Kamis, 26 Januari 2012
STRIKE XENIA MAUT DI HARI MINGGU
Dalam istilah olahraga bowling dikenal istilah strike, istilah ini untuk mengartikan semua pin yang menjadi sasaran tembak bola bowling yang harus dijatuhkan dalam sekali lemparan (satu kali gelinding). Istilah strike ini sangat tepat saya analogikan untuk kasus kecelakaan maut Daihatsu Xenia B 2479 XI yang dikemudikan Afriyani Susanti (29 tahun) yang menabrak 12 pejalan kaki sehingga mengakibatkan sembilan tewas dan tiga luka berat di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, hari Minggu (22/1/2012) silam. Para pejalan kaki yang berada di pedestrian dan halte bus, ibarat pin yang sedang berjejer, kemudian ditabrak oleh Xenia sehingga bercerai berai.....strike!
Kronologis kejadian yang diambil dari beberapa sumber menyebutkan, bahwa sebelum kejadian tersebut, Afriyani dan teman-temannya tengah menghadiri sebuah pesta di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat. Setelah menghadiri perhelatan tersebut, mereka bersama-sama menuju kawasan Kemang hingga pukul 02.00 WIB, disana dilanjutkan dengan menenggak minuman keras. Belum cukup minum, rombongan bergerak menuju sebuah diskotek yang berada di kawasan Jalan Hayam Wuruk, disana mereka membeli dua butir ekstasi dan juga menyeruput sabu-sabu serta ganja sampai pukul 10.00 WIB. Sepulang dari diskotek itulah, kendaraan yang dikemudikan Afriyani secara tiba-tiba kehilangan kendali dan menabrak 13 pejalan kaki yang tengah berjalan di depan Kantor Kementerian Perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Akibatnya, seperti yang disampaikan diatas, sembilan orang tewas dalam kecelakaan tersebut.
Dari kronologis kejadian tersebut, secara yuridis materiil, pengemudi bisa saja dikenakan beberapa pasal yang diatur didalamnya. Dari UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan misalnya, pengemudi dapat dikenakan pasal 283 mengenai mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar atau terganggu konsentrasinya, kemudian pasal 287 ayat (5) tentang pelanggaran aturan batas kecepatan tertinggi atau terendah dalam berkendara, lalu pasal 288 ayat (1) dan (2) tentang pelanggaran tidak membawa SIM dan STNK, serta pasal 310 ayat (1) sampai (4) tentang orang atau kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan atau kerusakan, yang korbannya mulai dari luka ringan (penumpang Xenia), luka berat sampai meninggal dunia (pejalan kaki). Pengemudi bisa dijerat hukuman penjara selama 6 (enam) tahun.
Kemudian mengenai pengaruh narkoba sebelum pengemudi mengendarai kendaraan, dimana semua penumpang Xenia positif menunjukkan gejala adanya zat metamfetamin (dari ekstasi dan sabu serta ganja), dapat dijerat dengan pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai pengguna narkotika golongan I yang dapat dijerat hukuman penjara selama 4 (empat) tahun. Namun dalam penerapan pasal ini menimbang juga pelaksanaan pada pasal 127 ayat (3) yaitu dalam hal penyalahgunaan narkotika dapat dibuktikan atau terbukti hanya sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial saja.
Lalu melihat korban yang sedemikian banyaknya dalam satu kejadian, ditambah dengan pengaruh narkoba dalam diri pengemudi, apakah dapat juga dikenakan dugaan pembunuhan? Memang beberapa pakar hukum pidana menyarankan agar polisi menggunakan pasal pembunuhan (338 dan 340 KUHP) untuk menjerat pengemudi Xenia lebih berat lagi dari hukuman yang dipersangkakan sebelumnya. Dalam pasal 338 KUHP yaitu kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja, ada beberapa unsur pokok yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Unsur obyektif, yaitu:
1) Adanya perbuatan: menghilangkan nyawa;
2) Obyeknya: nyawa orang lain;
b. Unsur subyektif: dengan sengaja
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Adanya wujud perbuatan,
b. Adanya kematian (menyangkut nyawa orang lain),
c. Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan akibat kematian tersebut.
Rumusan pada pasal 338 menunjukkan bahwa tindakan menghilangkan nyawa orang dengan sengaja tersebut sudah termasuk dalam tindak pidana materiil, yaitu apabila ada tindakan terlarang yang ditimbulkan dari wujud perbuatan tersebut (constitutief gevolg). Perbuatan pengemudi yang menghilangkan nyawa orang lain bisa dirumuskan sebagai perbuatan dalam bentuk abstrak, karena perbuatan itu tidak menunjuk bentuk kongkret tertentu. Secara kongkret harus berwujud beragam tindakan, salah satunya mengemudi dengan tidak mengontrol kendali (Chazawi, 2004: 59). Tiga syarat dalam unsur perbuatan menghilangkan nyawa harus dibuktikan, tidak dapat dipisah-pisahkan, merupakan satu kebulatan. Afriyani sudah menyadari dirinya tidak membawa SIM dan STNK sebagai persyaratan membawa kendaraan, masih ditambah dengan menenggak minuman keras serta memakai narkotika, sehingga secara tidak langsung diketahui bahwa kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk mengendarai kendaraan (karena pengaruh zat metamfetamin yang mendorong perasaan tidak cepat lelah, namun apabila efeknya hilang maka badan akan merasa lelah). Namun, walaupun mengetahui kondisi fisik tidak memenuhi syarat untuk mengendarai kendaraan tetap saja ia mengendarai kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan narkotika. Dari sini menurut Von Buri terdapat klausul conditio sine qua non, semua faktor yang ada sama pentingnya dan dinilai sebagai penyebab dari timbulnya suatu akibat (Chazawi, 2004: 60). Secara sengaja (opzetilijk), Afriyani sudah menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara tindakannya dengan wujud perbuatannya maupun akibat yang ditimbulkannya, secara tidak sadar seharusnya ia mengetahui bahwa mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk atau fly (akibat narkotika) akan mengakibatkan bahaya bagi orang lain, apalagi dilaksanakan pada saat padat manusia (siang hari). Jadi dapat dikatakan bahwa Afriyani menghendaki mewujudkan perbuatan, dan secara sadar atau insyaf perbuatan yang dikehendakinya itu (mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk) dapat menimbulkan kematian orang lain, sehingga dengan demikian kehendaknya serta pengetahuannya akan akibat/risiko sebelum perbuatan dilakukan mempunyai arti terhadap perbuatan yang bisa dikaitkan dengan unsur-unsur pembunuhan.
Terkait dengan penerapan pasal-pasal yang dipersangkakan kepada Afriyani sebagai pengemudi kendaraan, seharusnya ini menjadi pelajaran bagi kita semua aparat penegak hukum bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari sisi pre-emtif, preventif maupun represif bagi penegakan hukum di Indonesia. Kita juga tidak hanya menyalahkan pengemudi kendaraan saja karena berakibat hilangnya nyawa orang yang tidak berdosa, namun juga harus ditarik ke belakang lagi beberapa faktor pemicu dari kejadian tersebut. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia sudah mencapai titik keprihatinan kita, rekayasa lalu lintas untuk menjamin keselamatan pejalan kaki juga belum tersentuh, penegakan hukum lalu lintas juga terkesan setengah-setengah terbukti dengan keluarnya SIM secara serampangan tidak melalui prosedur yang tepat. Hal ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kematian seseorang memang tidak diketahui karena itu semua merupakan rahasia Sang Pencipta, namun upaya-upaya manusia untuk meminimalisir kematian terutama faktor disiplin berlalu lintas sangatlah dinantikan, untuk itulah dibutuhkan peran serta semua pihak yang terkait, mulai dari masyarakatnya sampai pada aparat penegak hukumnya.
Referensi:
Chazawi, Adami. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
(sumber foto: Metropolitan.inilah.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar