkuatan ada pada daerah, dan Mabes hanya berfungsi sebagai pengawas saja maka setiap daerah akan berkesempatan untuk memaksimalkan kondisi ekonomi dan sosial yang ada untuk meningkatkan harkat hidup masyarakatnya. Sehingga tidak kita temui lagi istilah ’daerah miskin dan daerah kaya’.
Sistem Kepolisian Terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut:
1. Birokrasi relatif tidak panjang karena adanya tanggung jawab dari Pemerintah Daerah.
2. Kecenderungan terhadap standardisasi profesionalisme, efisiensi, efektif baik dalam bidang administrasi maupun operasional.
3. Pengawasan dapat dilakukan secara nasional.
4. Lebih mudah koordinasi tiap-tiap wilayah karena adanya komando atas.
Hal tersebut diatas dimungkinkan dengan memberikan kekuasaan Mabes kepada Polda untuk mengatur pola pemolisian di daerah berdasarkan faktor-faktor sosiologis dan antropologis daerah tersebut, lalu dalam penegakan hukum Mabes hanya bersifat sebagai pengawas saja tidak harus turun langsung kecuali ditemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Polda sehingga memerlukan bantuan teknis Mabes untuk menanganinya. Setiap rencana operasi dapat dilakukan oleh Mabes dan diteruskan oleh Polda ke jajaran, pelaporan dan pelaksaaan operasi dilaporkan kembali oleh Polda kepada Mabes apabila tidak memenuhi standar operasi yang telah ditentukan, Mabes dapat melakukan evaluasi terhadap Polda tersebut.
Namun, kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Penegakan hukum terpisah atau berdiri sendiri artinya tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum.
2. Kewenangan terbatas hanya sebatas daerah dimana polisi berada atau bertugas.
Otonomi daerah mempunyai makna setiap daerah mengatur kewenangan pemerintahan daerahnya sendiri dengan pelaksanaan hukum nasional dan hukum daerah secara bersamaan dan sesuai kaidah hukum yang berlaku secara universal. Oleh karena itu, setiap Polda pun harus memiliki etika apabila menangani kasus yang lintas daerah. Jangan sampai karena tidak memberitahukan masalah penanganan kasus yang terjadi di daerah lain, terjadi permasalahan akibat dari penanganan kasus tersebut seperti meninggal saat tugas, kejahatan lintas birokrasi, sehingga lari ke luar negeri. Dengan demikian maka, Polda hanya dapat bertugas di wilayahnya sendiri, apabila hendak menangani ke luar Polda maka wajib memberitahukan kedudukannya pada Polda tersebut.
Kemudian, sehubungan dengan otonomi daerah dan otonomnya Polri saat ini dalam melaksanakan tugasnya, desentralisasi kewenangan manajerial merupakan suatu pemikiran yang perlu dipertimbangkan terhadap pelaksanaan tugas Polri kedepan. Dalam hal ini, sebaiknya adanya pendelegasian wewenang dalam beberapa bidang sebagai berikut ini :
a. Bidang Pembinaan Personel
Pada bidang ini berkaitan dengan proses seleksi penerimaan sumber daya manusia Polri harus bersifat terbuka dan transparan yang bisa dikontrol oleh suatu lembaga independen, sehingga kemungkinan terjadinya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) dapat dikurangi, termasuk juga dalam seleksi pendidikan selanjutnya (PTIK, Sespim maupun Sespati Polri). Selain itu perlu juga diadakannya perubahan bentuk kurikulum pengajaran yang sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan kemajuan teknologi. Selanjutnya dalan proses pembinaan karier diterapkan reward and punishment yang ditinjau dari sudut integritas diri (kecakapan dan kemampuan). Selama ini personel di daerah kurang mendapat perhatian dari Mabes Polri dalam proses pembinaan karir karena sentralisasi kewenangan bidang SDM. Banyak personel-personel pintar di daerah tidak mendapat kesempatan sekolah dikarenakan ”kuota” masuk sekolah direbut oleh personel Mabes (memakai ”sistem jendela johari”, siapa yang dilihat itu yang diperhatikan). Baru ketika terjadi permasalahan di daerah, seperti markas polisinya diserang, polisi daerah bersifat arogan, penembakan warga sipil oleh polisi daerah, barulah Mabes Polri melihat personel tersebut namun untuk diberi hukuman bukan arahan. Kemudian lulusan Sespim di daerah yang berdoa agar mendapat giliran menjadi Kapolres, tidak pernah mendapatkan giliran. Padahal ada lulusan Sespim juga dikarenakan dia dekat dengan Mabes (tidak bertugas di daerah luar Jawa) sudah tiga kali berganti daerah (tetap menjadi Kapolres).
b. Bidang Material dan Logistik
Pada bidang ini perlu disentralisasikan karena kebutuhan masing-masing wilayah kepolisian berbeda, sehingga yang dapat menghitung dan menilai kebutuhan material logistik masing-masing wilayah adalah para kasatker tingkat bawah. Sebagai contoh kebutuhan mobilitas antara polisi di wilayah yang memiliki geografis dataran pendah (jalan rata) dan dataran tinggi (berbukit-bukit) akan berlainan, kemungkinan yang satu membutuhkan sepeda motor untuk patroli, sementara wilayah yang lain membutuhkan pasukan berkuda untuk patrolinya. Selain itu juga pendelegasian pengadaan material logistik kepada tingkat bawah akan memperpendek jalur birokrasi sehingga mutu dan proses penyalurannya terjamin. Dikarenakan sistem desentralisasi maka kepolisian daerah tidak bisa meminta bantuan peralatan pada daerah, padahal daerah sudah bersedia untuk membantu pengadaan peralatan. Namun apabila Polda meminta peralatan kepada Mabes, pengadaan baru dapat direalisasikan pada periode berikutnya. Padahal kebutuhan sudah mendesak bagi Polda tersebut.

Kesimpulan

Kebutuhan pelayanan kepolisian oleh masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mungkin hanya dilakukan oleh pusat (Mabes Polri), yang tidak tahu situasi komuniti-komuniti lokal atau sukubangsa-sukubangsa setempat. Maka perlu dilakukan desentralisasi kewenangan manajerial kepada satuan bawahan, karena merekalah yang mengetahui situasi keamanan wilayahnya.
Pelimpahan kewenangan fungsional manajerial kepada satuan bawah Polri dilakukan secara berjenjang, namun tidak diterapkan seperti pelaksanaan desentralisasi pada otonomi daerah karena penerapan yang dilakukan Polri adalah dekosentrasi sebagai sebuah lembaga kepolisian nasional dan tidak bersifat kedaerahan. Namun demikian sebaiknya kebijakan dekonsentrasi harus mengacu kepada kebutuhan satuan tingkat bawah, sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Mabes Polri tidak bersifat top down namun sebaiknya bersifat bottom up.


DAFTAR ACUAN

Bayley, David H..1998. Police for the Future (Polisi Masa Depan), saduran Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati. Jakarta: Cipta Manunggal.
Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya: Laksbang Mediatama.
Reksodiputro, Mardjono. 1997. Bunga Rampai: Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan kelima. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
Sadjijono. 2006. Hukum Kepolisian: Perspektif Kedudukan dan Hubungannya Dalam Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Suparlan, Parsudi. 2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

Konsepsi Kepolisian Sipil


Masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga. Karena itu, tidak jarang kesalahan seorang anggota polisi (oknum) digeneralisasi sebagai kesalahan lembaga Polri secara keseluruhan. Mengadopsi pendapat Robert Reiner (1992), pelaksanaan tugas polisi berkaitan dengan peran polisi yang menganut dua variabel prinsip, yaitu bahaya dan kewenangan (danger and authority). Karakteristik kultur polisi tersebut lebih banyak diwarnai oleh kualitas dan integritas pribadi petugas polisi (Chakrabarti 2008: 4). Karena itu, jika masih sering muncul kultur polisi yang militeristik ─yang memang menyimpang dari kultur polisi universal─ agaknya hal itu tidak terlepas dari kultur politik makro-nasional yang bernuansa birokratik, korporatif, dan militeristik. Agar hal serupa tak kembali terulang, mutlak dikembangkan budaya Polri yang berorientasi pada publik serta menggunakan pendekatan yang bercorak non-militeristik. Artinya, budaya perseorangan aparat polisi harus didasarkan pada budaya organisasi (corporate culture). Sebab budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan (the policemen's working personality) yang diwarnai oleh lingkungannya (society generated culture). Di samping itu, guna mewujudkan keberadaan polisi sipil, Polri dituntut mampu menghilangkan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di berbagai institusi kepolisian negara mana pun.
Untuk menjadi polisi yang benar-benar sipil, mengutip pendapat A.C. German, hendaknya polisi kian menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau militer dan selalu ingin berjabat tangan dengan masyarakatnya (moving away from military configuration and shaking hands with the entire community). Polisi sipil bukan merupakan polisi kekuasaan, melainkan lebih mengedepankan kesopanan dan keramahan. Pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi terhadap setiap individu yang berhubungan dengan polisi sebagai figur yang memiliki martabat serta harga diri (Rahardjo 2007: 43).
Albert Reiss (1972) mengemukakan tiga kondisi yang dipersyaratkan untuk mengembangkan kepolisian sipil, yaitu:
1. Anggota masyarakat bersifat “civil” dalam hubungannya satu sama lain, termasuk dalam interaksinya dengan polisi. Masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan berbagai adat istiadat yang mewarnainya sangat berpengaruh pada keharmonisan interaksional antar sesama masyarakat. Polri tidak bisa bekerja sendiri, tanpa usaha dari masyarakatnya untuk menerima dan menghargai kehadiran polisi guna menengahi setiap permasalahan yang ditimbulkan masyarakat.
2. Masyarakat menjamin legitimasi kewenangan polisi dan menghormati intervensi legal kepolisian atas urusan setiap orang. Posisi polisi sebagai “penjaga status quo” terkadang menghadapi persoalan dilematis menghadapi masyarakat, polisi harus berpikir cepat dan bertindak tepat untuk menghadapi situasi yang ada. Perlu pemahaman dari masyarakat untuk menghargai kewenangan polisi dalam menindak suatu permasalahan. Terkadang diskresi digunakan untuk menentukan pilihan tindakan yang akan dilakukan. Diskresi diberikan kepada polisi karena sifat pekerjaan yang mendesak.
3. Polisi bertanggungjawab terhadap otoritas sipil serta melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya tirani polisi. Dibutuhkan komitmen dari polisi untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya (abuse of power) terhadap masyarakat dan tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan baik eksternal (excessive use of power) maupun internal (corrupt) yang banyak menghiasi keluhan-keluhan dari masyarakat.
Problem legitimasi tuntutan masyarakat terhadap perbaikan kinerja Polri secara konsisten memang tak pernah berhenti. Masyarakat berharap jangan sampai upaya yang sudah dilakukan dirusak lagi. Terlebih, belakangan Polri telah mampu mengukir sejumlah prestasi yang memperoleh apresiasi tinggi. Di antaranya, memerangi terorisme, illegal logging, pemberantasan perjudian, dan penegakan hukum lainnya. Bahkan, keberanian Polri membuka “boroknya” sendiri kepada publik (korupsi internal), juga mendapat acungan jempol. Untuk mewujudkan polisi sipil memang harus dibangun secara terencana. Polri harus berupaya keras mewujudkan pola kerja yang menyalami dan merangkul masyarakat. Bahkan, berkaitan dengan persoalan internal institusi, Polri juga harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan perbaikan moral anggota, kebersamaan antarsesama anggota Polri. Sehingga tercipta polisi sipil yang benar-benar tidak lagi dipengaruhi gaya militer, melainkan lebih menekankan pentingnya komunikasi.
Guna pengembangan konsepsi kepolisian sipil pada masa yang akan datang, saya memiliki gagasan sebagai berikut:
1. Polisi masa depan merupakan polisi yang menjalankan fungsi advisory (memberi masukan berdasarkan kajian dan studi maupun penelitian ilmiah) bagi para first line supervisor dalam menentukan tindakan yang akan diambil (Prasodjo 2001: 1). Polisi tersebut harus mampu berkomunikasi dengan baik, didasari oleh pemikiran-pemikiran kritis dan dilengkapi dengan analisis ilmiah untuk menunjang pengambilan keputusan.
2. Polisi masa depan hendaknya menjadi polisi yang protagonis (mendekatkan diri pada masyarakat), bukan antagonis (bertentangan dengan masyarakat). Disini polisi harus sadar perubahan dan sadar masa depan dalam kaitannya dengan dinamika masyarakat (Rahardjo 2007: 12).
3. Melakukan pembenahan SDM Polri dengan mengedepankan kompetensi berdasarkan penilaian kinerja di satuan kerjanya, serta bagaimana interaksinya dengan masyarakat yang dihadapi. Dengan demikian dapat menepis pencarian jabatan berdasarkan kedekatan dengan pejabat personalia tertentu (konsep Johari windows).
4. Membagi organisasi polisi kedalam tiga struktur kerja, yaitu polisi operasional investigasi pidana, polisi operasional paramiliter dan polisi manajerial. Kepolisian investigasi pidana (CID uniform) merupakan satuan kerja polisi yang bergerak dibidang penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana dalam hal ini diawaki oleh Reskrim dan Intelijen. Kepolisian operasional paramiliter (paramilitary uniform) seperti fungsi Lalu Lintas, Samapta, Polairud, Propam, Biro Operasi dan Brimob. Sedangkan kepolisian manajerial (civilian style blazer) merupakan fungsi manajemen kepolisian yang bertugas sebagai penunjang tugas pokok kepolisian seperti Administrasi Kepolisian (SDM, keuangan, dan logistik), Pembinaan Masyarakat (Binmas), Tekomunikasi, Renbang, Dokkes, dan Humas.
5. Polisi harus mampu menjadi agent of change (agen perubahan), dimana ia harus berlaku sebagai fasilitator dan dinamisator setiap perubahan dinamika masyarakat, bukan bertindak sebagai penjaga status quo yang hanya melulu memandang setiap permasalahan dari sisi hukum saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek sosial lainnya.
6. Mengembangkan kreasi dan inovasi setiap personel Polri untuk menciptakan komunikasi dengan masyarakat seluas-luasnya.
7. Menciptakan pola pemolisian yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented), dengan melakukan tugasnya secara imaginatif, analitis, dan preskriptif.
8. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi kepolisian yang berbasis jejaring sosial (social networking) dengan memanfaatkan peran serta masyarakat dalam program pencegahan kejahatan.


Daftar Acuan

Chakrabarti, Shami. 2008. A Thinning Blue Line? Police Independence and The Rule of Law. Lecture of Police Foundation John Harris Memorial in 2 July.
Prasodjo, Imam B. 2001. Polisi Masa Depan: Jago Komunikasi, Bintang Seminar. Dalam Bunga Rampai Polri Mandiri; Menengok Ke Belakang Menatap Masa Depan, ed. J.Kristiadi. Jakarta: Panitia Workshop Wartawan Polri.
Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT. Kompas-Gramedia.
Baca selengkapnya.....

LEMBAGA AKUNTABILITAS EKSTERNAL INDEPENDEN POLRI: SEBUAH MIMPI ? (Tinjauan Kritis Terhadap Polri dan Kompolnas Dari Perspektif Kepolisian Demokratis)

Berikut kertas kerja mahasiswa KIK-13 PK Administrasi Kepolisian (ditulis oleh Kompol Hendrik Budi Prasetyo dan diedit oleh Kompol Arri Vaviriyantho).


Pendahuluan

Akuntabilitas sepertinya merupakan harga mati yang harus mampu dibayar oleh setiap institusi pemerintahan di era demokrasi, tidak terkecuali kepolisian. Institusi ini memiliki potensi unik bagi kehidupan demokrasi. Di satu sisi ia dapat menjadi pengawal yang menjamin tumbuh dan berkembangnya kehidupan demokrasi, namun di sisi lain dengan kewenangan yang dimiliki ia dapat pula menjadi ancaman (Osse 2007: 185). Akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi dalam penggunaan wewenang yang diberikan kepada mereka, penggunaan sumber daya yang ada, dan apa saja yang telah dicapai dengan penggunaan wewenang dan sumberdaya tersebut kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban (Hermawan 2008).
Masalah ini didasari masih adanya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja Polri selama ini, 10 tahun pasca pemisahannya dengan TNI dirasakan tidak banyak membawa perubahan yang berarti. Reformasi Polri yang selama ini didengung-dengungkan hanya manis sebatas konsep saja, namun pada pelaksanaannya masih menyisakan tanda tanya yang sangat besar akan dibawa kemana reformasi Polri ini. Seharusnya reformasi telah membawa perubahan yang sangat signifikan bagi perkembangan Polri, namun yang terjadi reformasi malah dijadikan sebagai ajang ujicoba program para Pemimpin Polri itu sendiri. Berlomba-lomba Pimpinan Polri menelorkan program-program yang semuanya menuju reformasi Polri seutuhnya, namun pada kenyataannya peralihan tugas Pimpinan Polri cuma dijadikan eksperimen program saja, sedangkan esensi dari reformasi itu sendiri untuk mentransformasi kultur Polri masih jauh panggang dari api. Tidak terpenuhinya harapan masyarakat ini tentunya dapat berisiko akan berkurangnya kepercayaan masyarakat atas kinerja institusi Polri, sedangkan dukungan masyarakatlah yang merupakan aset utama Polri untuk mampu menjalankan tugasnya secara profesional. Landasan apa yang sepatutnya dipedomani saat meninjau kembali sistem manajemen Polri. Stojkovic & Klofas (1995) memberi arahan, polisi abad ke-21 harus mencerminkan elemen-elemen demokrasi yang mencakup transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan (akuntabilitas publik). Pandangan ini perlu diadopsi agar proses reformasi Polri tetap berpedoman pada nilai-nilai demokrasi guna menumbuhkembangkan karakter Polri sebagai organisasi yang dimensi budaya dan sistem manajemennya gamblang mencirikan pendekatan sipil. Tujuannya adalah merealisasi tekad Polri untuk menjadi organisasi yang profesional (Muhammad 2005).

Pentingnya Akuntabilitas Kepolisian

Mengapa akuntabilitas begitu penting bagi institusi kepolisian? Tidak lain jawabannya adalah karena institusi ini memiliki kewenangan/legalitas yang sangat besar, bahkan untuk melanggar hak asasi manusia sekalipun. Bahkan, hukum yang semula bersifat diam/mati hanya akan menjadi hidup setelah dioperasionalkan oleh polisi. Artinya, ada peluang bagi polisi untuk menggunakan hukum sebagai dasar/pembenaran bagi tindakan mereka yang bisa saja bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu. Jelas ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karenanya ada 3 (tiga) pra kondisi yang harus dipenuhi oleh kepolisian untuk dapat terintegrasi dengan proses demokratisasi (Marx dalam Muhammad 2003). Kondisi itu adalah : (1) Polisi harus menjadi subyek aturan hukum yang terbebas dari pengaruh penguasa dan kelompok-kelompok politik, (2) Polisi dapat masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan publik dengan kewenangan yang terkendali secara cermat, dan (3) Terwujudnya prinsip akuntabilitas dalam institusi kepolisian.
Berbagai upaya telah dilakukan Polri untuk menampilkan sosok yang pro demokrasi. Upaya-upaya tersebut sebagai implementasi dari prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis (democracy policing). Prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis beberapa diantaranya adalah: 1) polisi harus bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya, dalam konteks operasional, polisi harus dilatih dalam hal hukum, harus memahami standar-standar HAM internasional, dan harus bertindak sesuai dengan KUHP; 2) polisi sebagai pemegang/penerima kepercayaan publik, harus dianggap sebagai profesional yang tindakannya diatur oleh undang-undang mengenai etika profesi. Undang-undang ini harus merefleksikan nilai-nilai etika yang paling tinggi dan harus menyediakan dasar-dasar agar tindakan yang salah dapat diadili dan diambil tindakan disipliner; 3) polisi harus memiliki prioritas utama dalam melindungi kehidupan masyarakat; 4) polisi harus melayani masyarakat dan menganggap diri mereka bertanggung jawab pada masyarakat; 5) polisi harus bersikap humanis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan bersikap non diskriminatif. Kesemua prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis ini guna mewujudkan Polri sebagai sebuah institusi yang akuntabel.
Berbicara tentang akuntabilitas dalam kerangka pemolisian demokratis, ada 4 (empat) bidang menurut Osse (2007) yang dapat digunakan sebagai panduan adalah:
1. Akuntabilitas internal
2. Akuntabilitas kepada negara
3. Akuntabilitas publik
4. Akuntabilitas eksternal independen (Osse 2007: 189).
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mencermati implementasi keempat bidang itu oleh Polri secara mendetil satu per-satu. Namun, tulisan ini akan hanya terfokus pada bidang akuntabilitas yang keempat, yaitu akuntabilitas eksternal independen. Dipilihnya bidang akuntabilitas eksternal independen sebagai fokus penulisan, selain karena dianggap sebagai bidang yang paling sulit untuk diwujudkan, juga karena sifatnya yang kadang cenderung paradoksal dengan Akuntabilitas Internal.
Mekanisme pengawasan internal sebagai sumber Akuntabilitas internal polisi, kerap dianggap tidak mampu berfungsi optimal. Dalam beberapa kejadian, mekanisme akuntabilitas internal kepolisian justru dianggap sebagai sebuah sistem pertahanan diri untuk melindungi oknum-oknum yang bersalah. Hal ini tidak mengherankan karena pada dasarnya pekerjaan polisi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Sukar dikontrol
2. Pengambilan keputusan transaksional yang sukar dilihat, dan
3. Adanya budaya melindungi sesama polisi (Lundman 1980).

Lembaga Akuntabilitas Eksternal Independen

Sebagaimana diungkapkan tadi, dari keempat bidang akuntabilitas yang diperlukan untuk membangun kepolisian demokratis, bidang keempat (akuntabilitas eksternal independen) adalah yang tersulit untuk diwujudkan. Ego institusional Polri sepertinya masih menganggap bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang Polri, selain institusi Polri itu sendiri. Akibatnya, hal ini tidak saja memicu munculnya konflik lintas sektoral dengan instansi lain (Dephub, Pemda TNI, dan lain-lain), namun juga menghambat proses reformasi diri untuk menjadi institusi yang integral dari suasana demokratis. Gen “alergi” terhadap pengawasan ekternal dalam tubuh Polri biasanya justru berlindung dibalik jargon cita-cita Polri yang ingin mandiri dan bebas intervensi. Bisa jadi ini merupakan hasil kumulasi “rasa muak” menjadi sumber eksploitasi selama bergabung dalam institusi ABRI.
Padahal, di sisi lain walau mengalami masa “penganaktirian” selama periodisasi ABRI, namun sepertinya secara bersamaan terdapat privilense tertentu yang terasa nikmat bagi Polri (dan oknum yang pernah merasakannya) sebagai bagian integral dari ABRI. Salah satunya adalah tertutupnya akses pengawasan eksternal. Romantisme lama tentang “kenikmatan” tak terawasi oleh badan eksternal inilah yang tampaknya ingin dipertahankan (status quo). Hal ini yang mendorong Polri belum mau mengakomodasikan sebuah lembaga pengawasan eksternal dengan kewenangangan penyelidikan langsung dalam Undang-undang Kepolisian. Uraian ini tentu akan menggiring pada sebuah pertanyaan mendasar: “Lalu bagaimana dengan kehadiran Komisi Kepolisian Nasional dewasa ini ?“

Kompolnas dan Harapan Masyarakat

Dengan menyandang sebuah nama “Komisi Kepolisian Nasional”, secara awam masyarakat mungkin akan tergiring untuk menyimpulkan inilah sebuah lembaga oversight eksternal bagi Polri sebagaimana disyaratkan oleh bidang akuntabilitas eksternal independen. Benarkah demikian ?
Untuk bisa menjawab itu terlebih dahulu harus ditelaah 2 (dua) dasar hukum utama berdirinya Kompolnas yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, serta Peraturan Presiden RI No. 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Menurut UU No. 2 Tahun 2002, pasal 38:
(1) Komisi kepolisian Nasional bertugas :
a. membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara RI; dan b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk :
a. mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara RI, pengembangan SDM Kepolisian Negara RI, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Republik Indonesia.
b. memberi saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian negara RI yang profesional dan mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.

Sedangkan Peraturan Presiden RI No. 17 Tahun 2005 pada pasal 4 menyatakan bahwa “Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga non struktural yang berfungsi memberi saran kepada presiden mengenai arah dan kebijakan Polri serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri”.
Baik tugas maupun kewenangan yang dimuat pada kedua dasar hukum tadi dengan jelas mengarah pada satu kesimpulan, bahwa Komisi Kepolisian Nasional merupakan lembaga penasehat (advisory board) bukan lembaga pengawasan (oversight board). Hal ini karena Kompolnas tidak memiliki (baca: tidak diberi) kewenangan untuk melakukan investigasi mandiri tehadap Polri. Oleh karena sebagai “penasehat” maka sudah barang tentu keberadaan Kompolnas tidak akan dapat mendongkrak citra Polri, karena tidak ada kewenangan Kompolnas untuk melakukan pengawasan dan pembinaan (penindakan) terhadap anggota dan institusi Polri. Bila dibandingkan dengan Komisi Kepolisian di Malaysia, dimana komisi tersebut sangat dihormati dan ditakuti karena memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan merekomendasikan sanksi anggota polisinya yang melakukan pelanggaran hukum (Rahardi 2007: 259). Mungkin perlu dipikirkan juga adanya revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional, dari sekedar lembaga think-thank Presiden, menjadi lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap kinerja Polri. Hal ini perlu ditegaskan agar kinerja Polri dapat terukur oleh masyarakat.
Masalah ini tentu tidak terlepas dari suasana euforia Polri ketika membuat RUU Kepolisian. Pada pokok bahasan tentang Kompolnas ini sendiri, Drs. Ronny Lihawa, M.Si sebagai salah seorang yang terlibat langsung dalam penyusunan RUU Kepolisian pernah menyampaikan dalam forum diskusi kelas kepada mahasiswa KIK Angkatan XIII Jurusan Administrasi Kepolisian, bahwa klausul tentang tugas dan kewenangan Kompolnas memang “sengaja” dibuat seperti sekarang ini. Hal ini berbeda dengan UU maupun lembaga penanganan pengaduan tentang kepolisian yang ada di negara lain. Menyitir pendapat Adrianus Meliala (2002), semangat yang dikandung dalam UU No. 2 tahun 2002 adalah semangat Polri untuk membentengi diri dari pihak luar (semangat “jangan ganggu kami”). Sedangkan di Jepang, semangat Undang-Undang Kepolisian setempat justru kebalikannya, yaitu semangat akuntabilitas dan transparansi (semangat “atas nama akuntabilitas, silahkan ganggu kami”).
Hal ini berarti, dengan nama besar yang disandangnya sebagai sebuah Komisi sangat bisa terjadi misinterpretation dari masyarakat tentang tugas dan kewenangan Kompolnas. Terutama jika masyarakat berharap lembaga ini tidak saja menampung pengaduan/keluhannya tentang Polri, namun juga mampu menindaklanjuti aduan itu secara kongkrit. Namun, setidaknya hal itu dapat dilihat sebagai sebuah harapan kolektif (Muhammad 2005) dari masyarakat, baik terhadap Kompolnas maupun terhadap Polri sendiri.

Memberdayakan Kompolnas dan Membangun Akuntabilitas Polri

Harapan masyarakat sebagai harapan kolektif tentang hadirnya sebuah komisi dengan kewenangan oversight penuh terhadap Polri, tidak serta merta menafikan keberadaan Kompolnas saat ini. Sebagai sebuah lembaga non struktural yang sudah ada, dan telah memiliki akar di masyarakat, Kompolnas sebenarnya menyimpan potensi besar untuk di re-empowering sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dalam mewujudkan akuntabilitas eksternal independen.
Menyangkut hal tersebut berikut adalah beberapa hal yang mesti dilakukan untuk mewujudkannya ;
a. Mendefinisikan ulang tugas dan kewenangan yang dimiliki Kompolnas terutama dalam penanganan pengaduan tentang kinerja Polri. Titik beratnya disini adalah dengan pemberian kewenangan investigasi.
b. Mengatur kembali Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Kompolnas dengan Polri terutama dengan pelaksana pengawasan internal Polri. Hal ini perlu untuk membangun sinergi antara Kompolnas dengan unsur pelaksana pengawasan internal Polri. Sehingga, jangan sampai terjadi kontradiksi diantara keduanya untuk sebuah obyek investigasi yang sama.
c. Mengatur Hubungan Tata Cara kerja (HTCK) Kompolnas dengan Komnas HAM, Komisi Ombudsman maupun KPK serta komisi-komisi lainnya. Hal ini perlu untuk menghindari overlapping pelaksanaan tugas, yang akhirnya menjadikan Polri sebagai sasaran tembak berganda. Jika terjadi kondisi pengawasan secara berlebih seperti ini justru akan mematikan kinerja Polri.
d. Memberi jarak antara Kompolnas dengan institusi Polri yang diawasinya. Dalam bentuk kongkritnya, Kompolnas hendaknya memiliki fasilitas dan akomodasi penunjang tugas (gedung dan kendaraan termasuk staf sekretariat) secara mandiri, bukan dari Polri. Hal ini untuk menjaga netralitas dan etika pelaksanaan tugas Kompolnas. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa hasil kerja Kompolnas betul-betul berdasarkan fakta dan tidak diintervensi oleh Polri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kesemua upaya perbaikan itu memang tidak dapat serta merta dilakukan. Perlu dilakukan penyesuaian/revisi terhadap dasar hukum Kompolnas itu sendiri. Hal yang paling dasar tentunya adalah revisi Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pasalnya, mandat UU Kepolisian ini tidak memberikan Kompolnas kewenangan menyidik langsung. Alasannya, komisi ini adalah pengawas fungsional Polri. Tidak seperti dalam UU No. 22 Tahun 2004 pada pasal 22 ayat (1) huruf c, dimana Komisi Yudisial diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan pelanggaran perilaku. Sedangkan hal-hal yang menyangkut Hubungan Tata Cara kerja (HTCK) antar Komisi lainnya dapat dituangkan melalui Memorandum of Understanding (MoU) pada tahap awalnya.
Terlepas dari semua itu, hal yang paling mendasar dan menjadi kunci adalah kemauan baik (goodwillness) dari Polri sendiri. Polri sendiri harus mau dan mampu mengubah sikap mentalnya untuk menjadi polisi demokratis seutuhnya. Tanpa kemauan baik itu, niscaya kondisi akuntabilitas Polri yang terkesan “setengah hati” seperti saat ini masih akan berlangsung terus.

Penutup

Uraian diatas menunjukan bahwa Polri memang masih sedang dalam sebuah perjalanan untuk mewujudkan diri sebagai polisi yang demokratis. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa. Yang diperlukan adalah kemauan Polri untuk berubah. Perubahan terutama pada sikap mental yang sangat egosentris dan anti pengawasan eksternal. Jika merujuk pada keadaan saat ini, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas eksterna bagi Polri belum terwujud. Kompolnas yang ada saat ini bukanlah merupakan suatu wujud lembaga pengawasan eksternal yang menjamin terwujudnya akuntabilitas eksternal Polri.
Tampaknya harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya sebuah lembaga pengawasan kepolisian yang “sejati” memang masih sebatas mimpi. Namun, dengan melihat dasar-dasar yang telah diletakan dengan hadirnya Kompolnas saat ini, setidaknya mimpi itu bukan lah mimpi di siang hari. Semoga kelak ketika bangsa ini terjaga dari tidurnya maka mimpi itu akan diwujudkan melalui kerja keras.


DAFTAR ACUAN

Buku:

Lundman, Richard J. 1980. Police Behaviour, A Sociological Perspective. New York: Oxford University Press.
Meliala, Adrianus. 2002. Problema Reformasi Polri. Jakarta: Trio Repro.
Osse, Anneke. 2007. Memahami Pemolisian. Jakarta: Rinam Antartika.
Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya: Laksbang Mediatama.
Muhammad, Farouk. 2005. Komisi Kepolisian Nasional: Format Masa Kini dan Rancangan Masa Depan. Jakarta: Makalah Lepas, Tidak diterbitkan.

Surat Kabar:
Muhammad, Farouk. 2005. Rancang Ulang Manajemen Kepolisian. Koran Tempo 28 April.

Undang-Undang:
Peraturan Presiden RI No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Internet:
Hermawan, Julius. 2008. Memposisikan Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Sistem Akuntabilitas Pemerintah Daerah dalam Tatanan Good Governance. Diunduh dari hermanjul.wordpress.com pada tanggal 20 Mei 2009.
Baca selengkapnya.....

Tanggapan Mengenai Perkap No.24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah

Berikut merupakan tanggapan mahasiswa KIK-13 atas Perkap Kapolri No. 24 Tahun 2007, khususnya mulai pasal 42 s/d 81 dan Bab Penutup.

PASAL 42 S/D 83

Registrasi dan KTA (Pasal 42-46)

Pasal 42
Pada pasal 42 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa pergantian Kartu Satpam karena habis masa berlaku harus melalui tata cara seperti yang tercantum pada Pasal 37 (3) yaitu menyertakan persyaratan seperti pada awal pembuatan KTA. Pada dasarnya apabila data Satpam sudah ada sebelumnya maka persyaratan seperti foto, rumus sidik jari tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena hanya akan menjadi tumpukan file saja. Akan lebih mudah ketika segala sesuatunya dapat dilakukan pencocokan saja dengan sistem komputerisasi sehingga tidak perlu melampirkan hardcopy dari persyaratan yang dimaksud.

Untuk kartu yang hilang atau rusak maka dalam rangka meminta penggantiannya harus dilakukan pelampiran bukti-bukti hilang atau sebab-sebab kerusakan sesuai Pasal 42 (1) huruf b. Untuk melakukan hal tersebut sebaiknya dilampirkan dengan laporan kehilangan dari kepolisian (sesuai juklak dan juknis pelaporan kehilangan barang) mengenai kehilangan KTA tersebut.

Pasal 42 (1) huruf c sebaiknya ada revisi mengenai penyerahan KTA Satpam yang meninggal dunia. Karena pada pasal itu disebutkan diserahkan oleh penggunanya, yang sebaiknya diganti dengan diserahkan oleh keluarga atau perusahaan yang bertanggung jawab atas keberadaan Satpam di perusahaannya.
Pasal 42 ayat (2) pendataan KTA dikordinasikan pelaksanaannya sampai tingkat terbawah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan penomoran dengan format baku yang telah ditentukan.

Pasal 43
Karena kebanyakan satuan kepolisian daerah masih belum on-line pada sistem pelaporannya, maka sebaiknya pelaporan disesuaikan dengan pelaporan BUJP yaitu per-semester. Ini untuk menghindari keterlambatan laporan yang seharusnya diterimakan dari tingkat Polres sampai Polda.

Pasal 44
Pembinaan disini dilaksanakan oleh Karo Bimmas Polri, apakah dengan demikian semua database Satpam dilaporkan kepada Karo Bimmas ataukah cukup Karo Bimmas mengetahui saja jumlah satpam yang ada di daerah, sedangkan pelaksanaan pendataannya diserahkan pada daerah. Ini yang harus ditetapkan melalui Keputusan Kapolri mengenai batas kewenangan yang diberikan agar tidak terkesan Polri menerapkan sistem desentralisasi secara murni.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Berkaitan dengan anggaran penyelenggaraan registrasi dan penerbitan KTA, sebaiknya dijelaskan tentang komponen apa saja yang terlibat dalam hal tersebut agar tidak rancu dalam pelaksanaannya.

BAB IV
HUBUNGAN DAN TATA CARA KERJA


Pasal 47 ayat (1)
Pada huruf a bahwa hubungan vertikal ke atas dilakukan terhadap Polri, Instansi/departemen teknis pemerintah dan asosiasi. Dengan Polri dikatakan hubungan yang dilakukan adalah berkaitan dengan kompetensi, legalitas, pemeliharan kemampuan dan kesiapsiagaan serta asistensi dan bantuan operasional. Dalam hal kompetensi dan legalitas Polri sebagai lembaga satu-satunya yang memberikan hal itu harus benar-benar selektif dan sesuai dengan prosedur yang ada. Sedangkan dalam hal pemeliharaan kemampuan, nampaknya Polri tidak sungguh-sungguh melakukan hal ini. Pemeliharaan harusnya bersifat berkelanjutan, bukan seperti apa yang dilakukan Polri saat ini. Terkadang penyuluhan hanya dilakukan insidentil ketika ada momen-momen tertentu saja dan bukan merupakan suatu kegiatan rutin yang seharusnya dimasukkan dalam suatu kegiatan dalam rangka pemeliharaan. Seharusnya Polri melakukan pemeliharaan secara berkelanjutan sehingga kesiapsiagaan dan asistensi yang diberikan Polri kepada satpam terlihat nyata pada penerapan kegiatan satpam selama mereka bertugas. Untuk bantuan operasional, seharusnya dipertegas bantuan operasional apa yang dapat diberikan Polri kepada satpam, karena untuk operasional sendiri saja, Polri masih belum dapat memenuhinya secara baik.

Kemudian pada huruf a bagian 2 dikatakan bahwa hubungan terkait dengan instansi dimana satpam tersebut bekerja. Hal ini benar karena biar bagaimanapun, satpam yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana mereka bekerja. Selanjutnya huruf a bagian 3 menyatakan satpam menerima arahan dari asosiasi terkait dengan pembinaan keprofesian di bidang industrial sekuriti dan advokasi terhadap masalah hukum yang terjadi. Sebaiknya semua hal tersebut berada dibawah pengawasan Polri, sehingga terkontrol dengan baik arahan apa yang diberikan oleh asosiasi terhadap satpam.

Lalu pada huruf b, satpam harus melakukan kordinasi sesama satpam, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Untuk kordinasi dengan masyarakat tentunya hal ini pasti dapat dilakukan dengan baik dengan alasan yang dilindungi satpam adalah masyarakat, secara otomatis maka satpam akan selalu berkordinasi dengan masyarakat. Namun untuk organisasi masyarakat dan sesama satpam sampai saat ini yang terlihat masih kurang berjalan, karena dari mereka belum ada rasa saling keterikatan, begitu pula dengan organisasi masyarakat. Satpam selalu mengandalkan Babinkamtibmas untuk melakukan hubungan tersebut, sehingga dalam aplikasinya hubungan horizontal perlu mendapatkan perhatian lebih agar dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan.

Dan pada huruf c menyatakan hubungan dalam organisasi satpam dan perorangan. Sebenarnya kurang tepat bila ada hubungan vertikal ke bawah karena satpam hanya dapat melakukan hubungan vertikal ke atas dan horizontal. Sedangkan kebawah apabila dikaitkan dengan kode etik dan pertelaahan tugas, seharusnya Polri-lah yang berperan di bidang ini.

Pasal 47 ayat (2)
Disini harus diberikan petunjuk berupa Keputusan Kapolri, mengenai SOP baku yang harus dilaksanakan oleh badan usaha/perusahaan/instansi pemerintah/organisasi pengguna jasa pengamanan. Jadi standar pengamanan di tiap-tiap badan usaha tersebut sama.

Pasal 47 ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 48
Dalam pasal 48 ayat (1) mulai butir a sampai dengan e, semua prosedur yang dibuat adalah berdasarkan kebijakan perusahaan/instansi, namun demikian ada baiknya bila Polri sebagai pembina satpam dan pengawas satpam mendapatkan tembusan dari apa yang tercantum dalam Pasal ini, tidak terbatas hanya pada puncak manajemen (direksi) saja. Hal ini dilakukan sebagai sebuah sarana kontrol bagi Polri terhadap satpam-satpam yang ada dan bila sewaktu-waktu diperlukan evaluasi, maka Polri dapat melihatnya dari laporan-laporan yang dibuat oleh satpam tersebut.

Sedangkan pada ayat (2), masih ditemui satpam yang enggan menjadi saksi dalam sebuah kasus pidana yang terjadi di lingkungan tugasnya. Bahkan terkadang laporan polisi yang dibuat masih harus menunggu korban yang sesungguhnya. Sepertinya satpam tidak mengerti perbedaan delik aduan dan pidana murni, sehingga apa yang selama ini kurang dimengerti oleh satpam (karena jangka waktu pendidikan yang relatif sangat singkat) harus dijadikan perhatian tambahan guna menciptakan satpam yang lebih baik dari sebelumnya.

Pasal 49
Pada ayat (3) dinyatakan bahwa renpam hanya diserahkan pada Polri bila dianggap perlu. Seharusnya ini menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan atau instansi untuk memberitahukan bagaimana renpam yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Sekalipun renpam harus mengacu pada kebijakan perusahaan/instansi, tetapi tidak ada salahnya Polri selaku pembina satpam diajak berkoordinasi dalam pembuatannya. Hal ini agar Polri lebih mudah melakukan kontrol terhadap kegiatan dan rencana pengamanan yang dimiliki oleh perusahaan/instansi.

Pasal 50
Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah mengenai pelatihan berkala yang seharusnya diberikan secara periodik dalam rangka peninjauan dan untuk penyesuaian/ penyempurnaan. Selama ini kita ketahui bahwa pelatihan untuk kegiatan-kegiatan kontijensi hanya dilakukan beberapa instansi saja dan itu pun dilakukan hanya pada momen-momen tertentu saja. Contoh yang konkrit adalah ketika terjadi peledakan bom di JW.Marriot Hotel, barulah kemudian dilakukan pelatihan satpam serta karyawan untuk melakukan latihan evakuasi. Ini menunjukkan belum adanya kesadaran dari asosiasi, perusahaan/instansi dan Polri untuk menggalakkan latihan pengamanan kontijensi secara berkala. Ekses yang ditimbulkan adalah apabila sesuatu yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, satpam tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana harus berbuat. Oleh karena itu Polri harus berupaya mewujudkan pelatihan-pelatihan pengamanan kontijensi agar satpam terbiasa dengan kegiatan pengamanan yang mereka rencanakan sendiri.

Pasal 51
Kekurangan dalam produk yang dibuat ini adalah tidak dicantumkannya SOP dalam bertindak dalam keadaan kontijensi. Dengan demikian apabila SOP masuk dalam isi yang tergabung dengan target kegiatan, personel penanggung jawab, uraian kegiatan dan lain-lain seperti yang tercantum pada pasal ini ayat (1) huruf c maka akan lebih jelas tentang bagaimana menanggapi keadaan kontijensi tersebut. Selanjutnya dalam ayat (1) huruf c jadwal pelaksanaan tidak perlu dicantumkan, karena namanya kontijensi sifatnya adalah insidentil yang tidak mengenal jadwal dan kapan waktu kejadiannya. Intinya pada saat keadaan darurat terjadi, satpam tahu harus berbuat apa dan bagaimana dalam menangani keadaan tersebut.

