Senin, 30 Januari 2012

ADAT ISTIADAT SEBAGAI SALAH SATU SUMBER ETIKA YANG HARUS DIPEDOMANI ANGGOTA POLISI


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaan ini ditandai dengan adanya kelebihan dalam hal memiliki kemampuan berpikir, hasrat nafsu. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya yang hanya cenderung memiliki satu kemampuan saja. Bahkan lebih jauh lagi, manusia dikatakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia. Kelebihan manusia yang sangat menonjol dan dibutuhkan dalam mempertahankan kehidupannya di dunia adalah kemampuan intelektualitasnya. Manusia sebagai makhluk intelektual ditandai oleh kemampuannya berfikir yang berfungsi untuk mengerti, mempertimbangkan/menganalisa dan mengambil keputusan guna membangun orientasi, sikap dan tindakan.
Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kemampuan ini dapat beragam manfaat mulai dari mengenal hal baru, memahami suatu fenomena lebih dalam, dapat mengetahui kelemahan sekaligus menganalisa, dapat mengantisipasi suatu tindakan dengan membuat strategi baru, sampai pada menemukan bentuk baru dari suatu hal. Kemampuan manusia ini dapat kita lihat pada setiap bidang tugas dan aktivitas. Tak terlepas, Polri salah satunya.
Setiap anggota Polri haruslah mengembangkan cara berfikir kritis analitis secara positif sesuai profesinya melalui perluasan pengetahuan, mengorientasikan diri ke arah keberhasilan, menghadapi orang-orang dengan penuh penghargaan sehubungan dengan kemampuan dan perannya, mewaspadai kelemahan dan kekuatan diri serta mensinergikan kemampuan kepemimpinan yang bersifat menguasai, musyawarah, membujuk, meneladani dan mendelegasikan sesuai situasi serta kondisi yang dihadapi.
Polisi diterima menjadi lembaga penegak utama dalam penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat karena keamanan dan ketertiban dapat diciptakan melalui cara paksaan yang dilakukan oleh negara atas nama rakyat (forcefull means). Hal ini dilakukan karena polisi merupakan lembaga kontrol sosial, sebagai salah satu kepanjangan tangan dari fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum.
Sebagai lembaga kontrol sosial, Polri mempunyai kewenangan yang konstan atas publik, pendidikan yang berkesinambungan, serta selalu siap dan mempunyai aturan yang membatasi dengan ketat dalam penggunaan senjata dan dengan cara damai (peacefull means) yang dilakukan organisasi atau asosiasi privat melalui cara-cara sosialisasi dan pengalaman kelompok.
Dengan kata lain Polisi mempunyai kriteria:
(1) Bekerja dan bertugas secara terus menerus selama 24 jam adalah polisi selaku pengemban harapan masyarakat
(2) Polisi itu terlatih dan selalu siap (profesional)
(3) Polisi sangat tidak gampang menggunakan senjata api
(4) Penguasaan tugas, wewenang, asas dan prinsip serta tanggung jawab secara benar.

Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya karena kepercayaan yang diberikan oleh rakyat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, maka setiap anggota Polri hendaknya bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan etika dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hal ini penting dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kamtibmas yang efektif dan mendapatkan kepercayaan yang penuh dari masyarakat.
Satu hal penting yang harus diperhatikan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya adalah bahwa masyarakat tidak hanya mengakui hukum positif saja yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga adat istiadat setempat yang masih kuat dan dijunjung tinggi, diperhatikan dan dihormati masyarakat. Beberapa kasus unras yang berakibat aksi anarkisme massa disinyalir sebagai kelemahan Polri dalam memanfaatkan keberadaan adat setempat sebagai salah satu "senjata" Polri dalam memelihara kamtibmas, belum ditambah dengan penyerangan-penyerangan markas polisi, ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi maupun aksi-aksi massa lain menambah panjang deretan catatan polisi dalam melakukan tindakan. Oleh sebab itu adat istiadat menjadi bagian penting dalam pelaksanaan pemolisian komunitas baik di level teritorial maupun kategorial (Chrysnanda, 2010: 77).

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana seorang anggota polisi harus mempelajari adat istiadat setempat demi terselenggaranya keamanan dan ketertiban yang efektif, karena adat-istiadat tersebut masih kuat di Indonesia dan masih bekerja serta diakui sebagai salah satu produk hukum yang bekerja pada masyarakat.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian-pengertian


Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar yang berhubungan dengan kebebasan dan tanggung jawab, suara hati dan etika pengembangan diri. Sedangkan etika khusus membahas penerapan dari prinsip-prinsip moral dasar tersebut dalam kehidupan yang nyata, baik dengan cara bertindak dalam artian benar/salah dan menata dalam artian baik/buruk.
Etika Kepolisian adalah:
• Norma tentang perilaku Polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan kemanan masyarakat,

• Serangkaian peraturan atau aturan yang ditetapkan untuk membimbing petugas dalam menentukan apakah tingkah laku pribadinya benar dan salah.

Sehingga jelaslah bahwa Etika Kepolisian merupakan etika khusus yang berlaku di kalangan Kepolisian baik dalam rangka interaksi internal dalam lingkungan kesatuannya dan interaksi dengan masyarakat khususnya dengan mereka yang menjadi pelanggar di tempatnya bertugas.

B. Adat Sebagai Etika

Ciri-ciri adat sebagai sistem etika di masyarakat Indonesia adalah:
1) Berisikan hal-hal yang harus dilakukan,
2) Merupakan urusan komunitas atau kelompok,
3) Peraturan-peraturan yang ada mencakup seluruh kehidupan,
4) Sumber tidak pribadi,
5) Jika sesuai dianggap wajar atau baik,
6) Diturunkan dari generasi ke generasi,
7) Dianggap memberi berkat,
8) Adanya sanksi-sanksi/reaksi masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi harus memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi adat yang berlaku di wilayah tugasnya. Hal ini berguna bagi membina terjalinnya kedekatan Polisi dengan masyarakat, sehingga pelaksanaan tugas Polisi di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dapat efektif. Makna kedekatan Polisi dengan masyarakat dalam rangka pemeliharaan kamtibmas adalah dimana kedekatan tersebut akan memudahkan petugas kepolisian untuk mengawasi dan memberikan rasa aman serta memberikan pelayanan yang diperlukan. Kedekatan juga akan membuka akses yang mudah untuk melaporkan dan meminta perlindungan terciptanya kepatuhan masyarakat akan hukum, petunjuk, nasihat dan arahan petugas Kepolisian.
Dengan memahami etika dengan mendalami adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat, maka Polisi akan mendapatkan manfaat:
(1) Dapat menyelami nilai luhur kemasyarakatan, sehingga akan menjamin kesamaan persepsi, kedekatan hubungan dan membangun pengertian, dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kamtibmas.

(2) Dapat mendalami hakekat nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu dipertahankan dan dijaga kelangsungannya demi kehidupan dan penghidupan masyarakat, sehingga dapat diupayakan menemukan filsafat, doktrin dan metode pemolisian yang tepat dengan sifat/hakikat sosial, budaya dan cita-cita masyarakat.

Menyinggung masalah adat, salah satu konsep pembinaan SDM Polri yaitu local job for local boy, merupakan salah satu pengejawantahan nyata konsep diatas. Konsep tersebut dirasakan cukup efektif karena beberapa hal, pertama, anggota yang bekerja lama pada suatu lokasi dinas akan mengenal masyarakat tempat ia bekerja; kedua, kedekatan polisi dengan masyarakat akan membuka “gembok” informasi dari masyarakat; ketiga, polisi akan tahu setiap gejala, baik yang sifatnya biasa sampai khusus yang terjadi di masyarakat; keempat, pada akhirnya polisi akan tampil sebagai penjaga sekaligus teman dari masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan tertib.
Selain itu, Polisi juga harus menjunjung tinggi profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Profesionalisme Polisi adalah sikap dan kecepatan petugas dalam merespon pelayanan kepada masyarakat untuk melindungi, memelihara ketertiban dan memulihkan ketertiban dari gangguan.
Aspek profesionalisme terdiri dari:
(1) Aspek nilai sosial dari pekerjaan yang berkenaan dengan pelayanan masyarakat, kebanggaan atas pekerjaan Polri dan penghargaan masyarakat,
(2) Aspek keterampilan teknis yang berdasarkan ilmu terapan, adanya persyaratan standar untuk pelaksanaannya dan adanya pelatihan yang terus menerus,
(3) Aspek kendali diri dan disiplin kerja manyangkut pengawasan diri terhadap pekerjaan tersebut, adanya rasa tanggung jawab yang mandiri, adanya keterikatan moral terhadap segi pekerjaan dan tugas tersendiri.

Pada hakikatnya setiap manusia ingin hidup dalam suasana yang aman dan tertib, oleh karena itu maka kewajiban Polisilah sesuai dengan tugas pokoknya untuk mewujudkan hal tersebut. Fungsi ketertiban bagi masyarakat dan kepolisian adalah suatu sistem tentang saling hubungan antar penduduk dan kebiasaan-kebiasaan yang beroperasi secara tak kelihatan guna terealisasinya kerja masyarakat.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta konfirmitas, solidaritas dan kontinuitas masyarakat sehingga mencapai tujuan agar masyarakat dapat dieksploitasi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri, dalam keteraturan, bergairah kerja dan membangun.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan


Walaupun etika tidak diberikan sanksi tertulis tetapi sanksinya lebih berat karena etika dapat membawa perasaan tidak enak, tidak dipercaya, dikucilkan, disindir, tidak disenangi di lingkungan kerjanya, merasa kualat, kadang-kadang lebih keras dan lebih menyiksa dari hukuman disiplin lainnya. Inilah yang disebut dalam ilmu sosial sebagai sanksi sosial.
Adakalanya dalam suatu masyarakat, penerapan sanksi sosial jauh lebih efektif daripada sanksi hukum. Seorang yang dihukum dalam penjara selama setahun dan keluar, kembali ke masyarakat disambut baik dengan masyarakat, tidak akan mengalami “perasaan tersiksa”. Namun situasi akan berbeda dengan seseorang yang tidak pernah dihukum karena suatu perbuatan pidananya, namun karena melanggar suatu hukum adat ia harus dicemooh, dikucilkan, dianggap tidak ada, dijauhi. Hal ini tentu saja jauh lebih berat.
Polisi yang baik adalah Polisi yang mengerti untuk apa dia berbuat, profesional baik maka secara moral juga akan baik. Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi hendaknya diharapkan bertindak dalam melaksanakan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud meliputi:
a. Mampu memahami bahwa masyarakat mempunyai aturan-aturan tentang adat istiadat, norma-norma itu sendiri, yang mungkin tidak terdapat di hukum positif di Indonesia. Tetapi norma-norma tersebut dijadikan aturan-aturan hukum yang mereka taati atas kemauannya sendiri karena memenuhi aspirasi keinginan mereka. Oleh karena itu diharapkan Polisi dapat mencari solusi yang terbaik yang tidak bertentangan dengan tugas hakikinya, dengan melihat kenyataan empirik tersebut.

b. Dapat mengkaji norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, dengan tidak mengabaikannya, sehingga akan berhasil dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan fungsinya yaitu pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, aparat penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyrakat.

B. Saran

Pada era reformasi ini, polisi dituntut untuk profesional dalam pelaksanaan tugasnya. Ukuran keberhasilan polri dalam pelaksanaan tugas terpusat pada suara masyarakat. Oleh karena itu perhatian lebih besar, harus dicurahkan pada suara masyarakat. Namun disisi lain, polisi juga harus mempersiapkan filter, karena tidak semua suara masyarakat itu adalah baik dan benar. Keberadaan polisi selain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, juga harus dapat mewujudkan rasa keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga aktifitas yang memunculkan produktifitas akan tetap hidup dan berkembang. Masyarakat harus diajak untuk hidup berdampingan, baik itu masyarakat pendatang maupun lokal. Filosofi dan strategi pemeliharaan kamtibmas dengan mengedepankan komunikasi dari hati ke hati antar komunitas merupakan suatu konsep yang sekilas sederhana namun akan diterima oleh masyarakat serta mendapat legitimasi dalam pemolisiannya apabila dilaksanakan dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang terkandung dalam adat yang diikutinya. Pemahaman kearifan lokal yang diimbangi dengan pola pemolisian yang membumi, seperti tinggal di desa bersama masyarakat (1 polisi 1 desa) sedikit banyak dapat menyuarakan legitimasi hukum bagi masyarakat yang diayominya.
Selain itu pula, pembinaan SDM Polri dengan menempatkan anggota-anggota polisi dari komunitas lokal (local boy for local job) diharapkan dapat dijadikan platform bagi perkembangan Polri kedepan dalam menghadapi era globalisasi dan transparansi masyarakat sekaligus menjembatani antara fungsi pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian, polisi dapat menjadi simbol dalam tata kehidupan sosial bermasyarakat.


referensi:

Chrysnanda, 2010. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

10 KOMITMEN BERSAMA RAPIM POLRI 2012


Berikut 10 Komitmen Bersama dalam Rapim Polri yang berakhir tanggal 19 Januari 2012 dalam menyikapi kelanjutan dari Reformasi Birokrasi di tubuh Kepolisian tahap II, yaitu:

1. Dengan penuh kesadaran dan kesungguhan hati, melaksanakan tugas kepolisian yang anti KKN dan anti kekerasan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2. Menampilkan kepemimpinan Polri yang bertanggungjawab dan penuh ketauladanan, menjamin kualitas kinerja anggota dan institusi, menjadi konsultan yang solutif bagi bawahan dan masyarakat.
3. Selalu berjasa di depan dalam melaksanakan pemolisian pre-emtif, preventif dan penegakan hukum yang bertanggungjawab, serta mengendalikan anggota untuk tidak melakukan kekerasan.
4. Mengakomodasi hak dan kewajiban bawahan, untuk berani menyampaikan penolakan terhadap perintah atasan yang bertentangan dengan norma dan ketentuan yang berlaku.
5. Dalam mengimplementasikan transparansi dan akuntabilitas, selalu melibatkan peran pengawas eksternal independen sebagai konsultan maupun pengawas yang independen.
6. Melaksanakan pemolisian dengan mengedepankan peran, tugas, kewajiban, dan tanggungjawab daripada status, hak dan kewenangan serta menghindari kepentingan pribadi.
7. Melaksanakan standar pelayanan prima dan mengakomodasi semua komplain masyarakat mulai dari kesatuan Polri terdepan secara berjenjang dan seketika.
8. Mengedepankan Polsek sebagai satuan pelayanan terdepan yang kuat dengan memberikan dukungan penuh kepada kepala kesatuan berupa personel, sarana prasarana dan anggaran.
9. Mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, solidaritas kesatuan, menghilangkan arogansi dan hak prerogatif, mengakomodasi keluhan, tuntutan serta penolakan bawahan dengan penuh empati.
10. Mengoptimalkan strategi pemolisian komunitas, dalam upaya penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan social justice, yang didukung legitimasi. Baca selengkapnya.....

Kamis, 26 Januari 2012

STRIKE XENIA MAUT DI HARI MINGGU


Dalam istilah olahraga bowling dikenal istilah strike, istilah ini untuk mengartikan semua pin yang menjadi sasaran tembak bola bowling yang harus dijatuhkan dalam sekali lemparan (satu kali gelinding). Istilah strike ini sangat tepat saya analogikan untuk kasus kecelakaan maut Daihatsu Xenia B 2479 XI yang dikemudikan Afriyani Susanti (29 tahun) yang menabrak 12 pejalan kaki sehingga mengakibatkan sembilan tewas dan tiga luka berat di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, hari Minggu (22/1/2012) silam. Para pejalan kaki yang berada di pedestrian dan halte bus, ibarat pin yang sedang berjejer, kemudian ditabrak oleh Xenia sehingga bercerai berai.....strike!

Kronologis kejadian yang diambil dari beberapa sumber menyebutkan, bahwa sebelum kejadian tersebut, Afriyani dan teman-temannya tengah menghadiri sebuah pesta di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat. Setelah menghadiri perhelatan tersebut, mereka bersama-sama menuju kawasan Kemang hingga pukul 02.00 WIB, disana dilanjutkan dengan menenggak minuman keras. Belum cukup minum, rombongan bergerak menuju sebuah diskotek yang berada di kawasan Jalan Hayam Wuruk, disana mereka membeli dua butir ekstasi dan juga menyeruput sabu-sabu serta ganja sampai pukul 10.00 WIB. Sepulang dari diskotek itulah, kendaraan yang dikemudikan Afriyani secara tiba-tiba kehilangan kendali dan menabrak 13 pejalan kaki yang tengah berjalan di depan Kantor Kementerian Perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Akibatnya, seperti yang disampaikan diatas, sembilan orang tewas dalam kecelakaan tersebut.

Dari kronologis kejadian tersebut, secara yuridis materiil, pengemudi bisa saja dikenakan beberapa pasal yang diatur didalamnya. Dari UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan misalnya, pengemudi dapat dikenakan pasal 283 mengenai mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar atau terganggu konsentrasinya, kemudian pasal 287 ayat (5) tentang pelanggaran aturan batas kecepatan tertinggi atau terendah dalam berkendara, lalu pasal 288 ayat (1) dan (2) tentang pelanggaran tidak membawa SIM dan STNK, serta pasal 310 ayat (1) sampai (4) tentang orang atau kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan atau kerusakan, yang korbannya mulai dari luka ringan (penumpang Xenia), luka berat sampai meninggal dunia (pejalan kaki). Pengemudi bisa dijerat hukuman penjara selama 6 (enam) tahun.
Kemudian mengenai pengaruh narkoba sebelum pengemudi mengendarai kendaraan, dimana semua penumpang Xenia positif menunjukkan gejala adanya zat metamfetamin (dari ekstasi dan sabu serta ganja), dapat dijerat dengan pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai pengguna narkotika golongan I yang dapat dijerat hukuman penjara selama 4 (empat) tahun. Namun dalam penerapan pasal ini menimbang juga pelaksanaan pada pasal 127 ayat (3) yaitu dalam hal penyalahgunaan narkotika dapat dibuktikan atau terbukti hanya sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial saja.

Lalu melihat korban yang sedemikian banyaknya dalam satu kejadian, ditambah dengan pengaruh narkoba dalam diri pengemudi, apakah dapat juga dikenakan dugaan pembunuhan? Memang beberapa pakar hukum pidana menyarankan agar polisi menggunakan pasal pembunuhan (338 dan 340 KUHP) untuk menjerat pengemudi Xenia lebih berat lagi dari hukuman yang dipersangkakan sebelumnya. Dalam pasal 338 KUHP yaitu kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja, ada beberapa unsur pokok yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Unsur obyektif, yaitu:
1) Adanya perbuatan: menghilangkan nyawa;
2) Obyeknya: nyawa orang lain;
b. Unsur subyektif: dengan sengaja
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Adanya wujud perbuatan,
b. Adanya kematian (menyangkut nyawa orang lain),
c. Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan akibat kematian tersebut.
Rumusan pada pasal 338 menunjukkan bahwa tindakan menghilangkan nyawa orang dengan sengaja tersebut sudah termasuk dalam tindak pidana materiil, yaitu apabila ada tindakan terlarang yang ditimbulkan dari wujud perbuatan tersebut (constitutief gevolg). Perbuatan pengemudi yang menghilangkan nyawa orang lain bisa dirumuskan sebagai perbuatan dalam bentuk abstrak, karena perbuatan itu tidak menunjuk bentuk kongkret tertentu. Secara kongkret harus berwujud beragam tindakan, salah satunya mengemudi dengan tidak mengontrol kendali (Chazawi, 2004: 59). Tiga syarat dalam unsur perbuatan menghilangkan nyawa harus dibuktikan, tidak dapat dipisah-pisahkan, merupakan satu kebulatan. Afriyani sudah menyadari dirinya tidak membawa SIM dan STNK sebagai persyaratan membawa kendaraan, masih ditambah dengan menenggak minuman keras serta memakai narkotika, sehingga secara tidak langsung diketahui bahwa kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk mengendarai kendaraan (karena pengaruh zat metamfetamin yang mendorong perasaan tidak cepat lelah, namun apabila efeknya hilang maka badan akan merasa lelah). Namun, walaupun mengetahui kondisi fisik tidak memenuhi syarat untuk mengendarai kendaraan tetap saja ia mengendarai kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan narkotika. Dari sini menurut Von Buri terdapat klausul conditio sine qua non, semua faktor yang ada sama pentingnya dan dinilai sebagai penyebab dari timbulnya suatu akibat (Chazawi, 2004: 60). Secara sengaja (opzetilijk), Afriyani sudah menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara tindakannya dengan wujud perbuatannya maupun akibat yang ditimbulkannya, secara tidak sadar seharusnya ia mengetahui bahwa mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk atau fly (akibat narkotika) akan mengakibatkan bahaya bagi orang lain, apalagi dilaksanakan pada saat padat manusia (siang hari). Jadi dapat dikatakan bahwa Afriyani menghendaki mewujudkan perbuatan, dan secara sadar atau insyaf perbuatan yang dikehendakinya itu (mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk) dapat menimbulkan kematian orang lain, sehingga dengan demikian kehendaknya serta pengetahuannya akan akibat/risiko sebelum perbuatan dilakukan mempunyai arti terhadap perbuatan yang bisa dikaitkan dengan unsur-unsur pembunuhan.
Terkait dengan penerapan pasal-pasal yang dipersangkakan kepada Afriyani sebagai pengemudi kendaraan, seharusnya ini menjadi pelajaran bagi kita semua aparat penegak hukum bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari sisi pre-emtif, preventif maupun represif bagi penegakan hukum di Indonesia. Kita juga tidak hanya menyalahkan pengemudi kendaraan saja karena berakibat hilangnya nyawa orang yang tidak berdosa, namun juga harus ditarik ke belakang lagi beberapa faktor pemicu dari kejadian tersebut. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia sudah mencapai titik keprihatinan kita, rekayasa lalu lintas untuk menjamin keselamatan pejalan kaki juga belum tersentuh, penegakan hukum lalu lintas juga terkesan setengah-setengah terbukti dengan keluarnya SIM secara serampangan tidak melalui prosedur yang tepat. Hal ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kematian seseorang memang tidak diketahui karena itu semua merupakan rahasia Sang Pencipta, namun upaya-upaya manusia untuk meminimalisir kematian terutama faktor disiplin berlalu lintas sangatlah dinantikan, untuk itulah dibutuhkan peran serta semua pihak yang terkait, mulai dari masyarakatnya sampai pada aparat penegak hukumnya.

Referensi:

Chazawi, Adami. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
(sumber foto: Metropolitan.inilah.com)
Baca selengkapnya.....

Kamis, 19 Januari 2012

OPTIMALISASI KEMAMPUAN GADIK GUNA MENGHASILKAN HASIL DIDIK YANG SIAP PAKAI DALAM RANGKA TERWUJUDNYA POLRI YANG PROFESIONAL


BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang


Harus diakui bahwa saat ini citra Polri tengah terpuruk. Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik seolah silih berganti menerpa Polri, mulai dari indikasi rekening gendut perwira Polri, kriminalisasi pimpinan KPK, kasus mafia pajak Gayus Tambunan, penegakan hukum yang tidak pro rakyat (kasus curi kakao nenek Minah, kasus laka lantas Lanjar, kasus curi semangka Basar dan Kholil, kasus sandal jepit Briptu), amuk massa Cikeusik Banten, Bima, Mesuji, atau konflik sosial Temanggung, membuat keberhasilan Polri dalam mengungkap kasus kejahatan besar seakan tergerus.
Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik ini, belum ditambah dengan perilaku oknum personel Polri yang melakukan penyimpangan di lapangan seperti pungli di jalan, pemerasan tersangka kasus kejahatan, manipulasi kasus, jual beli jabatan, dan lain-lain. Perilaku aparat kepolisian yang tidak profesional ini pada akhirnya menambah rusak citra Polri yang tengah dibangun, sehingga muncul stigma bahwa berurusan dengan polisi justru hanya menambah masalah, apakah itu perkara yang ujung-ujungnya berurusan dengan uang atau proses yang sengaja dibelit-belitkan.
Citra positif Polri yang naik 57,1% pada tahun 2009 kemudian menurun pada tahun 2010 sebanyak 49,1%. Masyarakat masih menganggap Polri belum independen dalam setiap proses penyelesaian hukum, dimana pemilik modal semacam pengusaha atau pemilik kuasa semacam pejabat negara menjadi pihak yang lebih ditakuti polisi dan acap kali di-”negosiasi”-kan penyelesaian kasusnya, daripada yang berpihak pada rakyat kecil. Meskipun diakui bahwa untuk masalah penanganan terorisme, masyarakat menyatakan kepuasannya, namun untuk penanganan kasus lain seperti korupsi/KKN, pelanggaran HAM oleh aparat, kriminalitas konvensional, pornografi, dan lain-lain belum memuaskan masyarakat (Litbang Kompas, 2010).
Ketidakprofesionalan polisi ini membuat penegakan hukum dan pemeliharaan kamtibmas tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja anggota Polri yang mampu berpikir dan bertindak profesional (Rahardi, 2007: 206). Untuk menjadi polisi yang profesional, maka Polri harus melakukan reformasi yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat. Perkembangan pada kedua bidang ini dipakai untuk menentukan standar pekerjaan polisi. Polisi juga harus dilepaskan dari hal-hal yang berbau politis dan pekerjaan tidak boleh dilaksanakan secara amatir (Rahardjo, 2002: 125). Wujud profesionalisme tersebut meliputi: pertama, memiliki keterampilan khusus kepolisian, kedua, memiliki komitmen pada pekerjaannya, dan ketiga, polisi membutuhkan independensi pekerjaan.
Oleh sebab itu, perubahan perilaku polisi atau reformasi kultural di kepolisian menjadi aspek terpenting dalam pembenahan diri Polri, karena aparat kepolisian berhadapan langsung dengan masyarakat. Interaksi sosial antara polisi dan masyarakat apabila tidak diimbangi dengan profesionalisme tugas, akan membuat citra Polri semakin terbenam. Salah satu faktor yang menentukan proses pembentukan profesionalisme Polri adalah melalui pendidikan polisi.
Polri menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana strategis untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan siap pakai guna menghadapi tugas-tugas kepolisian yang sarat muatan perubahan. Menurut Meliala (2005: 28), terdapat dua hal yang menjadi prioritas perubahan dalam melaksanakan reformasi Polri yaitu aspek pendidikan dan aspek pelayanan masyarakat.
Hal ini tentunya sejalan dengan salah satu arah kebijakan Kapolri lewat 10 Program Prioritas Revitalisasi Polri yaitu untuk sesegera mungkin melakukan percepatan perubahan budaya melalui perubahan pola pikir (mindset) personel Polri yang nantinya berjalan selaras dengan meningkatnya budaya etos kerja (culture set) polisi terhadap pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum. Perubahan mindset dan culture set ini seyogyanya menjadi bagian integral dari sistem pendidikan Polri untuk menghasilkan pribadi dan sosok personel Polri yang lebih berperan sebagai pelayan masyarakat daripada menjadi sosok polisi yang feodal (meminta untuk dilayani).
Oleh sebab itu, lembaga pendidikan Polri berperan penting untuk menghasilkan polisi yang berkualitas dan memiliki keunggulan kompetitif, berwawasan ilmiah, bermoral serta mampu mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi kepolisian dalam pelaksanaan tugas di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Dalam konteks inilah terlihat betapa penting dan strategisnya peran lembaga pendidikan sebagai garda depan Polri untuk menghasilkan lulusan yang mampu memasuki abad ilmu pengetahuan (knowledge society), dimana ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting dalam dinamika masyarakat. Ilmu pengetahuan harus menjadi landasan dalam melaksanakan pemolisian sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaan serta lingkungan yang dihadapinya (Chrysnanda, 2008: 25).
Menghadapi dinamika perubahan masyarakat ini, para peserta didik dituntut untuk memahami perubahan yang ada, memiliki kapabilitas, kreatif, serta mampu mentransformasikan konsep dan teori yang didapat di bangku kuliah guna mengantisipasi dan merespon munculnya berbagai isu perubahan masyarakat tersebut. Untuk memenuhi harapan masyarakat akan adanya sosok polisi yang transformasional, maka diharapkan hasil didiknya harus mampu mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajarannya untuk merubah pola pikir dan budaya kerjanya. Peserta didik juga harus mampu mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skema-skema berpikir, terutama menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih kemajuan, dan apabila perlu menciptakan suatu inovasi baru yang berguna bagi kepolisian.
Untuk mengembangkan pola pikir tersebut, dibutuhkan peran Tenaga Pendidik (selanjutnya disebut Gadik) yang tidak saja bertindak sekedar sebagai guru namun lebih banyak kepada fasilitator. Gadik didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa yang telah dimiliki dan dibawa dalam perspektif pembelajaran orang dewasa serta menghargai munculnya pertanyaan dan ide-ide siswa. Gadik juga didorong untuk memberikan pengalaman dan bukan sekedar pengetahuan, sehingga siswa diharapkan memperoleh bekal berharga untuk menghadapi kenyataan di lapangan ketika mereka mengabdi kelak.
Melalui perspektif tersebut, diharapkan pendidikan bukan merupakan bagian dari pemaksaan, penanaman doktrin atau sesuatu dan demi kepentingan kelompok tertentu yang mematikan sikap kritis dan proses pembodohan. Justru pada pendidikan inilah kesadaran dibangkitkan, kritis dan bertanggungjawab, menemukan solusi yang nantinya dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia (Chrysnanda, 2008: 27). Dengan strategi yang didasari oleh kesadaran seperti ini, maka Polri mengharapkan munculnya SDM berkualitas dan siap pakai yang dihasilkan dari lembaga pendidikan, yang tidak saja berguna bagi zaman dan masyarakatnya, melainkan juga menjadi fasilitator dan inovator dalam kehidupan masyarakatnya.

2. Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dapat ditarik adalah ”Bagaimana meningkatkan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional?”


3. Pokok-pokok Persoalan

Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka pokok-pokok persoalan yang penulis uraikan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana peran Gadik saat ini?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Gadik?
c. Bagaimana peran Gadik yang diharapkan?
d. Bagaimana upaya meningkatkan profesionalisme Gadik untuk menghasilkan hasil didik yang siap pakai?

4. Ruang Lingkup

Pada tulisan ini, penulis membatasi pembahasan dalam ruang lingkup sebagai berikut:
a. Peran Gadik dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan Polri.
b. Kondisi Gadik di lembaga pendidikan Polri meliputi peluang dan kendala yang dihadapi Gadik tersebut, serta upaya peningkatan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap pakai.

5. Maksud dan Tujuan

a. Maksud

Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada institusi Polri tentang pentingnya meningkatkan profesionalisme Gadik dalam lembaga pendidikan Polri guna mendukung perubahan mindset dan culture set personel Polri agar dapat dihasilkan lulusan yang siap pakai sebagai langkah menuju revitalisasi Polri, ditengah sorotan tajam masyarakat terhadap perilaku organisasional Polri pada berbagai issue penegakan hukum dan pemeliharaan kamtibmas di Indonesia.

b. Tujuan

Sebagai upaya untuk memberikan sumbangsih pemikiran kepada kepada lembaga dan pimpinan Polri tentang bagaimana pentingnya peningkatan profesionalisme Gadik melalui metode pembelajaran siswa aktif dan paradigma konstruktivistik guna menghasilkan lulusan yang siap pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional.

6. Metode dan Pendekata

a. Metode

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan fakta-fakta yang terjadi dan fenomena yang berkembang terkait dengan permasalahan peningkatan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional.

b. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi faktual (empiris) dan kepustakaan serta ditinjau secara komprehensif yakni meneliti dan menganalisis fakta-fakta yang ditemukan secara menyeluruh dari aspek pembelajaran dewasa dan pendidikan yang berorientasi pada peserta didik.


BAB II. KAJIAN PUSTAKA

7. Kajian Konseptual


a. Konsep Pendidikan

Pendidikan menurut pasal 1 angka 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas) adalah ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Untuk menguatkan arti harfiah pendidikan berdasarkan regulasi, seorang ahli pedagogik asal Belanda, Langeveld mengemukakan pendidikan merupakan proses bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa, kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Disini jelas bahwa tujuan pendidikan adalah kedewasaan (Kadarmanta, 2008: 43). Beberapa konsepsi dasar mengenai pendidikan yaitu:
1) Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education). Pendidikan sudah dimulai sejak lahir sampai meninggal, sepanjang ia mampu untuk menerima pengaruh dan dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
2) Tanggungjawab pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Tidak ada yang bisa memonopoli pendidikan, agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3) Pendidikan itu merupakan suatu keharusan. Karena manusia memiliki kemampuan dan kepribadian untuk berkembang.
Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk mentransformasi nilai-nilai. Nilai-nilai yang ditransformasikan tersebut dalam rangka mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu merubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat atau organisasi.
Dalam upayanya mentransformasi nilai-nilai, seorang pendidik memerlukan ilmu mendidik yang diselaraskan antara teori dan praktik. Gunning berkata bahwa ”teori tanpa praktik adalah baik pada kaum cerdik cendikia dan praktik tanpa teori hanya terdapat pada orang-orang gila dan penjahat-penjahat”. Oleh sebab itu pendidik menggunakan teori dan praktik secara bersamaan (Salam, 2002: 22).
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang handal, mumpuni, cerdas, bijaksana, dan penuh kepekaan serta peduli terhadap berbagai masalah kemanusiaan. Seperti yang disampaikan oleh Romo Mangun Wijaya bahwa ”pada pendidikan bergantung masa depan bangsa”. Tanpa pendidikan yang baik, mustahil suatu bangsa dapat hidup, tumbuh dan berkembang (Chrysnanda, 2010: 76).

