Senin, 22 Juni 2009

Pelaksanaan Fungsi Pengendalian Pada Satuan Lalu Lintas Tingkat Polres


Pendahuluan

Sebelum saya memberikan gambaran mengenai pelaksanaan fungsi pengendalian di Satuan Lalu Lintas tingkat Polres, perlu kita menyamakan persepsi terlebih dahulu mengenai pengertian dari pengendalian itu sendiri. Secara harfiah, pengendalian berarti suatu proses, cara, perbuatan menguasai, mengekang atau memegang pimpinan. Beberapa pakar tidak mempunyai kesamaan dalam mendefinisikan arti dari pengendalian itu sendiri. Salah satunya Mockler berpendapat:
Pengendalian dalam manajemen adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan standar prestasi dengan sasaran perencanaan, merancang system umpan-balik informasi, membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yang terlebih dahulu ditetapkan itu, menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumberdaya perusahaan tengah digunakan sedapat mungkin dengan cara yang efektif dan efisien guna tercapainya sasaran perusahaan” (Mockler 1972: 2).
Lain pula dengan pendapat dari Henry Fayol mengenai pengertian dari pengendalian, yaitu: “…jaminan bahwa semua kegiatan sesuai dengan rencana yang ditetapkan..
Definisi yang baik mengenai pengendalian manajemen ialah “proses melalui mana manajer dapat memastikan bahwa aktivitas yang actual sesuai dengan aktivitas yang direncanakan”. Proses pengendalian mengukur kemajuan ke arah tujuan tersebut dan memungkinkan manajer mendeteksi penyimpangan dari perencanaan tersebut tepat pada waktunya untuk mengambil tindakan perbaikan sebelum terlambat" (Daft & MacIntosh 1984: 43 – 66).
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut dapat ditarik kesimpulan :
1. Pengendalian dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien.
2. Adanya perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai.
3. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas yang sedang berjalan.
Seperti yang sudah diutarakan di atas bahwa pengendalian dilakukan agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik, oleh karena itu pengendalian memegang peranan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan tersebut.
Dari metode pengendalian yang ada, dapat dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :

1. Pengendalian Pra tindakan.
Yaitu memastikan sebelum kegiatan dimulai, dukungan sumber daya yang diperlukan telah dianggarkan sesuai kebutuhan.

2. Pengendalian Kemudi.
Yaitu mendeteksi penyimpangan dari standar, memungkinkan tindakan perbaikan sebelum berlanjut.

3. Pengendalian Ya/Tidak atau Penyaringan.
Yaitu proses penyaringan dimana aspek spesifik dari prosedur harus disetujui atau syarat tertentu dipenuhi, sebelum kegiatan dilanjutkan.
Dimana sering dikombinasikan dengan pengendalian kemudi dalam proyek vital, karena pengendalian kemudi tidak sempurna.

4. Pengendalian Purna Tindakan.
Yaitu mengukur hasil setelah kegiatan selesai,digunakan sebagai sarana balas jasa dan mendorong karyawan berprestasi.

Dimana dalam praktek keempat Fungsi pengendalian tersebut digunakan secara kombinasi, untuk mencapai tujuan organisasi (Newmann 1975: 6 – 9).

Pelaksanaan Pengendalian Pada Satuan Lalu Lintas Polres

1. Bidang Administrasi Penyidikan Laka Lantas

a. Fakta-fakta.
1) Buku register tidak diisi sesuai dengan ketentuan.
2) Proses surat menyurat dan pengarsipan tidak tertib.
3) Penyelesaian berkas perkara laka tidak terkontrol dengan baik.
4) Penandatanganan Laporan Polisi dilakukan setelah berkas perkara selesai dikerjakan.
5) Melakukan upaya paksa tidak dilengkapi dengan administrasi penyidikan yang memadai.

b. Langkah-langkah pengendalian.
1) Setiap akhir bulan seluruh buku register yang ada harus ditandatangani Kasat Lantas, sekaligus dilakukan pengecekan silang dengan buku mutasi penjagaan Samapta.
2) Surat keluar dan masuk dicatat di dalam pembukuan terpisah dan harus sepengetahuan Kasat Lantas. Kecuali dalam hal yang perlu dan mendesak dimana Kasat Lantas tidak ada di tempat baru bisa didelegasikan kepada Kanit Laka Lantas.
3) Setiap akhir minggu, penyidik laka memberikan laporan kemajuan atas penyidikan yang dilakukan. Kasat Lantas memeriksa dan memberikan arahan atau petunjuk dan berdiskusi dengan penyidik yang bersangkutan untuk mencari pemecahannya apabila ditemukan hambatan dalam proses penyidikan tersebut. Setiap arahan dan petunjuk yang diberikan dituangkan secara tertulis di lembar disposisi untuk memudahkan pengecekan kembali di minggu berikutnya, apakah petunjuk tersebut dilaksanakan atau tidak oleh penyidik.
4) Setiap saat apabila terjadi suatu kejadian laka lantas, Laporan Polisi sudah berada di atas meja Kasat Lantas. Setiap Laporan Polisi mendapat petunjuk dan arahan mengenai langkah-langkah yang harus diambil oleh Unit Laka Lantas.
5) Senantiasa melakukan pengecekan langsung terhadap anggota yang akan melakukan upaya paksa berkaitan dengan syarat-syarat formal yang harus dipersiapkan, atau mendelegasikan kewenangan ini kepada Kanit Laka Lantas apabila dalam keadaan yang perlu dan mendesak Kasat Lantas tidak berada di tempat.

2. Bidang Operasional Sat Lantas

a. Fakta – fakta.
1) Pelaksanaan piket lantas selama 12 jam, dan ada regu yang jarang melakukan tindakan penegakan hukum apabila ada pelanggaran lalu lintas yang terjadi di sekitar pos lantas.
2) Kecenderungan anggota tidak berada di pos lantas dengan alasan sedang melakukan patroli, padahal anggota tersebut melakukan kegiatan razia diluar perintah Kasat Lantas atau Perwira Lantas lainnya.
3) Adanya regu yang anggotanya terdiri dari bintara senior semua dan personel yang menjadi anggota regu jarang masuk.
4) Anggota Lantas yang dibekali surat tilang sering menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
5) Anggota lantas yang mengadakan strong point (menjaga titik-titik rawan laka dan langgar) sering meninggalkan tempat sebelum waktunya.

b. Langkah-langkah Pengendalian.
1) Pelaksanaan piket lalu lintas cukup 8 jam saja (sesuai dengan jam kerja), karena yang dinamakan shift adalah menyesuaikan dengan jam kerja. Yang perlu dikendalikan adalah tatacara mereka melakukan piket, pola kerja, serta hubungan tata cara kerja dengan piket fungsi lainnya.
2) Pada jam-jam rawan kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas, Kasat Lantas beserta Kaur Bin Ops Lantas melakukan inspeksi mendadak dan melihat kinerja dari regu yang sedang melaksanakan tugas jaga di pos lantas. Kalau ditemukan pelanggaran maka diberikan hukuman berupa teguran, sedangkan apabila tanggap menghadapi permasalahan lalu lintas yang terjadi dihadapannya maka diberikan penghargaan.
3) Anggota lantas yang akan mengadakan razia selalu dibekali oleh Surat Perintah Tugas, Kaur Bin Ops Lantas dan Kanit Patroli mengecek keberadaan anggota yang tidak berada di pos lantas dengan alasan mengadakan razia, apabila tidak melaksanakan sesuai dengan perintah, maka Kasat Lantas menghentikan kegiatan tersebut dan memanggil seluruh personel lantas yang mengadakan kegiatan tersebut untuk diberikan teguran maupun hukuman.
4) Melaksanakan perputaran anggota pos lantas, sehingga bintara senior tidak bergabung dengan yang senior pula, namun hendaknya menjadi among asuh bagi bintara yunior yang baru menjadi anggota lantas.
5) Melakukan kontrol administrasi surat tilang bersama Baur Tilang untuk mengecek penggunaan surat tilang tersebut oleh anggota lantas.
6) Bersama Kaur Bin Ops Lantas, Kasat Lantas mengecek keberadaan anggota lantas yang berada pada titik-titik strong point dan melakukan kontrol melalui alkom yang ada.

3. Analisa.
Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa disadari atau tidak kita sudah mengimplementasikan beberapa metode pengendalian yang kita kenal dalam teori. Dimana pengendalian tersebut dilakukan semata-mata untuk menjamin agar pelaksanaan tugas di Sat Lantas dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam bidang administrasi penyidikan laka lantas, saya melihat banyak sekali kekurangan-kekurangan yang terjadi akibat lemahnya pengendalian dari Kanit Laka Lantas. Oleh karena itu dengan menerapkan metode pengendalian kemudi, dimana Kasat Lantas secara langsung mengecek dan memberi arahan langsung apabila di dalam pelaksanaan tugas terjadi hal-hal yang menyimpang, sehingga tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dengan menerapkan metode ini Kasat Lantas tidak harus menunggu sampai semua laporan masuk, baru melakukan evaluasi serta bisa menghindari kesalahan hitung dan memanfaatkan peluang yang ada.
Kasat Lantas juga menerapkan metode pengendalian purna tindakan, sehingga dapat mengukur sejauh mana tugas yang ada sudah dilaksanakan oleh anggota, sekaligus mengecek apakah terdapat hambatan dalam pelaksanaan tugas tersebut, sehingga dapat diambil solusi yang terbaik agar pelaksanaan tugas berikutnya lebih baik dari sebelumnya.
Dalam bidang Operasional Sat Lantas, Kasat Lantas berusaha menerapkan kombinasi antara metode pengendalian Pra-tindakan dan Pengendalian Kemudi. Dengan demikian segala tindakan yang dilakukan dapat terencana dengan baik, didasari oleh fakta-fakta dan informasi yang akurat, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Setiap kegiatan operasional hendaknya diterapkan metode pengendalian kemudi. Karena sebaik apapun suatu perencanaan tetapi di dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan, maka perencanaan tersebut akan sia-sia, rencana yang telah ditentukan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya. Seperti kita ketahui bahwa salah satu alasan mengapa perlunya pengendalian adalah adanya sifat manusia yang selalu tidak pernah lepas dari alpa dan lalai. Oleh karena itu diperlukan pengendalian yang secara langsung menyentuh anggota di lapangan.

4. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, saya mencoba mendeskripsikan beberapa fakta-fakta yang dihadapi, kemudian dianalisa, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Setiap kegiatan yang akan dilakukan harus melalui perencanaan yang matang, sehingga tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota di lapangan menjadi terarah menuju tujuan yang telah ditentukan.
b. Perencanaan sebaik apapun akan sia-sia, apabila di dalam pelaksanaan tugas tidak dilakukan pengendalian sebagaimana mestinya. Pengendalian yang dilakukan bersifat situasional, artinya besar kecilnya suatu pengendalian ditentukan oleh objek pengendalian itu sendiri. Semakin besar disiplin dan tanggung jawab objek terhadap tugasnya, maka semakin kecil pengendalian yang dilakukan.

5. Saran
a. Seseorang yang melakukan pengendalian hendaknya orang-orang yang kredibilitas dan kapabilitasnya diakui oleh anggota organisasi secara umum. Sehingga pengendalian tersebut akan lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.
b. Agar di dalam melakukan pengendalian selalu memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, sehingga metode pengendalian yang digunakan dapat diterapkan secara tepat sesuai situasi yang dihadapi.
c. Dibutuhkan personel yang bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pengendalian akan semakin mudah untuk dilaksanakan. Kedewasaan dalam bertindak merupakan faktor penting dalam pelaksanaan tugas, bukan dengan menggunakan kekerasan (disiplin mati) untuk pencapaian suatu tujuan organisasi.

Daftar Acuan:

Daft, Richard L. & Norman B. MacIntosh. 1984. The Nature and Use of Formal Control Systems for Management Control and Strategy Implementation. Journal of Management 10: 43 – 66.

Mockler, Robert J. 1972. The Management Control Process. New Jersey: Prentice Hall.

Newman, William. 1975. Constructive Control. New Jersey: Prentice Hall.
Baca selengkapnya.....

Peranan Seorang Petugas Dikmas Lantas


Seorang Polantas yang bertugas di bagian Dikmas Lantas mempunyai peran yang tidak kecil, bahkan kalau bisa dibilang lebih besar daripada mereka yang “sering tampil” di depan pimpinan, karena tugasnya yang melulu berurusan dengan kelompok-kelompok masyarakat, baik itu yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir. Lebih tepatnya lagi mereka juga bisa berperan sebagai negosiator pada setiap kegiatan-kegiatan masyarakat yang terkonsentrasi yang dikhawatirkan juga menimbulkan crowd (kerumunan).
Dalam Vademikum Polisi Lalu Lintas disebutkan bahwa peranan pendidikan masyarakat terhadap lalu lintas dengan sasaran terhadap masyarakat terorganisir dan masyarakat tidak terorganisir dimaksudkan untuk mewujudkan terciptanya sikap mental mentaati peraturan perundang-undangan lalu lintas agar tercapai peningkatan keikutsertaan masyarakat dalam usaha menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas.
Selanjutnya Dikmas Lantas memiliki peran sebagai berikut:

1. Komunikator
Polantas harus mampu untuk memberikan penjelasan secara terperinci mengenai isu, program dan harapan serta partisipasi masyarakat. Seorang Polantas berperan sebagai komunikator dalam penyampaian kampanye/publikasi lalu lintas kepada publik. Peran komunikator dalam strategi komunikasi sangat penting. Strategi komunikasi hendaknya bersifat luwes sehingga komunikator (Polantas) sebagai pelaksana dapat segera mengadakan perubahan apabila ada suatu faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor kendala komunikasi bisa datang sewaktu-waktu dan berasal dari media, komunikan, maupun komunikator itu sendiri.
Pendekatan ”A –A Procedure” atau ”from Attention to Action Procedure” merupakan pendekatan yang cenderung dipakai oleh para ahli komunikasi. “Pola AIDDA” memuat Attention (perhatian), Interest (minat), Desire (hasrat), Decision (keputusan), dan Action (kegiatan). Komunikasi hendaknya dimulai dengan membangkitkan perhatian, dan komunikator harus menimbulkan daya tarik. Pada diri komunikator harus terdapat faktor ”daya tarik komunikator” (source attractiveness). Apabila perhatian sudah didapat hendaknya disusul dengan upaya membangkitkan minat (interest). Minat adalah kelanjutan dari perhatian yang merupakan titik tolak bagi timbulnya hasrat (desire) untuk melakukan suatu kegiatan yang diharapkan komunikator. Hasrat saja belum cukup sebab harus dilanjutkan dengan datangnya keputusan (decision), yaitu keputusan untuk melakukan kegiatan (action) seperti yang diharapkan komunikator (Sitompul 2006).

2. Motivator
Polantas harus mampu memberikan motivasi agar pengguna jalan mau mentaati peraturan lalu lintas dan merubah kebiasaan yang tidak disiplin menjadi disiplin. Pemberian motivasi merupakan hal yang penting dalam kaitan dengan konsep pendisiplinan lalu lintas pada pengguna jalan yang kesemuanya adalah menuju suatu perubahan, perubahan menjadi manusia Indonesia yang taat pada aturan. Ada banyak hal yang mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki menyatakan bahwa ada 2 kekuatan yang dapat mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan (Kreitner & Kinicki 2001), yaitu:
a. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul dari luar, seperti: karakteristik demografis (usia, pendidikan, tingkat ketrampilan, jenis kelamin, dsbnya), perkembangan teknologi, tekanan-tekanan sosial dan politik.
b. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam, seperti: masalah-masalah/prospek sumberdaya manusia (produktifitas, motivasi kerja, dsb), dan perilaku petugas di lapangan.
Dalam permasalahan dikmas lantas ini, kekuatan eksternal (banyaknya masyarakat akademisi serta korban yang diakibatkan kelalaian), maupun kekuatan internal (konsistensi sosialisasi aturan-aturan secara gamblang dan transparan) mendorong munculnya keinginan Polantas untuk merubah kultur disiplin masyarakat pengguna jalan.

3. Pendidik
Polantas berperan mendidik masyarakat pengguna jalan dengan menyertakan pemahaman tentang alasan-alasan mengapa harus ditaati peraturan lalu lintas tersebut serta penekanan-penekanan untuk diaplikasikan di jalan. Sebagai seorang pendidik sangat identik dengan mengajarkan kepada masyarakat bagaimana menjadi apa yang diharapkan. Seperti contoh Polantas ingin pengguna jalan memakai helm standar, maka ajarilah mereka tatacara pemakaian helm standar.
Ada 3 syarat utama untuk mengajarkan, yaitu:
a. Apa yang diperbuat oleh si pengajar.
Seorang Polantas tentunya sebelum menyuruh pengguna jalan mematuhi aturan lalu lintas terlebih dahulu menyiapkan materi tentang pemahaman aturan lalu lintas, apa itu disiplin lalu lintas, bagaimana kriteria pengemudi yang baik, dll. Polantas tentunya mencontohkan dengan berbagai alat peraga maupun dengan penyiapan paparan baik secara tertulis maupun lisan. Hal ini dibenarkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh si petugas tersebut.
b. Mengapa si pengajar tersebut berbuat demikian.
Esensi dari sebuah ajaran adalah menularkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan dari si pengajar kepada peserta didik. Tentunya si pengajar mempunyai tatacara tersendiri untuk mengajarkan, apakah dengan peraga, dengan tutorial atau dengan one way explanation (penjelasan satu arah), yang kesemuanya dimaksudkan untuk memberitahukan kepada peserta didik tentang misi yang diembannya dalam mengajar tersebut.
c. Apa pengaruhnya terhadap yang diajar.
Seorang petugas dikmas lantas mengemban misi memberikan pengertian tentang disiplin berlalu lintas pada masyarakat yang diajarnya. Tentunya pada saat pengajaran dia harus memaksimalkan materinya tersebut sehingga terdapat pengaruhnya pada para peserta didik. Yang diharapkan adalah terjadinya perubahan dari kondisi yang kurang menjadi kondisi yang mantap. Kalau itu sudah terjadi maka misi seorang petugas dikmas lantas akan tercapai, karena terdapat hasil dari apa yang diajarkannya tersebut.

4. Peneliti
Polantas mempunyai peran dalam melaksanakan penelitian untuk menemukan simpul-simpul permasalahan lalu lintas agar bisa segera dicarikan jalan keluarnya. Seorang peneliti harus mempunyai kehati-hatian dalam mengeluarkan statement pasca penelitian, agar bahan penelitian masih tetap valid sampai periode yang akan datang. Peran sebagai seorang peneliti, seorang Polantas harus dapat mengumpulkan data-data yang digunakan untuk menyusun isu-isu yang akan diteruskan menjadi sebuah rencana kampanye. Polantas dalam mencari data-data tersebut bisa menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Sumber data: statistik data kecelakaan lalu lintas, data pemegang SIM (jenis kelamin, umur, pengalaman, catatan pelanggaran, dll).
b. Survei observasi: kecepatan kendaraan, penggunaan sabuk keselamatan, penggunaan helm standar dan non standar, kelengkapan kendaraan bermotor, dll.
c. Kualitatif: diskusi dengan kelompok yang dijadikan sampel/sasaran.
d. Survei questioner: kepedulian, kepercayaan, ekspresi sikap, kebiasaan pribadi (terhadap materi yang akan kita jadikan objek kampanye).
Setelah data-data tadi terkumpul, kita bisa menggunakan media massa sebagai sarana publikasi dalam mengkampanyekan sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan pembudayaan tertib lalu lintas. Akan lebih relevan lagi apabila publikasi yang kita sampaikan ke khalayak merupakan hasil penelitian yang didukung pendapat para ahli, akademisi, maupun praktisi hukum berupa referensi buku, literatur, karya ilmiah, tesis, dan lain-lain. Sehingga apa yang disajikan tersebut bukan merupakan karang-karangan si pencetus kampanye namun merupakan hasil pemikiran orang banyak atas materi kampanye yang akan dilaksanakan oleh Polantas sebagai program pelaksanaan pembudayaan tertib lalu lintas di suatu daerah.

Daftar Acuan:

Kreitner, Robert & Angelo Kinicki, 2001. Organizational Behavior 5th Ed., New York: Irwin/McGraw-Hill.

Sitompul, Mukti. 2006. Konsep-Konsep Komunikasi Pembangunan. Diunduh dari www.library.usu.ac.id pada tanggal 15 Oktober 2007.
Baca selengkapnya.....

Rabu, 17 Juni 2009

EKSLUSIVITAS MOGE


Pendahuluan

Pada tanggal 24 Mei 2009 lalu, sekelompok pengendara motor besar (moge) melakukan penganiayaan dan pengrusakan terhadap Edwin Sudibyo (51) di kawasan Puncak, Bogor. Ihwal kejadian tersebut disebabkan karena mobil Edwin dianggap menghalangi laju rombongan moge yang tengah berkonvoi. Padahal menurut Edwin, ia tidak mungkin meminggirkan mobilnya ke kiri jalan karena sudah tidak ada ruang bagi kendaraannya untuk menepi, lagipula rombongan moge yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut merupakan rombongan yang sedang tertinggal (Kompas 16 Juni 2009). Mengapa kelompok pengendara moge ini berani melakukan hal tersebut? Bukan menjadi rahasia umum lagi kalau menjadi anggota komunitas moge merupakan kebanggaan tersendiri dari individu tersebut. Dilihat dari sisi prestise saja, mendengar kata moge orang sudah menduga-duga berapa uang yang musti dikeluarkan untuk membeli satu unit moge tersebut. Maka tak ayal, seseorang yang sudah masuk dalam komunitas moge merupakan kalangan elit. Menurut Adrianus Meliala, yang tergolong dalam kalangan elit adalah rezim yang berkuasa, birokrat tingkat atas, jenderal (militer/kepolisian), pengusaha bonafit, partai besar berkuasa, dan keluarga kaya raya (Meliala 2009). Jadi untuk bisa memiliki moge dengan harga yang supermahal, maka kalangan elit memiliki kesempatan untuk itu. Dari kegemaran yang sama, lalu mereka kemudian bergabung dan membentuk suatu komunitas yang memiliki satu tujuan yaitu penggemar moge (Deutsch 1959; Mills 1967 dalam Sarwono 2001: 4).
Keanggotaan mereka yang ekslusif sehingga tidak setiap orang bisa masuk kedalamnya, jadi sangat wajar apabila anggota komunitas ini berasal dari kalangan DPR, birokrat, pengusaha bonafit, atau jenderal (polisi/militer). Dengan begitu, segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan mereka secara otomatis akan saling berinteraksi guna menunjukkan eksistensi komunitas mereka dibanding komunitas/warga masyarakat lain. Maka tidak bisa dipungkiri, bahwa kalangan elit yang tergabung dalam komunitas moge merupakan orang-orang yang secara finansial kuat, pembuat aturan/perubah aturan, pembuat kebijakan, memiliki akses terhadap massa, pembuat opini/pengaruh. Maka menurut Meliala, considering the above importance, it would be impossible for the police to neglect them or to put them inside either as stakeholder or as policing object (Meliala 2009). Merupakan hal yang mustahil bagi polisi untuk menempatkan mereka dalam kondisi yang umum baik dari sisi perlakuan maupun pelayanan.

Stereorip Komunitas Moge

Pada tahun 2006, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Drs. Firman Gani mengungkapkan bahwa penertiban aspek legalitas moge mengalami kesulitan karena tidak ada aturan khusus yang mengaturnya. Moge ini kerap tidak melengkapi diri dengan persyaratan legalitas di jalan seperti STNK, jadi sebenarnya secara otomatis negara pun dirugikan karena tidak ada pemasukan pajak (bea masuk impor moge dikenakan 200 – 300%). Penyebabnya adalah moge ini masuk ke Indonesia secara parsial yang kemudian dirakit di Indonesia. Walaupun disanggah oleh Panji Santoso pengurus HDCI (Harley Davidson Club Indonesia), bahwa mereka bukan melalaikan pajak namun terhalang pada biaya pemutihan yang berkisar Rp. 10 – 20 juta/unit. Besaran pajak moge untuk motor tua sebesar Rp. 250 ribu, sedangkan moge keluaran baru sebesar Rp. 1,5 juta (Koran Tempo 18 Februari 2006). Menurut sumber Tempo juga, pemilik moge yang belum membayar pajak jumlahnya cukup banyak terutama moge yang diperoleh dari Singapura (Dirjen Bea Cukai 2009).
Menyadari keekslusifan mereka, maka wajar jika kemudian mereka menuntut perlakuan lebih dalam kegiatan mereka. Mengingat sukucadang maupun harga moge itu sendiri yang cukup mahal, maka sah-sah saja apabila mereka menganggap pengguna jalan lain yang harus memperhatikan keselamatan mereka dalam berkendara. Bahkan tak urung mereka menggunakan jasa vorrijder (pengawalan) baik dari kepolisian maupun komunitas mereka sendiri! Pengawalan itu sendiri memang tidak diatur dalam UULAJ, namun pemberian pengawalan sah saja dilakukan sebagai wujud pelayanan Polantas pada masyarakat pengguna jalan. Namun seharusnya pengawalan itu sendiri tetap memperhatikan aspek prioritas dan kegunaan. Sebenarnya moge bukan prioritas kendaraan yang boleh mendapat pengawalan polisi, karena bukan prioritas, maka apabila tetap diadakan pengawalan hukumnya wajib untuk turut mematuhi aturan lalu lintas. Lain halnya apabila yang dikawal merupakan rombongan tamu negara, pejabat tinggi/tertinggi negara, ambulans (yang memerlukan ruangan jalan khusus), atau pemadam kebakaran. Sedangkan moge yang tidak memiliki tendensi apa-apa, apabila diadakan pengawalan maka prioritas tidak berlaku dalam hal ini. Namun apabila pengawalan dilakukan oleh komunitas mereka sendiri, kemudian memakai fasilitas pengawalan negara maka jelas-jelas itu merupakan pelanggaran lalu lintas dan sebenarnya tidak ada ampun bagi Polantas untuk bisa menindak mereka.
Walaupun memakai CC besar, tetap saja moge dimasukkan dalam klasifikasi sepeda motor. Sehingga hukumnya wajib untuk tidak memasuki jalan tol sebagaimana diamanatkan dalam UU No.38 Tahun 2004 dan PP No.15 Tahun 2005 bahwa kendaraan roda dua dilarang masuk jalan tol kecuali pengawalan Presiden atau ada izin dari Presiden. Menurut Staf Pengajar KIK-UI, Bambang Widodo Umar, lolosnya moge di jalan tol karena polantas tidak berani untuk menegakkan hukum terhadap mereka. Selain itu menunjukkan lemahnya koordinasi antarfungsi di tubuh Polri. Kalu koordinasi telah berjalan dengan baik maka laporan petugas PJR yang disampaikan kepada TMC (Traffic Management Centre) bisa diteruskan ke semua kesatuan wilayah atau petugas yang berdekatan dengan semua pintu tol sehingga bisa dilakukan tindakan hukum, namun itu semua tidak dilakukan oleh polantas (Suara Karya On-line 25 Maret 2008). Komunitas moge telah dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai komunitas kalangan papan atas yang hanya orang-orang pemegang tampuk kekuasaan tertentu atau memiliki kapabilitas finansial yang lebih saja yang bisa menjadi anggota perkumpulan tersebut, ciri-ciri komunitas ini dengan motor besarnya, dandanan ala bikers Amerika (jaket hitam, kacamata hitam, muka sangar, dan otot badan dengan tato menonjol), berjalan berombongan, dan apabila berpapasan selalu meminta prioritas sudah menjadi ciri baku yang diyakini kebenarannya. Walaupun pandangan tersebut bersifat subyektif dan amat terbatas pengetahuan orang yang melihatnya namun pandangan tersebut sudah digeneralisasikan menjadi ciri-ciri komunitas moge pada umumnya (Suparlan 2004: 22). Polantas-pun sudah mengetahui stereotip dari komunitas moge yang umumnya berasal dari orang kaya, pelaku bisnis ternama, jenderal (militer/kepolisian), atau pejabat negara atau keluarga pejabat negara. Soal menangkap moge di jalan tol sebenarnya bukan perkara sulit mengingat kuantitas patroli PJR jalan tol saat ini, apalagi setiap pintu keluar tol hampir dijumpai patroli PJR atau Bina Marga. Sehingga tinggal saling informasi saja, patroli menunggu di ruas-ruas pintu keluar tol, lalu tangkap dan lakukan penegakan hukum. Namun karena stereotip tersebut, maka ada kemungkinan patroli PJR pun seolah-olah tutup mata dan sifatnya lebih pada tindakan preventif (melakukan pengusiran keluar jalan tol) padahal jelas-jelas tindakan moge tersebut sudah melanggar hak pengguna jalan tol lainnya, atau bahkan ada beberapa pengguna jalan yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis karena berpapasan dengan rombongan moge. Padahal yang dikehendaki masyarakat apabila diadakan penegakan hukum tanpa tebang pilih tersebut, pengguna jalan dapat meningkatkan kewaspadaan atau dapat merubah tingkah laku berlalu lintas yang pada gilirannya dapat meningkatkan keselamatan di jalan raya (Kunarto 1999: 54).

Saran Pendapat

Melihat peristiwa ini secara kasuistis, maka saya menyarankan sebagai berikut:
1. Polri harus secara intens menyentuh komunitas moge untuk memberikan pemahaman bahwa mereka harus turut mentaati peraturan lalu lintas, dan komunitas ini bukanlah komunitas ekslusif yang mendapat perlakuan khusus dalam berkendara di jalan raya.
2. Polri harus menegakkan hukum secara tepat, berlandaskan UULAJ dan UU Jalan lainnya, jangan karena komunitas tersebut dikoordinir oleh pejabat militer/polisi kemudian penegakan hukum terhadap mereka menjadi lunak. Sikap petugas yang tanpa tebang pilih dalam menegakkan hukum di jalan ini diharapkan akan semakin meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kinerja Polantas seiring dengan revisi UULAJ yang masih membebankan permasalahan penegakan hukum dan regident pada kepolisian.
3. Apabila memang telah terjadi tindakan tidak terpuji dari komunitas moge pada pengguna jalan lain, maka kepolisian harus segera menindaklanjuti dengan melakukan tindakan segera (quick respons). Ini berarti menindaklanjuti perintah Kapolri kepada jajaran kepolisian dalam upayanya untuk membangun kepercayaan masyarakat pada kinerja kepolisian (trust building).
4. Para pengguna jalan/masyarakat yang merasa mendapat perlakuan tidak semestinya dari komunitas moge agar tidak takut untuk melaporkan kejadian tersebut pada polisi, ini untuk memberikan efek jera (shock therapy) pada komunitas moge bahwa mereka adalah komunitas yang tidak tak kebal hukum walaupun disitu terdapat pejabat negara/kalangan elit sebagai anggotanya.
5. Bagi para komunitas moge agar memberikan pendalaman kepada anggotanya untuk berperilaku santun dalam berkendara karena posisinya kerap menjadi sorotan publik. Tampilan low profile akan sangat menunjang komunitas moge guna menghindari stigma negatif dari masyarakat terhadap komunitas ini.

Daftar Acuan:

Kunarto, 1999. Merenungi Kritik terhadap Polri: Masalah Lalu Lintas. Jakarta: Cipta Manunggal.

Meliala, Adrianus. 2009. Polisi And Elite. Makalah Seminar Teori dan Masalah Kepolisian, Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi. 2004. Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: YPKIK.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.


Beberapa contoh arogansi pengendara moge (sumber: Kompas 16 Juni 2009):

21 Mei 2004 (Surat Pembaca Kompas)
Sekitar 20 sepeda motor besar dengan pengawalan aparat berpawai di jalur tengah jalan tol Jagorawi menuju Bogor sekitar pukul 13.00. Dengan angkuhnya para pengendara tersebut bergaya, sementara kendaraan lain hanya dapat mengikuti di belakang. Padahal di gerbang masuk tol, rambu dilarang masuk bagi pengendara motor terpampang jelas.

29 Maret 2005 (Surat Pembaca Kompas)
Rombongan moge dari arah Kota melintas di jalur busway kea rah Harmoni sekitar pukul 17.35. Sekitar 20 moge berarakan dengan membunyikan gas sekencang-kencangnya.

23 Maret 2008
6 moge menerobos jalan tol Jagorawi dari arah Bogor menuju Jakarta. Rombongan tersebut menerobos gerbang tol dan sempat mengganggu pengguna jalan yang telah membayar tol. Ke-6 moge tersebut tidak berhasil dikejar petugas patroli, karena keluar berpencar.

29 November 2008 (Surat Pembaca Kompas)
Terjadi tabrak lari oleh sekelompok pengendara moge sekitar pukul 06.00 di Citeureup, Bogor. Insiden ini menyebabkan seorang anak menderita luka berat dan harus dirawat di Rumah Sakit Husada, Cibinong.
Baca selengkapnya.....

Jumat, 12 Juni 2009

NATURALISASI, ANTARA URGENSI DAN PRESTISE SEPAKBOLA NASIONAL


Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu berkembang wacana untuk merekrut beberapa pemuda asal Brasil untuk dijadikan warganegara Indonesia. Tujuan dari perekrutan ini adalah sebagai alih teknologi sepakbola agar Indonesia bisa berkiprah di kancah persepakbolaan dunia. Namun apa lacur, wacana ini menuai protes dari berbagai kalangan karena ternyata potensi pemain asal Brasil tersebut jauh dari kemampuan rata-rata pesepakbola nasional kita. Kini wacana tersebut berkembang lagi, namun tujuannya adalah pesepakbola asing yang memiliki hubungan darah dengan Indonesia. Tujuan kemudian mengarah pada pemain-pemain asal Belanda yang memang secara historis memiliki hubungan darah dengan Indonesia (Suriname-Jawa dan Maluku).
Perekrutan ini sebenarnya bukan tabu bagi sepakbola dunia semenjak FIFA mengijinkan federasi negara untuk mengalihstatus kewarganegaraan asal pemain yang bersangkutan belum memperkuat tim nasional senior. Kebijakan ini dimanfaatkan oleh beberapa negara untuk kemudian menaturalisasi beberapa “pemain asing” untuk menjadi warganegara mereka. Ternyata bukan hanya negara-negara yang dianggap semenjana saja yang menerapkan kebijakan ini, namun tak urung beberapa negara kuat semacam Italia, Jerman, atau Belanda pun memanfaatkan aturan FIFA tersebut. Sebut saja Camoranesi (asal Argentina) yang berganti kewarganegaraan menjadi Italia, dan yang baru ini adalah naturalisasi Jeronimo Cacau (asal Brasil) menjadi warganegara Jerman. Untuk kawasan Asia Tenggara yang sudah melakukan naturalisasi bahkan secara ekstrem dilakukan adalah Singapura. Menyadari mereka tidak bisa berkiprah banyak di ajang sepakbola internasional, maka mereka pun merekrut beberapa warganegara asing untuk menjadi WN Singapura. Sebut saja Agu Casmir dan Precious Emejuereye (asal Nigeria), Aleksandar Djuric (asal Serbia), atau Daniel Bennett (asal Inggris). Alhasil, Singapura kini menjelma menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Asia Tenggara dan Asia.

Legalitas Naturalisasi

Dalam hukum kewarganegaraan di Indonesia, dikenal dua asas memperoleh kewarganegaraan yaitu asas tempat kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis). Menurut ius soli, seseorang yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warganegara. Sedangkan menurut ius sanguinis, seseorang adalah ia menjadi warganegara karena ia dilahirkan dari orangtua warganegara. Namun tidak semua negara menggunakan asas ini, karena ada juga yang menerapkan dwikenegaraan (dilihat dari salah satu turunan warganegara, bisa dilihat dari pihak ayah atau ibu). Atau ada juga negara yang memiliki kesamaan keturunan dengan negara lain, seperti Italia dan Argentina karena banyaknya keturunan negara tersebut yang pindah ke neeegara yang serumpun (Harsono 1992: 3). Dalam hal memperoleh kewarganegaraanpun dikenal adanya stelsel aktif dan stelsel pasif. Dalam stelsel aktif, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan dengan melakukan perbuatan hukum tertentu. Sedangkan stelsel pasif, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan tanpa melakukan perbuatan hukum tertentu (Hadidjojo 1954: 39). Indonesia, sesuai ketentuan pada UU No. 62 Tahun 1958 pada prinsipnya menggunakan asas ius sanguinis, namun asas ius soli juga tidak menjadi tabu untuk dipakai sebagai aturan (lihat pasal 1 huruf f, g, h, dan i). Dalam UU ini juga dikenal salah satu cara memperoleh kewarganegaraan yaitu melalui jalur pewarganegaraan (naturalisasi). Naturalisasi diperoleh seiring dengan berlakunya Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan tersebut. Pewarganegaraan ini diberikan (atau tidak diberikan) atas permohonan, sedangkan instansi yang memberikan adalah Menteri Kehakiman.
Kemudian, seiring dengan reformasi di Indonesia, diadakan revisi pada UU tersebut menjadi UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Revisi UU terjadi karena penekanan pada hubungan perdata menyangkut status patrilineal, kemudian dalam UU terdahulu masih adanya diskriminasi etnis tertentu, dwikewarganegaraan, serta belum terjaminnya hak-hak kewarganegaraan. Pada UU No.62 Tahun 1958, masih mengandung bias gender dimana banyak pasal yang mengatur kewarganegaraan melihat wanita sebagai warga kelas dunia yang termarjinalkan. Kemudian dalam hal proses naturalisasi dibangun atas dasar kesatuan hukum dan pertimbangan praktis. Proses naturalisasi untuk memperoleh kewarganegaraan kini cukup dilakukan pihak laki-laki, ayah atau suami. Jika ayah atau suami memperoleh kewarganegaraan RI, secara otomatis istri dan anak-anaknya juga menjadi WNI. Buntutnya, jika terjadi perceraian, istri dan anak-anak tidak memiliki kewarganegaraan.
Melihat itu semua, sebenarnya proses naturalisasi tidak memakan proses yang rumit. Adapun syarat-syarat memperoleh naturalisasi menurut UU No.12 Tahun 2006 adalah:
a. Naturalisasi Biasa. Syarat-syaratnya:
1. Telah berusia 21 Tahun.
2. Lahir di wilayah RI/bertempat tinggal yang paling akhir minimal 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
3. Apabila ia seorang laki-laki yang sudah kawin, ia perlu mendapat persetujuan istrinya.
4. Dapat berbahasa Indonesia.
5. Sehat jasmani dan rohani.
6. Bersedia membayar kepada kas negara uang sejumlah Rp. 500 sampai Rp. 10.000 bergantung kepada penghasilan setiap bulan.
7. Mempunyai mata pencaharian tetap.
8. Tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan atau kehilangan kewarganegaraan RI.

b. Naturalisasi Istimewa. Diberikan kepada warganegara asing yang telah berjasa kepada negara RI dengan pernyataan sendiri (permohonan) untuk menjadi WNI, atau dapat diminta oleh negara RI.

Dari persyaratan diatas, maka sebenarnya banyak pemain asing yang telah beristri orang Indonesia serta telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut dapat mengajukan kewarganegaraan Indonesia dengan proses naturalisasi. Sebut saja misalkan Cristian Gonzales, Eliusangelo de Jesus, Antonio Claudio, Javier Rocca, atau Gaston Castano. Atau untuk pemain keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri yang memiliki garis keturunan Indonesia sebut saja Irfan Bachdim (FC Utrecht), Radja Nainggolan (Piacenza), Sergio van Dijk (Queensland Roar), dan lain-lain. Ini kembali kepada PSSI, apakah mau mengajukan kepada negara untuk merekrut pemain-pemain imigran tersebut ataukah percaya akan kemampuan lokal kita. Karena apabila kita melihat kemajuan persepakbolaan dunia saat ini, proses menaturalisasi sangat penting dilakukan untuk memajukan mutu sepakbola nasional mereka masing-masing, karena tujuannya adalah satu menembus Piala Dunia.

Membangun Prestise Bangsa

Prestasi sepakbola Indonesia yang ambruk beberapa tahun ini, salahsatunya bukan disebabkan oleh mutu pemain kita yang rendah, namun terlebih pada kurang profesionalnya PSSI dalam membuat organisasi yang modern dan profesional. Ini terlihat dari orang-orang yang terlibat didalamnya seperti tidak mau belajar dari majunya federasi negara lain. Bagaimana mereka memiliki infrastruktur stadion yang modern, pembinaan usia dini, serta roda kompetisi yang teratur. Mutu pemain kita sudah mendapat apresiasi positif dari dunia luar, sebut saja dulu Ramang, Iswadi Idris, Ricky Yakobi, dan lain-lain. Mereka lahir dari bakat alam, namun kembali lagi, itu terjadi saat dunia belum semodern sekarang ini. Sekarang sepakbola dunia sudah semakin berkembang, talenta-talenta baru dipantau melalui jalur pemantauan bakat yang benar-benar sahih, tidak asal rekrut. Kemudian ketika mereka dididik di sekolah sepakbola pun melalui beberapa program yang menuju kearah pemain jadi. Kalau gagal, siap-siap saja mereka tidak bermain di level senior. Teknik dan taktik sepakbola yang baik dan benar pun dipelajari dengan seksama, bukan asal mencari kaki lawan atau berlari kencang saja.
Mengingat itu semua, ada baiknya ide naturalisasi bukan semacam isapan jempol saja. Ada baiknya wacana ini dilakukan dengan melihat pemain-pemain yang memang layak untuk dijadikan WNI, bukan asal mereka yang memiliki keturunan WNI saja. Kita tidak perlu kuatir bahwa kita menjadi tidak nasionalis, karena kadang mereka yang berasal dari asli Indonesia pun karena sudah termakan oleh materi, maka rasa nasionalisme mereka pun berkurang. Ini dapat dilihat dari kurang semangatnya mereka bermain, atau mental yang jatuh apabila berhadapan dengan lawan yang bernama besar.
Satu lagi yang disayangkan adalah ketidakmampuan pelatih nasional kita untuk melihat talenta berdarah Indonesia yang berkiprah di luar negeri, dan lebih mempercayai pemain yang bermain di liga lokal saja. Mungkin tidak ada salahnya kalau pelatih tim nasional kita menyisir beberapa nama pemain keturunan Indonesia yang bermain di liga dunia, bahkan mereka mungkin akan tertarik membela timnas kita ketimbang menunggu panggilan timnas Eropa yang secara kualitas mungkin akan kalah bersaing. Strategi ini banyak dimanfaatkan oleh negara-negara Afrika dimana mereka mengumpulkan pemain imigran mereka untuk bermain bagi negerinya, sebut saja Frederic Kanoute yang lahir di Perancis namun ketika ditawari untuk bermain bagi Mali iapun menerimanya dan sampai saat ini menjadi pemain reguler di timnas Mali, suatu hal yang tidak mungkin ia dapatkan apabila bermain di timnas Perancis. Sungguh sangat sayang apabila ternyata pemain-pemain imigran kita karena tidak dilirik oleh PSSI, mereka justru membela negara tempat mereka bermain bahkan mereka malah semakin matang. Beberapa contoh misalnya Irfan Bachdim (sudah dilirik U-23 Belanda) dan Radja Nainggolan (sudah masuk U-21 Belgia). Kalau pelatih kita melepaskan peluang ini, betapa kecolongannya kita dan akan semakin membawa keterpurukan wajah persepakbolaan nasional kita. Ayo PSSI, mari berpikir maju!

Referensi:

Harsono. 1992. Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Liberty.

Hadidjojo, Soejono.1954. Kewarganegaraan Indonesia. Yogyakarta: Jajasan B.P. Gadjah Mada.

Beberapa pemain berdarah Indonesia di luar negeri:
1. Donovan Partosoebroto (18), kiper (Ajax Junior - Belanda).
2. Philip Adam Cave (22), bek (Newcastle United Junior – Inggris).
3. Lucien Sahetapy (23), bek (BV Veendam – Belanda).
4. Raphael Tuankotta (22), bek (BV Veendam – Belanda).
5. Estefan Pattisarany (18), bek (BV Veendam – Belanda).
6. Michael Timisela (20), bek (Ajax Amsterdam – Belanda).
7. Christian Supusepa (19), bek (Ajax Junior – Belanda).
8. Justin Tahapary (24), bek (FC Eindhoven – Belanda).
9. Marvin Wagimin (18), bek (VVV Veenlo – Belanda).
10. Tobias Waisapy (18), bek (Feyenoord Junior – Belanda).
11. Jeffrey Leiwakabessy (28), bek (Anorthosis Famagusta – Siprus).
12. Raymond Soeroredjo (18), bek (Vitesse Arnheim Junior – Belanda).
13. Yoram Pesolima (19), bek (Vitesse Arnheim Junior – Belanda).
14. Raphael Supusepa (26), midfielder (MVV Maastricht – Belanda).
15. Mariano Kastoredjo (21), midfielder (FC Utrecht Junior – Belanda).
16. Joas Siahaya (22), midfielder (MVV Maastricht – Belanda).
17. Irfan Bachdim (22), midfielder (FC Utrecht – Belanda).
18. Radja Nainggolan (19), midfielder (Piacenza – Italia).
19. Ferdinand Katipana (26), forward (FC Haarlem – Belanda).
20. Sergio van Dijk (26), forward (Queensland Roar – Australia).

Beberapa pemain timnas dunia hasil dari naturalisasi:
1. Sebastian Quintana (Qatar) dari Uruguay.
2. Roger Guerreiro (Polandia) dari Brasil.
3. Jeronimo Cacau (Jerman) dari Brasil.
4. Mauro Camoranesi (Italia) dari Argentina.
5. Deco de Souza (Portugal) dari Brasil.
6. Ismail Aissati (Marokko) dari Belanda.
7. Alessandro “Alex” Santos (Jepang) dari Brasil.
8. Agu Casmir (Singapura) dari Nigeria.
9. Daniel Bennett (Singapura) dari Inggris.
10. Aleksandar Djuric (Singapura) dari Serbia.
11. Antonio Naelson (Meksiko) dari Brasil.
12. Leandro Augusto (Meksiko) dari Brasil.
13. Lucas Ayala (Meksiko) dari Argentina.
14. Matias Vuoso (Meksiko) dari Argentina.
15. Mehmet Aurelio (Turki) dari Brasil.
16. Mert Nobre (Turki) dari Brasil.
17. Ambassa Guy Gerard (Hongkong) dari Guinea.
18. Cristiano Cordeiro (Hongkong) dari Brasil.
19. Marcos Senna (Spanyol) dari Brasil.
20. Santos (Vietnam) dari Brasil.
21. Francileudo dos Santos (Tunisia) dari Brasil.
22. dll.
Baca selengkapnya.....

Senin, 08 Juni 2009

BELAJAR DARI KASUS PRITA


Pendahuluan

Berawal dari keluhan mengenai pelayanan RS. Omni Internasional, Prita Mulyasari seorang ibu dua anak menghadapi permasalahan hukum. Keluhan tersebut tidak disampaikan melalui forum pembaca surat kabar, namun ia menggunakan media e-mail kepada rekan-rekannya sebagai curatan hatinya. Dalam keluhannya, ia menceritakan pengalamannya berobat dan kecurigaannya terhadap keterangan dokter yang memeriksanya. Sebagai seorang pengguna jasa pelayanan kesehatan, menurut hematnya sudah sepantasnyalah ia mendapat keterangan yang bisa memenuhi hasratnya untuk sekedar mengetahui permasalahan kesehatan yang dideritanya, karena satu-satunya ahli yang bisa menerangkan masalah itu hanya dokter, bukan dukun, bukan hansip, bahkan bukan juga perawat. Karena keterangan dokter dirasakan kurang memuaskan, iapun memberikan kritikan terhadap pelayanan tersebut kepada pihak rumah sakit, namun tidak ada tanggapan. Berbekal dari pengalaman itulah maka Prita kemudian bercerita melalui e-mail ke sepuluh rekannya, yang kemudian di forward ulang sehingga menjadi obrolan hangat di milis. Hal inilah yang kemudian membuat berang pihak RS. Omni Internasional sehingga mereka mengirimkan tanggapan/sanggahan dalam kolom surat pembaca Harian Kompas dan Media Indonesia, yang merasa nama baik dokter dan perusahaan (RS. Omni) tercemar dan akan memperkarakan masalah ini lewat jalur hukum. Berbekal dari masalah ini, pihak RS. Omni kemudian mengadukan hal ini ke kepolisian, dan sampailah masalah ini menjadi isu hangat berskala nasional karena ternyata muncul asumsi masyarakat akan adanya “permainan” antara jaksa dan pihak rumah sakit, keberadaan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, definisi pencemaran nama baik, dan pengekangan hak berpendapat dan berekspresi.

Penerapan Pasal pada Kasus Prita

Dalam menyikapi kasus ini, penyidik kepolisian menerapkan pasal 310 ayat (1) dan 311 ayat (1) KUHP. Bunyi pasal 310 ayat (1) yaitu: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Sedangkan pasal 311 ayat (1) berbunyi: “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka ia diancam melakukan fitnah dengan pidana paling lama empat tahun”. Pasal yang dipersangkakan kepada Prita ini mengandung maksud bahwa Prita secara sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (RS. Omni International, dr. Hengky, dan dr. Grace) dengan menuduhkan sesuatu hal (keterangan fiktif dokter tersebut tentang masalah kesehatannya serta buruknya pelayanan kesehatan RS. Omni), dilakukan supaya diketahui oleh khalayak ramai (mengirim e-mail ke teman temannya; bahkan tetap dipersangkakan apabila teman-temannya itu mem-forward e-mail tersebut ke milis sehingga umum akhirnya mengetahui?).
Berkas perkara Prita pun kemudian dikembalikan kejaksaan untuk dilengkapi dengan pasal 27 ayat (3) jo. pasal 45 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE (www.kompas.com 3 Juni 2009). Pasal dalam UU ITE inilah yang kemudian diperdebatkan oleh masyarakat sebagai pengebirian hak publik untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Pada pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Sedangkan pada pasal 45 ayat (1) berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Jadi, pasal 27 adalah pelaksanaan pencemaran nama baiknya, sedangkan pasal 45 adalah ketentuan pidananya.
Kejaksaan menilai bahwa Prita memenuhi unsur-unsur pada pasal 27 ayat (3) karena ia secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan (via e-mail) yang kemudian bisa diakses oleh umum (dapat diaksesnya e-mail tersebut karena dimasukkan dalam milis, padahal Prita melakukannya di dalam ranah pribadi/e-mail bukan ranah publik/milis karena “seseorang” yang merilis ulang keluhan tersebut sehingga menjadi konsumsi publik) yang berisi muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (menuduh pihak dokter RS.Omni memberikan diagnosa yang salah, sehingga saat akan merujuk ke dokter lain di rumah sakit yang lain dia kesulitan menyampaikan diagnosa yang tepat).
Pasal 27 UU ITE ini bukan berdiri sendiri, namun harus disandingkan dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Apabila Prita secara hukum tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik sebagaimana pasal 310 dan 311 KUHP maka gugurlah penggunaan pasal 27 UU ITE tersebut. Kemudian secara substansinya, apabila perbuatan Prita ini didasarkan pada kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri sebagaimana tercantum dalam pasal 310 ayat (3) KUHP, maka gugur pulalah penerapan pasal 310 ayat (1) dan (2) tersebut. Pembelaan diri maupun membela kepentingan umum ini perlu dilihat apakah Prita mengalami hal tersebut berdasarkan cerita orang lain atau peristiwa tersebut dialaminya sendiri? Kalau ia mengalaminya sendiri, maka wajarlah apabila ia menyampaikan kepada “teman-temannya” untuk berhati-hati apabila berobat di rumah sakit tersebut. Pada kenyataannya ia tidak menyebutkan bahwa “RS.Omni buruk dan tenaga dokternya penipu semua”, namun ia mengingatkan “untuk berhati-hati” (www.liputan6.com 3 Juni 2009). Kata mengingatkan bisa dikategorikan sebagai petunjuk untuk membuat orang lebih berhati-hati, bukan untuk menjelekkan. Jelas terlihat bahwa dalam e-mailnya tersebut, ia menyampaikan sebagai individu yang telah mendapatkan pelayanan buruk dari pihak rumah sakit, mungkin ia berpendapat bahwa sebagai pasien ia dapat dengan bodohnya diperdaya untuk mendapatkan pemasukan yang lebih dari sekedar konsultasi kepada dokter. Prita tentu memiliki pemikiran cerdas untuk mau mengetahui kondisi kesehatan dirinya (apakah ini dipengaruhi kebiasaannya selalu berselancar di dunia maya, sehingga situs-situs kesehatan ia jelajahi untuk mengetahui apa yang terjadi dalam tubuhnya, termasuk mengapa ia mengetahui bahwa trombosit dalam darahnya tidak sesuai dengan diagnosa).

Substansi Pencemaran Nama Baik

Belum ada definisi baku dalam bahasa hukum Indonesia mengenai pencemaran nama baik. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, dan libel yang diartikan sebagai pencemaran nama baik, fitnah (lisan), dan fitnah (tertulis). Slander adalah fitnah secara lisan, sedangkan libel adalah fitnah secara tertulis. Secara harfiah belum ada kata yang tepat untuk membedakan antara keduanya, selain media yang digunakan.
Meskipun masih menjadi perdebatan di antara pakar hukum, namun pasal penghinaan yang diatur dalam KUHP dianggap masih relevan dengan keadaan sekarang, dimana penghinaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna merendahkan martabat seseorang sehingga menjadi tidak terhormat dimata orang lain. KUHP kita yang merupakan warisan dari Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie (WvS) ternyata bersumber dari gagasan Code Penal (Perancis) yang juga dipengaruhi oleh tata hukum Romawi. Dengan demikian mengenai pasal penghinaan juga terkait erat dengan asal muasal libelli famosi (peradilan kasus penghinaan) di era Romawi Kuno yang diperkenalkan pada masa kepemimpinan Kaisar Augustinus (63 SM).
Penghinaan (beleediging) menurut R.Soesilo ada 6 bentuk, yaitu:
1. Penistaan dengan lisan (smaad).
2. Penistaan dengan tertulis (smaadschrift).
3. Memfitnah (laster).
4. Penghinaan ringan (eenvoudige beleediging).
5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht), dan
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking).
Semua jenis penghinaan tersebut diatas, hanya dapat dituntut apabila adanya pengaduan dari orang yang merasa dirinya dinista/dihina (delik aduan), kecuali apabila penghinaan tersebut dilakukan pada pegawai negeri yang tengah melaksanakan tugasnya secara sah (Soesilo 1996: 225).
Sedangkan menurut Eddy OS.Hiariej, terkait dengan delik pencemaran nama baik ada tigal hal yang berkaitan yaitu; Pertama, delik ini bersifat subyektif artinya perbuatan ini tergantung pada orang yang merasa dinistakan. Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran, artinya sudah dianggap sebagai pencemaran nama baik apabila sudah diketahui oleh umum. Dan Ketiga, dianggap sebagai melakukan pencemaran nama baik apabila menuduhkan hal-hal yang bukan faktanya (Kompas 5 Juni 2009).
Pada kasus Prita, penyidik kepolisian mengenakan pada tindak pidana penistaan (smaad) pasal 310 KUHP dan penistaan secara tertulis (smaadschrift) pasal 311 KUHP. Yang akhirnya menjadi suatu pertanyaan adalah sejauh mana persepsi orang terhadap kehormatan yang dinistakan tersebut, karena rasa kehormatan itu sendiri (eergevoel) berlainan antara orang satu dengan yang lain, dilihat dari sisi apa seseorang melakukan perbuatan tersebut. Apakah perbuatan tersebut dengan maksud untuk menyerang nama baik (objektif) ataukah menyerang kehormatan (subjektif). Kemudian ekses yang ditimbulkannya apakah orang tersebut tersinggung atau tidak, sungguh suatu hal yang lucu apabila seorang balita yang baru bisa membeo ketika menirukan orangtuanya marah, kemudian ia mengatakan “goblok kamu!” kepada orang yang menggendongnya dan orang-orang yang memperhatikan tingkah balita tersebut mentertawakan kejadian tadi, apakah si orang tersebut akan memperkarakan si balita?
Kemudian pemakaian kata-kata menistakan dapat dijadikan ukuran untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut dapat dipersangkakan pencemaran nama baik atau tidak. Karena lewat kata-kata yang membuat tersinggunglah dapat disyaratkan sebagai tujuan untuk menghina (oogmerk om te beleedigen) (Prodjodikoro 2003: 99). Jadi menurut saya, sepanjang kata-kata tersebut tidak bermaksud untuk menghinakan atau menyakiti hati orang, maka penistaan tidak termasuk didalamnya. Terlebih lagi apabila dalam pasal 310 ayat (3) dengan jelas tercantum bahwa tidak ada unsur penistaan atau penistaan dengan surat apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum (algeemen belang) atau untuk membela diri.
Apabila membaca isi e-mail Prita, saya berkesan tidak ada satupun pernyataan darinya yang bersifat mencemarkan nama baik dokter maupun pihak rumah sakit. Keluhan Prita sebagai pasien telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana ia memiliki hak sebagai seorang konsumen yang tidak puas atas pelayanan medis dari RS. Omni International untuk melakukan public complaint terhadap kegagalan lembaga penyedia pelayanan (medis) dalam melaksanakan fungsinya. Bahkan dengan adanya kasus ini, membuka kembali kebobrokan sistem legislasi dalam penyusunan UU ITE oleh lembaga legislatif kita (Pemerintah cq Depkominfo dan DPR). Pasal 27, 28 dan 45 UU ITE ini pernah diajukan judicial review namun ternyata ditolak oleh MK dengan alasan pasal ini untuk melindungi nama baik seseorang dari penistaan dengan cara apapun yang mengakibatkan runtuhnya harga diri (gevoel van eigen waarde) dimata umum. Pencantuman ketentuan Pasal 45 UU ITE tersebut pada masa pembahasan di DPR pada masa lalu adalah termasuk dalam klausul pasal-pasal ‘siluman’, artinya pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan mengelabui/menutup akses publik agar tidak menghambat pencantuman pasal-pasal pidana ITE yang pada hakikatnya berpeluang menjadi duplikasi dari pasal-pasal Haatzaai Artikelen (pasal penebar kebencian) dalam KUHP yang di masa penjajahan Belanda pernah dimanfaatkan sebagai instrumen represi terhadap rakyat jajahan Hindia Belanda (Tjandra 2009).

Yang Harus Dipelajari Dari Kasus Prita

Kasus Prita yang bermuara dari keluhan pasien terhadap pelayanan dokter maupun rumah sakit akhirnya menjadi isu hangat berskala nasional. Ribuan simpati untuk ibu muda ini berdatangan terutamanya dari komunitas blogger, jurnalis, politisi, media massa luar negeri, sampai rakyat biasa. Pada garis besarnya mereka semua menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pihak RS.Omni International. Mengapa keluhan via e-mail bisa mendorongnya masuk ke dalam sel, seberapa kuatkah persangkaan yang diterapkan padanya sehingga akhirnya Prita bisa disebut sekelas dengan teroris. Esensi dari UU ITE ini tentunya ingin mengajak para pengguna dunia maya untuk lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu serta tidak gampang mengumbar cercaan kepada seseorang atau badan. Mengeluarkan kritik atau opini sah-sah saja dilakukan asal sesuai dengan etika jurnalis yang benar, tidak asal mengkritik namun tidak memberi solusi/saran. Kritik yang dikeluarkan hendaknya bukanlah fiktif, namun nyata yang terjadi/dialami. Memberikan informasi atau kritik ini tidak ubahnya seperti orasi yang diberikan kebebasan untuk disampaikan, namun bukan bersifat menyerang tanpa bukti yang jelas. Seharusnya keberadaan UU ITE ini bukan sebagai pengebirian hak seseorang untuk memberangus demokrasi dalam alam keterbukaan informasi. Di saat negara memberi keterbukaan informasi bagi para pengguna elektronik, ternyata di sisi lain para pengguna tersebut diancam suatu hukuman yang memberi bias pada aplikasi ketentuan UU itu sendiri. Jangan sampai timbul dugaan bahwa pasal pencemaran nama baik ini diperuntukkan bagi penguasa sebagai instrument represif dalam menekan kaum yang lemah. Sekalipun memang terbukti atau memenuhi unsur pencemaran nama baik, setidaknya diperhatikan dahulu substansi dari permasalahan tersebut. Apabila hal tersebut merupakan berita bohong atau fitnah, barulah ia dapat dikenakan pasal ini. Namun apabila hal tersebut ia alami langsung, dengan orang yang sama persis dengan keterangan, locus delicti-nya ada, dan ia menggunakan pembanding (bisa informasi dari tepat lain, keterangan ahli lain, atau rujukan rumah sakit lain), maka segala informasinya merupakan sarana pemberitahuan kepada khalayak untuk tidak terjebak dalam kasus yang sama. Apabila ini yang terjadi, maka bukanlah penistaan yang Prita lakukan. Justru informasi ini menjadi kritik membangun bagi RS. Omni International untuk meningkatkan lagi pelayanan mereka terhadap pasien, serta meningkatkan kembali mutu serta profesionalitas para dokter dan perawat untuk tidak semata mengejar materi sebagai tujuan perusahaan namun terlebih pada tujuan mulia jasa kedokteran untuk memberi pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi.
Dari kasus ini bisa ditarik suatu pelajaran, apakah pencemaran nama baik masih relevan digunakan dikala sebagian negara demokratis telah meninggalkan tindak pidana ini dan memasukkannya dalam ranah hukum perdata. Disana, pencemaran nama baik sudah bukan hal yang menarik lagi bagi para penuntut umum karena tindak pidana ini menuntut adanya pembuktian bahwa hal yang dituduhkan adalah salah, dan bukti bahwa apa yang dituduhkan dilakukan untuk menyakiti orang lain. Sehingga sangat sulit bagi penuntut umum untuk membuktikannya, karena saat mereka tahu nama baiknya dicemarkan seketika itu juga mereka dapat merubah kejadian yang dikritik tersebut untuk membuktikan bahwa hal tersebut salah (Sie Infokum 2008).


DAFTAR ACUAN:

Hiariej, Eddy OS. 2009. Memahami Pencemaran Nama Baik. Kompas 5 Juni.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Prodjodikoro, Wirdjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Tjandra, W.Riawan. 2009. Analisis: Tragedi Prita. Kedaulatan Rakyat 7 Juni.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum. 2008. Pencemaran Nama Baik dan Rehabilitasi Nama Baik. Diunduh dari www.jdih.bpk.go.id pada tanggal 7 Juni 2009.
Baca selengkapnya.....

Sabtu, 06 Juni 2009

MENELAAH TIGA TAHUN PERJALANAN PERPOLISIAN MASYARAKAT


Pendahuluan

Polisi bukanlah satu-satunya alat negara yang bertanggungjawab atas pemeliharaan ketertiban, ada banyak pihak-pihak yang terlibat yang memiliki peranan dan tanggungjawab serta kekuasaan yang berbeda pula. Ketertiban sudah bukan menjadi isu milik Polri saja, walaupun dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia diatur bahwa lembaga Polri sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketertiban berkaitan dengan konsep keselamatan komunitas masyarakat, dengan kata lain ketertiban adalah konsep yang dipakai di “lapangan” (Osse 2006: 56). Meskipun setiap orang memiliki hak untuk merasa aman (tidak diganggu oleh bahaya atau rasa takut; selamat, terlindungi), namun itu sangat sulit untuk dijamin oleh kepolisian sekalipun, mengingat banyaknya faktor yang terlibat dalam memberikan keamanan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari internal polisi maupun eksternal.
Faktor internal polisi bisa berupa minimnya anggaran untuk pemeliharaan ketertiban masyarakat secara keseluruhan, kuantitas personel polisi yang belum sebanding dengan pertumbuhan masyarakat, sistem gaji yang belum memadai anggota polisi sehingga berpengaruh pada motivasi kerja, maupun berbagai penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi. Sedangkan faktor eksternal antara lain ketidakpedulian masyarakat untuk menjaga keamanan diri, pihak-pihak luar yang ingin ikut dalam ketertiban masyarakat namun mengacuhkan hukum, dan ketidakpatuhan masyarakat akan hukum. Karena berbagai faktor tersebut, maka peran polisi dalam menjalankan fungsi menjaga ketertiban masyarakat akhirnya menempatkan dirinya sebatas penjaga status-quo (Rahardjo 2007: 31). Dalam artian, polisi tidak memiliki pilihan lain selain menerima laporan dan menyikapi laporan dengan tindakan atau prosedur yang telah ditetapkan. Kalau laporan tersebut sudah ditindaklanjuti, maka selesailah sudah pelayanan polisi terhadap masyarakat. Padahal esensi dari menjaga ketertiban adalah bagaimana polisi tersebut dapat mencegah kejahatan agar ekses yang telah ditimbulkan akibat proses kejahatan itu tidak terjadi pada masyarakat yang belum mengalaminya. Corak ini yang kemudian menimbulkan friksi antara pola kepolisian tradisional dan pola kepolisian kontemporer dewasa ini.
Berikut disampaikan beberapa poin yang menjadi friksi antara pola kepolisian tradisional dan kepolisian kontemporer.
Pola kepolisian tradisional:

1. Polisi adalah badan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum (enforcement-oriented policing).
2. Polisi bertugas menyelesaikan setiap tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat (fire brigade policing).
3. Setiap peristiwa kejahatan merupakan ranah kepolisian.
4. Polisi sebatas menerima dan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat, setelah itu semua ditindaklanjuti maka selesailah tugas polisi (dial-a-cop policing).
5. Hakikat pertanggungjawaban polisi sangat sentralistik, dimana semua tindakan polisi diatur oleh hukum, segala petunjuk teknis kepolisian, dan aturan-aturan yang diberlakukan baik oleh pemerintah maupun oleh kepolisian sendiri.
6. Pola perpolisian bersifat reaktif (reactive policing) dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan ketertiban.
7. Polisi menetapkan prioritas pemolisian tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, semua atas dasar petunjuk pemerintah/komando (paramilitary policing).

Pola kepolisian kontemporer:

1. Selain polisi, masyarakat diberikan peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan ketertiban. Sedangkan penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi.
2. Polisi bertugas melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan itu sendiri.
3. Bukan hanya setiap peristiwa kejahatan, namun semua masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian publik. Bisa saja polisi menangani hewan peliharaan yang hilang, atau menyelamatkan seekor kucing diatas pohon.
4. Setiap laporan masyarakat merupakan kesempatan besar bagi kepolisian untuk meneliti serta membantu pemecahan masalah tersebut, jadi ada proses lanjut setelah laporan tersebut diterima oleh pihak polisi.
5. Selain bertanggungjawab terhadap hukum, polisi juga berpertanggungjawab terhadap masyarakat.
6. Pola perpolisian berorientasikan pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegaiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pelayanan dan jasa-jasa publik (public service policing).
7. Pemolisian dengan mengandalkan pada sumberdaya setempat (resource based policing), serta mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mengimplementasikan melalui program-program yang mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing) (Chrysnanda 2004: 101).
Dengan munculnya era reformasi di negeri ini, pada akhirnya Polri kemudian berupaya merubah corak kepolisian yang otoriter, menjadi pemberdayaan (empowering) masyarakat dengan keyakinan bahwa hanya dengan kerjasama polisi dan masyarakat dapat dicapai “quality of life” dari masyarakat. Dengan korabolasi ini, diharapkan dapat memecahkan permasalahan kejahatan, rasa tidak aman, dan kerusuhan (Djamin 2004: 92). Pemberdayaan masyarakat inilah yang kemudian melahirkan sebuah konsep mengenai Perpolisian Masyarakat (Community Policing) atau disingkat Polmas. Polmas adalah sebuah gaya pemolisian yang mendekatkan polisi pada masyarakat yang dilayaninya (Rahardjo 2004: 85). Disini, masyarakat bukan lagi dianggap sebagai obyek pemolisian, tetapi merupakan pelanggan (costumer) dari layanan jasa kepolisian. Sebagai pelanggan, dalam konsep bisnis, maka ia adalah raja. Seorang raja harus lebih dilayani daripada yang lainnya.

Aktualisasi Konsep Polmas Saat Ini

Tiga tahun sudah perjalanan Polmas di Indonesia sejak berlakunya Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Polmas, dimana seluruh Polda telah melakukan penjabaran sesuai kondisi wilayah masing-masing. Namun demikian, pada awal Agustus 2007 silam, para Kapolda menerima hasil evaluasi pelaksanaan Polmas dari Kapolri. Dalam paparannya, Kapolri menangkap kesan belum optimalnya penerapan Polmas oleh seluruh Polda dan jajarannya di masyarakat. Padahal dalam Skep tersebut tercantum secara jelas arah konsep ini dalam kurun waktu empat tahun harus sudah mencapai titik optimal.
Arah konsep ini dimulai dari tahun 2006 dimana dimulai Tahap Sosialisasi. Didalam tahapan ini sudah jelas apa-apa saja yang harus dipersiapkan oleh Polri untuk mensukseskan program Polmas. Mulai dari sosialisasi falsafah, strategi, prinsip-prinsip dan program-program Polmas di lingkungan Polri dan masyarakat; melatih tenaga pelatih Polmas; menyiapkan tenaga Polmas; mengembangkan program Polmas di daerah-daerah secara prioritas; sampai membina kemitraan dengan pihak terkait. Namun seperti yang terjadi di sebagian wilayah di Indonesia, sampai tahun 2007 ternyata masih saja Mabes Polri melakukan sosialisasi ke Polda-Polda. Dimana seperti di Polda Sultra saja (tempat saya berdinas sebelum masuk KIK), sampai pertengahan tahun 2007 masih ada tim dari Mabes Polri melakukan sosialisasi Polmas. Padahal seharusnya tahun 2007 dijadikan sebagai Tahap Pengembangan. Tahapan ini mencakup peningkatan hasil yang disiapkan tahun sebelumnya; meningkatkan jumlah petugas Polmas; pengembangan kawasan Polmas berkelanjutan; dan evaluasi program-program yang telah dilaksanakan tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 saya menjabat sebagai Kasubbag Mutjab Bag Binkar Ropers Polda Sultra, saya masih melakukan pendataan berapa jumlah anggota Polmas yang telah diangkat di tiap-tiap Polres. Data tersebut saya ”jemput bola” pada tiap-tiap Polres, karena data anggota Polmas di Biro Binamitra sendiri tidak valid! Bisa dibayangkan, pada tingkat Polda sendiri tidak ada data anggota Polmas yang up-to-date. Bahkan laporan per-triwulan masing-masing anggota Polmas tidak ada disitu. Sebelum itu, medio 11 Juli 2007 ketika saya menjabat sebagai Kabag Ops di Polres Kolaka diadakan Gelar Opsnal dan Bin Semester I (TW II). Saya mengkritik laporan Kabag Binamitra bahwa keberhasilan melaksanakan kegiatan Polmas dilihat dari berhasil dibangunnya FKPM di Ds. Sabilambo Kec.Kolaka Kab.Kolaka yang telah diresmikan oleh Kapolda Sultra saat itu (alm) Brigjen Pol. Drs. Anang Yuwono S., dan rencana akan didirikannya bangunan-bangunan baru hasil sumbangan masyarakat untuk dibangun FKPM. Ini berarti konsep Polmas masih diterima oleh daerah sebatas bagaimana mendirikan bangunan untuk FKPM saja (mungkin melihat pilot project Polres Bekasi), sedangkan esensi dari Polmas tersebut untuk bagaimana memecahkan masalah masyarakat maupun pencegahan kejahatan dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat tidak diperhatikan. Dari situ saya menangkap kesan bahwa fungsi pelaksana konsep Polmas itu sendiri di satu Polres saja belum memahami makna yang terkandung dari program ini, bagaimana dengan polres yang lain?
Memang, apabila dilihat secara global banyak daerah yang melaporkan keberhasilan Polmas di daerahnya. Seperti di Yogyakarta dengan pola jimpitan pada Polsek yang rawan tindak kriminalitas, atau di Bekasi yang mengadopsi total konsep Koban dan Chuzaisho-nya Jepang dengan nama BKPM (Balai Komunikasi Polisi dan Masyarakat), lalu di NTB dengan pola awig-awig, dan di Bali dengan pola pemberdayaan pecalang. Namun apabila ditinjau dari sistem pelaporan tiap-tiap Polda, keberhasilan Polmas di daerahnya masih sebatas bagaimana Polda tersebut membangun FKPM-FKPM di desa-desa. Bagaimana masyarakat di daerah tersebut mau melepaskan tanahnya untuk pembangunan gedung FKPM. Sedangkan secara substansinya, Polri belum mampu untuk membantu melakukan pemecahan masalah.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan program Polmas di daerah, sebagai berikut:
1. Faktor Eksternal:
a. Masih adanya sikap skeptis masyarakat terhadap reformasi Polri, dalam merubah paradigma Polri dari polisi yang militeristik menjadi polisi sipil.
b. Masih kuatnya stigma masyarakat terhadap polisi bahwa menyelesaikan masalah dengan polisi membutuhkan dana dan waktu, proses terbelit-belit dan bertele-tele.
c. Masih kuatnya budaya paternalistik dan permitif masyarakat terhadap polisi.
d. Kurangnya dukungan Pemerintah Daerah dalam menunjang konsep Polmas.

2. Faktor Internal:
a. Polisi masih menganggap masyarakat sebagai obyek, bukan sebagai mitra.
b. Polisi susah untuk dikontrol oleh masyarakat, apalagi yang menyangkut masalah anggaran.
c. Polisi masih belum siap untuk menerima kritik dari masyarakat.
d. Masih adanya anggota Polisi yang bertindak kurang terpuji pada masyarakat.
e. Terbatasnya dukungan operasional Polri untuk melaksanakan kegiatan Polmas.
f. Terbatasnya jumlah polisi untuk menjadi Bintara Polmas, apalagi dengan menumpuknya personel polisi pada ibukota pemerintahan (kota, kabupaten, atau propinsi), dan tidak maunya anggota polisi untuk tinggal di desa-desa.
g. Belum semua Kasatwil memahami konsep dan strategi Polmas, sehingga tidak optimal dalam menyelenggarakan konsep Polmas di wilayahnya masing-masing. Ini dibuktikan dengan masihnya Kasatwil menilai keberhasilan Polmas dilihat dari berdirinya bangunan untuk FKPM.
h. Kurang terlatihnya petugas Polmas, karena tenaga instrukturnya pun belum memahami konsep Polmas secara menyeluruh.
i. Belum adanya sistem reward and punishment serta promosi yang mencerminkan tujuan-tujuan pemolisian masyarakat. Sehingga ada anggapan, apabila ia berhasil membina masyarakat yang ada bukannya ia mendapatkan penghargaan tapi ia akan dipertahankan lama di daerah tersebut.
j. Belum cukupnya imbalan yang diterima petugas Polmas untuk usaha-usaha mereka melakukan pemolisian masyarakat.
k. Masih dianalogikannya petugas Polmas sebagai ”jabatan buangan” yang kurang mendapat tempat/kurang elit ketimbang fungsi lainnya.
l. Tidak adanya keberlanjutan. Apabila Pimpinan berhasil menerapkan konsep Polmas, apabila diadakan pergantian bukannya meneruskan keberhasilan tersebut tetapi malah memulai eksperimen yang berbeda. Maksudnya agar pejabat baru lebih terpantau oleh pusat, sehingga proses promosi akan semakin cepat.

Ambiguitas Petunjuk Kapolri Pada Program Polmas

Pada bagian ini saya akan membahas mengenai Polmas ditinjau dari implementasi Skep Kapolri dan Peraturan Kapolri. Bahwa Surat Keputusan (Skep) merupakan suatu implementasi dari kebijakan Kapolri sebagai tuntunan untuk melaksanakan suatu program tertentu yang diluncurkan. Sebagai suatu kebijakan, maka Skep dapat merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi Polri, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, anggaran, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. Sedangkan Peraturan secara filosofis adalah norma atau tata nilai yang harus ditaati oleh setiap personel dalam lingkup organisasi Polri. Apabila Kapolri ingin menuangkan suatu kebijakan dalam suatu Peraturan Kapolri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian pendelegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan diatasnya, agar tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan. Prinsip tersebut dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Kapolri, disamping asas-asas lain yaitu: 1) asas tujuan yang jelas; 2) asas organ/lembaga yang tepat; 3) asas perlunya peraturan; 4) asas dapat dilaksanakan; 5) asas kepastian hukum; dan 6) asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (Suhariyono 2004). Dengan demikian Skep sifatnya adalah akan dan bisa dikerjakan namun tidak mengikat, sedangkan peraturan adalah harus dilaksanakan.
Dalam penerapan Polmas, ada sedikit ambiguitas antara Skep dan Perkap yang telah dikeluarkan. Beberapa diantaranya adalah:
1. Model Polmas. Pada Perkap No.7/2008, disebutkan bahwa model yang telah ditetapkan sebagai pranata sosial adalah jagabaya, jagatirta, pecalang, dan pela gandong (pasal 16). Berarti semua daerah di Indonesia harus menyesuaikan dengan ketentuan adat dimaksud, padahal Indonesia terkenal karena kemajemukan budaya dan masyarakatnya sehingga antara daerah satu dengan daerah yang lain tidak sama pola/model pemolisiannya. Sedangkan dalam Skep/737/X/2005 model Polmas cuma model wilayah dan model kawasan, dimana pembentukannya dilakukan atas inisiatif bersama (polisi dan masyarakat). Kemudian adanya Model B54 (Da’i Kamtibmas) dapat menimbulkan fanatisme berlebih pada suatu keyakinan tertentu, kenapa tidak ada Pastor/Pendeta Kamtibmas, atau Biksu Kamtibmas? (pasal 17).

2. Adopsi Model Polmas Luar Negeri. Bahwa konsep Polmas disesuaikan ala Indonesia, konsep luar negeri hanya sebatas pembanding saja untuk merujuk pada pola penerapan Polmas di Indonesia. Jadi disini, pola Polmas luar negeri bukan sebagai acuan untuk diikuti oleh seluruh Polda, sedangkan dalam Perkap No.7/2008 disebutkan bahwa model Polmas diukur melalui pembentukan FKPM dan BKPM, pengadopsian pola Jepang (Koban dan Chuzaisho), serta pola Amerika Serikat dan Kanada (Hots Spot Area dan Neighborhood Watch) (pasal 18). Berarti seluruh Polda harus mengikuti pola tersebut, padahal belum tentu sesuai dengan karakteristik daerahnya.

3. Operasionalisasi Polmas. Pada Skep/737/X/2005 bahwa dari segi manajerial yang bertanggungjawab atas keberhasilan Polmas dibebankan kepada Kapolres dan Kapolsek. Sedangkan pada Perkap No.7/2008, manajerial dibebankan kepada pejabat Polri di Mabes Polri atau di Satwil, para pengendali/supervisor Polmas, dan petugas pelaksana Polmas (pasal 24 & 25).

4. Desentralisasi Wewenang. Pada Perkap No.7/2008 jelas tergambar adanya sentralisasi kebijakan penerapan Polmas dimana pembina Polmas/manajer tingkat pusat turut berperan didalamnya (pasal 27). Sedangkan pada Skep/737/X/2005 ditekankan masalah Desentralisasi dan Otonomisasi yang meliputi pemberian tanggungjawab dan otoritas kepada pejabat setempat untuk menyelesaikan permasalahan sekaligus menganalisa dan mengevaluasi untuk kemudian menerapkan strategi Polmas disesuaikan karakteristik daerah masing-masing.

5. Pengorganisasian. Pada Perkap No.7/2008 disebutkan bahwa fungsi pembinaan Polmas pada tingkat pusat dibawah tanggungjawab Deops Kapolri yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Karo Bimmas Deops Polri. Untuk tingkat Polda dibawah tanggungjawab Kapolda yang pelaksanaanya dikoordinasikan oleh Karo Binamitra Polda. Di tingkat Polres dibawah tanggungjawab Kapolres yang pelaksanaannya dikoordinasikan Kabag Binamitra Polres. Terakhir, untuk tingkat Polsek dibawah tanggungjawab dan dilaksanakan oleh Kapolsek (pasal 47). Ini sangat berbeda dengan Skep/737/X/2005 bahwa fungsi pembinaan Polmas harus distrukturkan dalam suatu wadah organisasi tersendiri yang dapat dihimpun bersama fungsi-fungsi terkait, mulai dari Mabes Polri sampai sekurang-kurangnya pada tingkat Polres.

6. Analisa dan Evaluasi Polmas. Pada Perkap No.7/2008 disebutkan bahwa sarana untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan proses analisis dari satuan terbawah (Polsek) sampai Pusat (Mabes Polri) (pasal 54). Sedangkan dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program penuh dari tingkat Polsek sampai Polres dengan Polda hanya bertindak sebagai pengawas kegiatan saja, tidak sampai ke tingkat Mabes Polri. Karena memang yang berhubungan dengan masyarakat adalah kepolisian tingkat daerah (Polres) dan desa (Polsek), fungsi Polda hanya sebatas sebagai konsultan teknik saja tidak terlibat langsung.

7. Pemantauan. Dalam Perkap No.7/2008 terkesan jelas bahwa pemantauan hanya berasal dari pembuatan laporan, analisa data dan survei masyarakat saja terhadap petugas Polmas (pasal 60). Sedangkan dalam Skep/737/X/2005, bahwa pemantauan didasari oleh hasil koordinasi antara FKPM dengan Polsek, pembuatan laporan berkala dari petugas Polmas kepada Polsek, serta adanya evaluasi dari Polres/Polsek kepada FKPM itu sendiri menyangkut sinerginya dalam membangun kemitraan. Jadi pemantauan bukan hanya petugas Polmas saja, namun masyarakat yang terlibat pun turut dipantau sehingga dapat dianalisa korabolasi antara keduanya apakah berjalan optimal atau tidak.

Beberapa Pemikiran Dalam Meningkatkan Penerapan Polmas

Ada beberapa perbedaan persepsi tiap-tiap Polda dalam memandang Polmas sebagai konsep dan strategi. Berbagai program pendekatan dengan masyarakat seperti Polantas Goes To Campus, SIM Corner, Samsat Drive Thru, Papan nama polisi lingkungan, Ojek Kamtibmas, dan lain-lain sering dianggap sebagai impelementasi dari Polmas. Padahal itu masih sebatas pada program pemolisian masyarakat sebagai upaya pencerahan pada masyarakat terhadap masalah-masalah kepolisian. Sedangkan konsep Polmas (Community Policing) sudah lebih fokus pada upaya pencerahan masalah kepolisian terhadap komunitas-komunitas masyarakat, semisal komunitas masyarakat petani, nelayan, pesantren, kampus, dan lain-lain yang cara dan metodenya akan berbeda-beda karena problem yang dihadapi setiap komunitas juga tidak sama. Ketidaktepatan pemahaman konsep Polmas sekarang ini berdampak negatif pada tataran skala sosial makro, dimana masyarakat menjadi sangat bergantung pada polisi. Kalau dalam FKPM tidak ada polisi yang mengawasi, maka masyarakat yang ditunjuk sebagai staf FKPM pun menghilang. Atau kalau tidak dicek patroli malam Samapta, maka petugas ronda malam tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Karena itu Polri harus merumuskan Polmas secara tepat dengan bagaimana upayanya dalam menciptakan jaringan-jaringan yang luas di masyarakat, bukan sekedar menyadarkan masyarakat untuk memiliki daya cegah dan daya tangkal terhadap gangguan kamtibmas dan menjadi partner dari polisi saja, tetapi juga kesadaran terhadap wawasan kamtibmas dalam melakukan aktivitasnya. Polmas agar dirancang pola kolektifitasnya dalam memperluas jaringan kinerja dan sinergi kepolisian pada komunitas-komunitas masyarakat. Misalnya, konsep tata ruang perkotaan atau rencana tata kota bisa dimasukkan program Polmas. Atau mengembalikan kembali desa sebagai basis deteksi dini, mungkin akan lebih efektif dan efisien karena Polmas sejak dini ada di dalamnya dan setiap warga masyarakat adalah merupakan mitra dan informan polisi (Tabah 2005: 18 – 19).
Untuk itu ada beberapa pemikiran saya ke depan untuk meningkatkan penerapan kebijakan dan strategi Polmas, antara lain:
1. Strategi Polmas.
Bahwa tujuan strategi Polmas adalah membangun kemitraan dengan masyarakat untuk membentuk hubungan yang lebih dekat dengan komunitas guna mendapat akses informasi dari masyarakat agar diambil langkah pengidentifikasian akar permasalahan, menganalisa, menetapkan prioritas tindakan, guna mewujudkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk pencegahan dan pendeteksian kejahatan, pengurangan rasa takut akan kejahatan, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Sasaran strategi Polmas meliputi:
a. meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi permasalahan masyarakat, serta melibatkan semua elemen komunitas dalam pencarian solusi untuk permasalahan tersebut.
b. menciptakan hubungan kemasyarakatan yang lebih baik untuk pencegahan kejahatan.
c. menempa kemitraan strategis antara polisi dan masyarakat, dengan adanya pengambilan keputusan yang dilakukan bersama-sama oleh polisi dan masyarakat.
d. meningkatkan pelayanan polisi kepada masyarakat.
e. mengembangkan komunikasi aktif antara polisi dan masyarakat dalam menciptakan kamtibmas di lingkungannya masing-masing.
f. mampu mengorganisasikan sumberdaya secara optimal untuk kepentingan masyarakat dalam menjaga ketertiban dan keamanan di lingkungannya.
g. meningkatkan kesadaran masyarakat akan hukum.

2. Kebijakan Penerapan Polmas.
Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan penerapan Polmas. Kebijakan penerapan Polmas menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Sebagai suatu pendekatan yang bersifat komprehensif maka kebijakan penerapan Polmas menyangkut bidang-bidang organisasi/kelembagaan, manajemen sumberdaya manusia, manajemen logistik, dan manajemen anggaran/keuangan serta manajemen operasional Polri.
a. Dalam bidang organisasi/kelembagaan, kebijakan yang akan digariskan meliputi:
1) Sebagai fungsi pembinaan, struktur Polmas tidak perlu dibuatkan struktur organisasi baru tapi lebih kepada perampingan dengan menempatkan pada satu struktur organisasi Polri yang tepat dalam membina kemasyarakatan mulai tingkat Mabes, Polda, Polres, sampai Polsek.
2) Polmas memerlukan adanya desentralisasi pengambilan keputusan tentang prioritas-prioritas serta sumberdaya-sumberdaya di lingkungannya masing-masing.
3) Polmas membutuhkan penyusunan strategi dari bawah ke atas (bottom up) dan bukan dari atas ke bawah (top-down). Para petugas Polmas merupakan kontak pertama pada masyarakat, informasi yang mereka peroleh harus memandu pengambilan keputusan, bukan sebaliknya.
4) Penerapan Polmas membutuhkan komitmen, setiap Pimpinan baru harus bersedia meneruskan kebijakan yang telah dimulai pendahulunya dan bukan memulai lagi eksperimen yang berbeda.
5) Adanya kemauan untuk bekerjasama dengan lingkungan di luar kepolisian.
b. Dalam bidang manajemen sumberdaya manusia, kebijakan yang akan digariskan meliputi:
1) Pelatihan petugas Polmas dengan baik dan berkualitas untuk terlibat dalam masyarakat serta menilai kebutuhan-kebutuhan mereka dan secara obyektif menterjemahkan menjadi upaya-upaya organisasi.
2) Harus ada sistem reward and punishment dan promosi yang mencerminkan tujuan Polmas. Bagi petugas Polmas yang mampu mengimplementasikan program Polmas dan menumbuhkembangkan keaktifan masyarakat dalam memelihara kamtibmas agar diberikan jenjang karir yang sesuai.
3) Memberi kesempatan pada pemuda-pemuda desa untuk menjadi anggota Polri, dan mengembalikan kembali ke desa mereka setelah resmi menjadi anggota Polri. Maksudnya untuk menjadi pembina kamtibmas di lingkungannya masing-masing (local boy for local job).
4) Penunjukan personel untuk menjadi Bintara Polmas lebih menitikberatkan pada pengalaman tugas sebelumnya serta memenuhi syarat dari aspek moral/kepribadian untuk mendukung misinya sebagai anggota Polmas.
c. Dalam bidang manajemen logistik program pengadaan materi Polri harus secara bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan peralatan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan misi petugas Polmas sehingga petugas Polmas pada setiap desa/kelurahan diharapkan dapat dilengkapi dengan alat transportasi dan alat komunikasi.
d. Dalam bidang manajemen/anggaran, kebijakan yang akan digariskan meliputi:
1) Memberi anggaran operasional bagi pelaksanaan Polmas di daerah-daerah disesuaikan dengan tingkat kesulitan pembinaan kamtibmasnya. Anggaran operasional ini hendaknya diawasi, dipantau, dan diarahkan oleh Satwil terkait untuk menghindari penyelewengan anggaran.
2) Memberi tunjangan jabatan pada setiap anggota Polmas disesuaikan dengan keaktifan anggota tersebut dalam turut membangun kemitraan dengan masyarakat sekitarnya, dan dibuktikan dengan laporan hasil pelaksanaan tugas yang akuntabel, jujur, dan transparan.
3) Memberikan keleluasaan pada Satwil untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah mengenai operasionalisasi Polmas, sehingga program Polmas turut menjadi salah satu program Pemda yang didukung anggaran daerah bersangkutan.
e. Dalam bidang operasional, kebijakan yang akan digariskan meliputi:
1) Penerapan Polmas disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing, dimana kebijakan yang diambil disesuaikan dengan pola pemolisian setempat tanpa harus menunggu komando dari pusat.
2) Perlunya pemahaman bahwa Polmas membutuhkan adanya polisi yang profesional, terlaitih dengan baik, memiliki pemahaman penuh tentang peran mereka di masyarakat serta mampu menangani kekuasaan diskresi mereka yang makin besar dengan cara yang bertanggungjawab.
3) Menegaskan kembali bahwa Polmas merupakan falsafah dalam mengubah persepsi tentang peranan polisi dalam masyarakat, oleh karenanya membutuhkan perubahan fundamental baik dalam tubuh Polri maupun diluar dalam kerjasamanya dengan instansi terkait dan masyarakat pada umumnya. Perubahan ini termasuk memperbaiki mutu pelayanan, performance, dan perilaku polisi.


DAFTAR ACUAN

Ar, Suhariyono. 2004. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Artikel diunduh dari www.djpp.depkumham.go.id pada tanggal 5 Mei 2009.
Chrysnanda, DL. 2004. Pemolisian Komuniti Dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, ed. Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
Djamin, Awaloedin. 2004. Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, ed. Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
Osse, Anneke. 2006. Memahami Kepolisian. Jakarta: Rinam Antartika.
Rahardjo, Satjipto. 2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) di Indonesia. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, ed. Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
_______________. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT.Kompas-Gramedia.
Tabah, Anton. 2005. Community Policing. Majalah Jagratara, 1 Juli, 18 – 19.
Baca selengkapnya.....