Jumat, 12 Juni 2009

NATURALISASI, ANTARA URGENSI DAN PRESTISE SEPAKBOLA NASIONAL


Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu berkembang wacana untuk merekrut beberapa pemuda asal Brasil untuk dijadikan warganegara Indonesia. Tujuan dari perekrutan ini adalah sebagai alih teknologi sepakbola agar Indonesia bisa berkiprah di kancah persepakbolaan dunia. Namun apa lacur, wacana ini menuai protes dari berbagai kalangan karena ternyata potensi pemain asal Brasil tersebut jauh dari kemampuan rata-rata pesepakbola nasional kita. Kini wacana tersebut berkembang lagi, namun tujuannya adalah pesepakbola asing yang memiliki hubungan darah dengan Indonesia. Tujuan kemudian mengarah pada pemain-pemain asal Belanda yang memang secara historis memiliki hubungan darah dengan Indonesia (Suriname-Jawa dan Maluku).
Perekrutan ini sebenarnya bukan tabu bagi sepakbola dunia semenjak FIFA mengijinkan federasi negara untuk mengalihstatus kewarganegaraan asal pemain yang bersangkutan belum memperkuat tim nasional senior. Kebijakan ini dimanfaatkan oleh beberapa negara untuk kemudian menaturalisasi beberapa “pemain asing” untuk menjadi warganegara mereka. Ternyata bukan hanya negara-negara yang dianggap semenjana saja yang menerapkan kebijakan ini, namun tak urung beberapa negara kuat semacam Italia, Jerman, atau Belanda pun memanfaatkan aturan FIFA tersebut. Sebut saja Camoranesi (asal Argentina) yang berganti kewarganegaraan menjadi Italia, dan yang baru ini adalah naturalisasi Jeronimo Cacau (asal Brasil) menjadi warganegara Jerman. Untuk kawasan Asia Tenggara yang sudah melakukan naturalisasi bahkan secara ekstrem dilakukan adalah Singapura. Menyadari mereka tidak bisa berkiprah banyak di ajang sepakbola internasional, maka mereka pun merekrut beberapa warganegara asing untuk menjadi WN Singapura. Sebut saja Agu Casmir dan Precious Emejuereye (asal Nigeria), Aleksandar Djuric (asal Serbia), atau Daniel Bennett (asal Inggris). Alhasil, Singapura kini menjelma menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Asia Tenggara dan Asia.

Legalitas Naturalisasi

Dalam hukum kewarganegaraan di Indonesia, dikenal dua asas memperoleh kewarganegaraan yaitu asas tempat kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis). Menurut ius soli, seseorang yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warganegara. Sedangkan menurut ius sanguinis, seseorang adalah ia menjadi warganegara karena ia dilahirkan dari orangtua warganegara. Namun tidak semua negara menggunakan asas ini, karena ada juga yang menerapkan dwikenegaraan (dilihat dari salah satu turunan warganegara, bisa dilihat dari pihak ayah atau ibu). Atau ada juga negara yang memiliki kesamaan keturunan dengan negara lain, seperti Italia dan Argentina karena banyaknya keturunan negara tersebut yang pindah ke neeegara yang serumpun (Harsono 1992: 3). Dalam hal memperoleh kewarganegaraanpun dikenal adanya stelsel aktif dan stelsel pasif. Dalam stelsel aktif, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan dengan melakukan perbuatan hukum tertentu. Sedangkan stelsel pasif, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan tanpa melakukan perbuatan hukum tertentu (Hadidjojo 1954: 39). Indonesia, sesuai ketentuan pada UU No. 62 Tahun 1958 pada prinsipnya menggunakan asas ius sanguinis, namun asas ius soli juga tidak menjadi tabu untuk dipakai sebagai aturan (lihat pasal 1 huruf f, g, h, dan i). Dalam UU ini juga dikenal salah satu cara memperoleh kewarganegaraan yaitu melalui jalur pewarganegaraan (naturalisasi). Naturalisasi diperoleh seiring dengan berlakunya Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan tersebut. Pewarganegaraan ini diberikan (atau tidak diberikan) atas permohonan, sedangkan instansi yang memberikan adalah Menteri Kehakiman.
Kemudian, seiring dengan reformasi di Indonesia, diadakan revisi pada UU tersebut menjadi UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Revisi UU terjadi karena penekanan pada hubungan perdata menyangkut status patrilineal, kemudian dalam UU terdahulu masih adanya diskriminasi etnis tertentu, dwikewarganegaraan, serta belum terjaminnya hak-hak kewarganegaraan. Pada UU No.62 Tahun 1958, masih mengandung bias gender dimana banyak pasal yang mengatur kewarganegaraan melihat wanita sebagai warga kelas dunia yang termarjinalkan. Kemudian dalam hal proses naturalisasi dibangun atas dasar kesatuan hukum dan pertimbangan praktis. Proses naturalisasi untuk memperoleh kewarganegaraan kini cukup dilakukan pihak laki-laki, ayah atau suami. Jika ayah atau suami memperoleh kewarganegaraan RI, secara otomatis istri dan anak-anaknya juga menjadi WNI. Buntutnya, jika terjadi perceraian, istri dan anak-anak tidak memiliki kewarganegaraan.
Melihat itu semua, sebenarnya proses naturalisasi tidak memakan proses yang rumit. Adapun syarat-syarat memperoleh naturalisasi menurut UU No.12 Tahun 2006 adalah:
a. Naturalisasi Biasa. Syarat-syaratnya:
1. Telah berusia 21 Tahun.
2. Lahir di wilayah RI/bertempat tinggal yang paling akhir minimal 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
3. Apabila ia seorang laki-laki yang sudah kawin, ia perlu mendapat persetujuan istrinya.
4. Dapat berbahasa Indonesia.
5. Sehat jasmani dan rohani.
6. Bersedia membayar kepada kas negara uang sejumlah Rp. 500 sampai Rp. 10.000 bergantung kepada penghasilan setiap bulan.
7. Mempunyai mata pencaharian tetap.
8. Tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan atau kehilangan kewarganegaraan RI.

b. Naturalisasi Istimewa. Diberikan kepada warganegara asing yang telah berjasa kepada negara RI dengan pernyataan sendiri (permohonan) untuk menjadi WNI, atau dapat diminta oleh negara RI.

Dari persyaratan diatas, maka sebenarnya banyak pemain asing yang telah beristri orang Indonesia serta telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut dapat mengajukan kewarganegaraan Indonesia dengan proses naturalisasi. Sebut saja misalkan Cristian Gonzales, Eliusangelo de Jesus, Antonio Claudio, Javier Rocca, atau Gaston Castano. Atau untuk pemain keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri yang memiliki garis keturunan Indonesia sebut saja Irfan Bachdim (FC Utrecht), Radja Nainggolan (Piacenza), Sergio van Dijk (Queensland Roar), dan lain-lain. Ini kembali kepada PSSI, apakah mau mengajukan kepada negara untuk merekrut pemain-pemain imigran tersebut ataukah percaya akan kemampuan lokal kita. Karena apabila kita melihat kemajuan persepakbolaan dunia saat ini, proses menaturalisasi sangat penting dilakukan untuk memajukan mutu sepakbola nasional mereka masing-masing, karena tujuannya adalah satu menembus Piala Dunia.

Membangun Prestise Bangsa

Prestasi sepakbola Indonesia yang ambruk beberapa tahun ini, salahsatunya bukan disebabkan oleh mutu pemain kita yang rendah, namun terlebih pada kurang profesionalnya PSSI dalam membuat organisasi yang modern dan profesional. Ini terlihat dari orang-orang yang terlibat didalamnya seperti tidak mau belajar dari majunya federasi negara lain. Bagaimana mereka memiliki infrastruktur stadion yang modern, pembinaan usia dini, serta roda kompetisi yang teratur. Mutu pemain kita sudah mendapat apresiasi positif dari dunia luar, sebut saja dulu Ramang, Iswadi Idris, Ricky Yakobi, dan lain-lain. Mereka lahir dari bakat alam, namun kembali lagi, itu terjadi saat dunia belum semodern sekarang ini. Sekarang sepakbola dunia sudah semakin berkembang, talenta-talenta baru dipantau melalui jalur pemantauan bakat yang benar-benar sahih, tidak asal rekrut. Kemudian ketika mereka dididik di sekolah sepakbola pun melalui beberapa program yang menuju kearah pemain jadi. Kalau gagal, siap-siap saja mereka tidak bermain di level senior. Teknik dan taktik sepakbola yang baik dan benar pun dipelajari dengan seksama, bukan asal mencari kaki lawan atau berlari kencang saja.
Mengingat itu semua, ada baiknya ide naturalisasi bukan semacam isapan jempol saja. Ada baiknya wacana ini dilakukan dengan melihat pemain-pemain yang memang layak untuk dijadikan WNI, bukan asal mereka yang memiliki keturunan WNI saja. Kita tidak perlu kuatir bahwa kita menjadi tidak nasionalis, karena kadang mereka yang berasal dari asli Indonesia pun karena sudah termakan oleh materi, maka rasa nasionalisme mereka pun berkurang. Ini dapat dilihat dari kurang semangatnya mereka bermain, atau mental yang jatuh apabila berhadapan dengan lawan yang bernama besar.
Satu lagi yang disayangkan adalah ketidakmampuan pelatih nasional kita untuk melihat talenta berdarah Indonesia yang berkiprah di luar negeri, dan lebih mempercayai pemain yang bermain di liga lokal saja. Mungkin tidak ada salahnya kalau pelatih tim nasional kita menyisir beberapa nama pemain keturunan Indonesia yang bermain di liga dunia, bahkan mereka mungkin akan tertarik membela timnas kita ketimbang menunggu panggilan timnas Eropa yang secara kualitas mungkin akan kalah bersaing. Strategi ini banyak dimanfaatkan oleh negara-negara Afrika dimana mereka mengumpulkan pemain imigran mereka untuk bermain bagi negerinya, sebut saja Frederic Kanoute yang lahir di Perancis namun ketika ditawari untuk bermain bagi Mali iapun menerimanya dan sampai saat ini menjadi pemain reguler di timnas Mali, suatu hal yang tidak mungkin ia dapatkan apabila bermain di timnas Perancis. Sungguh sangat sayang apabila ternyata pemain-pemain imigran kita karena tidak dilirik oleh PSSI, mereka justru membela negara tempat mereka bermain bahkan mereka malah semakin matang. Beberapa contoh misalnya Irfan Bachdim (sudah dilirik U-23 Belanda) dan Radja Nainggolan (sudah masuk U-21 Belgia). Kalau pelatih kita melepaskan peluang ini, betapa kecolongannya kita dan akan semakin membawa keterpurukan wajah persepakbolaan nasional kita. Ayo PSSI, mari berpikir maju!

Referensi:

Harsono. 1992. Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Liberty.

Hadidjojo, Soejono.1954. Kewarganegaraan Indonesia. Yogyakarta: Jajasan B.P. Gadjah Mada.

Beberapa pemain berdarah Indonesia di luar negeri:
1. Donovan Partosoebroto (18), kiper (Ajax Junior - Belanda).
2. Philip Adam Cave (22), bek (Newcastle United Junior – Inggris).
3. Lucien Sahetapy (23), bek (BV Veendam – Belanda).
4. Raphael Tuankotta (22), bek (BV Veendam – Belanda).
5. Estefan Pattisarany (18), bek (BV Veendam – Belanda).
6. Michael Timisela (20), bek (Ajax Amsterdam – Belanda).
7. Christian Supusepa (19), bek (Ajax Junior – Belanda).
8. Justin Tahapary (24), bek (FC Eindhoven – Belanda).
9. Marvin Wagimin (18), bek (VVV Veenlo – Belanda).
10. Tobias Waisapy (18), bek (Feyenoord Junior – Belanda).
11. Jeffrey Leiwakabessy (28), bek (Anorthosis Famagusta – Siprus).
12. Raymond Soeroredjo (18), bek (Vitesse Arnheim Junior – Belanda).
13. Yoram Pesolima (19), bek (Vitesse Arnheim Junior – Belanda).
14. Raphael Supusepa (26), midfielder (MVV Maastricht – Belanda).
15. Mariano Kastoredjo (21), midfielder (FC Utrecht Junior – Belanda).
16. Joas Siahaya (22), midfielder (MVV Maastricht – Belanda).
17. Irfan Bachdim (22), midfielder (FC Utrecht – Belanda).
18. Radja Nainggolan (19), midfielder (Piacenza – Italia).
19. Ferdinand Katipana (26), forward (FC Haarlem – Belanda).
20. Sergio van Dijk (26), forward (Queensland Roar – Australia).

Beberapa pemain timnas dunia hasil dari naturalisasi:
1. Sebastian Quintana (Qatar) dari Uruguay.
2. Roger Guerreiro (Polandia) dari Brasil.
3. Jeronimo Cacau (Jerman) dari Brasil.
4. Mauro Camoranesi (Italia) dari Argentina.
5. Deco de Souza (Portugal) dari Brasil.
6. Ismail Aissati (Marokko) dari Belanda.
7. Alessandro “Alex” Santos (Jepang) dari Brasil.
8. Agu Casmir (Singapura) dari Nigeria.
9. Daniel Bennett (Singapura) dari Inggris.
10. Aleksandar Djuric (Singapura) dari Serbia.
11. Antonio Naelson (Meksiko) dari Brasil.
12. Leandro Augusto (Meksiko) dari Brasil.
13. Lucas Ayala (Meksiko) dari Argentina.
14. Matias Vuoso (Meksiko) dari Argentina.
15. Mehmet Aurelio (Turki) dari Brasil.
16. Mert Nobre (Turki) dari Brasil.
17. Ambassa Guy Gerard (Hongkong) dari Guinea.
18. Cristiano Cordeiro (Hongkong) dari Brasil.
19. Marcos Senna (Spanyol) dari Brasil.
20. Santos (Vietnam) dari Brasil.
21. Francileudo dos Santos (Tunisia) dari Brasil.
22. dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar