Untuk rekan-rekanku di Kepolisian yang mendapat tugas memberikan nasihat perkawinan pada acara sidang perkawinan anggota Polri, mungkin nasihat ini berguna sebagai pedoman agar sambutan anda tidak gagap....
Nasihat Untuk Calon Istri
Jagalah kemuliaanmu. Jangan pernah kamu menyakiti ayah dan ibumu. Bila kau menikah, maka hormatilah suamimu dan hargailah ucapannya. Jaga kehormatan suamimu karena engkau adalah laksana pakaian baginya yang mampu menampakkan kebaikannya dan menutupi kekurangannya. Pergunakanlah waktu kedatangannya dari pekerjaannya. Jadilah kau orang yang menyenangkannya dengan senyum dan kasih sayangmu padanya. Jangan pernah kau durhaka pada suami dalam keadaan apapun, khususnya di saat ia sedang dalam kondisi sulit. Ingatlah, wanita dikatakan sebagai golongan yang paling mudah mendapatkan surga sekaligus paling mudah mendapatkan bagian neraka. Mudah baginya memasuki surga karena dia hanya perlu berbuat kebaikan dan taat kepada suaminya dan mudah baginya mendapat balasan neraka apabila ia mendurhakai dan menghina suaminya sendiri. Oleh karenanya, peluang inilah yang harus kau rebut dengan taat dan menghargai suamimu. Keras kepala dari kedua belah pihak hanya bisa diselesaikan dengan pemutusan hubungan suami isteri dan itu sangat tidak baik untukmu. Edifikasikan keluarganya dengan semua yang baik. Hormatilah ibunya dan ketahuilah bahwa ia tetap menjadi ibunya walau ia kini telah menjadi suamimu. Allah telah mewajibkan suamimu untuk tetap taat kepada ibunya dan mencintainya dengan tulus sebagaimana kelak anak keturunanmu pun diwajibkan hal yang sama terhadapmu. Hormati pula ayahnya dan jadikanlah ia laksana ayahmu.
Anak – anakmu adalah bagian dari tubuh dan darahmu. Jadikanlah prioritas utamamu untuk dapat merawat mereka dengan penuh kasih. Jadikanlah pula mereka generasi yang bahagia dan mencintai negerinya dan keluarganya. Engkau adalah ratu di rumahmu dan kau mengendalikan kerajaan kecil di rumahmu. Karenanya siapkanlah kemampuan hingga kau mampu menanggung amanat tersebut dan kaupun kelak mendapatkan keridhoan Illahi Robbi.
Nasihat Untuk Calon Suami
Jadilah kau raja di rumahmu. Cintailah isterimu dengan tulus dan jadikanlah ia sebagai ratumu. Buat ia bangga menjadi permaisuri di kerajaanmu dengan berlandaskan cinta kasih dan ketaatan kepada Allah SWT. Berikanlah dirinya makanan yang cukup dan persembahkan untuknya beragam jenis pakaian. Belikan untuknya minyak wangi karena wanita menyukai minyak wangi. Buatlah dirinya bahagia selama kau hidup dan berilah nafkah yang baik dan halal untuk isteri dan anak–anakmu.
Sesungguhnya seorang istri laksana cermin bagi suaminya dan menjadi bukti akan apa yang diusahakannya dalam mencapai kebahagiaan ataupun kesengsaraan. Engkau adalah laksana pakaian baginya yang mampu menampakkan kecantikan diri dan pribadinya serta menutupi setiap kekurangannya. Jangan terlalu keras dalam rumah tanggamu karena isteri diciptakan dari tulang rusukmu, bagian dari dirimu. Tulang rusuk berada di tempat yang terlindung sehingga isterimu pun ada untuk kau lindungi. Sebagaimana tulang rusuk yang bengkok, berwasiatlah yang baik terhadap isterimu karena jika engkau keras dalam meluruskan maka ia akan patah dan jika engkau biarkan maka selamanya ia akan bengkok.
Engkau adalah imam dan pemimpin dalam keluarga sehingga berilah contoh yang baik. Sikap lemah lembut akan mampu menggetarkan hati wanita disaat ia melakukan suatu kesalahan ataupun saat ia melakukan satu perbuatan buruk. Berikanlah apapun yang diinginkannya selama kau mampu mewujudkannya. Berikan pula padanya kesenangannya hingga ia pun akan menyenangkanmu dan membuatmu bahagia. Bila tidak demikian maka hidupmu akan hancur berantakan. Dekatkan dirimu kepadanya dan panggillah dirinya dengan panggilan yang menyenangkan. Ingatlah, sebaik apapun istri yang Allah kirimkan untukmu, kalau pikiranmu sibuk membayangkan tentang kekurangannya maka engkau akan dapati kekurangan dan keburukan sebanyak yang engkau sanggup untuk mencatatnya. Akan tetapi jika engkau menyibukkan diri melihat kelebihan dan kebaikannya, maka engkau akan dapati kebaikan sebanyak yang ada pada dirinya dan itu akan membahagiakan hidupmu. Oleh karena itu, hormatilah dirinya dan tunjukkanlah rasa kasih sayangmu yang konsisten. Disamping itu, sayangi dan hormati orang tuanya sebagaimana orang tuamu sendiri. Kemudian jangan sekali – kali membuat ibumu marah kepadamu karena rintihannya akan langsung didengarkan oleh Allah dan kaupun akan mendapatkan hukuman–Nya.
Baca selengkapnya.....
Senin, 26 April 2010
MENDESAIN DIKMAS LANTAS SECARA ATRAKTIF
Strategi Publikasi Massa Dalam Kampanye Lalu Lintas
Dalam suatu kampanye/publikasi, Polantas harus mempunyai strategi yang mencantumkan apa yang menjadi targetnya, apa yang menjadi kendala dan permasalahannya, bagaimana pengertian masyarakat terhadap materi yang akan dikampanyekan serta kalau bisa ditambah dengan hasil observasi materi terkait apakah signifikan dengan data serta penyebab yang ada atau tidak.
Polantas setelah memiliki strategi publikasi tersebut harus segera menyusun manajemen kampanye yang meliputi:
a. Tahap awal
Polantas pada tahap ini yang merupakan pra kampanye terlebih dahulu mengumpulkan data, melaksanakan pengenalan awal kampanye, menyusun pesan/isu yang serius serta penciptaan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh; kita akan menyusun program pemakaian helm standar, terlebih dahulu kita harus mengumpulkan data-data kecelakaan yang melibatkan pengendara sepeda motor selama beberapa waktu penelitian, kemudian diperkecil menjadi pengendara yang menggunakan helm non standar yang menyebabkan kematian. Setelah data-data tersebut didapat kemudian kita menyusun Rencana Pelaksanaan Kampanye baik menyangkut masalah personil yang terlibat dalam kegiatan tersebut, sarana/prasarana yang digunakan, pembiayaan, dan lain-lain. Kemudian setelah rencana disusun, kita harus menyampaikan isu-isu tersebut kepada masyarakat bisa lewat sarana audio-visual maupun lewat penggunaan media massa sebagai sarana komunikasi kita dengan masyarakat. Setelah disebar luaskan ke khalayak, kita juga harus memantau apakah tidak ada kendala dalam pendistribusian helm standar tersebut di daerah tersebut, kalau masih ada kendala kita bisa tanyakan kepada pihak distributor kendalanya dimana untuk bahan pertimbangan perpanjangan masa sosialisasi bagi Polantas sebelum diterapkan sanksi hukumnya. Setelah itu semua terlaksana berarti kita siap untuk segera melaksanakan kampanye pemakaian helm standar.
b. Tahap kedua
Pada tahap ini kita harus menunjukkan info tentang ”kecelakaan dramatik” serta harus mampu meningkatkan persepsi masyarakat tentang kecelakaan tersebut. Maksudnya adalah setiap pelanggaran lalu lintas merupakan awal mula dari suatu kecelakaan, tugas dan peran dikmas lantas untuk meminimalisir angka kecelakaan yang ada adalah dengan terus mengkampanyekan arti pentingnya disiplin berlalu lintas, dengan begitu setiap materi dikmas lantas dimaksudkan untuk mengajak masyarakat pengguna jalan agar tidak melanggar lalu lintas, tunjukkan lah ajakan tersebut melalui suatu penyampaian yang tercatat secara data dan fakta. Bahwa sebelum kampanye adalah ”A minus” dan selama pelaksanaan kampanye adalah ”A” berarti sudah ada peningkatan yang signifikan dari data karena pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh Polantas. Sehingga nanti setelah pelaksanaan kampanye yang kita dapatkan adalah ”A plus”. Dengan data-data yang disampaikan secara ilmiah berikut penjelasannya maka akan timbul persepsi masyarakat bahwa memang benar kalau tidak mentaati peraturan maka akan terjadi sesuatu. Sebagai contoh; dalam kampanye penggunaan helm standar, sajikan data yang terlibat kecelakaan lalu lintas sebelum pemakaian helm standar ada berapa, kemudian selama sosialisasi terdapat berapa kali kecelakaan apakah meningkat atau menurun, kalau menurun maka bisa dikatakan bahwa pemakaian helm standar akan membuat pengguna sepeda motor terhindar dari kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian, sehingga dari penyampaian data dan fakta secara ilmiah tersebut akan timbul persepsi dari masyarakat bahwa benar pemakaian helm standar akan membuat kita terhindar dari kecelakaan yang lebih fatal lagi.
c. Tahap selanjutnya
Pada tahapan ini Polantas harus memberikan alternatif solusi, segera mengadakan evaluasi dan hasil kampanye serta komunikasikan apabila ada dukungan terhadap kampanye yang dilaksanakan. Untuk itu diperlukan personil Dikmas Lantas yang handal yang mau melaksanakan penelitian secara kualitatif/kuantitatif tentang audensi sebelum dan selama pelaksanaan kampanye, kalau perlu sebelum dan selama kampanye berjalan adakan survei melalui telepon (pooling system), manfaatkan media massa yang ada untuk melaksanakan kegiatan itu, kalau perlu beberapa petugas diturunkan ke lapangan untuk mengadakan interview bagaimana opini masyarakat maupun petugas tentang kampanye yang dilaksanakan. Dengan begitu hasil jajak pendapat ini merupakan juga evaluasi bagi pelaksanaan kampanye-kampanye Polantas di masa yang akan datang sehingga diharapkan mendapat dukungan publik yang sangat luas.