BAB V
BUJP
Bagian Kesatu
Pembinaan


Pasal 52 ayat (1)
BUJP memang dapat diberdayakan oleh organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah. Namun seyogyanya pemberdayaan BUJP ini disesuaikan dengan kegunaannya. Berarti tidak setiap organisasi dapat menggunakan jasa BUJP, setidaknya harus dilihat provit dari organisasi/perusahaan/instansi/lembaga pemerintah. Harus diatur kembali siapa lembaga yang berhak menggunakan jasa BUJP ini untuk menghindari tumbuhnya perusahaan jasa yang tidak memenuhi standar prosedural pengamanan.

Pasal 52 ayat (2)
BUJP sebagaimana ayat (1) dibina oleh Polri dan wajib mendapatkan izin operasional dari Kapolri berdasarkan rekomendasi dari Polda di tempat badan usaha tersebut beroperasi. Sebagaimana UU No.2 Tahun 2002 pada pasal 15 ayat (2) huruf f memang disebutkan bahwa ”memberi izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan”. Namun perlu diketahui disini bahwa memberi izin operasional bukanlah wewenang dari Polri, namun wewenang dari Departemen Perdagangan dan Pemerintah Daerah. Akte Notaris perusahaan disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM, serta izin kerja tenaga asing diserahkan pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Seharusnya telah dibuat MoU antara Polri dengan Departemen terkait mengenai pelaksanaan izin operasional BUJP tersebut. Setelah MoU tadi disepakati, harus diatur kembali melalui Keputusan Kapolri mengenai kewenangan Mabes Polri dan mana yang didelegasikan ke Polda-Polda. Diperlukan beberapa juklak dan juknis dari Mabes Polri sebagai pegangan Polda guna pelaksanaan pembinaan dan pengawasan BUJP.

Bagian Kedua
Penggolongan


Penggolongan jasa pengamanan harus diteliti kembali oleh Polri, apa-apa saja yang dapat digolongkan kedalam jasa pengamanan. Kebanyakan SK yang ada tidak jelas penggolongannya (lihat SK Kapolri Rusmanhadi dan SK Kapolri Sutanto sebagai perbandingannya).

Pasal 53
Penggolongan BUJP yang terdiri dari:
a. Usaha Jasa Konsultasi Keamanan (Security Consultancy);
b. Usaha Jasa Penerapan Peralatan Keamanan (Security Devices);
c. Usaha Jasa Pelatihan Keamanan (Security Training);
d. Usaha Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga (Valuables Security Transport);
e. Usaha Jasa Penyediaan Tenaga Pengamanan (Guard Services);
f. Usaha Jasa Penyediaan Satwa (K9 Services).

Kiranya pada huruf (f) perlu diteliti kembali, apa ada perusahaan yang bergerak di bidang ini. Penyediaan satwa (K9) apakah disediakan satwanya saja atau sekalian dengan pelatihnya (trainer). Amat jarang perusahaan yang mau menyewa satwa karena cost-nya yang dapat melebihi cost apabila menggunakan tenaga manusia.

Pasal 54
Pada ayat (6) bukan hanya menyediakan satwanya saja namun juga menyediakan satwa dan pelatihnya untuk membantu perusahaan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban di lingkungannya.

Pasal 55
Disini belum diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan apabila BUJP tersebut menyediakan konsultan asing didalamnya. Disini peran Polri untuk mengecek kualifikasinya, berikut dengan persyaratan-persyaratan lain yang terkait dengan tenaga kerja dari luar negeri.

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Pada huruf (a) kualifikasi Gada Utama karena dikendalikan oleh Mabes Polri, harus dituangkan kembali dalam bentuk Keputusan Kapolri mengenai kekhususan dalam kualifikasi tersebut. Termasuk disitu harus dirumuskan siapa lembaga yang berwenang untuk mengawasi pemberian kualifikasi tersebut, apakah Bimmas, Samapta atau Brimob.
Kemudian disini belum diatur mengenai fasilitas pelatihan, tenaga pelatihan, kurikulum dan sebagainya. Hal ini penting untuk tidak sembarangan memberikan izin operasional bagi BUJP yang hanya ingin mengeruk keuntungan saja namun tidak memperhatikan aspek-aspek dalam manajemen sekuriti.

Pasal 58
Pada huruf (b) dikarenakan BUJP merupakan perusahaan swasta, maka untuk menghindarkan kesan anggota Polri merupakan tenaga bayaran, maka ayat ini harus dihapuskan. Teknis pengawalan barang-barang berharga yang diserahkan kepada Dit Samapta sudah diatur dalam juklak atau juknis Polri mengenai hal tersebut.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Kalau memang jasa ini harus diadakan, maka penyedianya harus menyediakan seluruh kegiatan usahanya yaitu menyediakan satwa yang berkemampuan khusus dan mengikutsertakan pawang satwa untuk membantu tugas Satpam. Karena satwa dan pawang satwa merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan mengingat kemampan yang dimiliki oleh keduanya merupakan hasil kolaborasi.

Bagian Ketiga
Kewajiban


Pasal 61
Pada ayat (1) huruf c, mengenai laporan ke Karo Bimmas perlu ditinjau kembali darimana wewenang Karo Bimmas untuk menerima laporan tersebut. Apakah tidak bersinggungan dengan pertelaahan tugas dari Deops maupun Kababinkam mengingat masalah pengamanan ada pada pertelaahan tugas masing-masing. Ini perlu diatur terlebih dahulu melalui Keputusan Kapolri mengenai wewenang tersebut. Kemudian mengingat ada juga BUJP yang tersebar di daerah-daerah, apakah juga Polda diberikan kewenangan untuk langsung menerima laporan tersebut tanpa harus laporan tersebut ditujukan kepada Mabes Polri.
Kemudian, karena BUJP ini tetap harus diawasi pelaksanaan kegiatannya, maka dalam perizinannya harus dicantumkan batas waktu izin operasional BUJP tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan BUJP yang tidak produktif masih beroperasi terus.

Pada ayat (2) selain ke-4 hal tersebut, harus dicantumkan juga pelaksanaan tugas per-kegiatan usaha yang dijalankan. Agar pihak Mabes Polri maupun Polda dapat meneliti apakah perusahaan tersebut masih layak diberikan perpanjangan izin operasional atau tidak. Apabila pelaksanaan tugasnya banyak membantu tugas pokok Polri, maka dapat direkomendasikan untuk diperpanjang izinnya. Apabila tidak, maka Polri dapat merekomendasikan untuk penutupan izin usaha BUJP tersebut.

Bagian Keempat
Surat Rekomendasi dan Surat Izin Operasional Badan Usaha


Surat Rekomendasi
Tata cara memperoleh surat rekomendasi oleh badan usaha jasa pengamanan dalam bentuk perseroan terbatas (PT) yang mencantumkan jasa pengamanan sebagai salah satu bidang usahanya. Surat rekomendasi ini hanya berlaku 6 bulan sejak dikeluarkan, untuk digunakan mengurus Surat Izin Operasional.

Pasal 62
Seharusnya surat permohonan ditujukan kepada Kapolda langsung tidak bersifat U.p. (untuk periksa), dengan argumen Kapolda sebagai Pimpinan Kepolisian Daerah harus mengetahui dengan pasti keberadaan dan perkembangan perusahaan jasa pengamanan di wilayahnya. Kapolda harus bertanggung jawab tentang proses pemeliharaan keamanan dan peta kekuatan Satpam dan BUJP yang ada.
Adapun dalam pelaksanaannya, Kapolda mendelegasikan kewenangannya kepada Karo Binamitra. Kegiatannya, selain melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi, staf ini juga harus melakukan survei lapangan dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan. Apabila persyaratan administrasi dan hasil pengecekan lapangan dinyatakan layak, perusahaan itu menjalankan usaha jasa pengamanan. Kemudian Surat Rekomendasi diketahui dan di tandatangani oleh Kapolda atau Wakapolda sebagai pimpinan Kesatuan Polda. Sehingga Kapolda memperoleh gambaran dan mengetahui secara pasti kekuatan Satuan pengamanan dan keberadaan usaha jasa pengamanan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, Kapolda pada masa sekarang harus bersedia bekerja dan mengerti tugas yang menjadi prioritas serta mengurangi kegiatan-kegiatan protokoler dan acara seremonial yang berlebihan atau kurang penting bagi organisasi maupun tugas kepolisian.
Permohonan Surat Rekomendasi ini harus disampaikan oleh pemohon secara terperinci dan hanya boleh menyampaikan satu jenis/bidang usaha jasa pengamanan saja, misalnya: Surat Rekomendasi untuk memperoleh Surat Izin bidang Jasa Konsultan keamanan, maka tidak dapat disatukan dengan permohonan bidang lain seperti bidang Jasa Penerapan Keamanan atau bidang Jasa Pelatihan keamanan apalagi 6 bidang jasa disatukan permohonannya sekaligus, itu tidak benar.

Surat Izin Operasional

Pasal 63
Perlu diyakinkan dengan Surat Rekomendasi dari Polda bahwa kegiatan usaha benar-benar belum beroperasi dan bukan bersifat persetujuan usaha yang sudah berjalan. Bila ditemukan, harus diberikan sanksi administrasi dan penghentian kegiatan serta tidak diterbitkan Izin operasional.

Pasal 64
Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Operasional, yang umum maupun yang bersifat khusus harus menyatakan kesungguhan dan kesesuaian dengan dengan faktanya. Hal yang harus diperhatikan adalah meyakinkan keberadaan perusahaan tersebut layak dan sungguh-sungguh membuka usaha jasa pengamanan. Harus diwaspadai jangan sampai bidang usaha PT tadi tidak sesuai dengan usaha jasa pengamanan, dengan kata lain hanya sekedar numpang administrasi saja dan bersifat formalitas semata.

Pasal 65
Pada huruf a bahwa permohonan surat izin operasional ditujukan kepada Kapolri U.p. (untuk periksa) Karo Bimmas Polri, juga harus dikaji ulang karena kewenangan Kapolri (Bintang 4) langsung U.p. Karo (bintang satu) melewati Bintang 3 dan bintang 2. Jadi kami berpendapat Karo hanya mengerjakan proses yang diberikan oleh Kapolri/ Wakapolri melalui Deops Kapolri. Sehingga penandatangananpun tidak oleh Karo Bimmas tetapi minimal Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops). Hal ini dimaksudkan untuk pengawasan dan pengendalian oleh Pimpinan.
Hal yang harus menjadi perhatian ditengarai adanya ”kemudahan” membuat izin operasional oleh oknum Biro Binamitra selama ini, misalnya permohonan Surat ijin operasional sekaligus dibuat 6 izin operasional bidang usaha jasa pengamanan. Hal itu tidak benar, karena menunjukan tidak adanya kesungguhan pertanggungjawaban pemberi izin dalam hal ini Polri untuk mengecek langsung kelayakan dan sarana prasarana yang harus dimiliki setiap bidang usaha, misalnya Usaha jasa Penyedia satwa, maka perusahaan jasa ini harus memiliki berbagai jenis satwa/binatang terlatih yang terpelihara dan kandang serta lapangan yang memadai untuk melatih satwa tersebut. Kemudahan-kemudahan ini diberikan, adanya indikasi kolusi atas sejumlah biaya yang serahkan dari pemohon kepada oknum yang menerima berdalih biaya administrasi. Hal ini harus diwaspadai karena apabila pertanggungjawaban keuangan yang diterima merupakan sumber penerimaan keuangan negara bukan pajak PNBP, bila disalahgunakan untuk kepentingan peribadi atau berdalih kepentingan dana operasional unit kerja tertentu, tetap dapat dikategorikan korupsi.

Pasal 66 ayat (1)
Seharusnya langsung ditentukan bahwa wilayah kegiatan dari BUJP ditentukan sesuai wilayah Polda yang bersangkutan sehubungan Surat Rekomendasi diberikan oleh Tingkat Polda. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan, pembinaan teknis dan koordinasi serta pertanggungjawaban.

Pasal 66 ayat (2)
Jangka waktu berlakunya Surat Izin Operasional BUJP sebaiknya tidak hanya satu tahun, tetapi sampai 5 (lima) tahun, baik izin yang baru maupun yang perpanjangan. Pertimbangannya, karena kalau hanya satu tahun sedangkan proses pengajuan Surat rekomendasi saja sudah enam bulan, artinya setelah enam bulan kemudian harus sudah mengajukan permohonan lagi. Hal ini tentunya tidak mencerminkan pelayanan Polri yang baik. Apabila alasannya untuk kontrol, maka dapat dilakukan melalui kewajiban kepolisian, secara rutin atau insidentil melaksanakan pengawasan ke perusahaan BUJP sebagai konsekuensi mengeluarkan izin operasional.

BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Audit SMP


Pasal 67
Disini tertulis; ”mengatur pelaksanaan audit untuk memastikan penerapan sistem managemen pengamanan dalam rangka pengawasan dan pengendalian”. Seharusnya berbunyi dalam rangka ”pengawasan dan pembinaan”, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kapolisian No. 2 tahun 2002 pasal 14 ayat (1) huruf f; atau memberikan petunjuk teknis kepolisian pada pengamanan swakarsa, sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf g, UU No. 2 Tahun 2002.
Pelaksanaan audit SMP meliputi audit kecukupan dokumen, audit kesesuaian dan audit pengawasan, artinya sistem managemen pengamanan dipastikan telah mengikuti ketentuan persyaratan dokumen, administrasi dan perundang-undangan. Audit dilakukan oleh Lembaga Audit Publik Nasional yang independen, dan mendapat penunjukan melalui keputusan Kapolri ayat (7). Menurut kami cukup ditulis dilakukan oleh tim Audit yang ditunjuk oleh keputusan Kapolri, karena pencantuman lembaga publik independen bertentangan atau tidak perlu. Kenyataannya, tim ini tidak akan independen, sebab tim audit memang akan membawa misi kepentingan tugas Polri, tetapi berdasarkan undang-undang untuk kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan. Pada ayat (8) bahwa kriteria badan Audit akan diatur dalam petunjuk teknis, Petunjuk teknis tersebut harus rinci dan komprehensif, memuat segala hal ihwal audit, subjek, objek dan metode audit serta etikanya.

Pasal 68
Pada huruf a dan poin b ayat ini tumpang tindih, karena huruf a bagian 3; Polri menunjuk personil yang dilibatkan dalam tim audit. huruf b; Badan Audit menyiapkan personil yang dilibatkan dalam tim audit. Tidak jelas dan tumpang tindih.

Pasal 69
Pada ayat (1) huruf a tidak perlu, karena membingungkan. Seharusnya Personil Polri yang punya kualifikasi auditor atau auditor yang ditunjuk dengan Surat Perintah Kapolri, atau Kapolda untuk tingkat Polda.
Pada ayat (2) terlalu menonjolkan kewenangan Robimmas Polri dalam hal penunjukan tim audit.

Pasal 70
Pelaksanaan audit meliputi pemeriksaan dokumen, pengisian quesioner, pengamatan langsung dan parameter skoring baik penilaian kualitatif juga kuantitatif harus disiapkan dan terencana. Ayat (5) Karobimmas Polri melaporkan seluruh kegiatan audit kepada Kapolri, seharusnya melalui Deops Kapolri atau Wakapolri. Atau ayat ini tidak perlu ada.

Bagian Kedua
Audit BUJP


Pasal 71 – 72
Disebutkan bahwa Polri melakukan pengawasan terhadap BUJP melalui kegiatan audit baik secara berkala maupun insidentil. Kegiatan yang dilaksanakan, meliputi audit kecukupan, audit kesesuaian dan audit pengawasan. Hasilnya dilaporkan oleh Tim audit kepada Karo Bimmas Polri. Apakah tidak sebaiknya dilaporkan kepada Deops Kapolri, karena dalam struktur organisasi Polri, Birobimmas Polri berada di bawah Sdeops Polri. Selain itu, tidak dijelaskan apakah kegiatan-kegiatan audit tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan atau tidak. Sebagai contoh setelah audit kecukupan untuk persyaratan administrasi dilakukan kepada BUJP yang akan perpanjangan izin operasional, apakah langsung dilaksanakan audit kesesuaian yang juga dilakukan untuk mendapatkan izin perpanjangan BUJP.

Pasal 73
Pada huruf b, disebutkan bahwa tim audit menyiapkan personel yang dilibatkan dalam tim audit. Menurut kami, kalimat ini agak rancu, seharusnya ....dilibatkan dalam kegiatan audit. Karena sesuai pasal 69 (2) telah dijelaskan bahwa tim audit merupakan anggota yang ditunjuk oleh Polri dan telah mendapat pelatihan teknis audit, telah terdaftar dan tersertifikasi dari Biro Bimmas Polri.

Pasal 74
Pada huruf a – e disebutkan mengenai kewajiban BUJP dalam rangka audit, namun tidak dicantumkan secara eksplisit tentang siapa yang harus menanggung biaya kegiatan audit tersebut. Pada pasal 77 dijelaskan bahwa biaya pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada organisasi, perusahaan, atau instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Kurang jelas apakah ini termasuk juga untuk kegiatan audit BUJP.

Pasal 75
Parameter penilaian audit dituangkan secara kualitatif dan kuantitatif, serta ditetapkan dengan petunjuk teknis. Petunjuk teknis ini nantinya harus dijelaskan secara terperinci tentang bagaimana teknis dan kriteria penilaiannya, sehingga dapat memberikan hasil audit yang optimal dan obyektif.

BAB VII
EVALUASI DAN PENILAIAN


Pasal 76 ayat (1)
Disini disebutkan bahwa Evaluasi dan penilaian atas laporan audit SMP dilaksanakan oleh Polri c.q. Birobimmas Polri. Selanjutnya ayat (2) berdasar hasil evaluasi dan penilaian Polri memberikan penghargaan atau tindakan pembinaan sesuai dengan tingkat pencapaian penerapan SMP. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan pembinaan dan bagaimana bentuknya.

Pasal 76 ayat (3)
Ayat yang menjelaskan tentang prosentase pencapaian yang didapat oleh perusahaan dalam kegiatan evaluasi dan penilaian, namun tidak dijelaskan kriteria penilaiannya bagaimana sebuah perusahaan dapat memperoleh prosentase 0 – 59%, 60 – 84%, dan 85 – 100%. Selain itu karena penilaian sangat tergantung dari tim audit, maka mungkin saja hasilnya akan bersifat subyektif, dan memungkinkan adanya kolusi antara tim audit dan perusahaan terkait.

Pasal 76 ayat (4)
Sertifikat penghargaan ditandatangani oleh Kapolri berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Disini kelihatannya jangka waktunya terlalu lama. Suatu perusahaan mendapat sertifikat merupakan jaminan/kepercayaan bahwa perusahaan itu sehat dan bersih. Namun bagaimana bila performa perusahaan menurun, melanggar atau bangkrut sebelum jangka waktu tersebut. Apakah penghargaan secara otomatis ditarik? Selain itu, pemberian plakat emas maupun perak terlalu berlebihan, apalagi bila dibebankan kepada anggaran dinas Polri/APBN.

Pasal 76 ayat (5)
Mengenai mekanisme penilaian untuk audit izin operasional BUJP, yang prosentasenya sama seperti pada ayat (3). Sebaiknya ayat ini dibuat pasal tersendiri, karena membahas hal yang berbeda, walaupun menggunakan prosentase yang sama.

Pasal 77
Menjelaskan bahwa biaya pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada organisasi, perusahaan, atau instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Hal ini perlu diketahui dan disosialisasikan dahulu, sehingga tidak akan membebani perusahaan yang akan diaudit.

BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Pelatihan


Pasal 78
Menyebutkan bahwa bagi lembaga pendidikan yang tidak membuat laporan pelaksanaan kegiatan pelatihan, dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, dan apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah penetapan sanksi peringatan tertulis tidak diindahkan, maka dikenakan sanksi peninjauan kembali terhadap penyelenggaraan pelatihan. Sanksi yang diberikan kurang tegas, apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali? Serta tidak memberi pengaruh terhadap instansi bersangkutan, sehingga kegiatan tetap berjalan seperti biasa.
Hal-hal yang harus dilaporkan oleh lembaga pendidikan setiap pelaksanaan pelatihan Satpam meliputi : jumlah dan sumber peserta, sarana dan prasarana, materi dan metode pelatihan, instruktur, dan hasil pelatihan. Pasal ini tidak menyebutkan apakah ketentuan ini berlaku pula apabila yang menyelenggarakan pendidikan satpam adalah lemdik Polri sendiri atau TNI, dan apakah sistem pelaporan dan sanksinya sama seperti lemdik BUJP.

Bagian Kedua
Gam dan atribut


Pasal 79
Menyebutkan tentang beraneka ragam sanksi bagi anggota Satpam yang tidak menggunakan seragam dan atribut sebagaimana telah ditetapkan dalam Perkap ini. Namun bila melihat dalam praktek sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa seragam dan atribut satpam sangat bermacam-macam (barongsai) dan belum sesuai dengan Gam Satpam.
Sebelum sanksi-sanksi ini diberlakukan kepada satpam maupun pimpinan satpam (security manager), maka Polri harus introspeksi terlebih dahulu, apakah Polri telah memanggil atau memberikan bimbingan teknis dan informasi bagaimana seharusnya Gam dan atribut Satpam, apakah pihak perusahaan telah memahami secara jelas ketentuan Gam dan atribut yang ditetapkan, serta telah mensosialisasikan peraturan ini. Apabila pihak perusahaan telah mengetahuinya, namun tidak mengindahkan, maka sanksi dapat diterapkan. Dalam penerapannya, harus konsisten dan berani bertindak tegas, karena telah diamanatkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 bahwa hal ini termasuk dalam lingkup tugas dan wewenang Polri.

Bagian Ketiga
Registrasi dan KTA


Pasal 80
Disebutkan bahwa bagi satpam yang terlambat dalam pengurusan KTA, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, apabila keterlambatan lebih dari satu tahun, maka wajib dilakukan penyegaran pelatihan kembali. Dalam prakteknya, banyak anggota satpam yang terlambat dalam mengurus KTA-nya. Bagi anggota Satpam yang terlibat tindak pidana, maka KTA akan dicabut. Bagi anggota Satpam yang tidak dapat menunjukkan KTA ketika bertugas, dikenakan pembekuan sampai dengan dapat menunjukkan KTA. Bila menggunakan KTA palsu dikenakan ketentuan pidana.
Apabila sanksi-sanksi ini akan diterapkan, maka harus konsisten, atau hanya akan dianggap angin lalu saja. Untuk itu, seluruh anggota Polri yang bertugas di bidang pembinaan Satpam harus memahami ketentuan ini, dan melakukan pemeriksaan secara berkala maupun insidentil. Hal ini disebabkan, penggunaan Gam, atribut, maupun KTA, merupakan tanda pengenal yang memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat bahwa dirinya berhadapan dengan petugas resmi.

Bagian Keempat
BUJP


Pasal 81
Dalam pengenaan sanksi ini juga harus ditegaskan mengenai siapa badan yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut, apakah Polri ataukah Instansi/Departemen lain yang terkait dengan BUJP tersebut. Apabila hal tersebut sudah diadakan kesepakatan antar Departemen, maka Polri berhak untuk menjadi lembaga yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut.

Pasal 82
Menyebutkan bahwa BUJP yang tidak memenuhi parameter penilaian yang dihasilkan oleh tim audit, maka izin operasionalnya ditangguhkan penerbitannya, dan wajib mengikuti pembinaan sesuai rekomendasi yang ditetapkan tim audit. Perlu penjelasan lebih terperinci tentang bentuk pembinaan yang harus diikuti BUJP, serta jenis rekomendasi yang dikeluarkan oleh tim audit.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Dijelaskan bahwa Peraturan Kapolri ini merupakan pedoman bagi penyusunan berbagai standar teknis keamanan, keselamatan, untuk masing-masing organisasi, perusahaan, dan/atau instansi pemerintah/lembaga pemerintah. Agar ketentuan ini dapat dipahami oleh setiap instansi bersangkutan dan tidak terjadi perbedaan dalam penjabarannya, Polri harus memberikan pembinaan teknis dan mensosialisasikannya, selanjutnya melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya.
Baca selengkapnya.....

Rabu, 13 Mei 2009

Polisi dan Grass-Roots People


Grass-roots People

Membahas tentang kalangan bawah atau kelompok akar rumput (grass-roots people) tentu imaji kita akan tersambungkan dengan kemiskinan, kebodohan, golongan orang teraniaya, kelaparan, kampungan, dan para pemimpi. Kalau memang anda berpikiran seperti itu, tesis tersebut tidaklah sepenuhnya salah. Pemahaman grass-roots menjadi kontekstual ketika dihubungkan dengan orang-orang bawah, tertindas, terpinggirkan, tak populer dan lain sebagainya. Secara piramida, kelompok grass-roots menjadi golongan yang terbesar baik secara kuantitas maupun kualitas pergerakan maupun penyimpangannya. Mereka adalah kelompok mayoritas yang dikendalikan oleh unsur dari masyarakat (birokrasi). Tindakan mereka yang cenderung alamiah dan spontan, secara tidak langsung dipengaruhi oleh struktur kekuatan tradisional mereka sendiri. Kehidupan yang guyub mempengaruhi pola tindak mereka sehari-hari. Kegiatan kumpul-kumpul, menghabiskan pendapatan hari ini kemudian memikirkan makan apa besok hari, dan terprovokasi, merupakan kekuatan mereka dalam menjalani setiap sisi hidup ini.
Adrianus Meliala dalam kuliah Seminar Teori dan Masalah Kepolisian pada Program Pascasarjana KIK-UI Angkatan XIII tanggal 10 Maret 2009, mengambil topik mengenai “Kepolisian dan Grass-Roots People”. Untuk itu saya akan sampaikan beberapa tanggapan dari materi tersebut sebagaimana tertera pada paper response berikut ini.

Beberapa Atribut Sosial

Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup (Ritzer & Goodman 2004: 31). Untuk itu menambahkan pendapat Meliala, bahwa terasing/primitif (konteks tribe) juga merupakan atribut sosial dari kalangan grass-roots. Beberapa atribut sosial lainnya adalah sebagai komentator (tanpa daya untuk merubah situasi; masih tergantung elite dan menengah), ikut-ikutan dalam segala kegiatan (tidak ada motivasi khusus selain mendapatkan uang untuk makan, juga korban mode), rentan depresi, dan sikap gotong royong.

Kekuatan Kalangan Grass-Roots

Oleh Meliala, kekuatan grass-roots dibagi menjadi dua yaitu apabila mereka tengah berbuat dan tidak berbuat. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan yang dapat menimbulkan keresahan dan gangguan karena sifatnya yang kasat mata (nyata). Kaum miskin memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam dinamika kaum elite dan menengah. Mereka menjadi 'dagangan' dan hanya mampu menunggu hasil akhir dari dinamika elite (Mustasya 2005). Oleh sebab itu, maka tidak kata lain bagi mereka untuk berbuat atau tidak sama sekali. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh kalangan elite dan menengah untuk mendongkrak pemerintahan maupun kegiatan usaha agar terjadi sebuah perubahan, walaupun setelah berhasil, kalangan grass-roots kembali menjadi pihak yang tertindas. Sesuai pendapat dari Meliala, karena memiliki kekuatan massa namun tidak memiliki kekuatan intelektualitas yang cukup tinggi maka kaum grass-roots akan dapat dengan mudah untuk digerakkan. Walaupun demikian, tidak mustahil dinamika tersebut akan menghasilkan keluaran positif bagi kaum miskin, misalnya, pengawasan yang ketat dalam penyaluran kompensasi misalnya. Seiring dengan pemikiran kritis masyarakat kalangan grass-roots, elite harus juga mampu memberikan argumen-argumen yang mendidik dan tidak membodohi publik. Termasuk menghindari mengatasnamakan kesejahteraan orang miskin ketika persoalan sebenarnya adalah ketidakmampuan negara atau elite dalam mengatasinya.

Prediksi Grass-Roots di Indonesia

Karena posisi kalangan grass-roots sebagai kalangan yang terpinggirkan, maka tidak ada yang menduga kalau mereka juga menyimpan potensi untuk membentuk lapangan pekerjaan baru. Banyaknya pegawai yang mengalami PHK, diprediksikan akan menciptakan lapangan pengangguran baru. Sikap para pengangguran ini yang menunggu belas kasihan pemerintah untuk menciptakan terobosan dalam upayanya mengembalikan mereka ke posisi semula membuat beberapa dari mereka juga berpikir untuk mencari peruntungan lain. Terkadang mereka bukan mencari perusahaan yang lebih sehat, namun juga menciptakan suatu inovasi baru sesuai bidang kerja mereka sebelum ini. Bisa kita lihat sebagai contoh, para pekerja cat dan duco mobil di sepanjang Salemba, recycler (pedaur ulang) alat-alat toilet di pasar Pramuka, para kanibalis handphone di Taman Puring, dan lain-lain. Mereka ini adalah para grass-roots yang melihat peluang pasar secara makro bahwa dengan prediksi harga sukucadang yang semakin mahal membuat orang-orang akan berpaling pada barang-barang seken yang masih bersaing, baik secara kualitas maupun harga.

Tindakan Kriminal Kaum Grass-Roots

Saya sependapat dengan Meliala, bahwa ternyata tindak kejahatan tidak hanya menimpa kaum elite dan menengah sebagai korbannya, namun juga di antara kalangan grass-roots juga terlibat di dalamnya, baik sebagai korban maupun pelaku. Suporter sepakbola sebagai contoh, kebanyakan berasal dari kalangan grass-roots yang mencari hiburan yang bisa diraih sesuai tingkat pendapatannya. Perilaku mereka yang dipenuhi kejengkelan karena banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar oleh suporter lain menimbulkan adanya tawuran atau kerusuhan yang lebih luas lagi. Situasi ini terjadi akibat spontanitas karena mereka tidak tahu kejengkelan ini harus disalurkan kemana, sehingga prasangka kebencian mereka pun bisa meluas. Bukan hanya menimpa suporter lawan tapi juga kadang menimpa fasilitas umum, kantor-kantor, petugas keamanan, atau siapa saja yang ditemui suporter yang mengamuk tersebut (Sarlito 2001: 212). Kejahatan konvensional yang bisa terjadi di kalangan grass-roots selain tindak kekerasan juga pemerkosaan, curi ternak, pemalakan, dan premanisme.

Tindakan Represif Tidak Bisa Dipakai Untuk Penyelesaian Konflik

Seperti yang dikemukakan oleh Meliala, ternyata tidak semua tindakan represif digunakan dalam menghadapi kalangan grass-roots, walaupun memang cara yang efektif untuk berhadapan dengan mereka adalah dengan tindakan keras dan tegas. Hal ini tidak berlaku pada penyelesaian konflik sosial. Pendekatan antara kaum elite atau dengan kalangan menengah tidak akan cukup untuk menghentikan konflik. Konflik adalah fenomena yang serba hadir (omni present), baik itu konflik orang-perorang maupun konflik masyarakat. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara baik konflik vertikal maupun konflik horizontal telah menimbulkan gangguan terhadap ketahanan bangsa dan negara karena cenderung melebar ke aspek-aspek kehidupan nasional yang lain, diantaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa pada sebagian masyarakat Indonesia. Kemudian cara penyelesaian konflik hendaknya menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Adalah ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat grass-roots yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan rekayasa tangan-tangan kotor yang merusak keharmonisan persaudaraan lintas agama, suku, ras, dan golongan selama ini. Jadi tidak selamanya tindakan represif dipakai untuk meladeni kalangan grass-roots ini.


DAFTAR ACUAN

Mustasya, Tata. 2005. Elite dan Politik Harga BBM. Harian Media Indonesia 18 Maret.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Baca selengkapnya.....

Kepolisian dan Kalangan Menengah


Pendahuluan

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, mereka perlu bekerjasama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup. Tiap-tiap individu kemudian memiliki hasrat untuk membentuk suatu komunitas yang disebut kelompok. Johnson & Johnson (1987) mendefinisikan kelompok sebagai dua individu atau lebih yang saling berinteraksi, dimana masing-masing mengetahui keberadaannya dalam kumpulan tersebut serta menyadari bahwa mereka sangat tergantung satu sama lain (Sarlito 2001: 5). Dari tiap-tiap kelompok yang terbentuk, ada yang mentahbiskan diri sebagai kelompok yang dominan dan yang tidak memiliki kesamaan dalam jumlah banyak menyebut dirinya sebagai kelompok minoritas. Diantara kelompok elit dan kelompok kelas bawah inilah, terdapat kelompok menengah sebagai penyeimbang antara kedua kelompok tersebut.
Adrianus Meliala dalam kuliah Seminar Teori dan Masalah Kepolisian pada Program Pascasarjana KIK-UI Angkatan XIII tanggal 4 Maret 2009, mengambil topik mengenai “Kepolisian dan Kelas Menengah”. Untuk itu saya akan sampaikan beberapa tanggapan dari materi tersebut sebagaimana tertera pada paper response berikut ini.

Perlunya Kelas Menengah

Diskursus kelas menengah tidak bisa dilepaskan dari Revolusi Industri yang terjadi di Eropa pada abad ke-17, suatu perubahan sosial yang bukan saja mengubah struktur sosial dan politik, tetapi sekaligus menjadi awal dari perkembangan kapitalisme. Pada waktu itu sistem sosial masih bersifat feodal dengan stratifikasi: raja dan keluarga bangsawan berada di puncak piramida sosial; di bawahnya tuan tanah dan para pedagang; dan strata paling bawah adalah rakyat jelata. Di balik nilai-nilai feodalisme itu tersembunyi kerakusan kelas-kelas atas yang hidup dari pekerjaan rakyat. Ketika Revolusi Industri mulai mengguncang Eropa, kelompok kedua itulah yang banyak berperan dalam proses perubahan besar tersebut. Lapisan sosial itu pula yang belakangan disebut sebagai "kelas menengah lama" yang juga sering diistilahkan sebagai kaum borjuis.
Dengan semakin meluasnya kapitalisme, maka pengelolaan sistem politik, ekonomi, dan “suprastruktur” ideologi semakin diambil alih oleh munculnya kelas para ahli yang bergaji, manajer, pejabat, teknisi, pemimpin agama, pengajar di kepastoran, dan profesional lainnya. Kelas sosial inilah yang kemudian disebut sebagai “kelas menengah baru”. Kelas sosial ini hidup dari gaji yang diperoleh dari keahlian yang mereka miliki, baik keahlian berdasarkan pendidikan tertentu maupun pengalaman panjang dalam suatu jenis pekerjaan tertentu (Robinson 1993: 145). Dengan demikian, saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Meliala bahwa kelas menengah muncul pada golongan-golongan profesional, ahli yang bergaji, para pemimpin agama, pengajar, dan pekerja yang terdidik (manajer, teknisi dan pejabat).
Setiap masyarakat bangsa, konon, memerlukan kelas menengah yang nantinya diharapkan menyumbang kepada masyarakat yang berpemikiran intelektual, berkecakapan nasional dan piawai serta arif politik. Sehingga ada pameo, bila ingin perubahan (demokratisasi) maka harus ada kelas menengah.

Siapa Kelas Menengah itu?

Oleh Meliala disebutkan bahwa kelas menengah merupakan kalangan yang memiliki akses pada visi masa depan, sumberdaya, pengetahuan, dan informasi. Muhammad (2008) menyampaikan bahwa dari sebuah penelitian untuk mengetahui siapakah kalangan kelas menengah itu ditemukan fakta bahwa ternyata kelas menengah bukan hanya yang mempunyai akses saja, namun pantas disematkan pada mereka yang keluarganya berasal dari kelas menengah juga.
Menarik pula apa yang dikemukakan oleh Robinson bahwa kelas menengah di Indonesia ternyata memiliki visi ideologis yang tidak jauh-jauh dari korporatisme otoriter yang melekat pada ideologi Pancasila (Robinson 1990: 134). Padahal diharapkan kelas menengah tersebut memiliki visi ke depan, suatu konsep reformasi yang seharusnya disampaikan sejak dulu era Orde Baru ditumbangkan.
Jadi menurut saya, disini terdapat dua golongan kelas menengah. Pertama, kelompok kelas menengah yang tercipta karena akses orangtua, entah karena jabatan atau kedudukan mereka baik dalam pemerintahan, masyarakat maupun dalam masyarakat bisnis. Kedua, kelompok kelas menengah yang terbentuk karena hasil perjuangan dan jerih payah mereka sehingga menduduki posisi sebagai bagian dari kelompok kelas menengah. Jadi dilihat dari konsepsi teori interaksi simbolik, walaupun mereka tidak memiliki akses kepada kekuatan massa, kekuasaan politik atau finansial namun mereka berasal dari keluarga kelas menengah tetap saja disebut sebagai kelas menengah (Jusuf 2009: 2).

Fungsi dan Peranan Kelas Menengah

Dalam hal ini saya juga sependapat dengan Meliala, bahwa peranan kelas menengah sebagai penjaga demokrasi dan nilai-nilai moral (custodian of democracy and moral force), dengan kesadaran hati nurani masing-masing yang merasa bagian kelas menengah makin mencuat, mereka tetap eksis sebagai kekuatan moral. Kelas menengah merupakan suatu kelompok independen, bergerak maju, tidak terbatas oleh satu generasi saja, dan pasti ada kesinambungan, karena sebagai pejuang demokrasi dan melalui pendidikan nilai (education of values). Kelas menengah merupakan kekuatan moral yang tangguh dan pasti mampu menggerakkan serta memberi warna masyarakat madani (civil society). Kelas menengah tanpa bentuk formal memberi daya gerak kemanusiaan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan memberdayakan dalam wacana masyarakat madani.
Karakteristik Kelas Menengah

Meliala mengemukakan bahwa karakter kelas menengah adalah sebagai berikut:
• Pro-reform, pro-governance
• Pro-demokrasi, pro-liberalisme
• Memiliki gaya hidup tersendiri
• Relatif egosentrik  kelewat percaya diri
• Tidak lagi terbiasa hidup dalam masyarakat mekanis dan masyarakat guyub
• Kurang mampu mengusung agenda bersama
Anders Uhlin memiliki pendapat bahwa memang dalam kelas menengah (di Indonesia), intelektual dan profesional independen lebih mendukung demokrasi. Sedangkan pegawai, manajer, dan eksekutif lebih mempertahankan status quo (Uhlin 1998: 48). Gaya hidup kelas menengah juga tak lebih dari proses meniru gaya hidup dari kelas menengah di Barat, belum sampai pada etos kerja dan spirit entreprenuer maupun semangat pembaruannya. Penampilan mereka yang oleh Robinson dicirikan dengan handphone dan McDonald tidak mencerminkan kesadaran kelas, tetapi lebih merefleksikan status "priayi modern" (penampilannya modern, tetapi nilai-nilai yang mendasarinya adalah "feodalisme").
Kelas menengah juga kelihatannya cukup berhati-hati dengan perubahan, bahkan agak takut akan munculnya perubahan yang mungkin akan mengganggu posisi mereka. Mereka juga ingin perubahan agar sistem yang ada lebih efisien, bertanggung jawab, dan jujur. Tapi mereka khawatir tentang persaingan politik yang terbuka. Di satu sisi mereka ingin perubahan, tapi di sisi lain waswas dengan adanya demokrasi. Banyak kalangan bisnis yang tak tertarik demokrasi seperti kita lihat di Cina. Jadi disini tidak semua kalangan menengah pro-demokrasi.
Juga membenarkan Meliala, bahwa kelas menengah gampang dikenali dari atribut sosial-ekonomi secara langsung dilihat dari jabatan/kedudukan atau profesi, aksesoris material yang melekat di tubuhnya, kelengkapan sarana pendukung aktivitas yang serba elektronis dan komputerisasi, ucapan-ucapan dan pemberitaan-pemberitaan tentang mereka di berbagai media massa, ini yang membuat mereka lebih percaya diri baik dalam pergaulan maupun pekerjaan.

Kompromi atau Kontestasi

Kontestasi atau aliansi antarkelas terjadi karena adanya persaingan didalam kelas itu sendiri untuk menimbulkan adanya sekat-sekat pemisah antara elit dan kelas menengah. Dalam tubuh Polri, yang menimbulkan adanya strata baru dalam kelas menengah adalah perilaku kelas menengah itu sendiri untuk menjadikan mereka sebagai “bagian yang lain” walau masih berada dalam golongan kelas menengah. Seperti contoh, dengan pangkat sama-sama Kompol namun yang satu di Bagmin dan satu lagi jadi Kasat Lantas tentu akan berbeda gaya hidup mereka satu sama lain, walau sama-sama menyandang pangkat yang sama. Namun dilihat dari mata masyarakat, mereka belum dikatakan sebagai kelompok elit masih tetap kelas menengah. Karena masyarakat menilai polisi merupakan penegak hukum bukan penentu kebijakan masyarakat seperti halnya kalangan legislatif dan eksekutif. Polisi terikat pada peraturan dan undang-undang, sedangkan legislatif sebagai pembuatnya.

Kelas Menengah dan Kejahatan

Menurut saya, kalangan menengah memang menciptakan situasi kejahatan pada kalangan kelas bawah. Tindak kriminalitas di Indonesia masih didominasi motif persoalan ekonomi. Salah satunya terlihat dari banyaknya pelaku kejahatan dari kalangan ekonomi kelas menengah dan bawah. Jika didetailkan lagi, motif ekonomi berakar pada munculnya kecemburuan sosial antara si kaya-miskin dan ketimpangan kesejahteraan karena masalah korupsi yang kian merajalela dan tidak tersentuh hukum.
Kemampuan kelas menengah dalam memegang teknologi juga menyebabkan terjadinya keresahan pada kalangan grass-root. Kejahatan siber baik dengan kekerasan maupun non-kekerasan menimbulkan dampak pada kehidupan masyarakat karena sifatnya yang tidak kasat mata dan fear of crime (Nitibaskara 2001: 57-58). Dampaknya pula akan ada keresahan pada kalangan bawah apabila kelas menengah ini terkena proses hukum, seperti contoh pembajakan VCD/DVD jelas-jelas menyalahi UU Hak Cipta, namun bagi kalangan kelas bawah adanya VCD/DVD bajakan ini sebagai sarana mendapatkan hiburan yang murah. Sehingga dengan demikian maka memang polisi harus tetap merangkul kalangan kelas menengah demi mencapai tujuan stratejik Polri.


DAFTAR ACUAN

Muhammad, Agus. 2008. Pasang Surut Kelas Menengah di Indonesia. Diunduh dari www2.kompas.com, tanggal 6 Maret 2009.
Nitibaskara, Ronny. 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat; Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi. Jakarta: Peradaban.
Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan.
Robinson, Richard. 1990. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin.
_______________. 1993. Indonesia: Tensions in State and Regime. St. Leonards: Allen & Unwin.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Jusuf. 2009. Perspektif Teori Interaksi Simbolik dan Kejahatan. Makalah yang disampaikan pada kuliah “Masalah Sosial dan Isu Kriminologi” KIK-UI Angkatan XIII tanggal 2 Maret 2009.
Baca selengkapnya.....