Jumat, 17 Juni 2011
65 TAHUN PENGABDIAN STIK-PTIK DALAM TURUT MEMBANGUN SDM POLRI YANG BERKUALITAS
Sejarah Perjalanan PTIK
Hari ini, 17 Juni 2011 tidak terasa STIK-PTIK telah memasuki usia ke-65 tahun, sebuah usia yang sudah terlihat uzur bagi perjalanan hidup manusia. Perjalanan STIK tidak lepas dari keberadaan Sekolah Kepolisian Negara Bagian Tinggi Mertoyudan yang selanjutnya menjadi Akademi Polisi dan diresmikan tanggal 17 Juni 1946 oleh Presiden dan Wapres RI. Untuk kepentingan terlaksananya pendidikan, maka dosen-dosen pertama diangkat pada tanggal 21 Agustus 1946 dan Prof.Mr.Soenario Sandjatawidjaja ditetapkan sebagai dekan. Pada September 1946 Akpol kemudian dipindahkan ke Kepatihan Yogyakarta, lalu pindah lagi ke Sekolah Katholik Tarakanita Yogyakarta sejalan dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Pada bulan Januari 1950, Akpol dipindahkan ke Jakarta dan menempati gedung Kamp Adek di Jl.Tambak no.2 Jakpus. Dan berdasarkan keputusan rapat gabungan antara Jawatan Kepolisian Negara, Dewan Kurator dan Dewan Guru Besar, mengusulkan kepada Perdana Menteri untuk mengganti nama Akpol menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Dan selanjutnya berdasarkan keputusan PM No.: 47/PM/II/53 tanggal 1 September 1950 secara resmi sebutan Akpol diganti menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Berdasarkan Tap MPRS No. 11/MPRS/1960, ditegaskan bahwa kedudukan hukum lulusan PTIK disamakan dengan lulusan fakultas negeri mengikuti program pendidikan 5 tahun. Tap MPR kemudian diperkuat dengan Surat Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) No.4463/9/PTIP tanggal 8 Agustus 1961. Tonggak sejarah penting lainnya adalah dipisahkannya proses pendidikan PTIK, sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang integrasi ABRI. Bagian Bakaloreat PTIK dijadikan Akademi Angkatan Kepolisian (1966) berlokasi di Sekolah Kepolisian Negara Sukabumi.
Selanjutnya sejak tahun 1971 s/d sekarang, PTIK menempati kampus kelima di Jl.Tirtayasa Raya No.6 diatas lahan yang dihibahkan oleh Prof.Djokosoetono, SH (alm), pendiri, pendidik dan dekan PTIK (1954 s/d 1965). Pada tahun 1980, PTIK sempat akan “dihapuskan” oleh pimpinan ABRI, namun berkat kegigihan Kapolri saat itu Jenderal Pol. Prof.Dr.Awaloedin Djamin, MPA (dekan PTIK 1987 s/d 2002), keberadaan PTIK “diselamatkan” dengan ditempatkan dibawah payung pembinaan UI berdasarkan Keputusan Bersama Kapolri dengan Mendikbud No.Pol.: Kep/12/VIII/1980 dan No. 0214/0/1980 tanggal 11 Agustus 1980. Dalam keputusan tersebut, dekan PTIK diisi dengan Guru Besar dari UI atas penunjukkan Mendikbud, sedangkan jabatan Gubernur PTIK diisi oleh Polri. Dan untuk menyesuaikan dengan UU No.2/1989 tentang Pendidikan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 70 tahun 2002, tanpa mengubah statusnya sebagai “Sekolah Tinggi”, jabatan dekan PTIK dihapuskan dan Gubernur PTIK merangkap sebagai Ketua Sekolah Tinggi. Mulai tahun 2002 s/d sekarang, langkah-langkah penataan dan pengembangan kembali PTIK terus dilakukan dan ditingkatkan.
Fasilitas STIK
STIK sebagai bagian dari lembaga pendidikan Polri harus memenuhi 10 komponen pendidikan, oleh sebab itu berdasarkan SK Ketua BAN-PT No.006/BAN-PT/AK-XIV/S1/VI/2011 tanggal 9 Juni 2011, STIK kembali memperoleh predikat akreditasi “A” (memperbaharui Keputusan BAN-PT Depdiknas No. 005/BAN-PT/Ak-X/S1/VI/2006 tentang Akreditasi STIK-PTIK dengan skor 374/A). Untuk memperoleh predikat tersebut, sudah barang tentu STIK harus memiliki kapabilitas dalam pemenuhan 10 komponen pendidikan. Seperti fasilitas, STIK memiliki kampus, perpustakaan, laboratorium bahasa, dll. Kemudian para tenaga pengajar terdiri dari dosen tetap (48 orang) dan dosen tidak tetap (107 orang). Sistem pendidikan saat ini, kami membuka S1 Ilmu Kepolisian dan baru-baru ini tanggal 6 Juni 2011 telah membuka program S2 Ilmu Kepolisian, dan kedepan akan dikembangkan pula S3 Kepolisian.
Output STIK
Sejauh ini output dari STIK/PTIK adalah lulusan yang sesuai tingkat pendidikannya dibekali kemampuan akademik dan profesional yang secara kritis dan bermoral dapat menerapkan, mengembangkan dan memperkaya khazanah ilmu dan teknologi kepolisian dalam rangka menjawab tantangan tugas kepolisian.
Dari angkatan I s/d 56 tercatat sebanyak 7.480 alumni, dari alumni terbaik STIK telah dipercaya menjabat sebagai Kapolri, yaitu:
a. Jenderal Pol. (P) Drs. Hoegeng Iman Santoso
b. Jenderal Pol. (P) Drs. Widodo Boedi Darmo
c. Jenderal Pol. (P) Prof.Dr. Awaloedin Djamin, MPA
d. Jenderal Pol. (P) Drs. Moh. Hasan
e. Jenderal Pol. (P) Drs. Moh. Sanoesi
f. Jenderal Pol. (P) Drs. Koenarto, MBA
g. Dan seterusnya hingga Jenderal Pol. Drs. Timur Pradopo.
Pada umumnya alumnus STIK menduduki jabatan Kasat, Kasi/Kasubbag, Kabag dan Wakapolres yang tersebar di seluruh lini organisasi Polri mulai dari pusat sampai kewilayahan.
Peserta Didik STIK Saat Ini
Saat ini yang menjadi peserta didik di STIK, untuk program S1 baru bersumber pada alumni Akpol yang telah memenuhi syarat seleksi dan lulus masuk pendidikan di STIK. Sama halnya dengan program S2 Ilmu Kepolisian (MIK) yang baru saja di buka pada tanggal 6 Juni 2011 lalu, juga bersumber dari lulusan S1 terbaik STIK. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depan akan membuka peluang kepada non alumni Akpol, para penegak hukum, dan masyarakat umum untuk menimba ilmu kepolisian di STIK. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu kepolisian itu sendiri yang saat ini telah menjadi ilmu yang universal bukan hanya milik Polri semata namun sudah menjadi milik masyarakat umum.
STIK Sebagai Jembatan Karir Polri Masa Depan
Secara umum memang lulusan STIK memiliki peluang untuk meniti karir lebih baik, karena alumni STIK telah dibekali ilmu yang cukup untuk menjadi perwira Polri yang handal, professional dan berwawasan ilmiah. Manakala perwira Polri tersebut mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki secara optimal, maka ia akan meraih sukses dan jenjang karir akan cemerlang. Namun demikian, perlu dipahami bagi mereka yang tidak siap untuk menerima perubahan dan bersikap stagnan/resisten, mungkin karir ke depan akan terhambat.
Mulus tidaknya karir seseorang perwira Polri lulusan STIK tidak ditentukan pada prestasi akademisnya selama belajar di STIK, dalam arti lulusan STIK tersebut harus peka dan adaptif terhadap dinamika masyarakat dan kompleksitas tantangan tugas yang dihadapi. Perwira Polri yang sukses/berprestasi di pendidikan, merupakan kader-kader pimpinan Polri ke depan, namun dalam praktik pelaksanaan tugas, prestasi pendidikan hanyalah sebagai salah satu aspek penilaian dalam pembinaan karir. Masih banyak aspek lain yang harus dipenuhi, seperti penilaian kinerja/prestasi kerja, sikap dan perilaku dalam tugas, adaptif dan responsif terhadap dinamika masyarakat, kepemimpinan, ketauladanan, dan lain-lain.
Objektivitas Evaluasi Pendidikan STIK
Untuk mencapai standar kinerja (key performance indicator atau KPI) yang unggul, maka semua sasaran kerja harus dibuat setinggi mungkin dan tidak ada toleransi. Dalam hal akademis, nilai dalam proses pendidikan dibuat dengan standar tinggi, tidak ada katrol nilai atau toleransi. Peraturan dan Kode etik akademik kami tegakkan, bagi mereka yang melanggar dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Kemudian untuk objektivitas, hasil evaluasi akademik/nilai ujian diumumkan secara transparan, termasuk hasil koreksi dosen pada lembar ujian dikembalikan kepada mahasiswa, sehingga mereka mengetahui kekurangannya. Lalu pada akhir semester diedarkan angket terhadap seluruh perangkat pengajaran sehingga akan langsung dapat diketahui manakala ada KKN.
Harapan STIK Masa Depan
Seiring dengan era globalisasi, maka STIK diharapkan:
a. Untuk mampu melahirkan kader-kader pimpinan Polri yang visioner, transformasional, dan berbudi luhur.
b. Lahirnya agent of change sebagai pelopor dalam melakukan perubahan.
c. Menjadikan STIK-PTIK sebagai pusat unggulan (centre of excellence) di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu kepolisian, serta pengabdian masyarakat bermanfaat bagi:
1) Pengembangan dan pemantapan institusi Polri mampu mengemban tugas, fungsi dan perannya.
2) Penguatan perguruan tinggi/lembaga pendidikan dalam pembelajaran dan pengembangan ilmu kepolisian.
3) Pembangunan masyarakat madani, menumbuhkembangkan partisipasi dan kepatuhan hukum serta perwujudan rasa aman, tenteram dan damai dalam masyarakat.
Rencana pengembangan STIK ke depan
a. Penyelenggaraan pendidikan:
1) Perumusan rencana Induk Pengembangan pendidikan (Renstra 5 Tahun).
2) Jaminan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana amanah standar Sisdiknas.
3) Penguatan 10 komponen pendidikan.
4) Peran serta alumni dalam mengembangkan ilmu kepolisian dan memuliakan profesi kepolisian.
b. Menjadi pusat unggulan (centre of excellence) menuju world class university:
1) Pemantapan standar kualitas SDM, standar kinerja, prestasi kerja, budaya organisasi.
2) Pembangunan sistem informasi pendidikan berbasis web.
3) Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan.
4) Pengembangan perpustakaan melalui penyediaan referensi berbagai bahasa yang dilengkapi pula dengan e-library.
5) Penguatan jurnal ilmiah yang mempublikasikan riset-riset ilmiah baik dalam dan luar negeri.
6) Pengembangan dan pemantapan program, studi baik S1 maupun pascasarjana.
7) Peningkatan status STIK menjadi Institut Ilmu Kepolisian.
Harapan Ketua STIK Pada Masyarakat, Mahasiswa dan Alumni STIK
a. Pesan untuk masyarakat:
Bahwa dewasa ini ilmu kepolisian sudah banyak diajarkan/dikembangkan di berbagai perguruan tinggi seperti D3 Ilmu kepolisian di Universitas Langlangbuana Bandung, S2 Hukum Kepolisian di Universitas Hasanudin, S2 Hukum Kepolisian di Universitas Pasundan Bandung, dan S2 Kajian Ilmu Kepolisian UI, oleh sebab itu diharapkan diperoleh pemahaman yang sama terhadap masalah-masalah sosial dan gangguan kamtibmas, sehingga semakin memperkokoh sinergi (partnership) antara polisi dan masyarakat dalam mewujudkan rasa aman tertib menuju masyarakat sejahtera.
b. Pesan untuk mahasiswa STIK:
Mengingat ilmu kepolisian telah diterima sebagai ilmu yang universal, maka peran aktif mahasiswa STIK sangat diharapkan dalam pengembangan ilmu kepolisian melalui kajian, riset dan tulisan ilmiah. Para mahasiswa agar memanfaatkan semua fasilitas yang ada di STIK untuk turut mengembangkan ilmu kepolisian termasuk memanfaatkan gagasan/ide/konsep yang dipelajari di bangku kuliah untuk dimodifikasikan dengan realita di lapangan sehingga muncul inovasi baru guna mewujudkan pelayanan prima di setiap sentra pelayanan kepolisian.
c. Pesan untuk alumni STIK:
Segenap sivitas akademika STIK mengharapkan kiprah nyata para alumni yaitu:
1) Sebagai agent of change, baik di lingkungan Polri maupun di dalam tata kehidupan masyarakat.
2) Sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dengan penuh keikhlasan, memiliki integritas moral, akuntabel, menjunjung tinggi HAM dan selalu menjaga kehormatan diri dan korps kepolisian.
3) Sebagai perwira Polri yang akademisi, dituntut untuk terus belajar dan mengembangkan diri demi peningkatan profesionalisme dan kualitas pelayanan masyarakat. Baca selengkapnya.....
Rabu, 15 Juni 2011
JUJUR PUN TIDAK BOLEH
Ironis sekali mendengar sebuah kisah keluarga “whistleblower” di Surabaya, Jatim bernama Widodo. Maksud hati melaporkan kecurangan yang terjadi di SDN Gadel II Surabaya, sekolah anaknya, dimana ada satu mata pelajaran yang diujikan diberikan contekan oleh seorang anak yang dianggap cerdas untuk menjawab soal-soal tersebut agar seluruh sekolah dapat nilai bagus. Anak itu, Alif, ternyata diperintahkan gurunya untuk membagi jawaban soal kepada teman-temannya meskipun dari lubuk hati yang paling dalam mungkin tidak disetujui oleh si anak. Ketika orangtua murid melaporkan kecurangan yang terjadi kepada Walikota Surabaya. Namun yang terjadi, keluarga tersebut malah dihujat bahkan kemudian terusir dari kampungnya oleh masyarakat yang anak-anaknya belajar di sekolah tersebut. Konsekuensi hukum bagi perangkat sekolah yang melakukan kecurangan memang sudah jelas pula, kepala sekolah dicopot dari jabatannya dan dua guru yang turut membantu mendapat sanksi penurunan pangkat (Media Indonesia, 2011). Namun kenapa orangtua murid yang tidak rela generasi bangsa berbuat curang turut menjadi korban juga? Demikian parahnya kah tingkat ketidakjujuran di negeri ini sehingga konsekuensi dari keinginan untuk jujur pun harus tergerus oleh keinginan sekelompok orang yang ingin mendapat nilai bagus dan lulus dari sekolah. Jadi, indikatornya adalah nilai tinggi dan lulus ujian? Wah, inikah buah dari reformasi?
Patut kita sadari bahwa pada pendidikanlah bergantung masa depan suatu bangsa. Manusia sebagai objek dari pendidikan dituntut untuk memperoleh pengetahuan dari bangku sekolah, namun bukan saja pengetahuan yang harus didapatkan tetapi juga budi pekerti harus juga dimiliki pada setiap peserta didik. Selama ini siswa hanya mengejar nilai sebagai indikator keberhasilan mereka menuntut ilmu, namun terkadang akidah dan akhlak tidak diperhatikan oleh para pendidiknya. Hasilnya, begitu lulus dan bekerja, mereka hanya mengejar hasil tanpa memperdulikan proses meraih keberhasilan tersebut. Orang korupsi tender hanya karena ingin perusahaan mereka mendapat proyek, yang nantinya dari proyek itu bisa dihasilkan keuntungan yang bisa diambil untuk menutupi biaya-biaya siluman selama proses tender. Orang menjual beli jabatan hanya karena apabila ia menduduki jabatan tersebut bisa meraih keuntungan dari orang lain untuk menutupi modal “membeli” jabatan sebelumnya. Inilah sebenarnya bibit-bibit korupsi. Jaman reformasi menuntut transparansi dan akuntabilitas, namun apabila korupsi sudah transparan juga apakah reformasi bisa dikatakan berhasil?
Tindakan masyarakat yang mengusir “peniup peluit kebohongan” merupakan indikasi bahwa masyarakat kita sudah mulai sakit. Kejujuran dianggap sebagai aib bagi sebagian orang yang merasa ladangnya terampas, kejujuran merupakan dosa bagi sebagian orang yang mendambakan keuntungan dari hasil yang tidak benar. Hal ini terjadi apabila orang sudah mulai menikmati ketidakjujuran sebagai lahan untuk meraih sesuatu bagi keberlangsungan hidupnya. Sesuatu yang sudah dinikmati dan tidak terusik, tentu lebih mengenakkan daripada mereka yang harus bersusah payah untuk meraih kenikmatan. Kalau sudah dihadapkan pada target harus lulus, meski dengan cara-cara yang tidak lazim, mau dibawa kemana dunia pendidikan kita? Apakah dengan menghapal pelajaran dan menjawab pertanyaan dengan benar maka disebut anak itu pasti pintar? Kalau begitu generasi muda kita akan terjerumus sebagai generasi hapalan saja, yang tidak mau melihat bagaimana proses terbentuknya pengetahuan itu sendiri.
Apakah tabu bagi seorang kepala sekolah atau guru apabila ada muridnya yang tidak lulus ujian nasional? Kalau memang ini yang menjadi indikatornya, sungguh naif pikiran pendidik tersebut. Seorang pendidik selain bertugas memasukkan ilmu pengetahuan kepada setiap siswanya, juga berperan sebagai motivator untuk mengajarkan kepada mereka untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang benar dan yang salah. Tidak perlu merasa takut atau malu apabila siswanya gagal, justru kegagalan tersebut menjadi cambuk bagi pendidik untuk berbuat lebih baik lagi, lebih keras lagi, lebih profesional lagi, tentunya dengan cara-cara yang beretika dan elegan. Negara kalau begini akan rugi menggaji pendidik-pendidik yang tidak beretika, negara akan rugi memberi gaji ke 13 atau remunerasi bagi pendidik-pendidik yang curang. Meskipun para pendidik dapat juga mengeluh, apakah negara cukup memperhatikan kesejahteraan pendidik selain terus menuntut berkinerja yang baik? Kalau pemikirannya seperti ini terus, benang merah karut marutnya sistem pendidikan kita tidak akan ketemu-ketemu, bahkan hanya akan menjadi ide untuk melakukan debat kusir pada setiap pertemuan-pertemuan formal maupun informal.
Kesadaran (awareness), inilah yang merupakan hal paling utama dan pertama yang menjadi landasan dan dasar bagi para pendidik sesuai dengan peran dan fungsinya dalam mendidik. Sadar bukan berarti tanpa kesalahan, bukan berarti tanpa kekurangan. Namun, setidaknya pendidik secara sadar mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Yang salah disampaikan untuk tidak diikuti, yang benar disampaikan untuk diikuti. Manusia harus belajar, tidak ada yang secara instan, ujug-ujug berhasil atau pintar atau mahir (Chrysnanda, 2010: 51). Harus ada tahapan pembelajaran mulai dari mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan suatu ilmu pengetahuan baru, namun tentunya dengan cara-cara yang jujur.
Dan sudah menjadi tugas negara untuk melindungi orang-orang jujur seperti keluarga Widodo ini, yang mungkin sudah jengah melihat ketidakjujuran semakin bersemai di negara kita. Kekuatiran saya adalah ada sekelompok orang yang tidak senang dengan "peniupan peluit" ini sehingga memanfaatkan kekuasaan untuk mengintimidasi keluarga polos ini, apakah itu dilakukan oleh masyarakat maupun oleh lembaga negara yang mengurusi masalah pendidikan negara ini. Segala komponen negara harus melindungi kejujuran yang disuarakan oleh rakyat, tidak boleh lagi menggunakan cara-cara intimidasi untuk melindungi kepentingan kelompok atau organisasi semata hanya demi melindungi nama baik individu atau organisasi.
Referensi:
Chrysnanda DL, 2011. Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK Press.
“Memusuhi Kejujuran”, Media Indonesia, 14 Juni 2011. Baca selengkapnya.....
Senin, 13 Juni 2011
KETIKA KEWIBAWAAN POLRI TERGERUS
Pendahuluan
Maraknya kasus perongrongan kewibawaan polisi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang mengakibatkan kerugian baik korban jiwa maupun harta benda di pihak polisi, membuat banyak kalangan yang bertanya-tanya, apabila aparat penegak hukumnya saja sudah menjadi sasaran, bagaimana dengan masyarakat yang ingin mendapatkan rasa aman tersebut? (Kompas, 7 Juni 2011). Kasus-kasus penyanderaan polisi oleh kelompok massa, pengeroyokan polisi, pengrusakan markas polisi, maupun penghilangan nyawa polisi, sudah menjadi bacaan sehari-hari di beberapa kolom surat kabar baik nasional maupun lokal. Kasus tersebut seakan sebanding dengan penyimpangan yang dilakukan polisi terhadap masyarakat seperti pelanggaran HAM, pungli, manipulasi kasus kejahatan, ketidakberdayaan penanganan korupsi, maupun kasus-kasus yang berhadapan dengan politik. Masyarakat kembali bertanya, ada apa dengan polisi kita?
Sudah berbagai upaya dilakukan oleh Polri untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Aneka program untuk mendekatkan polisi kepada masyarakat selalu diluncurkan setiap suksesi kepemimpinan Polri, apakah itu dengan metoda pemolisian komunitas (polmas), quick wins (keberhasilan segera), revitalisasi budaya polisi, dan lain-lain. Itu semua dilakukan sebagai upaya Polri untuk mewujudkan reformasi Polri sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Lantas, kenapa masih saja kasus perongrongan kewibawaan polisi masih sering terjadi? Menurut Skolnick (1966), polisi selain dituntut untuk menjadi penegak aturan, pelayan masyarakat, ayah, rekan, moralis, pejabat hukum, dan pemberi arah, juga memiliki peran yang lain sebagai pemburu kejahatan. Apabila polisi menjalankan peran tersebut, masyarakat tentu akan merasa terayomi, terlindungi, terlayani, aman, dan tertib (Nitibaskara, 2011). Suka atau tidak suka, memang polisi merupakan subyek dari standar ganda atas integritas sebagai bagian dari komunitas kepolisian yang terikat oleh berbagai peraturan dan kode etik. Satu standar berlaku bagi dirinya sebagai penduduk biasa dan standar kedua yang lebih tinggi selaku petugas polisi (Mabes Polri: 7). Sebagai penduduk biasa tentu apabila bersalah akan dihadapkan pada peradilan umum, bukan saja mendapat sanksi pidana namun juga sanksi disiplin dan kode etik (bahkan sampai tahap pemberhentian tanpa hormat) sebagai konsekuensi selaku anggota polisi.
Peran Negara dan Masyarakat
Beban berat dan kompleks yang diemban polisi ini bukan berarti saya mengeluhkan keadaan seperti ini, memang sudah sewajarnya masyarakat menuntut agar polisi bertugas bak superhero, setiap ada kejahatan tak berapa lama kemudian datang figur penolong dan tertangkaplah penjahatnya. Namun itu mungkin hanya ada di dunia komik yang penuh khayalan, nah khayalan itulah yang kemudian hendak diimplementasikan oleh Polri dengan sumberdaya yang ada. Namun, kita kembalikan lagi kepada peran negara dan masyarakat juga disini. Peran negara sudah barang tentu karena polisi sebagai fungsi pemerintahan pada penegakan hukum, jadi segala hal ikhwal yang menyangkut organisasi, tata cara kerja, maupun dukungan anggaran sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk bisa memenuhinya. Bisa saja polisi bergerak tanpa dukungan anggaran sekalipun, namun terbayangkan oleh kita betapa mirisnya polisi kita bersusah payah mengendalikan keamanan namun dengan peralatan serta kesejahteraan yang minim. Bagi yang hobi menonton film Hollywood, kadang kita miris melihat kendaraan polisi yang hancur-hancuran demi menangkap seorang penjahat! Tapi komandannya malah memberikan pujian, walau hancur tapi penjahatnya tertangkap...sedangkan di sini terkadang lecet sedikit anak buah sudah dimarahi karena dianggap tidak bisa merawatnya, mau mengejar penjahat tapi kendaraan masih di bengkel karena sparepartnya susah didapat....
Kemudian peran negara dalam memberikan kesejahteraan bagi anggota polisi juga dirasakan belum menyentuh kepada pemenuhan kebutuhan anggota itu sendiri. Naik gaji memang hampir selalu dirasakan oleh anggota polisi, namun seiring dengan kenaikan gaji juga diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok maupun pendukungnya (kenaikan harga BBM, tiket transportasi, kesehatan, dll). Remunerasi yang diharapkan mampu meredam penyimpangan polisi juga masih diragukan kebergunaannya, masih perlu kajian penelitian untuk melihat korelasi pemberian remunerasi terhadap peningkatan motivasi kerja anggota polisi. Peran negara dalam bidang hukum dan HAM pun sama, polisi memang harus menjunjung tinggi HAM, apabila melakukan pelanggaran HAM sudah sepantasnya polisi mendapat tindakan sesuai aturan yang berlaku. Namun bagaimana apabila masyarakat yang melanggar HAM terhadap polisinya? Apakah dengan adanya reformasi ini bisa dianggap masyarakat sah-sah saja menghilangkan nyawa polisi ketika mereka mengemukakan aspirasinya di depan umum atau ketika tengah menjalankan tugas penegakan hukum? (ingat kasus pengeroyokan dalmas di Abepura, kasus penembakan polisi jaga bank di Palu, kasus bom bunuh diri di Cirebon, dll). Apa sanksi yang diterima masyarakat apabila melanggar HAM terhadap polisi? Jadi kalangan pengamat jangan hanya menimpakan semua kesalahan kepada polisi semata, namun balasan dari masyarakat yang tidak mematuhi aturan pun harus disoroti pula sebagai bahan amatan. Saya jadi ingat perkataan Prof.Satjipto Rahardjo, “jangan berharap memiliki polisi yang baik, kalau masyarakatnya sendiri brengsek”.
Nah, sekarang korelasi dengan masyarakat bagaimana? Sama saja dengan negara, masyarakat merupakan bagian dari kepolisian itu sendiri. Masyarakat diatur dalam berbagai aturan untuk melindungi harkat dan martabat masyarakat itu sendiri agar tidak terganggu atau berbagai aktivitasnya terhambat karena adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat juga (Chrysnanda, 2010: 42). Tentu tidak banyak pekerjaan polisi apabila masyarakatnya berada di tempat yang serba teratur, rapi, tertib, serta disiplin. Namun, kalau diatur saja sudah susah bagaimana masyarakat juga bisa melaksanakan aktifitasnya dengan lancar? Sudah dihimbau untuk tidak unjuk rasa pada hari libur, ternyata dilanggar. Sudah diberitahu untuk tidak melakukan pelemparan/pengrusakan terhadap simbol-simbol negara maupun sarana publik, ternyata dilanggar juga. Sudah diingatkan untuk tidak melakukan mobilisasi massa untuk melakukan tindakan anarkis, pun ternyata dilanggar juga. Lantas kalau sudah begini, tentu kita bertanya, apakah ini esensi dari reformasi yang digadang-gadangkan 13 tahun lalu?
Percepatan Perubahan Mindset Polri
Tentunya masalah merosotnya kewibawaan polisi ini bukan lantas membuat Polri seperti kebakaran jenggot, bahkan ini sebagai pemicu percepatan perubahan mindset dan culture set Polri untuk terus meraih kepercayaan masyarakat. Polisi harus semakin menyadari bahwa semangat perubahan harus segera ditanamkan pada setiap hati sanubari anggota Polri, dimulai dari hal yang kecil, dari yang paling sederhana dan mudah, dan dimulai dari sekarang. Penumbuhan rasa kesadaran inilah merupakan hal terpenting bagi anggota polisi sesuai dengan fungsi dan perannya dalam masyarakat. Anggota Polri jangan hanya mampu mengucapkan Tri Brata dan Catur Prasetya saja pada setiap upacara, namun filosofi pasal per pasal dari pedoman hidup dan pedoman kerja Polri itulah yang harus diinternalisasikan dalam diri setiap anggota. Memang, tho change the mindset for every police officers need time. Perlu waktu memang, namun itu bukanlah sebuah mimpi apabila dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari pimpinan sampai bawahan. Apabila secara konsisten polisi berbuat secara profesional, dengan mengesampingkan birokrasi feodal yang secara terselubung melembaga saat ini, tentunya akan terbangun kesadaran, kemitraan kerjasama, sistem yang terpadu dan pemecahan masalah yang diterima oleh semua pihak. Perlu juga diingat bahwa polisi juga manusia, bukan superhero yang bak Ultraman atau Transformers dengan mengucapkan kata “berubah” sudah bisa memberantas kejahatan dalam waktu singkat, serta menjalankan program pemeliharaan keamanan dalam waktu semalam (Chrysnanda, 2010: 116). Oleh sebab itu, butuh itikad baik dari negara untuk ikut juga melindungi polisi, masyarakat untuk turut kerjasama dengan polisi, serta polisi melindungi negara dan masyarakatnya agar tercipta situasi yang aman dan tertib sesuai dambaan semua pihak. Dengan demikian diharapkan kewibawaan polisi akan meningkat seiring dengan kepercayaan masyarakat pada kinerja maupun perubahan perilaku polisinya.
Referensi:
Chrysnanda, 2010. Menjadi Polisi Yang berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.
Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah sarasehan.
Nitibaskara, Ronny. 2011. Kekerasan Terhadap Polisi. Kompas, 7 Juni.
“Wibawa Polri Makin Merosot”, Kompas, 7 Juni 2011. Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)