Menciptakan Kreasi Traffic Education Yang Menarik
Setelah kita memahami peran dari Dikmas Lantas, kemudian bagaimana Manajemen Dikmas Lantas mengolah sarana yang ada dipadukan dengan program yang akan diluncurkan, kemudian pemanfaatan media massa agar program kampanye lalu lintas yang akan dilaksanakan berhasil guna dan berdaya guna berikut dengan strategi publikasinya, maka giliran kita menentukan inovasi apa yang bisa diolah menjadi suatu kreasi traffic education bagi pensuksesan program kampanye itu sendiri. Beth Webster (1990) mengatakan bahwa inovasi adalah menemukan atau mengubah materi pekejaan atau cara menyelesaikan pekerjaan secara lebih baik. Definisi ini mengandung dua komponen yaitu penemuan (invention) dan pelaksanaan (implementation), dimana pada tiap komponen terdiri dari empat segmen; 1) Kreativitas (mengembangkan gagasan baru), 2) Visi (mengetahui apa yang ingin dicapai dengan penciptaan tersebut), 3) Komitmen (menggerakkan), dan 4) Manajemen (merencanakan dan mengerjakan kreasi).
Jadi disini segala bentuk ide, cara-cara, ataupun objek yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru, maka dapat dikatakan sebagai suatu inovasi. Pengertian baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakan inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika suatu hal dipandang baru bagi seseorang maka hal itu merupakan inovasi. Namun perlu diperhatikan pula bahwa pengertian baru suatu inovasi tidak harus sebagai pengetahuan baru pula, sebab jika suatu inovasi telah diketahui oleh seseorang untuk jangka waktu tertentu, tetapi individu itu belum memutuskan sikap apakah menyukai atau tidak, atau pun belum menyatakan menerima atau menolak, maka baginya hal itu tetap merupakan inovasi. Jadi kebaruan inovasi tercermin dari pengetahuan, sikap, atau pun putusan terhadap inovasi yang bersangkutan. Dengan demikian bisa saja disebut sebagai inovasi bagi suatu masyarakat, namun tidak lagi dirasakan sebagai hal baru oleh masyarakat lain. Havelock (1973) menyatakan bahwa, inovasi sebagai segala perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang mengalaminya. Sebuah inovasi merupakan buah karya dari sebuah gagasan yang terlintas di benak semua individu. Setiap individu pasti memiliki gagasan atau ide. Bahkan dalam kenyataan banyak ditemui bahwa satu orang mungkin bisa memiliki puluhan gagasan sekaligus. Tanpa memandang tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi sebuah gagasan akan muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu tantangan atau berada dalam suatu lingkungan baru. Namun dari sekian banyak orang yang memiliki gagasan, hanya sedikit saja yang mampu mewujudkan gagasan tersebut menjadi suatu hasil karya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungannya.
Gagasan adalah bukan ‘sesuatu’ tetapi ia menjadi awalnya. Mirip angka nol yang menjadi awal seluruh hitungan tetapi ia tidak memiliki makna hitungan apapun kecuali jika ia berasosiasi dengan angka lain. Begitu pula apabila Polantas mempunyai suatu gagasan yang harus dikembangkan. Tanpa diasosiasikan dengan perangkat lain, gagasan akan tetap selamanya menjadi gagasan. Maka tugas bagi Polantas yang paling utama adalah bagaimana memperjuangkan gagasan tersebut untuk menjadikannya sebagai inovasi, bukan sekedar memilikinya namun tidak berbuat apa-apa untuk mewujudkannya.
1. Penciptaan Kreasi Dalam Dikmas Lantas
Jika gagasan seperti diungkap diatas berupa angka nol ─ bukan sesuatu ─ maka tindakan adalah angka satu yang berarti sesuatu. Temukan format tindakan tertentu yang menjadi padanan fisik gagasan kita atau yang memperdekat ke arah realisasi riilnya. Seluruh tindakan yang dilakukan Polantas memiliki fungsi bagi gagasan itu sendiri meskipun tidak semuanya berhasil. Misalkan seorang Polantas baru yang sedang berceramah dihadapan masyarakat yang banyak. Jika ada yang mengatakan masyarakat tersebut banyak karena kedatangan Polantas baru, jelas anda salah. Masyarakat itu tidak datang karena Polantas baru tersebut, namun karena sudah banyak ceramah-ceramah yang dilakukan oleh Polantas yang lain yang membuat masyarakat tadi tersadar dan mau mendengarkan setiap ceramah yang dilakukan oleh Polantas manapun.
Tindakan memiliki daya tarik yang berfungsi untuk mengangkut setiap gagasan kita menuju padanan fisiknya ketika tindakan tersebut sudah kita pahami sebagai habit (kebiasaan) dalam bentuk aktifitas atau kesibukan. Persoalannya adalah bagaimana kita menciptakan tindakan yang bernilai tinggi bagi setiap gagasan tersebut, sebab terkadang tidak semua tindakan punya relevansi dengan realisasi gagasan, meskipun tidak berarti bahwa tindakan tersebut sia-sia. Dalam hal ini masalahnya lebih pada suatu tindakan yang efektivitas dan efisiensi. Agar tidak kehilangan relevansi, maka janganlah menjadikan tindakan atau aktivitas atau kesibukan sebagai tujuan, sebaliknya letakkan semua pada perspektif masing-masing secara benar. Tujuan adalah hasil sedangkan tindakan merupakan media untuk mencapainya. Katakanlah jika kita sudah memiliki tujuan, target atau tujuan mikro, dan tindakan, maka pertanyaannya, sejauh mana masing-masing komponen tersebut berfungsi mengarah pada titik fokus anda.
Jika tindakan berupa angka satu, maka interaksi adalah angka dua. Maksudnya, kita harus menemukan personil yang anda pilih untuk ikut serta merealisasikan gagasan tersebut. Alasannya sangat jelas, bahwa pertama, kita tidak bisa menjadi hebat di atas gagasan kita dengan seorang diri, dan kedua, semua yang ingin kita wujudkan dengan gagasan tersebut berada di tangan orang lain. Itulah betapa penting peranan interaksi.
Riset international membuktikan bahwa keberhasilan suatu gagasan seseorang ditentukan oleh keahlian teknis dan keahlian bagaimana kita menciptakan interaksi. Keahlian teknis memegang peranan lima belas sampai dua puluh lima persen dan sisanya interaksi. Tanpa interaksi maka mustahil diciptakan kreasi atau prestasi dari gagasan kita tersebut. Oleh karena itu keberhasilan suatu gagasan tidak bisa didasarkan dari sudut merah-putih, atau benar-salahnya akan tetapi dari cara bagaimana gagasan itu diinteraksikan ke pikiran orang lain.
Interaksi menciptakan experiencing dalam hal attractive campaign yang di dalamnya mengandung the skill of leadership, the art of networking, dan promotion yang dibutuhkan. Dengan penciptaan interaksi tersebut mungkin dapat dihasilkan ide-ide baru yang dapat digunakan untuk memperbaiki gagasan yang telah kita pikirkan untuk dituangkan. Dan dengan memahami bagaimana cara mewujudkan sebuah gagasan maka diharapkan gagasan-gagasan yang ada di kepala kita dapat segera terwujudkan.
Kreasi yang akan dihasilkan tentunya tidak harus meniru program lain yang telah dilaksanakan di berbagai daerah, namun adaptasi dari pola pelaksanaan program yang telah berlangsung dapat kiranya diadopsi untuk membentuk karakter-karakter baru yang disesuaikan dengan kebudayaan lokal dimana Polantas itu bertugas. Semua peraturan lalu lintas itu sama, semuanya ingin lalu lintas itu lancar, aman dan tertib. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua masyarakat dapat menerima begitu saja setiap adanya pembaharuan, diperlukan suatu proses yang kadang-kadang menimbulkan pro dan kontra yang tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota masyarakat ketika proses yang dimaksud sedang berlangsung di tengah-tengah mereka. Bahkan terkesan karena masih menjadi suatu polemik, aparat hanya bisa memberi contoh namun tidak bisa dijadikan contoh. Misal, Polantas mengharuskan setiap sepeda motor melengkapi surat menyuratnya, namun ternyata ada beberapa pejabat pemerintahan yang bahkan tidak memiliki SIM saat mengemudi. Semua warga negara harus patuh dan taat pada hukum perlalu lintasan, ternyata pada setiap razia ada saja kendaraan dengan plat merah, hijau, coklat yang terkena tindakan hukum. Ironis sekali.
Penciptaan kreasi berkaitan erat juga dengan kemauan si Polantas dalam mencermati kondisi yang terjadi pada perlalu lintasan di daerah tempat ia bertugas. banyak yang beranggapan bahwa ia lebih baik mengikuti kebijaksanaan Kepala Satuan Wilayah serta meneruskan kebijaksanaan pendahulunya, daripada memiliki segudang inovasi yang ternyata tidak mendapat apresiasi dari organisasinya. Hal ini jelas bertentangan dengan Etika Polisi Lalu Lintas, bahwa setiap anggota Polantas harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, agar tetap mampu berinisiatif dan berinovasi di dalam usaha penanggulangan masalah-masalah yang timbul di bidang lalu lintas jalan, karena harus disadari bahwa masalah lalu lintas jalan itu kompleks adanya dan merupakan “never ending problems” yang menuntut adanya “never ending solving efforts” serta harus tetap mampu berperan sebagai penggerak dalam rangka mengajak dan mendorong masyarakat di dalam mewujudkan lalu lintas yang aman, tertib dan lancar (Kunarto, 1999: 190).
Setelah memperhatikan situasi daerah tempat bertugas, Polantas tersebut harus segera menentukan peraturan apa yang belum dipatuhi oleh masyarakat sekitar. Kemudian dengan memakai analisa SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat), Polantas tadi melihat apakah sarana 4M bisa dimanfaatkan secara proporsional atau tidak, apakah kendala yang ada bisa dihadapi dengan pengadaan secara swadaya atau tidak. Setelah itu kemudian kita segera menyusun rencana pelaksanaan, tentunya kita harus melakukan koordinasi dengan instansi/LSM yang akan kita gandeng untuk mensukseskan program tertib lalu lintas tentunya dengan memperhatikan potensi budaya/potensi intelektual yang ada di daerah tersebut. Kita harus bisa memanfaatkan suatu idiom “musuh kita adalah kekuatan kita yang terbesar”. Maksudnya adalah, apabila program yang silam tidak berhasil dikarenakan ada gejolak yang ditimbulkan suatu organisasi massa yang menentang, maka kita saat ini harus bisa memanfaatkan organisasi massa tersebut untuk membantu kita. Tentunya kembali lagi sebelum kita merencanakan program yang akan dirancang, kita harus mengetengahkan kajian-kajian ilmiah atas masalah yang akan kita angkat sebagai titik sentral program yang akan kita laksanakan. Dengan begitu berarti kita telah bisa membentuk opini publik untuk setidaknya membantu kita dalam penerapan program yang akan dilaksanakan. Opini tersebut dibutuhkan untuk mementahkan anggapan sebagian kelompok yang menentang kita hingga akhirnya mereka akan membantu kita untuk mensukseskan program tersebut.
2. Beberapa Kreasi Kegiatan Dikmas Lantas
Pendidikan bidang lalu lintas bisa tercapai tanpa harus menindak pelanggaran yang tidak perlu baik itu pada individu pelanggarnya atau pada kasus yang dilanggarnya dan juga menjadi tidak bijaksana. Pendidikan yang dijalankan dengan baik serta berkesinambungan akan banyak dirasakan manfaatnya oleh setiap anggota dalam masyarakat, daripada harus dengan pola penghukuman. Polantas dengan sendirinya akan mendapat bantuan masyarakat melalui jalur pendidikan yang tidak banyak memakan biaya. Ini tergantung bagaimana cara serta usahanya untuk menarik dinas dan jawatan lainnya atau perusahaan swasta, perkumpulan-perkumpulan otomotif atau perkumpulan-perkumpulan lainnya (yang berhubungan dengan lalu lintas), organisasi-organisasi massa, dsb untuk turut serta aktif membantu memecahkan permasalahan lalu lintas di daerahnya secara bersama-sama. Permasalahan lalu lintas banyak terjadi pada masyarakat yang tidak terorganisir (unorganized society), karena pada masyarakat golongan ini mereka tidak dinaungi suatu hukum kesamaan sehingga menyebabkan pola tindak mereka tidak bertujuan sama dengan masyarakat lain. Golongan masyarakat tidak terorganisir antara lain:
a. Pengemudi kendaraan baik angkutan umum maupun angkutan pribadi/perorangan.
b. Pengguna jasa angkutan umum/pribadi.
c. Masyarakat pengguna jalan lainnya.
Kegiatan Dikmas Lantas terhadap masyarakat tidak terorganisir berupa:
a. Penerangan lalu lintas; yaitu kegiatan komunikasi berisi keterangan-keterangan, gagasan-gagasan atau kebijaksanaan yang disertai pesan atau anjuran dengan maksud menjelaskan, mendidik dan mempengaruhi atau mengajak menerima pesan, bersedia untuk bersikap dan bertindak sesuai harapan komunikator.
b. Pameran lalu lintas; suatu usaha dari Polantas dengan memberikan penerangan secara visual kepada masyarakat tentang tugas, kegiatan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh Polantas, sehingga masyarakat mengerti dan memahami serta turut berpartisipasi aktif dalam menciptakan kamtibcar lantas.
c. Perlombaan/sayembara lalu lintas; berupa perlombaan keterampilan dalam bidang lalu lintas yang diikuti oleh masyarakat dengan penilaian tertentu.
d. Taman lalu lintas; berupa suatu taman atau tempat yang dibuat sedemikian rupa sehingga menggambarkan suatu kota dalam bentuk mini yang dilengkapi sarana lalu lintas (rambu-rambu/marka jalan) guna mendidik para pengunjung khususnya anak-anak sekolah dalam menghayati arti pentingnya berdisiplin lalu lintas.
Beberapa pengembangan inovasi dalam menciptakan kreasi Dikmas Lantas dalam usahanya mewujudkan masyarakat pengguna jalan yang tertib dan patuh aturan lalu lintas di jalan dan sebagian telah dilaksanakan di beberapa Satlantas Satuan Wilayah di Indonesia antara lain:
a. Mendongeng dan bercerita
Program Polsanak (Polisi Sahabat Anak) merupakan program yang paling banyak pengembangan inovasinya. Bertujuan untuk menanamkan sejak dini sikap perilaku tertib lalu lintas, anak-anak menjadi objek Dikmas Lantas. Anak-anak dijelaskan mengenai disiplin lalu lintas melalui dongeng, bercerita dan bermain. Anak-anak TK dan SD diberi kesempatan untuk berkunjung ke kantor polisi. Polantas harus dapat menjelaskan bahwa lalu lintas merupakan suatu taman kota yang indah dan tertib.
Kota-kota di Jepang atau di Inggris menjadi tertib dan rapi dikarenakan adanya penanaman tata tertib lalu lintas kepada anak-anak sejak kecil. Mendongeng dan bercerita merupakan komunikasi yang efektif antara orang tua atau guru dengan anak-anak usia dini (± 3 tahun) sampai kelas II SD. Si anak akan merasa terbawa pada suatu alam imajinasi sehingga ia terhibur selain itu juga dapat merangsang kreatifitas, emosional dan penuh dengan pesan-pesan. Misalkan bercerita tentang Gatotkaca yang bisa terbang atau peri yang baik hati. Setelah itu masukkanlah dongeng atau cerita mengenai polisi lalu lintas. Jika dongeng itu membuat anak-anak simpati maka apapun yang dikatakan polisi akan dituruti dan direkam selamanya oleh mereka. Saat ini banyak Polantas yang masih malu-malu untuk bercerita dengan anak-anak, mungkin kesan militeristiknya masih terpatri dalam jiwa mereka. Seharusnya, Polantas yang memainkan fungsi Dikmas Lantas mengenyampingkan hal tersebut, tidak usah malu-malu untuk bercerita dengan anak-anak apalagi dengan mimik yang lucu akan membuat anak-anak tersebut terkesan selalu dengan dongeng Pak Polisi. Kembangkan ide-ide kreatif seputar dunia lalu lintas pada anak-anak, bisa memasukkan unsur hiburan, unsur pendidikan maupun melawak.
b. Perlombaan Lalu Lintas
Perlombaan yang dimaksudkan untuk menanamkan rasa disiplin lalu lintas dengan cara memberikan penilaian khusus kepada para pesertanya bisa dengan golongan umur berapa saja. Bisa melakukan perlombaan mewarnai untuk anak-anak, lomba menggambar dengan kriteria pada masalah disiplin lalu lintas, bisa perlombaan busana/fashion show, motor show, helm art & mode show helm, wisata rally, touring, lomba menghias bak truk, lomba cerdas cermat bidang lalu lintas, lomba kendaraan hias, dll. Lomba-lomba tersebut secara tidak langsung bermaksud membentuk polisi-polisi untuk ditempatkan di tengah-tengah keluarga dan lingkungannya secara strategis dan mereka melaksanakan fungsi bimbingan masyarakat apabila mereka sering mengingatkan orang lain dalam suatu perjalanan. Dengan kegiatan ini diharapkan kelak akan memiliki kesadaran untuk berdisiplin dan sopan santun berlalu lintas yang tinggi sehingga tercapai situasi dan kondisi lalu lintas di jalan yang aman, tertib, lancar dan nyaman. Kegiatan ini bisa dilakukan oleh jajaran Direktorat Lalu Lintas sendiri atau bekerja sama dengan pihak swasta, karena akan lebih bermanfaat lagi kalau suatu kegiatan perlombaan tersebut ada hadiah yang disediakan.
c. Panggung Boneka/Wayang
Media boneka atau wayang sangat digemari oleh anak-anak usia dini, apalagi boneka-boneka yang menokohkan seorang superhero yang dikenal oleh anak-anak, seperti Superman, Batman, Spiderman, Ultraman, Gatotkaca, Garuda, dan lain-lain. Apabila Polantas kreatif dengan membalutnya menggunakan pakaian Polantas akan menambah nilai positif di mata anak-anak tersebut. Berkomunikasi dengan anak-anak dengan menggunakan media boneka atau wayang, diselipkan bahasa-bahasa yang lucu ─ bahasa khas anak-anak, mengajarkan anak-anak disiplin, tentu akan membuat anak-anak tadi tergugah hatinya untuk berupaya menjadi apa yang diperankan tokoh boneka atau wayang tersebut. Apabila si Gatotkaca tadi mengajarkan kalau terbang harus punya SIM, cek sayapnya, terbang jangan ngebut-ngebut, lihat kiri kanan ketika menyeberang, tentu hal-hal ini akan terngiang-ngiang diingatan si anak, sehingga saat perjalanan bersama orang tua si anak tadi akan mengingatkan orang tua untuk tidak mengebut, lihat kiri kanan saat akan menyebrang, membawa SIM atau tidak. Orang tua mana yang tidak malu kalau harus diingatkan anak kecil?
Ditlantas Polda Jatim pernah memperkenalkannya lewat program “Boneka Semeru” yang sampai sekarang masih dimainkan oleh Dikmas Lantas se-jajaran Polda Jatim (MARKA, 2002: 38). Kemudian untuk panggung boneka tersebut tidak hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja, namun bisa juga seorang diri. Kalau seorang diri, orang tersebut harus mampu memainkan ventriloquism (berbicara dengan suara perut). Apabila hal ini bisa dilakukan oleh Polantas maka akan membuat audiens akan senang dan takjub dengan pencapaian ini.
d. Kesenian Daerah
Indonesia ─ di antara negara-negara Asia lainnya ─ dinilai memiliki kekayaan kesenian yang paling banyak dan beragam. Partisipasi masyarakat pun dalam kesenian daerah khususnya seni tari, seni sastra, dan teater cenderung cukup baik. Masyarakat di beberapa daerah masih menganggap bahwa kesenian daerah merupakan apresiasi bagi kelestarian adat leluhur mereka. Bahkan ada yang menganggap bahwa kesenian daerah lebih cepat bertransformasi dengan kehidupan masyarakat daripada media lainnya. Hal inipun juga dimanfaatkan oleh Polantas untuk menyebarkan program-program budaya tertib lalu lintas melalui sentuhan kesenian daerah.
Di Bali misalkan, Ditlantas Polda Bali melakukan sosialisasi kampanye tertib lalu lintasnya dalam wujud visualisasi pementasan kesenian setempat yang disebut Bondres. Sasarannya untuk semua kalangan baik anak-anak, maupun orang dewasa. Bondres dibuat sedemikian rupa agar lucu namun pesan-pesan lalu lintas juga disampaikan sehingga pesannya mengena kepada penontonnya (MARKA, 2002: 42 - 43). Masih banyak lagi kesenian-kesenian daerah di Indonesia yang bisa dijadikan kreasi oleh Polantas-Polantas kita, apakah itu wayang golek, wayang orang, irama campursari, reog, ludruk, lenong, dan lain-lain.
Karena masyarakat Indonesia masih bersifat marjinal, tentunya tidak semua kalangan masyarakat bisa menerima kebudayaan modern. Di desa-desa tentunya akan lebih mengena apabila Polantas menyampaikan pesan tertib lalu lintas melalui budaya daerah daripada bermain drama dengan balutan nuansa modern.
Dengan mengikutsertakan instansi terkait di Pemda setempat, penyampaian pesan-pesan lalu lintas lewat kesenian daerah ini diharapkan bisa mengembangkan kepariwisataan daerah. Karena pengembangan wisata juga dapat berdampak pada proses perubahan disiplin lalu lintas masyarakat. Seandainya wisatawan luar negeri maupun domestik bisa diperkenalkan dengan budaya lokal, mereka akan tertarik untuk mengunjungi daerah tersebut apalagi kalau daerah itu lalu lintasnya tertib maka mereka tidak akan merasa kuatir apabila akan menggunakan jalan untuk menikmati alam pemandangan daerah tersebut. Dengan demikian Satlantas daerah pun bisa sedikitnya menyerap anggaran daerah untuk memperbaiki kualitas perlalulintasan daerah, ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”.
e. Aksi Teatrikal
Salah satu program yang bisa diusung Polantas guna mengkampanyekan peraturan-peraturan lalu lintas adalah dengan menggandeng unit-unit teater daerah untuk mengadakan aksi panggung di jalan atau secara teatrikal. Unit-unit teater ini biasanya dikelola oleh perguruan tinggi, lembaga swasta/independen, maupun pemerintahan daerah. Aksi teatrikal memiliki kekuatan yang bisa mempengaruhi masyarakat dalam hal memancing perhatian publik untuk mengetahui apa yang terkandung dari aksi tersebut. Dipadu dengan penyebaran leaflet, brosur, buklet maupun stiker berisi pesan-pesan tertib lalu lintas maka program kampanye tersebut dapat langsung mengenai sasarannya yaitu para pengguna jalan. Aksi teater jalanan ini mengandung maksud untuk menganalogikan suatu peraturan lalu lintas ke dalam suatu aksi panggung ─ dalam hal ini seni peran ─ sebagai suatu media untuk menyampaikan kepada para pengguna jalan apa yang menjadi harapan dari Polantas dalam mewujudkan keamanan, ketertiban dan kelancaran di jalan raya. Walaupun pada kenyataannya kegiatan tersebut dapat memacetkan jalan dikarenakan para pengguna jalan yang melambatkan laju kendaraan untuk mengetahui lebih dekat apa yang ditampilkan, namun aksi teaterikal ini justru dapat membuat keingintahuan lebih mendalam lagi terhadap apa program yang diusung oleh si peraga jalanan itu.
Seperti yang saya pernah lakukan ketika menjabat sebagai Kasat Lantas Polresta Kendari Polda Sulawesi Tenggara, suatu program sosialisasi sabuk keselamatan dan helm standar ketika itu menemui banyak kendala sehingga pelaksanaannya mengalami hambatan. Para pengguna jalan walaupun pernah dilakukan sosialisasi, namun pada kenyataannya tidak ada satu pun yang menggunakan helm standar maupun sabuk keselamatan. Menjadi mafhum karena sosialisasi dilaksanakan tanpa adanya suatu kreasi. Pelaksanaan sosialisasi yang datar tidak akan membangkitkan minat pengguna jalan untuk mengikuti apa yang kita sosialisasikan. Untuk itulah maka penulis mengikutsertakan jalur akademis yaitu pelibatan mahasiswa. Dan dengan sedikit sentuhan aksi teatrikal dari mahasiswa seni salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Kendari (dan dipadukan dengan pola kampanye lain seperti pembagian pamflet, stiker maupun brosur), akhirnya program pemakaian helm standar dan sabuk keselamatan dapat berjalan dengan lancar dan pengemudi kendaraan roda empat/lebih sampai saat ini memakai sabuk keselamatan kemanapun mereka pergi. Jadi dengan demikian, penyampaian suatu pesan lalu lintas dengan menggunakan media aksi teatrikal sah-sah saja digunakan, asalkan dengan suatu perencanaan yang matang dan didukung oleh unit-unit teater yang bisa mengaplikasikan apa kemauan dari Polantas untuk diterjemahkan dalam bahasa seni sehingga masyarakat pengguna jalan dengan sekali melihat aksi tersebut akan tergerak hatinya untuk mengikuti apa yang sudah menjadi suatu aturan demi mewujudkan budaya tertib lalu lintas.
f. Pemanfaatan Kendaraan Bermotor
Salah satu kreasi program tertib lalu lintas adalah berupa penyampaian pesan lewat kendaraan bermotor. Kendaraan yang dimaksud bisa memanfaatkan kendaraan dinas yang ada atau dengan memodifikasi suatu kendaraan sehingga menjadi suatu kendaraan yang memiliki media penyampaian pesan kepada para pengguna jalan. Ditlantas Mabes Polri memang telah menyebarkan kendaraan-kendaraan Dikmas Lantas berikut dengan berbagai alat peraga didalamnya, kendaraan Dikmas Lantas itu bisa dimanfaatkan sebagai pemutaran film keliling, program Polsanak (Polisi Sahabat Anak), perpustakaan lalu lintas berjalan, dan lain-lain. Namun ada juga kesatuan lalu lintas yang memanfaatkan kendaraan dinasnya yang dimodifikasi untuk menjadi media penyampaian pesan. Hal ini bisa dilihat di Polres Rembang dengan pemanfaatan “Gerobak Dikmas Lantas”, suatu kendaraan roda dua yang dikaitkan dengan gerobak yang memuat pesan-pesan yang sewaktu-waktu bisa diganti-ganti isi pesan tersebut tergantung dari apa isu yang sedang hangat yang dikembangkan oleh Satuan Lalu Lintas tersebut. Banyak ide-ide yang bisa dikembangkan dengan menggandengkan unsur seni dan pemanfaatan kendaraan dinas seperti penggunaan truk polisi yang dibuka bak nya digantikan dengan bak datar yang bisa memuat sound-system untuk kampanye berjalan (bisa diiringi dengan musik dan tari diatasnya), atau bisa juga digantikan dengan penggunaan trailer. Bisa juga dengan merubah spesifikasi kendaraan patroli lalu lintas menjadi seperti mobil penjaja roti (yang terdapat tenda awning di sisi kanan atau kiri kendaraan), dimaksudkan untuk kendaraan peristirahatan (rest driver vehicle) bagi pengemudi jarak jauh, sehingga Polantas yang sedang patroli jarak jauh juga bisa mengajak pengguna jalan untuk duduk beristirahat, bisa sambil minum kopi (yang disajikan di kendaraan Polantas tadi) atau sambil ngobrol-ngobrol dengan diselipkan pesan-pesan lalu lintas kepada pengguna jalan tadi. Langkah kreatif bisa juga dikembangkan dengan menggunakan media kendaraan lain bukan milik Satlantas, seperti pemanfaatan ruang kosong (free space) pada badan bus atau truk milik swasta guna dimasukkan himbauan-himbauan lalu lintas (iklan berjalan), atau bisa juga pada becak dan delman dipasangkan pesan-pesan lalu lintas pada body-nya. Selain menambah cantik dandanan transportasi publik tersebut, juga sebagai sarana kampanye tertib lalu lintas. Karena tidak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat kita masih menggunakan kendaraan publik tersebut untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Sehingga dengan dandanan seperti itu, masyarakat memiliki rasa keingintahuan apa yang disampaikan oleh Polantas. Jadi dengan orang tertarik tentunya pesan yang disampaikan akan semakin diikuti. Ini juga sebagai paradigma baru Polantas yang juga mengedepankan kemitraan pada masyarakat, terutama pemilik kendaraan publik. Dengan semakin padu koordinasi antara pemilik kendaraan publik dan Polantas, semakin mudah pula Polantas mentransformasi ketentuan lalu lintas kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan semakin mengerti akan arti pentingnya tertib berlalu lintas di jalan.
Referensi:
Kunarto. Merenungi Kritik Terhadap Polri; Masalah Lalu Lintas. Jakarta: Cipta Manunggal.
Wartamana, I Made. Dikmas Lantas ala Kesenian Bondres. Majalah MARKA edisi XVIII/2002 No.18/Tahun ke-4, h.42 – 43
Majalah MARKA Edisi XVIII/2002 No.18/tahun ke-4, h.38 Baca selengkapnya.....
DUKUNGAN INAFIS DALAM RANGKA IMPLEMENTASI e-KTP (KTP NASIONAL) NIK BERBASIS SIDIK JARI
Pendahuluan
Guna menutup munculnya data ganda yang rawan dimanfaatkan untuk kejahatan, Polri mulai menerapkan sistem terpadu pendataan berbasis sidik jari. Sistem terpadu ini dikelola oleh INAFIS atau Indonesia Automatic Fingerprint Identification System, yang merupakan sebuah sistem identifikasi database yang merekam setiap individu warganegara Indonesia, tak terkecuali bayi yang baru lahir sudah terekam kehadirannya lewat sistem ini. Sistem ini bekerja dengan mengambil semua sampel sidik jari warganegara secara terpadu dalam satu sistem pengelolaan agar birokrasi pendataan menjadi lebih efisien.
AFIS merupakan terobosan baru dalam teknologi kepolisian, sebagai transfer teknologi ilmu daktiloskopi yang selama ini masih menggunakan sistem manual. Kesadaran akan pentingnya pengidentifikasian untuk memecahkan suatu perkara kejahatan yang sulit seperti terorisme, pembobolan bank via ATM, pemilikan KTP ganda, dan lain-lain membuat pengembangan teknologi identifikasi semakin diperlukan. Sudah beberapa contoh identifikasi berkali-kali membantu kepolisian dalam mengungkap mozaik kasus-kasus sulit, seperti kasus bom Bali I tahun 2002 dimana dari sebuah onggokan logam nomor rangka ranmor bisa menyusun puzzle terorisme tingkat internasional. Terakhir, kasus kepemilikan KTP ganda milik gembong teroris Asia Tenggara, Dulmatin, membuat teknologi AFIS diyakini sebagai salah satu solusi identifikasi bukan saja bagi pihak kepolisian namun instansi-instansi yang ikut memanfaatkannya.
Seiring dengan arus globalisasi yang juga menyeret teknologi kepada perkembangan inovasi industrinya, membuat tindak kejahatan semakin beragam modusnya sehingga lumrah apabila banyak kasus kejahatan belum bisa terungkap dengan cepat, salah satu penyebabnya adalah polisi belum mengimbanginya dengan teknologi yang maju pula. Teknologi kepolisian sekarang kebanyakan adalah teknologi yang dikhususkan untuk menghadapi massa seperti teknologi menghadapi unjuk rasa, GPS, peralatan anti-teror, teknologi lalu lintas, dan lain-lain. Sedangkan teknologi di bidang penyidikan reskrim belum berkembang secara signifikan, hal ini disebabkan kepolisian sebagai penyidik belum memiliki bank data berbasis sidik jari dari setiap penduduknya untuk dibandingkan dengan sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian perkara, padahal diketahui sidik jari merupakan sistem identifikasi paling kuno namun efektif untuk pemecahan kasus kejahatan.
Penggunaan sidik jari pada jaman dahulu oleh para kaisar Cina dipakai untuk mengesahkan dokumen perjalanan, sampai akhirnya Sir Henry Faulds menjadi orang pertama yang menemukan sidik jari sebagai tanda pengenal diri (1880). Ia mengatakan bahwa pola yang ada di bagian bawah jari tangan ini akan menjadi hal terpenting dalam mengidentifikasi dan menyelidikan tindak kejahatan yang terjadi (Lee, 2007: 117). Dalam KUHP, sidik jari merupakan komponen utama yang harus dicari oleh seorang penyidik. Sidik jari merupakan barang bukti yang efektif sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP, karena melalui identifikasi sidik jari maka kekeliruan dalam pembuktian di persidangan dapat dihindari (Sitompul, 2005: 33).
Oleh sebab itu, kedepannya nanti INAFIS dapat menjadi muara berbagai macam pendataan yang terkait warganegara, yang selama ini dilakukan juga oleh berbagai instansi pemerintahan. Diharapkan semua sidik jari penduduk Indonesia dapat disimpan dalam satu database sidik jari nasional dan ini akan menunjang program transformasi KTP nasional yang hanya memiliki satu single identification number (SIN) atau nomor induk kependudukan (NIK) untuk satu warganegara. SIN ini kelak akan berwujud sebuah kartu pintar (smart card) layaknya ATM yang lengkap dengan chip yang mencatat semua sejarah kehidupan pemiliknya, baik biodata maupun catatan kriminal yang pernah dilakukannya selama hidup.
Dukungan INAFIS Mewujudkan e-KTP Berbasis Sidik Jari
Untuk menjadi bank data sidik jari nasional, maka Polri pun melengkapi peralatan AFIS-nya dengan telah memasang jaringan VPN-IP di 31 Polda jajaran, dengan kemampuan bandwindth sebesar 62 Kbps share (dibagi dengan unit lain selain INAFIS). Lalu Polri merangkul kerjasama dengan Depdagri dalam mendukung SIN berbasis sidik jari. Polri yang selama ini melakukan identifikasi sidik jari untuk keperluan SIM, SKCK, dan catatan kriminal lainnya akan menggandeng penggunaan KTP sebagai komponen utama mewujudkan SIN untuk satu warganegara. Dimana nantinya setiap warganegara yang hendak membuat KTP diwajibkan mengisi formulir bersama yang memuat foto diri dan 10 sidik jari untuk sinyalemen formulir. Kemudian akan diadakan verifikasi check duplikasi berdasarkan sidik jari melalui INAFIS server dan Depdagri server yang telah terhubung secara on-line sehingga nantinya dari masing-masing server yang terhubung dapat memberitahukan bahwa akses SIN dapat dilakukan bagi pemohon KTP baru, lalu apabila terdapat pemohon KTP lama yang berniat mengganti baru melalui cara-cara tidak bertanggungjawab (merubah identitas diri) dapat diketahui dari file sidik jari yang telah tersimpan sebelumnya. Kalau tidak ada masalah, maka si warganegara dapat memiliki kartu INAFIS dan KTP sekaligus.
Jika menilik dari semangat kerjasama ini, ada beberapa hal yang ingin didapat dari adanya e-KTP ini yaitu adanya rekam jejak warganegara dalam hal medical record, criminal record, daftar keluarga, dan lainnya dalam satu kartu (smart card). Namun apabila verifikasi hanya bisa dilakukan oleh Depdagri dan kepolisian maka beberapa lokasi rawan kejahatan tingkat tinggi masih belum bisa menggunakan fasilitas e-KTP ini seperti hotel, bank, rumah sakit, atau perpustakaan. Ini disebabkan untuk memuat data yang dikehendaki sebagai rekam jejak harus memiliki kemampuan chip yang memadai pula. Apabila chip yang dipakai sebagai e-KTP berkapasitas rendah, maka hanya sebagian data saja yang terekam dalam chip tersebut. Kalau sudah begini, maka e-KTP hanyalah sebatas identitas diri saja layaknya KTP biasa, namun keunggulannya sidik jari sudah terekam dalam bank data. Padahal dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, chip e-KTP harus memuat data tentang peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan (lihat pasal 64 ayat (3) dan pasal 1 ayat (17) UU No.23/2006).
Dalam upayanya melaksanakan program akselerasi pengembangan INAFIS sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Proja Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, maka Polri berupaya mengembangkan teknologi AFIS ini ke seluruh Polda jajaran bahkan sampai ke Polres dan Polsek. Untuk tahun 2009, sistem ini akan diimplementasikan di seluruh Polda, dua tahun kedepan giliran Polres, dan dua tahun berikutnya menjangkau Polsek, sehingga diharapkan 2013 seluruh jajaran kepolisian sudah terjangkau sistem AFIS ini.
Pengaruh Penerapan e-KTP Terhadap Profesionalisme Polri
Semangat penerapan INAFIS sebagai basis data sidik jari sangat berpengaruh pada perilaku profesionalisme personel Polri. Sarana AFIS yang cukup mahal menjadi kendala bagi penerapan sistem ini, apalagi ada beberapa daerah yang merasa belum siap untuk pengadaannya sehingga mendesak untuk ditunda atau dihapuskan kebijakan e-KTP ini (puspen.depdagri.go.id, 2010). Ada juga Polres/tabes yang sudah mengembangkan sistem ini bekerjasama dengan Pemda setempat seperti di Kepri, Jateng, Jatim, Jabar, DKI Jaya, atau Pontianak.
Profesionalisme Polri dalam menghadapi akselerasi transformasi kepolisian dituntut pada masih berkembangnya birokrasi primordial dalam pelayanan Polri kepada masyarakat, dimana budaya paternalistik turut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto dkk, 2006: 2). Sikap ingin dipuji oleh atasan, inovasi yang berlebihan (tidak akuntabel dan transparan), mempertahankan status quo, empire building (membina kekuasaan), dan lain-lain, masih menyertai semangat Polri untuk membangun INAFIS sebagai sentra database kependudukan.
Pemda akan berlomba-lomba memasukkan anggaran pengadaan e-KTP kedalam APBD-nya, sedangkan Polri mengharapkan anggaran pembangunan kekuatan yang berasal dari APBN untuk membangun INAFIS. Disatu sisi pengadaan e-KTP dapat memunculkan KKN baru, anggaran pengadaan dapat di mark-up (penggelembungan) oleh lembaga yang terkait dengan masalah ini. Sedangkan untuk membangun sistem AFIS, akhirnya banyak Polda atau Polres yang mengadakan sendiri (swadaya) sarana AFIS meskipun berjumlah ratusan juta.
Ini semua dilakukan agar oknum pejabat Polda atau Polres bisa mendapat nama dihadapan pimpinannya karena telah berhasil mengembangkan teknologi kepolisian tanpa harus ”meminta-minta” kepada Mabes Polri, akhirnya di tengah belum terpenuhinya anggaran Polri yang memadai dari pos APBN untuk pengadaan AFIS, beberapa fungsi kepolisian menjadi favorit untuk cepat mewujudkan keinginan dari sebagian anggota Polri, baik itu bersifat pribadi atau kelembagaan, sehingga kita mengenal istilah partisipasi masyarakat (parmas), partisipasi teman (parman), partisipasi kriminal (parmin) di lingkungan Polri yang dikelola oleh oknum Polri itu sendiri demi tercapainya tujuan akselerasi transformasi informasi tersebut (Muradi, 2009: 349).
Penutup
Keinginan Polri untuk mengimplementasikan INAFIS sebagai basis data kependudukan Indonesia sejatinya merupakan langkah maju bagi sistem pendataan kita. Apalagi dengan beberapa kerjasama yang dilakukan Polri dengan sejumlah instansi untuk mengadakan sarana AFIS agar dapat terhubung secara on-line, membuat tujuan Polri agar akselerasi transformasi Polri dapat diraih sehingga upaya Polri untuk memelihara kamtibmas dan mencegah kejahatan dapat terwujud. Namun implementasi ini dapat terkendala lantaran terjebak pembiayaan dan pilihan teknologi yang diterapkan.
Kebutuhan dana sebesar 6,7 trilyun rupiah untuk proyek pengadaan e-KTP dirasakan cukup fantantis dan terindikasi rawan mark-up. Database dalam chip yang seharusnya memuat seluruh rekam jejak individu, akan terhambat oleh kapasitas chip yang nantinya dapat dipenuhi oleh pembiayaan yang minim. Kemudian penerapan teknologi e-KTP ini diharapkan dapat memangkas birokrasi pada instansi lain yang diakses oleh masyarakat, bahwa sistem ini seharusnya memenuhi prinsip-prinsip tepat guna (appropriate) mendukung sistem pelayanan administrasi kependudukan, bertahan cukup lama (long life dan tidak mudah face out), efisien, aman, mudah dioperasionalkan dan murah pemeliharaannya, serta dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia dengan support yang selalu tersedia dan relatif cepat (Nuryanto, 2010).
Untuk itu keinginan Polri agar dapat membangun INAFIS sebagai pusat data sidik jari nasional yang terhubung dengan instansi-instansi terkait lainnya janganlah mengorbankan prinsip-prinsip profesionalisme Polri dalam upayanya menegakkan hukum. Polri yang mandiri bukan berarti setiap pejabatnya dituntut menghalalkan segala cara membangun kekuatan Polri dengan upaya yang tidak akuntabel dan transparan, namun lebih kepada mempertanggungjawabkan amanah rakyat untuk tidak berpihak pada kekuatan apapun (netral) dan pekerjaan yang tidak dilakukan secara amatir (Suwarni, 2009: 75).
DAFTAR ACUAN:
Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lee, Sarah. 2007. Rahasia Garis Tangan. Jakarta: WahyuMedia.
e-KTP, Desak Ditunda atau Dibatalkan. http://puspen.depdagri.go.id, 11 Januari 2010.
Muradi. 2009. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nuryanto, Hemat Dwi. 2010. Menyoal Teknologi dan Biaya Proyek e-KTP. http://hdn.zamrudtechnology.com, 7 Januari.
Sitompul, DPM. 2005. Beberapa Tugas dan Wewenang Polri. Jakarta: tanpa penerbit.
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi; Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi. Bandung: Nusa Media. Baca selengkapnya.....
Guna menutup munculnya data ganda yang rawan dimanfaatkan untuk kejahatan, Polri mulai menerapkan sistem terpadu pendataan berbasis sidik jari. Sistem terpadu ini dikelola oleh INAFIS atau Indonesia Automatic Fingerprint Identification System, yang merupakan sebuah sistem identifikasi database yang merekam setiap individu warganegara Indonesia, tak terkecuali bayi yang baru lahir sudah terekam kehadirannya lewat sistem ini. Sistem ini bekerja dengan mengambil semua sampel sidik jari warganegara secara terpadu dalam satu sistem pengelolaan agar birokrasi pendataan menjadi lebih efisien.
AFIS merupakan terobosan baru dalam teknologi kepolisian, sebagai transfer teknologi ilmu daktiloskopi yang selama ini masih menggunakan sistem manual. Kesadaran akan pentingnya pengidentifikasian untuk memecahkan suatu perkara kejahatan yang sulit seperti terorisme, pembobolan bank via ATM, pemilikan KTP ganda, dan lain-lain membuat pengembangan teknologi identifikasi semakin diperlukan. Sudah beberapa contoh identifikasi berkali-kali membantu kepolisian dalam mengungkap mozaik kasus-kasus sulit, seperti kasus bom Bali I tahun 2002 dimana dari sebuah onggokan logam nomor rangka ranmor bisa menyusun puzzle terorisme tingkat internasional. Terakhir, kasus kepemilikan KTP ganda milik gembong teroris Asia Tenggara, Dulmatin, membuat teknologi AFIS diyakini sebagai salah satu solusi identifikasi bukan saja bagi pihak kepolisian namun instansi-instansi yang ikut memanfaatkannya.
Seiring dengan arus globalisasi yang juga menyeret teknologi kepada perkembangan inovasi industrinya, membuat tindak kejahatan semakin beragam modusnya sehingga lumrah apabila banyak kasus kejahatan belum bisa terungkap dengan cepat, salah satu penyebabnya adalah polisi belum mengimbanginya dengan teknologi yang maju pula. Teknologi kepolisian sekarang kebanyakan adalah teknologi yang dikhususkan untuk menghadapi massa seperti teknologi menghadapi unjuk rasa, GPS, peralatan anti-teror, teknologi lalu lintas, dan lain-lain. Sedangkan teknologi di bidang penyidikan reskrim belum berkembang secara signifikan, hal ini disebabkan kepolisian sebagai penyidik belum memiliki bank data berbasis sidik jari dari setiap penduduknya untuk dibandingkan dengan sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian perkara, padahal diketahui sidik jari merupakan sistem identifikasi paling kuno namun efektif untuk pemecahan kasus kejahatan.
Penggunaan sidik jari pada jaman dahulu oleh para kaisar Cina dipakai untuk mengesahkan dokumen perjalanan, sampai akhirnya Sir Henry Faulds menjadi orang pertama yang menemukan sidik jari sebagai tanda pengenal diri (1880). Ia mengatakan bahwa pola yang ada di bagian bawah jari tangan ini akan menjadi hal terpenting dalam mengidentifikasi dan menyelidikan tindak kejahatan yang terjadi (Lee, 2007: 117). Dalam KUHP, sidik jari merupakan komponen utama yang harus dicari oleh seorang penyidik. Sidik jari merupakan barang bukti yang efektif sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP, karena melalui identifikasi sidik jari maka kekeliruan dalam pembuktian di persidangan dapat dihindari (Sitompul, 2005: 33).
Oleh sebab itu, kedepannya nanti INAFIS dapat menjadi muara berbagai macam pendataan yang terkait warganegara, yang selama ini dilakukan juga oleh berbagai instansi pemerintahan. Diharapkan semua sidik jari penduduk Indonesia dapat disimpan dalam satu database sidik jari nasional dan ini akan menunjang program transformasi KTP nasional yang hanya memiliki satu single identification number (SIN) atau nomor induk kependudukan (NIK) untuk satu warganegara. SIN ini kelak akan berwujud sebuah kartu pintar (smart card) layaknya ATM yang lengkap dengan chip yang mencatat semua sejarah kehidupan pemiliknya, baik biodata maupun catatan kriminal yang pernah dilakukannya selama hidup.
Dukungan INAFIS Mewujudkan e-KTP Berbasis Sidik Jari
Untuk menjadi bank data sidik jari nasional, maka Polri pun melengkapi peralatan AFIS-nya dengan telah memasang jaringan VPN-IP di 31 Polda jajaran, dengan kemampuan bandwindth sebesar 62 Kbps share (dibagi dengan unit lain selain INAFIS). Lalu Polri merangkul kerjasama dengan Depdagri dalam mendukung SIN berbasis sidik jari. Polri yang selama ini melakukan identifikasi sidik jari untuk keperluan SIM, SKCK, dan catatan kriminal lainnya akan menggandeng penggunaan KTP sebagai komponen utama mewujudkan SIN untuk satu warganegara. Dimana nantinya setiap warganegara yang hendak membuat KTP diwajibkan mengisi formulir bersama yang memuat foto diri dan 10 sidik jari untuk sinyalemen formulir. Kemudian akan diadakan verifikasi check duplikasi berdasarkan sidik jari melalui INAFIS server dan Depdagri server yang telah terhubung secara on-line sehingga nantinya dari masing-masing server yang terhubung dapat memberitahukan bahwa akses SIN dapat dilakukan bagi pemohon KTP baru, lalu apabila terdapat pemohon KTP lama yang berniat mengganti baru melalui cara-cara tidak bertanggungjawab (merubah identitas diri) dapat diketahui dari file sidik jari yang telah tersimpan sebelumnya. Kalau tidak ada masalah, maka si warganegara dapat memiliki kartu INAFIS dan KTP sekaligus.
Jika menilik dari semangat kerjasama ini, ada beberapa hal yang ingin didapat dari adanya e-KTP ini yaitu adanya rekam jejak warganegara dalam hal medical record, criminal record, daftar keluarga, dan lainnya dalam satu kartu (smart card). Namun apabila verifikasi hanya bisa dilakukan oleh Depdagri dan kepolisian maka beberapa lokasi rawan kejahatan tingkat tinggi masih belum bisa menggunakan fasilitas e-KTP ini seperti hotel, bank, rumah sakit, atau perpustakaan. Ini disebabkan untuk memuat data yang dikehendaki sebagai rekam jejak harus memiliki kemampuan chip yang memadai pula. Apabila chip yang dipakai sebagai e-KTP berkapasitas rendah, maka hanya sebagian data saja yang terekam dalam chip tersebut. Kalau sudah begini, maka e-KTP hanyalah sebatas identitas diri saja layaknya KTP biasa, namun keunggulannya sidik jari sudah terekam dalam bank data. Padahal dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, chip e-KTP harus memuat data tentang peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan (lihat pasal 64 ayat (3) dan pasal 1 ayat (17) UU No.23/2006).
Dalam upayanya melaksanakan program akselerasi pengembangan INAFIS sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Proja Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, maka Polri berupaya mengembangkan teknologi AFIS ini ke seluruh Polda jajaran bahkan sampai ke Polres dan Polsek. Untuk tahun 2009, sistem ini akan diimplementasikan di seluruh Polda, dua tahun kedepan giliran Polres, dan dua tahun berikutnya menjangkau Polsek, sehingga diharapkan 2013 seluruh jajaran kepolisian sudah terjangkau sistem AFIS ini.
Pengaruh Penerapan e-KTP Terhadap Profesionalisme Polri
Semangat penerapan INAFIS sebagai basis data sidik jari sangat berpengaruh pada perilaku profesionalisme personel Polri. Sarana AFIS yang cukup mahal menjadi kendala bagi penerapan sistem ini, apalagi ada beberapa daerah yang merasa belum siap untuk pengadaannya sehingga mendesak untuk ditunda atau dihapuskan kebijakan e-KTP ini (puspen.depdagri.go.id, 2010). Ada juga Polres/tabes yang sudah mengembangkan sistem ini bekerjasama dengan Pemda setempat seperti di Kepri, Jateng, Jatim, Jabar, DKI Jaya, atau Pontianak.
Profesionalisme Polri dalam menghadapi akselerasi transformasi kepolisian dituntut pada masih berkembangnya birokrasi primordial dalam pelayanan Polri kepada masyarakat, dimana budaya paternalistik turut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto dkk, 2006: 2). Sikap ingin dipuji oleh atasan, inovasi yang berlebihan (tidak akuntabel dan transparan), mempertahankan status quo, empire building (membina kekuasaan), dan lain-lain, masih menyertai semangat Polri untuk membangun INAFIS sebagai sentra database kependudukan.
Pemda akan berlomba-lomba memasukkan anggaran pengadaan e-KTP kedalam APBD-nya, sedangkan Polri mengharapkan anggaran pembangunan kekuatan yang berasal dari APBN untuk membangun INAFIS. Disatu sisi pengadaan e-KTP dapat memunculkan KKN baru, anggaran pengadaan dapat di mark-up (penggelembungan) oleh lembaga yang terkait dengan masalah ini. Sedangkan untuk membangun sistem AFIS, akhirnya banyak Polda atau Polres yang mengadakan sendiri (swadaya) sarana AFIS meskipun berjumlah ratusan juta.
Ini semua dilakukan agar oknum pejabat Polda atau Polres bisa mendapat nama dihadapan pimpinannya karena telah berhasil mengembangkan teknologi kepolisian tanpa harus ”meminta-minta” kepada Mabes Polri, akhirnya di tengah belum terpenuhinya anggaran Polri yang memadai dari pos APBN untuk pengadaan AFIS, beberapa fungsi kepolisian menjadi favorit untuk cepat mewujudkan keinginan dari sebagian anggota Polri, baik itu bersifat pribadi atau kelembagaan, sehingga kita mengenal istilah partisipasi masyarakat (parmas), partisipasi teman (parman), partisipasi kriminal (parmin) di lingkungan Polri yang dikelola oleh oknum Polri itu sendiri demi tercapainya tujuan akselerasi transformasi informasi tersebut (Muradi, 2009: 349).
Penutup
Keinginan Polri untuk mengimplementasikan INAFIS sebagai basis data kependudukan Indonesia sejatinya merupakan langkah maju bagi sistem pendataan kita. Apalagi dengan beberapa kerjasama yang dilakukan Polri dengan sejumlah instansi untuk mengadakan sarana AFIS agar dapat terhubung secara on-line, membuat tujuan Polri agar akselerasi transformasi Polri dapat diraih sehingga upaya Polri untuk memelihara kamtibmas dan mencegah kejahatan dapat terwujud. Namun implementasi ini dapat terkendala lantaran terjebak pembiayaan dan pilihan teknologi yang diterapkan.
Kebutuhan dana sebesar 6,7 trilyun rupiah untuk proyek pengadaan e-KTP dirasakan cukup fantantis dan terindikasi rawan mark-up. Database dalam chip yang seharusnya memuat seluruh rekam jejak individu, akan terhambat oleh kapasitas chip yang nantinya dapat dipenuhi oleh pembiayaan yang minim. Kemudian penerapan teknologi e-KTP ini diharapkan dapat memangkas birokrasi pada instansi lain yang diakses oleh masyarakat, bahwa sistem ini seharusnya memenuhi prinsip-prinsip tepat guna (appropriate) mendukung sistem pelayanan administrasi kependudukan, bertahan cukup lama (long life dan tidak mudah face out), efisien, aman, mudah dioperasionalkan dan murah pemeliharaannya, serta dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia dengan support yang selalu tersedia dan relatif cepat (Nuryanto, 2010).
Untuk itu keinginan Polri agar dapat membangun INAFIS sebagai pusat data sidik jari nasional yang terhubung dengan instansi-instansi terkait lainnya janganlah mengorbankan prinsip-prinsip profesionalisme Polri dalam upayanya menegakkan hukum. Polri yang mandiri bukan berarti setiap pejabatnya dituntut menghalalkan segala cara membangun kekuatan Polri dengan upaya yang tidak akuntabel dan transparan, namun lebih kepada mempertanggungjawabkan amanah rakyat untuk tidak berpihak pada kekuatan apapun (netral) dan pekerjaan yang tidak dilakukan secara amatir (Suwarni, 2009: 75).
DAFTAR ACUAN:
Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lee, Sarah. 2007. Rahasia Garis Tangan. Jakarta: WahyuMedia.
e-KTP, Desak Ditunda atau Dibatalkan. http://puspen.depdagri.go.id, 11 Januari 2010.
Muradi. 2009. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nuryanto, Hemat Dwi. 2010. Menyoal Teknologi dan Biaya Proyek e-KTP. http://hdn.zamrudtechnology.com, 7 Januari.
Sitompul, DPM. 2005. Beberapa Tugas dan Wewenang Polri. Jakarta: tanpa penerbit.
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi; Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi. Bandung: Nusa Media. Baca selengkapnya.....
Senin, 05 April 2010
KAPOLRI: “Saya Prihatin…..Profesionalisme Reserse Harus Ditegakkan!”
“Banyak hal yang menjadi keprihatinan kita, dan justru malah terjadi di pembina fungsi tingkat pusat" (Jenderal Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri, MM)
Keprihatinan ini disampaikan Kapolri pada saat memberikan arahan di depan perwira jajaran Reskrim se-Indonesia pada acara Rakernis dan Penataran Fungsi Reserse Polri tahun 2010 bertempat di Hotel Mercure, Jakarta Pusat dari tanggal 5 s/d 8 April 2010. Dengan mengusung tema “Dengan Semangat Reformasi Kita Wujudkan Penyidik yang Profesional, Humanis, Berempati, Demi Tercapainya Proses Penyidikan yang Murah, Akuntabel, Transparan, dan Legitimate”, Kapolri membuka Rakernis ini dengan membawa topik seputar issue yang terjadi di tubuh Polri akhir-akhir ini terutama mengenai kasus mafia hukum, lebih lanjut dalam sambutannya Kapolri dalam waktu dekat akan meminta saran pendapat dari para mantan Kapolri serta memanggil seluruh Kapolda untuk segera menentukan sikap mengenai arah kemajuan Polri ke depannya nanti.
Fungsi reserse sebagai corps business Polri harus dibuktikan untuk menjadi barometer dari reformasi Polri. Dimana terdapat 2 (dua) variabel dalam rakernis ini yaitu penyidik dan proses penyidikannya. Polri sudah mulai menunjukkan arah reformasinya secara instrumental dengan dibuatnya piranti lunak sebagai pedoman kerja Polri, kemudian secara struktural akan melaksanakan restrukturisasi organisasi, dan aspek kultural inilah yang selama ini masih menyedihkan, belum ada perubahan dari individu pengemban fungsinya masing-masing.
Dalam rangka reformasi birokrasi, sebenarnya Polri sudah mengusung konsep Quick Wins dimana didalamnya termasuk fungsi reserse untuk melakukan perubahan kultur pada aspek transparansi dan akuntabilitasnya. Dimana kedepan tidak ada lagi kasus yang disidik merupakan rahasia, jangan ada kecurigaan dari masyarakat bahwa polisi sengaja mempersulit penyelesaian kasus hanya untuk mengejar materi semata. Sebagai penyidik, tambah Kapolri, harus bisa memberikan kesejukan dan memberikan kepastian hukum, komplain dari masyarakat harus bisa dijawab, kalau perlu segera dituntaskan.
Dalam pada ini Kapolri menyayangkan SDM fungsi reserse yang masih saja coba-coba melanggar bijak prioritas Kapolri, seperti main judi, narkoba, terlibat pembalakan liar, dan hal-hal yang ilegal lainnya. Kapolri mengambil contoh sudah diambilnya tindakan terhadap beberapa pejabat Polres seperti di Jakarta Utara dan Bali. Kapolri menambahkan bahwa bagi mereka yang melanggar bijak prioritas Kapolri ini dengan sendirinya akan tersingkir dari kompetisi karir Polri ke depannya.
Kapolri kemudian mengungkapkan banyak hal yang menjadi keprihatinan kita, yang justru terjadi pada pembina fungsi tingkat pusat (Bareskrim). Kemudian beliau mendapat laporan bahwa di daerah masih ada pola-pola penyiksaan tersangka hanya sekedar mengejar pengakuan tersangka, kemudian di Polda Metro Jaya ada yang merekayasa kasus. Dalam hal ini seharusnya jajaran kepolisian menyadari bahwa sekarang bukan jamannya untuk melakukan hal-hal yang tidak profesional tersebut, karena di era keterbukaan ini masyarakat sudah berani untuk mengkritisi setiap tindakan Polri yang dinilai berada diluar jalurnya. Perlu diketahui bahwa 80% keluhan masyarakat ditujukan kepada fungsi reserse, untuk itu jajaran reserse Polri harus segera melakukan perubahan.
Bola panas perilaku oknum reserse ini akhirnya dipolitisir untuk diarahkan kepada penggantian Kapolri dan reposisi Polri. Kapolri kemudian membandingkan sistem evaluasi kinerja di Babinkam dengan Bareskrim. Sistem evaluasi di Babinkam dilakukan secara periodik, sehingga program Polri pada fungsi yang berada di bawah Babinkam dapat terlaksana dengan baik. Namun mengapa evaluasi di Bareskrim berjalan lambat? Disini harus ada peran penting dari para manajer pelaksana mulai dari level bawah sampai level pimpinannya. Penanganan suatu kasus seharusnya terlebih dulu dilaksanakan gelar perkara awal, tengah, sampai akhir. Dan itu melibatkan seluruh komponen yang berkompeten dalam sistem peradilan. Untuk itulah Kapolri menyebut acara rakernis ini sebagai bagian dari “Keroyok Serse”, namun jangan diartikan sebagai penghancuran reserse, namun lebih kepada upaya membangkitkan kembali keprofesionalitasan penyidik reserse Polri.
Kapolri menilai hal ini berkaitan dengan minimnya SDM reserse Polri yang berkualitas. Sebagai sampel, dari sekitar 5000-an Polsek yang ada di Indonesia, 3000-an Kanit Reskrimnya diawaki oleh bintara yang tidak memiliki kejuruan reserse. Kemudian 800-an perwira dari Secapa/Akpol yang juga belum memiliki dikjur reserse namun kepingin jadi Kasat Reserse. Akhirnya, karena sama-sama tidak memiliki pengetahuan yang cukup yang ada hanyalah pengalaman yang berbicara yang penting adalah mencapai P21 di tingkat kejaksaan, namun substansi dari penyidikan tersebut tidak diindahkan.
Oleh sebab itu maka Kapolri menekankan dua hal, yaitu:
1. Segera inventarisir penyimpangan dalam penyidikan/penyelidikan untuk ditemukan benang merah dari penyimpangan perilaku penyidik selama ini.
2. Tingkatkan profesionalisme dengan dilandasi integritas moral penyidiknya.
Untuk menuju kesana maka ada beberapa pertanyaan yang sebelumnya harus dijawab oleh masing-masing individu penyidik reserse Polri yaitu:
1. Agar dalam bertindak, hindari arogansi kepolisian dengan memiliki perasaan tidak hebat sendiri, harus rendah hati karena dengan memiliki rasa rendah hati tersebut akan menjadi fondasi pembentukan watak, jatidiri, karakter dari siapapun.
2. Penyidik harus memiliki integritas. Integritas adalah ciri manusia yang berkarakter. Ini harus didukung pada apakah pola pikir, pola sikap sudah sesuai dengan integritas?
3. Apakah sebagai individu reserse ada kemauan untuk berubah?
Mengibaratkan Polri adalah sebuah “pohon krisis” dimana akarnya kuat, batangnya tumbuh, namun daunnya tidak ada, ini menandakan apakah terjadi krisis kepemimpinan, keteladanan, kejujuran, komitmen, dan kepercayaan di tubuh Polri? Kalau memang terjadi krisis maka hal yang dilakukan adalah:
1. Internalisasi tata nilai di jajaran reserse.
2. Tanamkan karakter, jatidiri, dan integritas dalam diri individu reserse.
3. Tingkatkan profesionalisme penyidikan.
Sebagai penutup sambutan, Kapolri menekankan bahwa rakernis ini berfungsi untuk masing-masing menemukan solusi dari pertanyaan-pertanyaan moral tersebut, agar kedepannya fungsi reserse dapat menjadi barometer dari reformasi Polri seutuhnya. Baca selengkapnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)