Maraknya keluhan masyarakat mengenai perekayasaan kasus oleh oknum polisi ditanggapi kritis oleh Polri sebagai akar masalah dari budaya setoran yang belum benar-benar pupus (Kompas, 9 Maret 2010). Fungsi pelayanan polisi belum berjalan optimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang ada hanyalah para atasan masih ingin menikmati sisa-sisa jaman jahiliyah dimana mereka masih menikmati “pelayanan” dari bawahan. Hal yang merupakan pembelajaran masa lalu, berdampak pada kultur pelayanan pada masyarakat. Bawahan seperti dikejar setoran layaknya sinetron stripping untuk berlomba-lomba mencari muka dihadapan atasan, bukan dengan pendekatan kinerja namun pendekatan uang.
Berdasarkan pengaduan masyarakat menurut sumber Kompas, bahwa 1.151 keluhan mengenai pelayanan yang buruk apakah itu penundaan kasus yang berlarut, tidak mau menerima laporan masyarakat, atau tidak mau memberikan laporan perkembangan kasus. Sedangkan 239 keluhan mengenai penyalahgunaan wewenang, 48 keluhan diskriminasi, 20 keluhan diskresi yang keliru, dan 8 keluhan dugaan korupsi. Kesimpulannya bahwa masyarakat masih mengeluhkan pelayanan Polri yang buruk. Loyalitas aparat belum kepada pelaksanaan pekerjaan, namun diberikan kepada atasan dengan ekspektasi akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut, apakah diingat oleh atasan, dipromosikan, dipertahankan, atau mendapat perlindungan (Kurniawan, 2009: 22).
Hal ini terjadi karena sistem administrasi Polri masih dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan setiap kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan (rules driven). Dimana prosedur yang dilakukan terasa berbelit-belit dalam memberikan pelayanan maupun penyelesaian permasalahan. Organisasi Polri saat ini menganut birokrasi weberian yang mempunyai corak otoriter dan feodalistik. Sistem yang digunakan dalam organisasi Polri bercorak sistem paternalistik, dimana seorang bawahan tidak berani melakukan tindakan apabila tidak mendapat perintah atau restu dari atasannya. Sehingga atasannya selalu dianggap sebagai pusat kekuasaaan.
Menurut Suparlan (1999), pranata yang otoriter dan bercorak feodalistik berdasarkan kesetiaan kepada atasan, bukan kesetiaan pada kerja dan produktivitas serta KKN. Menurut Toha (2003), birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu,yang menentukan orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarki dari atas ke bawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan dibawahnya. Dan semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan akan kekuasaan.
Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua penyelesaian urusan masyarakat. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan “basah” memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.
Maka sangatlah wajar apabila masih diindikasikan terjadinya rekayasa kasus yang berbuntut pada masih adanya budaya setoran di organisasi kepolisian ini.
Dari uraian diatas, yang dilakukan oleh pengemban tugas pokok masih bersifat konvensional, sehingga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada polisi, karena :
1. Sistem manajemen Polri yang sentralistik, dengan sistem ini pelaksana di tingkat bawah akan selalu berpedoman pada perintah atasan, yang menyebabkan dalam melaksanakan tugas pokok akan selalu menunggu perintah dan perintah yang dilaksanakan bersifat loyalitas serta yang terpenting tidak ada kesalahan atau tegoran. Dengan loyalitas tersebut pengemban fungsi akan melakukan kegiatan sesuai dengan pengalamannya dan kekuasaannya untuk melakukan tugas pokoknya sesuai dengan seleranya.
2. Dukungan anggaran berdasarkan perintah lisan dari pimpinan birokrasi melakukan pemotongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga daftar usulan proyek yang diusulkan kesatuan bawah hanya formalitas atau hanya diperwabku (pertanggungjawaban keuangan) saja.
3. Dalam melaksanakan tugas pokok, mengedepankan pada penegakan hukum, karena tolok ukur keberhasilan tidak jelas. Siapa yang dapat mengungkap kasus yang menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat dinilai berhasil. Ukuran keberhasilan hanya ditentukan dengan penurunan angka kejahatan (crime total) dan pengungkapan (crime clereance).
4. Sistem pendeteksian terhadap gejala sosial dibuat berdasarkan laporan rutin yang diganti hari dan tanggalnya. Sehingga kebijakan yang dibuat bersifat rutinitas dan dikejutkan adanya gangguan kriminalitas diluar perkiraan atau dugaan.
5. Dalam pembinaan karir yang berkembang karena hubungan pribadi (personal) yang sarat KKN dan standar pembinaan karir bersifat formalitas (banyak hak prerogatif dari pimpinan tanpa melihat kualitas kinerja maupun akademis personel yang bersangkutan).
Menurut Kurniawan (2009: 40), dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui suatu birokrasi perlu dibangun suatu standar kompetensi petugas kepolisian dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai berikut:
1. Tingkat pendidikan aparat.
2. Kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal.
3. Kemampuan melakukan kerjasama.
4. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dilakukan organisasi.
5. Kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan.
6. Kecepatan dalam melaksanakan tugas.
7. Tingkat kreativitas mencari tata kerja yang terbaik.
8. Tingkat kemampuan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada atasan, bukan memberikan upeti.
9. Tingkat keikutsertaan dalam pelatihan atau kursus yang berhubungan dengan bidang tugasnya.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensi, efisiensi dan efektifitas birokrasi kepolisian, maka perlu dilakukan langkah-langkah transformasi kultur birokrasi. Pembaruan kultur diarahkan kepada perubahan kepemimpinan yang transformasional. Menghilangkan budaya upeti akan terlaksana bila dari pada level atas tidak membudayakan hal tersebut, sehingga level bawah akan merasa malu kalau berbuat penyimpangan. Selain itu perilaku pejabat birokrasi harus diarahkan untuk mau merubah mindset birokrasi lebih kepada perubahan profesionalisme sikap, organisasi, maupun masyarakat (Kurniawan, 2009: 104). Dengan perubahan moral ini, diharapkan Polri akan lebih mengedepankan kualitas kinerja dalam pelayanannya terhadap masyarakat ketimbang memperlakukan lebih pada atasannya untuk hal-hal diluar kedinasan. Dengan demikian diharapkan budaya pelanggaran hukum atau rekayasa kasus demi kepentingan pribadi atau oknum pejabat sedikit demi sedikit dapat dihilangkan.
Referensi:
Kurniawan, Agung. 2009. Transformasi Birokrasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII. Jakarta: Departemen Kehakiman.
Toha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
“Setoran Suburkan Penjebakan”, Kompas 9 Maret 2010.
Rabu, 10 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar