Senin, 30 Agustus 2010
TINDAK KEKERASAN POLISI SEBAGAI CERMINAN KULTUR NEGATIF
I. Pendahuluan
Dengan mandirinya Polri, belakangan ini isue yang berkembang adalah upaya untuk mendudukan kembali organisasi Polri yang profesional sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terbebas dari intervensi kekuatan manapun. Banyak pakar dan pengamat menyoroti hal tersebut dari dua faktor, yaitu dari faktor struktural dan faktor kultural. Dari segi struktural, kemandirian Polri menuntut adanya pemisahan kedudukan Polri yang terlepas dari ABRI dan menjadi lembaga tersendiri yang lebih otonomi, sedangkan dari kultural adalah bagaimana merubah sikap mental serta perilaku anggota Polri agar mencerminkan sosok Polri yang diharapkan, sebagaimana tercantum dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang merupakan pedoman hidup dan pedoman kerja bagi seluruh anggota Polri
Dari kedua faktor yang disoroti tersebut, kendala utama adalah pada perubahan kultur, karena hal itu mengakar pada perilaku anggota yang tercermin dalam pelaksanan tugasnya dilapangan, salah satu yang menonjol dan mendapat sorotan selama ini adalah adanya praktik-praktik kekerasan khususnya dalam melakukan tindakan kepolisian yang bersifat represif. Munculnya tindakan kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas polisi, karena dari sifat tugas telah diatur dengan ketentuan hukum, dalam hal ini tindakan kekerasan tersebut berarti fungsional. Tetapi pada kenyataanya, tindakan kekerasan oleh polisi banyak disalahartikan dan cenderung seperti pelampiasan emosi akibat kurangnya kontrol pengendalian diri. Sehingga tidaklah mengherankan kalau selama ini timbul semacam stereotip dari masyarakat bahwa perilaku polisi identik dengan kekerasan didalamnya.
Kalau kultur itu tidak segera dihilangkan, maka sulit bagi Polri untuk memperbaiki citranya, karena kesan negatif dari tindakan kekerasan tersebut akan menjauhkan Polri dari masyarakat. Dari penulisan ini akan dijelaskan tentang munculnya tindakan kekerasan oleh Polisi, benarkah bahwa kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya Polisi yang negatif, serta tidak terlepas pula adanya pengaruh budaya militer didalamnya. Dengan penjelasan tersebut kiranya dapat dipahami sampai sejauh mana sebenarnya tindakan kekerasan tersebut dilakukan.
II. Kebudayaan dan Tindakan Kekerasan Kepolisian
1. Pengertian Kebudayaan: semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmani (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat (Sumardjan dan Soemardi, 1974: 113). Dengan penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan tindakan polisi maka akan timbul suatu pertanyaan apakah kekerasan tersebut merupakan bagian dari budaya polisi. Untuk menganalisa masalah tersebut, maka perlu meninjaunya dari sudut struktur bagi seluruh masyarakat. Suatu super-culture biasanya dapat dijabarkan kedalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan etnik, profesi dan seterusnya yang lazim dinamakan sub culture atau kebudayaan khusus (Soekanto, 1990: 190). Oleh karenanya di lingkungan kepolisian juga terdapat budaya polisi yang merupakan bagian kebudayaan khusus yang berdasarkan profesi, sama halnya dengan budaya yang ada pada pekerjaan lainnya seperti militer, dokter, pengacara dan lain-lainnya. Dimana dari pekerjaan atau keahlian tersebut akan berpengaruh besar terhadap kepribadian dan perilakunya.
2. Tindakan Kekerasan: dalam pembahasan ini saya mengambil istilah kekerasan dengan menunjukkan pada tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta, benda, fisik, dan kematian kepada seseorang (Atmasasmita, 1992). Definisi tersebut untuk membuat batasan yang kongkrit tentang sejauh mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi, sehingga implikasi hukumnya jelas dan tidak didasarkan atas retorika yang menjurus pada stereotip selama ini bahwa polisi identik dengan kekerasan. Oleh karenanya saat ini muncul suatu ungkapan, bahwa jasa-jasa besar dari kepolisian itu dianggap wajar karena sudah merupakan tugasnya. Namun apabila polisi melakukan kesalahan, maka kesalahan itu merupakan dosa yang tidak berampun. Terlepas dari situasi apapun sejujurnya harus diakui pada kenyataannya praktik kekerasan dilingkungan kepolisian secara kasat mata terjadi dan sifatnya bukan kasuitas. Kekerasan tersebut tidak saja dijumpai pada tindakan kepolisian yang bersifat represif seperti dalam mengamankan pertandingan sepak bola atau pertunjukan konser musik, bahkan terhadap pelanggaran lalu lintas. Kondisi seperti itulah yang selama ini melekat pada citra kepolisian.
III. Kekerasan Sebagai Budaya Polisi
Seseorang kriminologi mengatakan, ketidaksetujuannya jika kecenderungan melakukan kekerasan khususnya didalam penyidikan itu disebut sebagai budaya. Karena tidak semua penyidik melakukan kekerasan, juga tidak ada polanya karena tindak kekerasan dilakukan secara spontan (Purnianti, 1995). Sementara ada juga pendapat bahwa kekerasan polisi melekat pada budaya organisasi, jadi kekerasan polisi sebenarnya bukan bersifat fenomena kasuistis, tetapi budaya organisasional (Kunarto, 1978).
Dari pendapat diatas tentunya sama-sama benar apabila mengacu pada alasan masing-masing. Pendapat pertama yang mengganggap kekerasan bukan merupakan budaya tertentu sesuai dengan definisi kebudayaan secara umum maupun hakikat kebudayaan sebagaimana penjelasan diatas. Sebaliknya, pada pendapat kedua yang mengemukakan kekerasan sebagai budaya polisi juga dibenarkan. Karena pada kenyataannya didalam kebudayaan yang berlaku secara umum didalam masyarakat juga terdapat adanya kebudayaan khusus atau Sub Culture yang berlaku pada suatu profesi seperti halnya kepolisian.
Kebudayaan khusus tersebut akhirnya berpengaruh pada kepribadian yang terwujud dalam perilaku anggotanya. Perwujudan dari budaya polisi disini ada yang bersifat positif seperti jiwa korsa serta kesetiakawanan dan disiplin, tetapi wewenang dan lain-lain. Namun patut digaris bawahi yang disebutkan tersebut pada dasarnya merupakan pola perilaku yang bersifat umum dari suatu kelompok (polisi). Dengan demikian maka berkaitan dengan tindakan kekerasan sebagai individu-individu anggotanya. Karena kepribadian yang akan membatasi perilakunya, dimana ada individu anggota polisi yang ikut melakukan kekerasan karena menyesuaikan dengan budaya kelompoknya, tetapi sebaliknya ada anggota yang menolak untuk melakukan tindakan kekerasan karena pribadinya membatasi bahwa tindakan kekerasan tertsebut tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum.
IV. Pengaruh Budaya Militer
Munculnya tindakan kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari pengaruh budaya militer yang terinternalisasi dalam diri setiap personel polisi semenjak berintegrasi dalam ABRI. Bagaimanapun diantara keduanya terdapat doktrin yang kontradiktif, doktrin militer yang menghancurkan musuh dengan doktrin polisi melindungi dan mengayomi masyarakat secara filosofis dan nuansa kepolisian yang tidak sesuai dengan visi dan misinya (Rudini, 1999).
Apa yang diharapkan dari sosok polisi yang berjiwa sipil sesuai dengan tatanan normatif sebagai mana dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, ternyata tidak sesuai dengan praktiknya. Dalam melakukan suatu tindakan, yang sering muncul bukan sosok polisinya yang ditampilkan tetapi lebih mencerminkan pada sosok militer yang banyak diwarnai dengan kekerasan. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sardjono Jatiman bahwa budaya polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat sebenarnya sudah tidak dimiliki oleh polisi, yang dimiliki polisi sekarang adalah budaya militer.
Pengaruh budaya militer mulai tertanam sejak anggota polisi memasuki masa pendidikan dari mulai tingkat Tamtama, Bintara dan Perwira, terlebih lagi bagi mereka yang dididik di AKABRI. Selama masa pendidikan tersebut yang banyak ditonjolkan adalah perilaku militernya, sebagai contoh adalah bagaimana siswa diajarkan menembak dengan sasaran kepala atau jantung yang mematikan, cara perkelahian sangkur, serta berbagai materi lainnya yang lebih mencerminkan kekerasan. Dari permasalahan tersebut dapat kita ketahui betapa besar pengaruh budaya militer dalam membentuk perilaku anggota kepolisian, sehingga munculnya tindak kekerasan sebagai bagian dari budaya polisi tidak terlepas dari budaya militer tersebut.
V. Kesimpulan
1. Perubahan pada perilaku polisi merupakan sisi tersulit dalam memperbaiki citra Polri di mata masyarakat, karena disitu terdapat pula tugas dan wewenang pekerjaan yang terkadang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang diayominya.
2. Tindak kekerasan yang dilakukan polisi tidak sepenuhnya dianggap sebagai budaya polisi, namun sangat berpengaruh pada perkembangan budaya organisasional dimana personel polisi termasuk didalamnya.
3. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi sedikit banyak dipengaruhi oleh pola-pola militeristik sejak mereka direkrut menjadi polisi, doktrin-doktrin orang yang melanggar hukum atau membahayakan jiwa dianggap sebagai musuh akhirnya membawa polisi kedalam sikap skeptis terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran dianggap sebagai musuh yang harus diberantas.
VI. Saran
1. Pola pembentukan insan Polri yang humanis dan menjunjung tinggi HAM harus sudah ditanamkan sejak mereka direkrut menjadi personel polisi, jauhkan kurikulum yang mengutamakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat, serta tanamkan pemberantasan kejahatan bukan dengan menghabisi pelakunya namun tindakan kejahatannya lah yang harus dicegah (crime prevention).
2. Pemimpin harus memberikan contoh dan suri tauladan terhadap bawahannya melalui pola sikap dan pola pikir yang tidak mengedepankan kekerasan, namun harus dengan pendekatan hukum dan aturan.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT.Eresco.
Kunarto. 1997. Ham dan Polisi. Jakarta: Cipta Manunggal.
Purniati. 1995. "Kekerasan Dalam Penyidikan". Kompas, hal. 10
Rudini. 1999. Menyongsong Polri Mandiri. Makalah Seminar.
Soemardjan, Selo. 1996. Kewibawaan Polisi.
Soemardjan, Selo & Sumardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE-UI.
sumber foto: waroengseni.blogspot.com Baca selengkapnya.....
Sabtu, 21 Agustus 2010
SAMBUT LIGA SUPER INDONESIA 2010/2011
Tak terasa Djarum Indonesia Super League 2009/2010 telah usai dengan melahirkan Arema Indonesia sebagai kampiunnya. Pertarungan menuju tangga juara sepertinya tidak dapat diduga sebelumnya, dimana juara bertahan Persipura Jayapura yang semula diunggulkan sebagai calon juara, ternyata pada pertengahan musim tersalip oleh kedigdayaan Arema Indonesia. Padahal sebelumnya kekuatan Arema tidak terpikirkan oleh lawa-lawannya, ini dimaklumi karena saat itu Arema diperkuat oleh pemain-pemain muda yang sebenarnya miskin pengalaman ISL, ditambah pelatih baru Robert Rene Alberts yang masih belum mengetahui kualitas kompetisi Indonesia. Namun kekurangan ini berhasil ditutupi oleh semangat profesional Arema untuk membangun tim muda berkualitas ditambah dengan dukungan suporter Aremania yang seharusnya menjadi contoh pembinaan suporter-suporter klub lain di Indonesia agar sepakbola profesional Indonesia menjadi tontonan yang berkualitas dan menghasilkan prestasi.
Menilik balik kompetisi ISL 2009/2010 mungkin menjadi pelajaran bagi PT. BLI untuk mengemas kompetisi 2010/2011 menjadi lebih baik lagi. Ini dimaksudkan agar kompetisi ISL tetap menjadi titik tolak pembangunan sepakbola nasional menuju kompetisi yang profesional dan berkualitas. Ada beberapa hal yang menjadi nilai negatif dari ISL 2009/2010, yaitu:
1. Jadwal
Sudah bukan rahasia lagi kalau salah satu sebab carut marutnya kompetisi ISL 2009/2010 adalah jadwal pertandingan yang tidak sinkron. Ketidaksinkronan jadwal pertandingan ini turut dipersulit dengan agenda politik yang berbarengan seperti Pilkada, peringatan hari besar nasional, rapat paripurna DPR/MPR, atau demonstrasi yang menyedot perhatian nasional. Kesemua agenda politik ini selalu akrab dengan kekisruhan, sehingga otomatis aparat keamanan akan terfokus pengamanannya untuk mengantisipasi kelancaran agenda politik tersebut, dengan demikian pertandingan sepakbola menjadi terhambat karena ditolak perizinannya. Mungkin ada baiknya meniru jadwal kompetisi negara-negara maju di persepakbolaan seperti Inggris, Perancis, atau Belanda dimana negara mereka selalu memulai musim kompetisinya di bulan Agustus dan diakhiri pada bulan Mei. Sedangkan bulan Juni s/d Juli biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan nasional seperti ujicoba persahabatan atau mengikuti turnamen antarnegara. Agar manajemen klub tidak mengeluh padatnya jadwal, ada baiknya ISL bermain pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan hari Rabu digunakan hanya untuk 1 atau 2 pertandingan saja. Saya rasa dengan jadwal sedemikian akan mengurangi kepadatan pertandingan dan juga bisa mengistirahatkan pemain ketimbang mereka harus menyelesaikan 2 sampai 3 pertandingan dalam waktu seminggu. Tentunya ini akan menjadi preseden buruk juga bagi persiapan timnas, dimana fisik pemain akan kendor dan saat pertandingan yang justru sangat krusial akan kehabisan tenaga, dan akhirnya kembali pihak klub menyalahkan jadwal yang ketat sebagai biang keladinya.
2. Perizinan
Gagalnya sejumlah pertandingan dilaksanakan karena proses perijinan mereka dengan pihak keamanan dalam hal ini kepolisian yang menemui kendala. Kendala tersebut karena masalah suporter anarkis, berbarengan dengan agenda politik, atau tidak ada pemberitahuan revisi jadwal. Mungkin ada baiknya pihak klub pada saat rehat kompetisi mengambil inisiatif untuk mengumpulkan korwil-korwil mereka untuk mengajarkan cara mensupport klub dengan cara yang elegan dan menanggalkan kekerasan untuk mendukung klub, kemudian PT.BLI ada baiknya bekerjasama dengan kepolisian untuk meminta jadwal agenda politik tetap seperti Pemilu, Pilkada atau Pilpres sehingga dalam menyusun jadwal bisa menghindari kegiatan yang berbarengan tersebut.
3. Infrastruktur Stadion
Dalam salah satu klausul verifikasi ISL salah satunya adalah kualitas stadion. Saya rasa tepat sekali apabila klausul tersebut tetap menjadi patokan bagi klub-klub yang ingin berkiprah di ISL, karena sepanjang mata memandang stadion-stadion kita nampaknya sudah tidak layak untuk menyelenggarakan pertandingan dengan label profesional. Disamping kapasitas yang tidak memadai, masih ditambah dengan umur stadion tersebut yang sudah tua. Apabila dibandingkan dengan stadion-stadion kelas dua di Eropa atau Korea dan Jepang, jelas stadion kita sekelas dengan lapangan distrik disana. Sudah seharusnya pihak Pemda melihat pembangunan stadion menjadi salah satu daya tarik daerah mereka untuk dijual ke khalayak. Apalagi dengan adanya siaran langsung televisi, sudah barang tentu menjadi aspek bisnis yang segera dimanfaatkan. Mungkin pihak Pemda yang berkompeten dalam bidang ini bisa melakukan studi banding pembangunan stadion di luar negeri, agar bisa menggunakan dana APBD guna membangun stadion baru di lahan yang lebih luas. Stadion yang nantinya dibangun harus memperhatikan aspek kenyamanan, keamanan, bisnis, dan kegunaan. Ada bagusnya di dalam stadion bisa menjadi museum sepakbola klub yang bersangkutan, disitu bisa diletakkan memorabilia klub dari saat berdiri sampai sekarang, kemudian stadion bisa menjadi wisata sepakbola dimana pada hari-hari tertentu turis domestik bisa berkeliling stadion. Lengkapi stadion tersebut dengan fasilitas restoran dan merchandise shop yang menjual atribut-atribut klub, serta fasilitas-fasilitas lainnya layaknya mall. Konsep ini sudah dijalankan di stadion Emirates milik Arsenal, Alianz milik Bayern Muenchen, atau San Siro di Milano. Dengan demikian klub memiliki pemasukan lain diluar tiket masuk dan hak siar, yang bisa digunakan untuk pemeliharaan infrastruktur atau menggaji pemain, dengan demikian bisa melepas APBD sebagai pemasukan bagi klub.
Ditambahkan juga, kualitas rumput stadion haruslah menjadi perhatian bagi kontraktor atau manajemen stadion, dengan kualitas rumput yang bagus maka pertandingan akan enak untuk ditonton. Tidak seperti kebanyakan stadion kita yang keluhannya hampir seragam, permukaan yang tidak rata dan rumput yang gundul.
4. Konflik antar suporter
Konflik antar suporter bukan hanya terjadi di negara kita saja, di negara-negara lain selalu saja ada pertikaian antar suporter ini. Di Italia kita mengenal Ultras sebagai suporter garis keras, atau di Inggris yang terkenal dengan hooligans-nya, dan di Jerman dengan kelompok skinhead. Namun skala pertikaian mereka tidak sampai menyebar ke seluruh kota, dibandingkan dengan di Indonesia. Disini, sudah didalam stadion rusuh masih ditambah di sekitar kota atau bahkan perjalanan ke kota asal pun bisa juga rusuh. Ada baiknya masing-masing klub memberikan pembelajaran bagi korwil suporter untuk dapat bertindak profesional dan mengesampingkan tindakan-tindakan mendukung klub yang mengagungkan kekerasan, masukkan filosofi kalah-menang dalam pertandingan adalah hal yang biasa. Suporter kadang bertindak anarkis kadang dipengaruhi oleh tingkah laku pemain atau ofisial yang turut memancing emosi, ada baiknya para pemain dan ofisial diajarkan terlebih dahulu peraturan-peraturan FIFA tentang pertandingan dan cara menyampaikan keberatan ke pengawas pertandingan, bukannya memancing suporter untuk mengiyakan tindakan anarkis pemain kepada suporter.
5. Pemain muda
Salah satu kekurangan yang disadari oleh sepakbola kita adalah Indonesia kekurangan pemain muda yang berbakat. Memang banyak pemain-pemain muda di berbagai SSB yang tersebar, namun karena pola pembinaan mereka yang tidak seragam, maka terkadang pada saat pemain tersebut akan diorbitkan ke tim senior penyakit demam panggung mereka pun muncul, sehingga tak jarang pelatih menyingkirkan mereka ke kursi cadangan. Mungkin tak habis pikir ketika tim kelompok umur bermain di luar negeri mereka dapat mencapai hasil bagus (Piala Danone 2007 peringkat 4, dan Gothia Cup 2010 babak ketiga), namun saat bermain di tim senior mereka langsung melempem. PSSI masih menyukai pola-pola instan seperti mengirim pemain muda mengikuti kompetisi di luar negeri atau dititipkan pada klub primavera ketimbang mengembangkan pembinaan usia dini. Tersebarnya SSB di seluruh Indonesia harusnya disikapi oleh klub-klub dengan membentuk pembinaan pemain muda sesuai kelompok umur yang dimaksudkan sebagai stok pemain klub ISL. Konsep akademi La Masia milik Barcelona mungkin dapat dijadikan contoh, dimana mereka dikumpulkan dalam kelompok-kelompok umur untuk kemudian setahun sekali diadakan ujian untuk kenaikan tingkat, yang sesekali di usia tertentu bagi mereka yang berbakat dapat diajak bergabung di klub senior. Jadi misalnya Persija membentuk Persija U-10, U-12, U-14, U-16, dan U-18. Pembiayaan klub bisa berasal dari iuran perbulan dari masing-masing siswa atau dari donasi perusahaan mitra klub. Dengan demikian akan dapat dihasilkan pemain-pemain lokal yang berkualitas karena secara berjenjang pemain tersebut dipantau sejak umur 10 tahun sampai 18 tahun sebelum diorbitkan mengikuti kompetisi ISL U-21 dan ISL.
6. Pemain Asing
Konsep 3+2 untuk pemain asing saya rasa cukup baik, namun ada baiknya kita mengikuti manual AFC dimana saat kompetisi antarklub Asia yang dipakai adalah konsep 3+1 (3 pemain non-Asia dan 1 pemain Asia). Ini dimaksudkan agar kita tidak gelagapan saat mendaftarkan pemain apabila kualitas pemainnya setara. Kemudian ada baiknya pihak manajemen klub memanfaatkan teknologi internet untuk mencari CV pemain asing incarannya. Situs-situs sepakbola seperti transfermarkt, soccerway, zerozerofootball, atau afc bisa dijadikan dasar bagi klub untuk mentransfer pemain. Yang saya perhatikan ada beberapa pemain asing yang kurang familiar dan tidak terdapat CV-nya di internet dijadikan personel klub hanya karena dia berasal dari Brasil atau Argentina saja, namun tidak jelas dia sebelum di Indonesia bermain dimana, level klub yang diikutinya, atau kualitas pemain tersebut. Ada banyak pemain timnas dari negara-negara kelas dua seperti El Salvador, Honduras, Lebanon, Liberia, Mozambik, Marokko, atau Aljazair yang bisa dijajaki oleh klub-klub Indonesia. Pemain-pemain tersebut bisa dibrowsing dari internet termasuk CV dan kisaran harganya, tentunya kisaran harganya yang sesuai dengan kantong manajemen klub dan durasi kontrak seharusnya bukan setahun namun memakai musim kompetisi. Untuk pemain asing ada baiknya memakai konsep dari AFC yaitu 3+1 saja, dengan maksud kuota 1 pemain asing bisa dipakai pemain lokal. Disamping efisiensi klub, juga agar tidak mubazir apabila mengikuti kompetisi antarklub Asia. Ada beberapa pemain asing yang mungkin bisa menjadi patokan bagi klub-klub untuk direkrut, mereka saya dapat dari mem-brows internet dan kisaran harganya dibawah USD 150.000 (Rp. 1,35 milyar), diantaranya:
Zona Amerika Selatan:
Walter Martinez (Honduras) klub Marathon umur 28 th (midfielder)
Isidro Gutierrez (El Salvador) klub Municipal Limeno umur 20 th (forward)
Danny Torres (El Salvador) klub Atletico Marte umur 22 th (forward)
Rolando Bogado (Paraguay) klub Rubio Nu umur 26 th (defender)
Cristian Bogado (Paraguay) klub Rubio Nu umur 23 th (midfielder)
Matias Escobar (Argentina) klub Atletico Tucuman umur 28 th (midfielder)
Matias Villavicencio (Argentina) klub Atletico Tucuman umur 28 th (defender)
Martin Seri (Argentina) klub San Martin de San Juan umur 26 th (midfielder)
Zona Afrika:
James Zotiah (Liberia) klub Black Star Liberia umur 22 th (midfielder)
Seleman Kombo (Liberia) tanpa klub umur 20 th (midfielder)
Campira (Mozambique) klub Maxaquene umur 28 th (defender)
Mauricio (Mozambique) klub Liga Muculmana umur 26 th (forward)
Joauad Akaddar (Maroko) klub Moghreb Tetouan umur 25 th (forward)
Abdellah Lahoua (Maroko) klub Difaa el Jadida umur 24 th (midfielder/Maroko U-23)
Iles Ziane Cherif (Aljazair) klub ASO Chlef umur 26 th (defender)
Youcef Ghazali (Aljazair) klub WA Tlemcen umur 22 th (forward)
Mohammed Boussefiane (Aljazair) klub NA Hussein Dey umur 25 th (forward)
Hocine Fenier (Aljazair) klub CR Belouizdad umur 27 th (forward)
Sam Obi Metzger (Sierra Leone) klub Tampere (Finlandia) umur 22 th (forward)
Mohammed Boussefiane (Aljazair)
Zona Asia:
Teeratep Winothai (Thailand) klub BEC Tero Sasana umur 25 th (forward)
Suchao Nutnum (Thailand) klub Buriram PEA umur 26 th (midfielder)
Ponlawat Wangkahad (Thailand) klub TOT Cat umur 23 th (defender)
Le Cong Vinh (Vietnam) klub T & T Hanoi umur 24 th (forward)
Shakhboz Erkinov (Uzbekistan) klub Shurtan Guzar umur 23 th (forward)
Sohib Savankulov (Tajikistan) klub Vakhsh umur 21 th (defender)
Kim Dae-kyun (Korsel) klub Gimhae FC umur 22 th (midfielder)
Park Tae-gyu (korsel) klub Gimhae FC umur 20 th (forward/Korsel U-20)
Shin Dong-bin (korsel) klub Yesan FC umur 25 th (defender)
Kim Yong-han (korsel) klub Nowon Hummel FC umur 24 th (forward)
Choi Chang-yong (korsel) klub Nowon Hummel FC umur 24 th (defender)
Lee Jung-yong (korsel) klub Ulsan Mipo Dockyard umur 27 th (midfielder)
Chu Jung-hyun (korsel) klub Yongin City FC umur 22 th (midfielder)
Teeratep Winothai (Thailand)
Zona Eropa:
Denis Calincov (Moldova) klub Khazar Lankaran umur 24 th (forward)
Justine Tahapary (Belanda) klub FC Eindhoven umur 25 th (defender)
Ashwin Manuhutu (Belanda) klub BV Veendam umur 26 th (defender)
Danijel Kozul (Bosnia) klub Siroki Brijeg umur 22 th (midfielder)
Sanid Mujakic (Bosnia) klub Travnik umur 22 th (forward)
Emir Obuca (Bosnia) klub NK Celik Zenica umur 31 th (forward)
Nikola Cesarevic (Serbia) klub BSK Borca umur 26 th (midfielder)
Davor Bubanja (Slovenia) klub FC Luka Koper umur 22 th (forward)
Johannes Zwickl (Jerman) klub FC Memmingen umur 26 th (defender)
Andreas Rucht (Jerman) klub FC Memmingen umur 22 th (forward)
Niko Rummel (Jerman) klub SG Sonnenhof Grossaspach umur 24 th (forward)
Rene Greuter (Jerman) klub SC Pfullendorf umur 21 th (forward)
Julian Schmidt (Jerman) klub SC Verl umur 24 th (defender)
Mariusz Rogowski (Polandia) klub SC Weidenbruck 2000 umur 30 th (defender)
Altan Arslan (Turki) klub SC Weidenbruck 2000 umur 24 th (midfielder)
Denis Calincov (Moldova)
Sanid Mujakic (Bosnia Herzegovina)
Referensi:
olahraga.kompasiana.com
www.transfermark.de
eni-news.com Baca selengkapnya.....
AKSI PERAMPOKAN SADIS DAN COMMUNITY POLICING SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK KEJAHATAN
Medan tanggal 18 Agustus lalu dihebohkan dengan perampokan sadis Bank CIMB Niaga, belasan perampok bersenjata api yang menggunakan kendaraan roda dua berhasil menggasak uang 1,5 milyar rupiah, dan sadisnya lagi menembak mati seorang aparat keamanan dari kepolisian Briptu Manuel Simanjuntak dan melumpuhkan dua orang Satpam. Belasan perampok itu dalam waktu 10 menit melaksanakan aksinya tanpa seorang pun warga sekitar yang berani untuk menghalangi aksi mereka (Koran SINDO, 20 Agustus 2010). Pada saat itu tentu dalam benak kita terpikirkan, kemana polisi saat dibutuhkan? Kemana patroli polisi dengan aneka macam kendaraannya saat kejadian tersebut?
Tentunya kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya ketidakberadaan polisi (selain petugas penjaga bank) pada saat perampokan itu terjadi, karena selain pola tindak perampokan tersebut yang sudah terorganisir, juga polisi tidak selalu bisa mengamati semua obyek vital perbankan atau yang lainnya secara terus menerus. Tugas polisi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri, memang disebutkan bahwa kepolisian bertugas untuk memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakatnya. Namun Polri sendiri menghadapi berbagai permasalahan, seperti sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah personel yang masih belum memadai, serta keamanan internal obyek vital tersebut yang belum maksimal. Sehingga dengan demikian amat wajar situasi ini dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kejahatan.
Melihat kejadian ini, amatlah wajar apabila kita menyadari apabila perpolisian masyarakat layak untuk dikedepankan sebagai salah satu langkah untuk pencegahan kejahatan. Perpolisian masyarakat bukan berarti masyarakat boleh bertindak main hakim sendiri apabila mendapati pelaku kejahatan, atau menggunakan kewenangan polisi seperti menggunakan senjata api apabila menghadapi kejadian seperti ini, namun perpolisian masyarakat lebih kepada gaya pemolisian yang mendekatkan polisi pada masyarakat yang dilayaninya, dengan cara meningkatkan resiprositas antara polisi dan masyarakatnya (Rahardjo dalam Suparlan, 2004: 85). Menghadapi situasi seperti ini memang tidak bisa disalahkan juga apabila tidak ada masyarakat yang bergerak untuk menggagalkan aksi perampokan ini, karena hakikat sebagai manusia adalah hakikat untuk hidup. Menjadi pahlawan kesiangan atau menjadi superhero dadakan seperti di film-film Hollywood tentu tidak terpikir dalam benak semua saksi saat kejadian tersebut, oleh sebab itu disinilah perlu dicari benang merah agar peristiwa ini tidak berulang lagi, bukan untuk mencari kesalahan orang perorang atau kesalahan instansi, namun terlebih kepada peningkatan kewaspadaan antar masing-masing pengelola keamanan.
Tentu kita sangat setuju, apabila aksi perampokan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Selain sudah tergolong sadis, aksi ini tentunya memunculkan kekhawatiran diantara masyarakat akan langkanya rasa aman dalam berproduktifitas. Tentunya dalam pikiran masyarakat, ”hari ini mungkin si ini yang menjadi korban tapi besok mungkin giliran saya yang jadi korban”. Situasi ini pada akhirnya memunculkan rasa tidak puas atas kinerja Polri, karena dianggap polisi tidak bisa menjamin rasa aman masyarakat. Dan ini merupakan preseden buruk bagi pencitraan polisi yang saat ini tengah berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Dalam kasus perampokan sadis di Medan, tentunya polisi bisa meninjau kembali sistem keamanan dan pengamanan di lokasi kejadian. Beberapa pokok pikiran sebagai rekomendasi agar pencegahan kejahatan di sentra bisnis atau perusahaan dapat dilaksanakan, diantaranya:
1. Pola patroli polisi sudah selayaknya dirubah. Patroli polisi yang ”tradisional” perlu dikaji kembali polanya, terlebih melihat pola kejahatan yang beraksi di siang bolong, pada saat jam istirahat kantor, atau disaat orang sedang melaksanakan shalat Jum’at. Pola patroli selayaknya disesuaikan dengan modus operandi kejahatan yang sudah diketahui lewat analisis bagian kriminal. Bagian kriminal seharusnya bersinergi dengan pihak patroli dalam menyampaikan pola-pola/MO kejahatan yang terjadi di daerah tersebut. Jadi pola patroli tidak dengan vulgar diketahui oleh orang umum apalagi oleh orang yang berniat melakukan kejahatan. Misalnya: melakukan patroli setiap satu jam sekali tapi dengan waktu yang tidak ditentukan (tergantung kerawanan sesuai analisis bagian kriminal), patroli pada saat jam istirahat kantor atau saat melakukan ibadah Jum’atan, dll.
2. Sangat disayangkan apabila lokasi yang terdapat bank, mall, pertokoan, perusahaan, dll tidak terdapat pos polisi didekatnya. Pos polisi dimaksudkan memudahkan perbantuan personel apabila diketahui terdapat tindak kejahatan sedang terjadi. Pos polisi tersebut selayaknya diperkuat dengan minimal 1 SSR dengan persenjataan lengkap, sehingga apabila menghadapi situasi aksi kejahatan seperti perampokan dapat diantisipasi dengan baik. Oleh sebab itu diupayakan pada setiap lokasi yang terdapat obyek vital atau sentra bisnis harus terdapat minimal 1 pos polisi lengkap dengan sarana komunikasi, serta peta beat-beat patroli untuk memudahkan koordinasi.
3. Setiap bank, mall, pertokoan, dll selayaknya dilengkapi dengan alarm yang terhubung dengan kantor kepolisian atau pos polisi dan tersambung pada tiap-tiap kendaraan patroli polisi. Sehingga ketika terjadi tindak kejahatan perampokan, pegawai yang bersangkutan bisa membunyikan alarm peringatan (yang letaknya tentunya dapat dijangkau oleh pegawai bersangkutan) ke kantor polisi atau pos polisi terdekat. Alarm yang tersambung dengan panel (maket) obyek vital di pusat operasional kepolisian, kemudian secepatnya disambungkan ke patroli-patroli untuk segera diadakan upaya pencegahan atau tindakan hukum segera.
4. Perilaku petugas keamanan internal seharusnya diperbaiki. Sisi sensitif mereka terhadap pemantauan perilaku kejahatan sudah selayaknya diasah kembali, sehingga dari jauh ketika melihat gelagat akan terjadi aksi kejahatan sudah dilakukan upaya pencegahan, apakah itu mengunci pintu, mempersiapkan senjata untuk perlawanan, ataukah menghubungi polisi.
5. Pihak bank, mall, perusahaan, atau pertokoan seharusnya melengkapi sarana pengamanan mereka sedemikian rupa, seperti kaca anti peluru, alarm, CCTV, GPS pada semua kantong uang, dll. Ini memang akan membutuhkan banyak dana, namun untuk sebuah keamanan memang dibutuhkan biaya yang tidak murah.
6. Apabila memang keamanan bank, mall, atau pertokoan membutuhkan perkuatan selain Satpam, hendaknya manajemen perusahaan berkoordinasi dengan kepolisian untuk meminta bantuan perkuatan sesuai dengan intensitas bisnis yang mereka jalani. Kinerja perkuatan yang ”one man” perlu dievaluasi, bila perlu penjabarannya diserahkan kepada Kapolres yang lebih mengenal wilayahnya (Djamin dalam Suparlan, 2004: 91).
7. Menggalakkan perpolisian masyarakat pada lokasi-lokasi yang menjadi sentra bisnis tersebut, agar dikemudian hari apabila terjadi kejahatan maka masyarakat sekitar bisa menjadi saksi yang dapat meringankan beban polisi untuk penyelidikan lebih lanjut. Bahkan kalau perlu, disetiap sentra bisnis tersebut terdapat FKPM (Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat) yang bertugas untuk mendefinisikan gaya pemolisian yang tepat untuk diterapkan di lingkungan masyarakat sekitar (Chrysnanda dalam Suparlan, 2004: 106). Apabila antara polisi dan masyarakat sudah saling sinergi, maka tugas polisi bukan lagi sebagai ”pemadam kebakaran” namun lebih kepada menumbuhkembangkan penciptaan keamanan di lingkungan sekitarnya.
Ke-7 pokok pikiran diatas, tentunya tidak dapat dilakukan hanya satu pihak saja. Dibutuhkan kerjasama antar instansi juga masyarakat untuk membentuk satu sistem pengamanan (security) yang handal dan dilakukan sebagai upaya pencegahan kejahatan. Dan tetap saja kasus perampokan yang marak terjadi ini, tidak dipandang sebagai kasus yang ringan, polisi harus berusaha keras untuk bisa mengungkapkan kasus ini secepatnya. Karena kalau tidak, maka prinsip Fixing Broken Windows akan mendorong gelombang aksi kriminal yang lebih besar lagi (Rachmanto, 2008; Koran SINDO, 2010).
Referensi:
Chrysnanda, 2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban. Dalam Parsudi Suparlan (ed.), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
Djamin, Awaludin. 2004. Polri, Pengamanan Swakarsa dan ”Community Policing”. Dalam Parsudi Suparlan (ed.), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
Rachmanto, Fauzi. 2008. Sebatang Paku. http://fauzirachmanto.blogspot.com
Rahardjo, Satjipto. 2004. Tentang Community Policing di Indonesia. Dalam Parsudi Suparlan (ed.), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
”Kita Tidak Tinggal di Gotham City”, Koran SINDO, 20 Agustus 2010.
”Perampokan Kian Marak”, Koran SINDO, 20 Agustus 2010.
Sumber foto: Detik.com Baca selengkapnya.....
Selasa, 17 Agustus 2010
65 TAHUN NEGARAKU, INDONESIA
65 tahun sudah Indonesiaku berdiri, 65 tahun sudah ketika suara lantang Bung Karno mengumandangkan proklamasi tanda hadirnya republik ini kedalam kancah dunia internasional, usia 65 tahun diibaratkan perjuangan hidup manusia maka ia sudah termasuk uzur, sudah banyak makan asam garam kehidupan ini yang dijalaninya, usia yang membuat manusia semakin bertafakur kepada pencipta Illahi Robbi....
Namun apa sih yang kita reguk dari manisnya kemerdekaan ini? Kemerdekaan yang seharusnya semakin mengikatkan tali silaturahim antar sesama warganegara Indonesia karena kita satu perjuangan untuk melepaskan belenggu penjajahan, kemerdekaan yang diraih dari tetesan darah pejuang patriot bangsa mulai dari Sabang sampai Merauke, kemerdekaan yang terkadang mengorbankan harga diri perempuan-perempuan Indonesia, kemerdekaan yang diinginkan oleh seluruh bangsa untuk menentukan sendiri langkah kita kedepan kelak yang lebih baik.....mungkin itulah nikmat kemerdekaan yang sesungguhnya dicita-citakan seluruh komponen bangsa yang dulunya rela berjuang sampai mati tanpa memikirkan nasibnya sendiri kelak.
Apakah kemerdekaan itu sendiri dimaknai hanya dengan memanjat pinang dan meraih hadiah diatasnya, atau dengan berlari menggunakan karung goni, atau berlomba memakan kerupuk, ataukah berbagai jenis permainan lain yang semuanya menandakan keceriaan kita sebagai bangsa merdeka?
Tidak luluhkah hati kita melihat sosok Subagio eks tentara pelajar yang terbujur lemah karena sakit kurang biaya tanpa ada sesuatu perhatian dari siapapun kecuali tetangganya (yang mungkin juga miskin papa)? Tidakkah kita trenyuh melihat perjuangan dua janda pahlawan (walaupun mereka hanya istri prajurit tentara pelajar) Roesmini dan Soetarti yang menjadi pesakitan karena kasus penyerobotan rumah dinas Pegadaian tanpa ada satupun perhatian dari pihak berkompeten? Tidakkah kita prihatin melihat semangat undangan dari para veteran perang berbalut tubuh mereka yang sudah termakan usia, rela berpeluh berjalan menuju Istana Negara untuk menghadiri detik-detik proklamasi sementara undangan lain yang berusia muda, masih gagah dan cantik dengan nikmatnya menaiki kendaraan jemputan panitia?
Para pejuang perang di alam baka sana mungkin sedang girang karena mereka duluan yang dipanggil Illahi Robbi, lho kenapa? Karena mereka tidak harus prihatin melihat rekan-rekannya yang hidup di jaman kemerdekaan justru hidup dalam kemiskinan, tanpa perhatian, kondisi negara yang kacau balau, korupsi yang merajalela, hasil bumi yang dirampas pihak asing meskipun mereka tahu alam yang mereka bela (dulu) sangatlah kaya, berlimpah hasil bumi...yang kalau kata Koes Plus dulu, ditanam tongkat jadi tanaman....
Saya teringat pada sebuah iklan produk layanan masyarakat, dimana seorang anak bertanya kepada kakeknya tentang arti patriotisme. Dikatakan oleh si kakek bahwa jaman dulu yang disebut patriot adalah mereka yang dengan gagah berani memanggul senjata untuk berperang mengusir penjajah, nah kalau sekarang kita menunjukkan patriotismenya dengan membayar pajak secara jujur...! Hahahahaha...lha terus kalau ada iklan layanan masyarakat tandingan, ”ijin pak kita sudah membayar pajak secara jujur, tapi kok hasilnya dibawa kabur?”
Dulu, kata bapak saya, yang juga mendapat cerita dari kakek saya....semua komponen bangsa bahu membahu mengusir penjajah dengan alat apapun yang mereka temui, baik itu bambu runcing, bedil berkarat, bayonet, atau clurit. Eh, kalau sekarang kok sesama bangsa Indonesia malah saling bedil, saling clurit, saling tawur hanya gara-gara sepele? Gara-gara cowel cewek, jadi rusuh satu kampung. Gara-gara menurunkan bendera ormas, jadi rusuh satu dusun. Gara-gara calonnya gagal maju ke pemilihan kepala daerah, jadi rusuh satu daerah....walah walah....dulu pejuang kita membakar peralatan penjajah, nah sekarang bangsa Indonesia ramai-ramai membakar harta milik saudaranya sendiri sesama bangsa Indonesia....alamak!
Hati saya menangis melihat berita di televisi tentang nasib veteran perang kita yang sudah seperti anjing mengais-ngais di tumpukan sampah tanpa ada tuan yang mau merawatnya, hati saya menangis melihat veteran perang teronggok tak berdaya tanpa ada perhatian dari siapapun, hati saya menangis melihat bangsa ini baku hantam satu sama lain, dan hati saya menangis melihat kemerdekaan ini hanya diresapi maknanya lewat aneka lomba dan permainan (seolah-olah perjuangan prajurit perang kita hanya main-main saja), dan lebih menangis lagi melihat bangsa ini dipenuhi oleh orang-orang korup yang senang melihat bangsa ini ambruk tak berdaya......saya jadi miris, sudahkan kita memaknai hari kemerdekaan ini? Sudahkah kita berlaku adil dengan memperlakukan pejuang yang masih hidup layaknya manusia tak berguna? Sudahkah kita berlaku jujur terhadap bangsa ini? Sudahkah kita meneruskan cita-cita luhur pejuang dahulu untuk Indonesia yang gemah ripah loh jinawi? Kalau boleh saya katakan.....Belum!
65 tahun kemerdekaan ini hanyalah sebuah seremoni belaka tanpa makna, 65 tahun kemerdekaan ini hanya sebuah panggung sandiwara, 65 tahun kemerdekaan ini hanyalah ajang pembiaran veteran kita mati sia-sia tanpa penghormatan sedikitpun dari kita penerusnya.....
Tapi bagaimana pun, saya cinta negeri ini.....sampai badan berkalang tanah, akan tetap kubela negeri ini, semoga Allah SWT melindungi kita semua!
MERDEKAAAAA.....!!!! Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)