I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia mempunyai naluri dasar yang mengendalikan dan mengarahkan perilakunya agar dapat bertahan dari segala macam ancaman, yaitu hubungan sex, makan, pertahanan diri, dan pertahanan kelompok terhadap serangan dari luar.
Menurut Sigmund Freud, ada dua jenis naluri atau insting, yaitu insting seksual atau libido (untuk kelangsungan keturunan dan kelangsungan jenis) dan insting ego (untuk kelangsungan hidup atau preservasi) misalnya lapar dan haus. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi insting seksual atau insting kehidupan atau eros (membangun dan berkembang) dan insting kematian atau insting agresi atau tanatos (Shaffer, 1994).
Dalam diri pribadi pun tak luput dari berkembangnya insting. Adalah William McDougall yang mengakui adanya banyak insting, ianya sebagai disposisi bawah (bakat) yang mengarahkan perhatian, perasaan, dan perilaku dalam cara-cara tertentu. Arahan dari insting ini adalah tujuan dari perilaku. Tidak ada perilaku tanpa tujuan. Misalnya, burung membuat sarangnya secara alamiah (secara bawaan) karena tidak ada yang mengajari. Tujuan prilaku membuat sarang itu adalah tujuan insting atau naluri itu sendiri, yaitu untuk melindungi anak-anaknya agar jangan dimakan hewan pemangsa lain.
Clark Hull pada tahun 1943 meluncurkan konsep “dorongan” (drive) yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologik, misalnya lapar. Dorongan untuk makan, berkembang menjadi dorongan tingkat dua yaitu makan nasi (tidak kenyang kalau belum makan nasi walau sudah makan roti). Kemudian berkembang lagi menjadi dorongan tingkat tiga; yaitu makan nasi padang. Dorongan tingkat empat; makan nasi padangdi restoran “Simpang Raya” yang terkenal enak, dan seterusnya.
Dalam diri kita, banyak kebutuhan yang harus kita penuhi. Kepuasan tidak hanya didapat kalau kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan tetapi kita ingin lebih lagi untuk memiliki apa-apa yang ada di benak kita, walaupun kita mengetahui bahwa untuk mencapai tujuan itu tidak sedikit yang kita keluarkan agar tercapainya tujuan itu.
B. PERMASALAHAN
Setelah kita membahas berbagai pendekatan dan pendapat mengenai kebutuhan manusia, dari uraian latar belakang dan judul diatas maka untuk mengetahui lebih jauh tentang analisa diri pribadi dikaitkan dengan beberapa teori motivasi dalam peningkatan kinerja, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: "Bagaimana aplikasi motivasi terhadap kebutuhan diri terhadap anggota Polri agar terpenuhi segala kebutuhan hidupnya?"
II. PEMBAHASAN
Definisi tentang kepribadian yang paling banyak dianut di Indonesia adalah dari GW.Allport (1971), yaitu:
“Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophycal systems that determine his unique adjustments to his environment”.
Jadi berdasarkan definisi diatas kepribadian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Ia adalah organisasi yang dinamis. Jadi tidak statis, tetapi selalu berubah setiap waktu.
2. Organisasi itu terdapat dalam diri individu. Jadi, tidak meliputi hal-hal yang berada di luar individu.
3. Organisasi itu terdiri dari sistem psikis (menurut Allport, yaitu sifat, bakat, dan sebagainya) dan sistem fisik (anggota dan organ-organ tubuh) yang saling terkait.
4. Organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Dalam diri pribadi, kita selalu membutuhkan sesuatu, baik menyangkut kebutuhan psikologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan serta kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk mencapainya kita memerlukan suatu tindakan untuk memacu diri kita sendiri agar keinginan-keinginan tersebut dapat kita penuhi. Hal tersebut yang kita namakan motivasi. Motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau didalam seorang individu yang menggerakan dan mengarahkan perilaku. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku mengenai perilaku yang lebih intens sebagai hasil dari tingkat motivasi yang lebih tinggi dan juga untuk menunjukan arah tindakan.
Sebagai diri pribadi, anggota Polri, juga merupakan manusia yang berkeinginan dan berkehendak. Dalam diri kita perlu untuk memenuhi kebutuhan psikologis menyangkut fisik seperti kalau kita lapar, haus atau membutuhkan sex untuk kelangsungan keturunan. Kita juga memerlukan tempat tinggal sebagai tempat berlindung dari kekuatan alam baik itu hujan, panas, angin, badai, dll. Dalam kehidupan sosial bermasyarakatpun kita membutuhkan pertemanan, kita ingin dicintai dan disayangi, dll. Dan sebagai anggota Polri, status kita sebagai personil Polri pun perlu adanya penghargaan maupun promosi jabatan agar kehidupan kita semakin baik . Semua ini kita perlukan namun untuk mendapatkannya tidak secara mudah seperti membalikkan telapak tangan. Kita memerlukan pembuktian diri bahwa kita mampu untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab kita sebagai anggota Polri. Pembuktian diri tersebut dijalankan dengan melaksanakan tugas kita dengan sebaik-baiknya. Dari cara pandang tersebut, seorang pimpinan dapat menilai kita dengan berdasarkan teori McGregor yaitu X dan Y. Apakah kita termasuk tipe X, malas, nakal atau bersifat negatif ataukah Y, rajin, punya rasa keingintahuan tinggi atau bersifat positif. Kalau pimpinan kita beranggapan kita termasuk tipe X maka mungkin dia akan menerapkan peraturan baku, pengawasan yang ketat dan penjatuhan sanksi atau hukuman terhadap kita kalau kita lalai. Namun kalau pimpinan beranggapan kita termasuk tipe Y mungkin pimpinan akan melonggarkan pengawasan, memberikan tugas yang menantang serta memberikan promosi bagi jabatan kita. Sebenarnya sebagai insan Polri yang berpegang teguh pada Tri Brata, kita ingin mengerjakan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Kita ingin dipuji hasil pekerjaan kita apabila memuaskan dan ingin dikritik atau diluruskan pekerjaan kita apabila masih belum memuaskan pimpinan. Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan anggota Polri (internal) dan beberapa faktor lainnya yang dapat mencegah terjadinya kepuasan kerja (eksternal), hal ini termasuk dalam teori dua faktor dari Frederick Herzberg.
Faktor yang pertama adalah motivators, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan isi pekerjaan itu sendiri seperti tugas yang kita kerjakan dengan baik, pengakuan kemampuan dan prestasi kerja oleh rekan sejawat maupun oleh institusi serta diberikan kesempatan berkarir yang pasti yang tentunya sesuai dengan keinginan kita. Faktor yang kedua adalah hygienes, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan dimana pekerjaan tersebut dilakukan seperti kebijakan organisasi yang memberikan keleluasan kita untuk berimprovisasi di lapangan sesuai dengan teori-teori dari lembaga pendidikan tempat kita pertama menjadi anggota Polri, kondisi kerja yang kondusif serta budaya organisasi yang mementingkan kesejahteraan anggota serta gaji atau reward yang pantas diberikan atas kinerja kita yang baik. Dari beberapa hal tersebut, sebenarnya kita mempunyai 3 kebutuhan sebagaimana McClelland katakan dalam teori kebutuhan yaitu prestasi, kekuasaan dan afiliasi. Dari tiga kebutuhan tersebut kita tentunya memiliki prioritas atas kebutuhan yang kita inginkan sehingga semua itu dapat tercermin melalui perilaku individu tersebut. Kita tentunya dalam bersosialisasi dan bekerja tentunya menghindari adanya konflik antar sesama teman, bawahan dan atasan. McClelland menyatakan itu sebagai tipe nAch tinggi, dimana seseorang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang dominan dalam hidupnya yang biasanya berprilaku senang perlombaan, ingin lebih unggul dari orang lain, memiliki perencanaan yang matang dalam menghadapi tantangan. Dari pekerjaan-pekerjaan yang telah kita kerjakan tersebut, tentunya kita mengharap bahwa pimpinan akan memperhatikan kita. Victor Vroom menyatakan ini sebagai teori pengharapan, dimana dibahas bahwa seseorang berprilaku tertentu yang sesuai dengan keinginan organisasi adalah sebagai akibat adanya pengharapan bahwa perilaku tersebut akan diikuti oleh hasil tertentu yang sesuai dengan pengharapannya. Tentunya kita akan bertanya-tanya apakah upaya tinggi yang saya berikan akan menghasilkan penilaian kinerja yang tinggi oleh pimpinan saya? Apakah penilaian kinerja yang tinggi tersebut akan menghasilkan promosi buat saya? Dan apakah promosi yang saya terima tersebut sudah sesuai dengan harapan saya? Ini semua terpulang kembali pada diri kita pribadi bagaimana menyikapinya. Ini semua tergantung kembali pada motivasi kita untuk memacu kinerja kita sebagai anggota Polri agar lebih baik dan profesional.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kinerja diri pribadi sebagai anggota Polri yang merupakan dasar kinerja organisasi dalam pencapaian tujuannya itu, saat ini masyarakat masih belum merasa puas atas kinerja yang dilakukan oleh kita sebagai personil Polri. Hal ini disebabkan kinerja Polri yang belum secara maksimal melaksanakan tugasnya atau dapat dikatakan motivasi untuk melaksanakan tugas masih kurang.
Teori Motivasi yang dinyatakan oleh banyak pakar, apabila diaplikasikan secara benar terhadap kinerja yang dilakukan Polri, maka akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja Polri, khususnya satuan kerja yang memakai tenaga kita. Peningkatan kinerja ini disebabkan adanya motivasi yang mendorong dalam diri individu dengan kesadarannya untuk melaksanakan tugas dengan baik. Dari beberapa landasan teori pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kita mempunyai beberapa kebutuhan yang sangat dominan dalam pencapaian tujuan hidup.
Sebagai manusia biasa, tentunya kebutuhan utama kita adalah pemenuhan kebutuhan psikologis, dimana kita bekerja untuk memperoleh pendapatan yang layak sehingga kita dapat makan dan minum serta mempunyai tempat tinggal yang layak, setelah itu terpenuhi kitapun tidak melupakan hasrat kita untuk berketurunan yaitu menikah. Sebagai anggota Polri, tentunya kita mempunyai kebutuhan yang dominan yaitu Type Y (tipe anggota yang rajin, keingintahuan yang tinggi atau bersifat positif) dan Motivators yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan isi pekerjaan itu sendiri seperti tugas yang kita emban, pengakuan kemampuan dan prestasi kerja oleh rekan kerja maupun organisasi serta kesempatan karir yang pasti. Tentunya sebagai akumulasi dari teori-teori motivasi itu kita memiliki pengharapan bahwa perilaku tersebut akan diikuti oleh hasil tertentu yang sesuai dengan pengharapannya.
B. SARAN
Agar didalam melaksanakan tugas terdapat adanya peningkatan kinerja, maka penulis menyarankan :
1. Menentukan kebutuhan apa yang dapat memacu prestasi personel yang diinginkan.
2. Mampu menawarkan imbalan (insentif) yang berarti guna membantu personel Polri dalam memuaskan kebutuhannya.
3. Memberikan penghargaan (reward) terhadap anggota yang melaksanakan kinerja dengan baik dan memberikan sanksi (punishment) terhadap anggota yang melanggar.
4. Dalam menempatkan personel harus disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilannya.
5. Melakukan pembinaan bukan berarti dengan menyingkirkan personel yang bersangkutan, namun harus dipedomani prinsip pembinaan karir yang memotivasi personel tersebut bukan mematikan karir secara perlahan-lahan.
6. Mengedepankan kinerja dalam pola pembinaan karir personel, bukan atas kedekatan pada pimpinan walaupun faktor eksternal tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan seleksi, karena dengan demikian akan memacu motivasi personel untuk menunjukkan kinerjanya pada organisasi.
Baca selengkapnya.....
Kamis, 24 Februari 2011
ANALISA KEBUTUHAN DIRI PRIBADI DIKAITKAN DENGAN TEORI MOTIVASI SERTA DOMINASI DALAM APLIKASINYA SELAKU ANGGOTA POLRI
MEMAHAMI bukan MENGHAFAL
Dibawah ini adalah buah pemikiran senior kami di KIK-UI, Bg Chrysnanda DL., yang mungkin sangat bermanfaat bagi kita-kita yang haus akan ilmu pengetahuan dan memiliki motivasi untuk belajar dan terus belajar....(dimuat di grup KIK pada tanggal 11 Februari 2011)
Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan, keterampilan, wawasan, perubahan, dan sebagainya. Dalam proses belajar sering yang ditekankan pada sistem pendidikan kita adalah menghafal, bahkan sampai titik koma pun dihafalkan. Cara belajar menghafal akan mendorong siswa untuk tidak jujur, mencontek atau membuat catatan-catatan kecil saat ujian. Karena tidak mungkin seseorang menghafal begitu banyak materi. Bagi yang pendekatannya belajar dengan menghafal dalam mindset-nya adalah berusaha menyamakan sesuai dengan titik koma yang ada dalam buku atau apa yang diajarkan oleh gurunya.
Romo Mangun Wijaya mengkritik cara belajar dengan menghafal, dengan mengatakan: “belajar dengan cara menghafal identik dengan cara belajarnya binatang sirkus”. Sebagai contoh saja: Sarimin (topeng monyet) yang perintahnya ke pasar dia akan bergerak mengambil gerobak atau tas dan payung untuk pergi ke pasar. Saat diperintah, Sarimin pergi ke mall atau supermarket ia tidak bergerak kebingungan. Apa ini perintahnya? Belajar menghafal juga tidak menghasilkan apa-apa. Jelas tidak kreatif, tidak inovatif, bahkan tidak mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Hasil hafalan itu tidak langgeng. Selesai ujian, lupalah sudah. Demikian halnya pada saat setelah bekerja ya itu-itu sajalah yang dihasilkan produk belajar menghafal biasanya akan cenderung curang dan korup.
Ada beberapa langkah sebagai masukan atau cara-cara yang dapat digunakan untuk belajar dengan cara memahami sebagai berikut:
1. Belajar dengan menggolong-golongkan. Dalam kehidupan fenomena kehidupan sosial yang begitu luas dan kompleks, tidak mungkin akan dipahami tanpa digolong-golongkan. Penggolongan-penggolongan ini merupakan kemampuan atau keahlian dan kepekaan. Bagaimana untuk ahli dan peka?
2. Berpikir secara holistik atau sistemik. Bahwa sebuah gejala atau fenomena tidak berdiri sendiri tetapi saling berkait mengapa dan bagaimana suatu gejala ini bisa terjadi. Semua itu saling terkait seperti suatu sistem.
3. Memahami makna di balik gejala atau fakta. Memahami makna di balik gejala atau fakta adalah cara memahami makna yang ada di balik gejala atau fakta yang terjadi.
4. Berpikir model.Berpikir dengan model adalah membuat pola atau alur berpikir tentang sesuatu atau boleh juga bagian pengembangan dari penggolongan-penggolongan yang dijabarkan lebih detail dan lebih terinci tentang sesuatu fenomena.
5. Berpikir konseptual atau teoretikal. Berpikir dengan konseptual adalah mampu mengabstraksikan fenomena-fenomena yang ada dengan menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum.
6. Memahami pendekatannya. Dalam membaca atau belajar sesuatu mampu menangkap esensinya dan memahami makna yang tersembunyi dibalik gejala atau fakta tersebut. Yang juga menangkap bagaimana melihat, dan memperlakukan suatu masalah, fenomena, dan sebagainya.
6 poin diatas memang bukan jurus dewa yang langsung bisa mengalahkan dan mampu menguasai sesuatu hal dengan cepat. Namun merupakan dasar bagaimana cara berpikir dan belajar serta mengimplementasikannya dalam penyelenggaraan tugas. Tentu bukan menjadi ekor, mohon petunjuk, copy paste, menjiplak, menunggu perintah. Tetapi akan mengembangkan, mampu memberdayakan, mampu merevitalisasi, mampu inovatif, kreatif, bahkan akan dapat menginspirasi. Baca selengkapnya.....
Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan, keterampilan, wawasan, perubahan, dan sebagainya. Dalam proses belajar sering yang ditekankan pada sistem pendidikan kita adalah menghafal, bahkan sampai titik koma pun dihafalkan. Cara belajar menghafal akan mendorong siswa untuk tidak jujur, mencontek atau membuat catatan-catatan kecil saat ujian. Karena tidak mungkin seseorang menghafal begitu banyak materi. Bagi yang pendekatannya belajar dengan menghafal dalam mindset-nya adalah berusaha menyamakan sesuai dengan titik koma yang ada dalam buku atau apa yang diajarkan oleh gurunya.
Romo Mangun Wijaya mengkritik cara belajar dengan menghafal, dengan mengatakan: “belajar dengan cara menghafal identik dengan cara belajarnya binatang sirkus”. Sebagai contoh saja: Sarimin (topeng monyet) yang perintahnya ke pasar dia akan bergerak mengambil gerobak atau tas dan payung untuk pergi ke pasar. Saat diperintah, Sarimin pergi ke mall atau supermarket ia tidak bergerak kebingungan. Apa ini perintahnya? Belajar menghafal juga tidak menghasilkan apa-apa. Jelas tidak kreatif, tidak inovatif, bahkan tidak mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Hasil hafalan itu tidak langgeng. Selesai ujian, lupalah sudah. Demikian halnya pada saat setelah bekerja ya itu-itu sajalah yang dihasilkan produk belajar menghafal biasanya akan cenderung curang dan korup.
Ada beberapa langkah sebagai masukan atau cara-cara yang dapat digunakan untuk belajar dengan cara memahami sebagai berikut:
1. Belajar dengan menggolong-golongkan. Dalam kehidupan fenomena kehidupan sosial yang begitu luas dan kompleks, tidak mungkin akan dipahami tanpa digolong-golongkan. Penggolongan-penggolongan ini merupakan kemampuan atau keahlian dan kepekaan. Bagaimana untuk ahli dan peka?
2. Berpikir secara holistik atau sistemik. Bahwa sebuah gejala atau fenomena tidak berdiri sendiri tetapi saling berkait mengapa dan bagaimana suatu gejala ini bisa terjadi. Semua itu saling terkait seperti suatu sistem.
3. Memahami makna di balik gejala atau fakta. Memahami makna di balik gejala atau fakta adalah cara memahami makna yang ada di balik gejala atau fakta yang terjadi.
4. Berpikir model.Berpikir dengan model adalah membuat pola atau alur berpikir tentang sesuatu atau boleh juga bagian pengembangan dari penggolongan-penggolongan yang dijabarkan lebih detail dan lebih terinci tentang sesuatu fenomena.
5. Berpikir konseptual atau teoretikal. Berpikir dengan konseptual adalah mampu mengabstraksikan fenomena-fenomena yang ada dengan menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum.
6. Memahami pendekatannya. Dalam membaca atau belajar sesuatu mampu menangkap esensinya dan memahami makna yang tersembunyi dibalik gejala atau fakta tersebut. Yang juga menangkap bagaimana melihat, dan memperlakukan suatu masalah, fenomena, dan sebagainya.
6 poin diatas memang bukan jurus dewa yang langsung bisa mengalahkan dan mampu menguasai sesuatu hal dengan cepat. Namun merupakan dasar bagaimana cara berpikir dan belajar serta mengimplementasikannya dalam penyelenggaraan tugas. Tentu bukan menjadi ekor, mohon petunjuk, copy paste, menjiplak, menunggu perintah. Tetapi akan mengembangkan, mampu memberdayakan, mampu merevitalisasi, mampu inovatif, kreatif, bahkan akan dapat menginspirasi. Baca selengkapnya.....
Kamis, 17 Februari 2011
INDONESIA BUKAN BANGSA YANG RAMAH LAGI?
Ancaman Terhadap Bhinneka Tunggal Ika
Judul diatas mungkin terlihat ekstrim dilihat dari sudut pandang sosiologi maupun antropologi masyarakat Indonesia di mata dunia internasional. Sudah sejak dulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai sosok yang ramah yang terbuka terhadap siapa saja yang menetap dan mengunjungi Indonesia. Dengan gugusan pulau serta kepulauan yang terentang dari Sabang sampai Merauke membuat mata sejuk memandang akan keindahan alam serta kehangatan masyarakat Indonesia. Tidaklah salah apabila Indonesia ditengah keberagaman adat istiadat, bahasa, budaya, alam, dan lain-lain yang terkandung di atas alamnya dikenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Anak-anak di sekolah dasar sampai menengah pun paham apa makna tersebut, selalu menyebutkan “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Apanya yang berbeda? Ya keberagaman tadi diatas yang membedakan itu semua, namun keberagaman tersebut dibungkus dalam wadah bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa Indonesia ternyata menyimpan potensi konflik didalamnya, karena sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam etnis, kebudayaan, agama, bahasa, dan lain-lain, tentulah memiliki sifat-sifat dasarnya, yang menurut Pierre L. van Berghe (Nitibaskara, 2002: 7) terdiri dari:
1. Terjadi segmentasi dalam bentuk kelompok yang memiliki perbedaan sub-kebudayaan dengan kelompok lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga non komplementer.
3. Diantara anggota kelompoknya kurang mengembangkan konsensus nilai-nilai sosial dasar.
4. Secara reaktif seringkali muncul konflik dengan kelompok lain.
5. Integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan adanya saling ketergantungan di bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Adanya karakteristik dasar masyarakat majemuk diatas, sedikit banyak memberi gambaran konflik hanyalah sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak, kapan saja dan dimana saja dengan waktu yang tidak ditentukan.
Siapa sangka konflik keyakinan dapat merubah sebuah desa di Pandeglang bernama Cikeusik sedikit terusik? Tiba-tiba kita disuguhkan oleh drama kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama sehingga mengakibatkan korban tewas. Belum habis peristiwa tersebut menjadi headline news di media massa, kota Temanggung kembali heboh dengan adanya penyerangan tempat-tempat ibadah agama tertentu yang dilakukan oleh sekelompok massa yang juga mengatasnamakan agama tertentu.
Cikeusik dan Temanggung adalah tempat-tempat yang sepertinya jauh dari perkiraan akan munculnya konflik, namun kenyataan inilah yang terjadi, seolah-olah hilang sudah anggapan dunia luar bahwa Indonesia memiliki karakter bangsa yang ramah, bukankah dengan peristiwa ini kita dianggap sebagai bangsa pemarah?
Maka ketika keamanan yang kita idam-idamkan hilang, secara psikologis kita mengalami neurotika sosial, bahkan menjadi paranoid dengan setumpuk stigma dan trauma psikologis sebagai bangsa (Dahana, 2011).
Pemerintah Harus Tegas, Intelijen Harus Dikuatkan
Kekerasan terhadap keyakinan atau apapun itu yang mengancam Bhinneka Tunggal Ika selayaknya ditindak tegas. Penegakan hukum menjadi kunci utama agar kasus-kasus kekerasan yang mengarah pada konflik sosial tidak meluas sehingga mengganggu keberagaman bangsa Indonesia. Negara tidak boleh gagal untuk melindungi keberagaman bangsa ini, juga pembiaran negara terhadap kekerasan yang dilakukan oleh oknum kelompok tertentu seharusnya tidak terjadi sehingga dapat mengganggu produktifitas masyarakat dalam berusaha dan bersosialisasi.
Banyak pihak menilai kesiapan aparat keamanan dalam hal ini Polri kurang optimal, sehingga kenapa muncul aksi kekerasan massa ini. Padahal dalam pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam dua peristiwa diatas nampak jelas bahwa Polri terbilang gagal dalam memberikan rasa aman dan tertib pada masyarakat, serta tidak mampu melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak asasi manusia (seperti tercantum dalam Catur Prasetya dan pasal 14 huruf i UU No.2 Tahun 2002). Wajar kemudian ketika masyarakat ramai membicarakan kembali kredibilitas Polri di era reformasi ini apakah sudah mampu memenuhi tuntutan masyarakat ataukah belum.
Pengamat intelijen, C.Manullang dan Susaningtyas Kertopati (Kompas, 17/2) menyatakan bahwa terjadinya kekerasan di beberapa tempat di Indonesia tidak lepas dari kurang profesionalnya kinerja intelijen, namun memang bukan serta merta intelijen pula yang disalahkan. Intelijen hanya mengumpulkan data serta informasi, lalu laporannya diberikan kepada end user (pengambil keputusan). Nah, terkadang pengambil keputusan (Kapolda atau Kapolres) tidak ditanggapi dengan serius, tidak peduli, atau bahkan lamban. Neta S. Pane (2011) menyatakan bahwa terjadinya amuk massa akhir-akhir ini terjadi karena empat faktor, yaitu:
1. Lemahnya intelijen kepolisian.
2. Tidak dimaksimalkannya Polsek sebagai ujung tombak kepolisian.
3. Rendahnya kepekaan Kapolres sebagai pimpinan KOD (Kesatuan Operasional Dasar) atas kerawanan di wilayahnya, dan
4. Faktor kedekatan oknum pejabat kepolisian dengan kelompok tertentu.
Keempat faktor diatas memang tidak semuanya dapat diiyakan oleh sebagian anggota Polri, ada yang menganggap bahwa intelijen tidak lemah karena sebelum kejadian, pihak intelijen sudah memberikan masukan kepada pimpinan untuk mengambil keputusan dalam bertindak, hanya terkadang keputusan yang diambil tidak didasarkan pada potensi kerawanan yang dapat ditimbulkan. Seharusnya dalam mengatasi unjuk rasa yang mengusung keyakinan, kekuatan aparat keamanan harus 2X lebih banyak dari jumlah massa yang akan berunjuk rasa.
Kemudian kalau memang intelijen dianggap sebagai mata telinga pimpinan, maka seyogyanya sebagai ”panca indera” harus dirawat dengan baik, serta diberikan perhatian khusus agar ”panca indera” tersebut berfungsi dengan baik pula. Polri harus mau membesarkan intelijen kepolisian baik dari sisi anggaran maupun peralatan intelijen agar nantinya mampu melaksanakan tugas deteksi dini potensi gangguan keamanan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, harus ada tolok ukur keberhasilan intelijen dalam membantu operasionalisasi Polri.
Tolok ukur keberhasilan intelijen antara lain mampu memberikan produk-produk kepolisian berupa informasi yang akurat sebagai saran masukan untuk rekomendasi kepada pimpinan serta mengawal pengambilan keputusan tersebut sampai tujuan tercapai. Kemudian, intelijen diharapkan mampu mengkondisikan sesuatu hal sehingga situasi yang diciptakan dapat mendukung kelancaran kegiatan pokok, baik dalam hal operasi kepolisian maupun kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat lainnya.
Tolok ukur diatas memang tidak akan ada hasilnya apabila dukungan Polri terhadap keberadaan intelijen kurang berjalan maksimal. Secara organisatoral seharusnya intelijen yang sudah dikembangkan menjadi Badan, memiliki kewenangan khusus di bidang intelijen. Personil yang mengawaki organisasi tersebut haruslah orang-orang yang mumpuni di bidang intelijen, bukan hanya asal cabut saja demi kepentingan pengisian jabatan. Terkadang meski personil dan kewenangan sudah mencukupi, anggaran untuk intelijen malah kurang. Jadi sangat wajar apabila mutu informasi pun kadang tidak akurat, yang ada hanya dedikasi anggota intelijen untuk menjaga situasi tetap kondusif saja. Bahkan terkadang anggota pengumpul bahan keterangan (pulbaket) di Polsek hanya cuma seorang! Bagaimana mungkin dia mampu meng-cover semua kegiatan yang ada di wilayahnya?
Kembalikan Indonesiaku!
Dari tulisan diatas, maka kita membutuhkan mekanisme sistem peringatan dini sosial. Dimana pemerintah harus proaktif mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini dan secepat mungkin (Suyanto, 2011). Pemerintah harus menguasai latar belakang timbulnya konflik tersebut untuk menentukan pemecahan yang tepat. Penyelesaian secara tambal sulam hanya akan menyebabkan konflik menjadi laten dan penyelesaian yang tidak konsisten hanya akan memperluas cakupan konflik ke wilayah yang lain (Nitibaskara, 2002: 115). Untuk itu, pencegahan adalah solusi yang tepat dalam mengatasi konflik. Polri sebagai garda terdepan pemeliharaan keamanan dan ketertiban memiliki tanggungjawab untuk melakukan pencegahan (pre-emtif) bibit-bibit konflik. Caranya bisa bermacam-macam, penguatan intelijen, komunikasi sosial antar kelompok/agama, peningkatan pemolisian masyarakat (community policing), dan lain-lain. Dengan demikian, maka Indonesia diharapkan kembali menjadi bangsa yang ramah dan memiliki toleransi tinggi terhadap berbagai keberagaman. Kembalikan Indonesiaku!
Referensi:
Dahana, Radhar Panca. ”Ancaman di Balik Kekerasan”. Koran SINDO, 15 Februari 2011.
Nitibaskara, TB. Ronny Rahman. (2002). Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah. Jakarta: Peradaban.
Pane, Neta S. ”Menggugat Polri”. Kompas, 17 Februari 2011.
Suyanto, Bagong. ”Peringatan Dini Sosial”. Kompas, 17 Februari 2011. Baca selengkapnya.....
Judul diatas mungkin terlihat ekstrim dilihat dari sudut pandang sosiologi maupun antropologi masyarakat Indonesia di mata dunia internasional. Sudah sejak dulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai sosok yang ramah yang terbuka terhadap siapa saja yang menetap dan mengunjungi Indonesia. Dengan gugusan pulau serta kepulauan yang terentang dari Sabang sampai Merauke membuat mata sejuk memandang akan keindahan alam serta kehangatan masyarakat Indonesia. Tidaklah salah apabila Indonesia ditengah keberagaman adat istiadat, bahasa, budaya, alam, dan lain-lain yang terkandung di atas alamnya dikenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Anak-anak di sekolah dasar sampai menengah pun paham apa makna tersebut, selalu menyebutkan “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Apanya yang berbeda? Ya keberagaman tadi diatas yang membedakan itu semua, namun keberagaman tersebut dibungkus dalam wadah bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa Indonesia ternyata menyimpan potensi konflik didalamnya, karena sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam etnis, kebudayaan, agama, bahasa, dan lain-lain, tentulah memiliki sifat-sifat dasarnya, yang menurut Pierre L. van Berghe (Nitibaskara, 2002: 7) terdiri dari:
1. Terjadi segmentasi dalam bentuk kelompok yang memiliki perbedaan sub-kebudayaan dengan kelompok lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga non komplementer.
3. Diantara anggota kelompoknya kurang mengembangkan konsensus nilai-nilai sosial dasar.
4. Secara reaktif seringkali muncul konflik dengan kelompok lain.
5. Integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan adanya saling ketergantungan di bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Adanya karakteristik dasar masyarakat majemuk diatas, sedikit banyak memberi gambaran konflik hanyalah sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak, kapan saja dan dimana saja dengan waktu yang tidak ditentukan.
Siapa sangka konflik keyakinan dapat merubah sebuah desa di Pandeglang bernama Cikeusik sedikit terusik? Tiba-tiba kita disuguhkan oleh drama kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama sehingga mengakibatkan korban tewas. Belum habis peristiwa tersebut menjadi headline news di media massa, kota Temanggung kembali heboh dengan adanya penyerangan tempat-tempat ibadah agama tertentu yang dilakukan oleh sekelompok massa yang juga mengatasnamakan agama tertentu.
Cikeusik dan Temanggung adalah tempat-tempat yang sepertinya jauh dari perkiraan akan munculnya konflik, namun kenyataan inilah yang terjadi, seolah-olah hilang sudah anggapan dunia luar bahwa Indonesia memiliki karakter bangsa yang ramah, bukankah dengan peristiwa ini kita dianggap sebagai bangsa pemarah?
Maka ketika keamanan yang kita idam-idamkan hilang, secara psikologis kita mengalami neurotika sosial, bahkan menjadi paranoid dengan setumpuk stigma dan trauma psikologis sebagai bangsa (Dahana, 2011).
Pemerintah Harus Tegas, Intelijen Harus Dikuatkan
Kekerasan terhadap keyakinan atau apapun itu yang mengancam Bhinneka Tunggal Ika selayaknya ditindak tegas. Penegakan hukum menjadi kunci utama agar kasus-kasus kekerasan yang mengarah pada konflik sosial tidak meluas sehingga mengganggu keberagaman bangsa Indonesia. Negara tidak boleh gagal untuk melindungi keberagaman bangsa ini, juga pembiaran negara terhadap kekerasan yang dilakukan oleh oknum kelompok tertentu seharusnya tidak terjadi sehingga dapat mengganggu produktifitas masyarakat dalam berusaha dan bersosialisasi.
Banyak pihak menilai kesiapan aparat keamanan dalam hal ini Polri kurang optimal, sehingga kenapa muncul aksi kekerasan massa ini. Padahal dalam pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam dua peristiwa diatas nampak jelas bahwa Polri terbilang gagal dalam memberikan rasa aman dan tertib pada masyarakat, serta tidak mampu melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak asasi manusia (seperti tercantum dalam Catur Prasetya dan pasal 14 huruf i UU No.2 Tahun 2002). Wajar kemudian ketika masyarakat ramai membicarakan kembali kredibilitas Polri di era reformasi ini apakah sudah mampu memenuhi tuntutan masyarakat ataukah belum.
Pengamat intelijen, C.Manullang dan Susaningtyas Kertopati (Kompas, 17/2) menyatakan bahwa terjadinya kekerasan di beberapa tempat di Indonesia tidak lepas dari kurang profesionalnya kinerja intelijen, namun memang bukan serta merta intelijen pula yang disalahkan. Intelijen hanya mengumpulkan data serta informasi, lalu laporannya diberikan kepada end user (pengambil keputusan). Nah, terkadang pengambil keputusan (Kapolda atau Kapolres) tidak ditanggapi dengan serius, tidak peduli, atau bahkan lamban. Neta S. Pane (2011) menyatakan bahwa terjadinya amuk massa akhir-akhir ini terjadi karena empat faktor, yaitu:
1. Lemahnya intelijen kepolisian.
2. Tidak dimaksimalkannya Polsek sebagai ujung tombak kepolisian.
3. Rendahnya kepekaan Kapolres sebagai pimpinan KOD (Kesatuan Operasional Dasar) atas kerawanan di wilayahnya, dan
4. Faktor kedekatan oknum pejabat kepolisian dengan kelompok tertentu.
Keempat faktor diatas memang tidak semuanya dapat diiyakan oleh sebagian anggota Polri, ada yang menganggap bahwa intelijen tidak lemah karena sebelum kejadian, pihak intelijen sudah memberikan masukan kepada pimpinan untuk mengambil keputusan dalam bertindak, hanya terkadang keputusan yang diambil tidak didasarkan pada potensi kerawanan yang dapat ditimbulkan. Seharusnya dalam mengatasi unjuk rasa yang mengusung keyakinan, kekuatan aparat keamanan harus 2X lebih banyak dari jumlah massa yang akan berunjuk rasa.
Kemudian kalau memang intelijen dianggap sebagai mata telinga pimpinan, maka seyogyanya sebagai ”panca indera” harus dirawat dengan baik, serta diberikan perhatian khusus agar ”panca indera” tersebut berfungsi dengan baik pula. Polri harus mau membesarkan intelijen kepolisian baik dari sisi anggaran maupun peralatan intelijen agar nantinya mampu melaksanakan tugas deteksi dini potensi gangguan keamanan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, harus ada tolok ukur keberhasilan intelijen dalam membantu operasionalisasi Polri.
Tolok ukur keberhasilan intelijen antara lain mampu memberikan produk-produk kepolisian berupa informasi yang akurat sebagai saran masukan untuk rekomendasi kepada pimpinan serta mengawal pengambilan keputusan tersebut sampai tujuan tercapai. Kemudian, intelijen diharapkan mampu mengkondisikan sesuatu hal sehingga situasi yang diciptakan dapat mendukung kelancaran kegiatan pokok, baik dalam hal operasi kepolisian maupun kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat lainnya.
Tolok ukur diatas memang tidak akan ada hasilnya apabila dukungan Polri terhadap keberadaan intelijen kurang berjalan maksimal. Secara organisatoral seharusnya intelijen yang sudah dikembangkan menjadi Badan, memiliki kewenangan khusus di bidang intelijen. Personil yang mengawaki organisasi tersebut haruslah orang-orang yang mumpuni di bidang intelijen, bukan hanya asal cabut saja demi kepentingan pengisian jabatan. Terkadang meski personil dan kewenangan sudah mencukupi, anggaran untuk intelijen malah kurang. Jadi sangat wajar apabila mutu informasi pun kadang tidak akurat, yang ada hanya dedikasi anggota intelijen untuk menjaga situasi tetap kondusif saja. Bahkan terkadang anggota pengumpul bahan keterangan (pulbaket) di Polsek hanya cuma seorang! Bagaimana mungkin dia mampu meng-cover semua kegiatan yang ada di wilayahnya?
Kembalikan Indonesiaku!
Dari tulisan diatas, maka kita membutuhkan mekanisme sistem peringatan dini sosial. Dimana pemerintah harus proaktif mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini dan secepat mungkin (Suyanto, 2011). Pemerintah harus menguasai latar belakang timbulnya konflik tersebut untuk menentukan pemecahan yang tepat. Penyelesaian secara tambal sulam hanya akan menyebabkan konflik menjadi laten dan penyelesaian yang tidak konsisten hanya akan memperluas cakupan konflik ke wilayah yang lain (Nitibaskara, 2002: 115). Untuk itu, pencegahan adalah solusi yang tepat dalam mengatasi konflik. Polri sebagai garda terdepan pemeliharaan keamanan dan ketertiban memiliki tanggungjawab untuk melakukan pencegahan (pre-emtif) bibit-bibit konflik. Caranya bisa bermacam-macam, penguatan intelijen, komunikasi sosial antar kelompok/agama, peningkatan pemolisian masyarakat (community policing), dan lain-lain. Dengan demikian, maka Indonesia diharapkan kembali menjadi bangsa yang ramah dan memiliki toleransi tinggi terhadap berbagai keberagaman. Kembalikan Indonesiaku!
Referensi:
Dahana, Radhar Panca. ”Ancaman di Balik Kekerasan”. Koran SINDO, 15 Februari 2011.
Nitibaskara, TB. Ronny Rahman. (2002). Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah. Jakarta: Peradaban.
Pane, Neta S. ”Menggugat Polri”. Kompas, 17 Februari 2011.
Suyanto, Bagong. ”Peringatan Dini Sosial”. Kompas, 17 Februari 2011. Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)