b. Konsep Gadik

Gadik dalam komponen UU Sisdiknas pasal 1 angka 6 memiliki pengertian tenaga profesional yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pengampu belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhasannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Sebagai seorang yang mempunyai profesi sebagai pendidik, maka dibutuhkan personel yang memiliki suatu keahlian khusus dalam melakukan transfer ilmu kepada anak didik. Gadik harus mampu mendukung proses pendidikan yang berbasis kompetensi, dimana dalam proses belajar mengajar memakai teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang sebelumnya dipelajari dan kemudian dipraktikkan kepada peserta didik.
Di lingkungan Polri, selain sebagai profesi polisi maupun PNS Polri, maka personel Polri yang ditugaskan sebagai Gadik memiliki profesi sebagai polisi/PNS Polri dan sekaligus profesi Gadik/guru atau dosen, dan kepadanya melekat semua hak dan kewajiban yang berlaku di lingkungan Polri, termasuk kode etik profesi.

c. Konsep Profesionalisme Polisi

Profesi polisi merupakan profesi yang mulia, sebagaimana profesi lain yang memberikan jasa berupa pelayanan kepada masyarakat terutama pada bidang pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum. Profesi disini memiliki pengertian suatu jenis pekerjaan atau rangkaian kegiatan yang berpola, yang dilakukan dengan tingkat keahlian tinggi, yang menghasilkan uang, jasa, dan produk tertentu (Sunarno, 2010 : 19).
Sebagai seorang yang memiliki profesi, polisi harus memiliki landasan dalam berpikir berdasarkan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan keahlian yang mumpuni serta mempunyai kode etik profesi yang menjadi pedoman dalam bekerja yang harus dipatuhi dengan tulis ikhlas. Sikap seperti ini dinamakan sikap yang profesional. Jadi polisi yang profesional harus mengetahui kewajibannya, jujur dalam bertindak, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Jadi profesionalisme memiliki definisi yaitu perilaku yang menjadi ciri profesi yang berkualitas melalui cerminan sikap, pola pikir, tindakan, dan corak pemolisiannya yang dilandasi pada ilmu kepolisian, yang sepenuhnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat demi terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya supremasi hukum (Sunarno, 2010 : 20).
Oleh sebab itu, ukuran profesionalisme yang hendak diraih institusi Polri agar memenuhi kriteria profesionalisme sebagaimana tersebut dibawah ini:
1) Keterampilan yang diatur berdasarkan atas pengetahuan teoretis.
2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuan yang diakui oleh rekan sejawatnya.
3) Adanya organisasi profesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut (ketaatan pada Kode Etik Profesi).
4) Adanya nilai khusus yang harus diabdikan pada kemanusiaan.
Jadi seorang yang profesional hidup dari profesinya dan secara terus menerus berupaya meningkatkan kemampuan disiplin ilmunya sendiri. Berangkat dari definisi tersebut maka tampak jelas bahwa para Gadik dapat disebut sebagai profesional (Rahardi, 2007: 219).

8. Kajian Teoretis

a. Teori Konstruktivistik

Paradigma konstruktivistik berakar dari filsafat humanisme dan fenomenologi. Paradigma ini dikembangkan oleh Chomsky dalam linguistik, Simon dalam computer scientist, dan Bruner dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya (Maliki, 2010: 25).
Dalam konstruktivistik dikembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ”pemahaman siswa” (student-oriented). Peran pendidik disini selain sebagai fasilitator dan narasumber, juga harus memahami faktor-faktor instrinsik dari diri siswa. Oleh sebab itu, mengembangkan pembelajaran aktif yang menarik dan kondusif menjadi fokus utama dari peran pendidik dalam menerapkan perspektif konstruktivistik.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam proses belajar. Siswa belajar mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skema-skema berfikir (representasi dari proses internalisasi suatu struktur kategorisasi tertentu; Bootze, dkk, 1986) dengan menggunakan teknologi informasi dan pengetahuan baru yang up-to date bagi pengembangan keilmuannya untuk mengkonstruk pemahaman dan pengetahuan baru (the new understanding and knowledge) (Semiawan, 2008: 21).
Paradigma konstruktivistik menekankan pada pemahaman (understanding) dan menghapus misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa. Proses belajarnya dimulai dengan pemikiran deduktif dan digabungkan dengan pemikiran induktif. Gadik disini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa yang dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran, bukan melulu mencekoki siswa dengan materi serta pengalamannya saja yang belum tentu sesuai dengan perkembangan teknologi dan jaman saat ini. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan proses transfer of knowledge sekaligus experiences (Maliki, 2010: 27).
Dalam mengembangkan kerangka pemikiran konstruktivistik ini, penulis menggunakan teori konstruktivisme sosial Vygotsky (1978). Lokus dan fokus pengetahuan menurut Vygotsky terletak pada interaksi sosial, dimana interaksi sosial inilah yang nantinya akan membentuk perkembangan kognisi siswa. Perspektif konstruktivisme Vygotsky menganjurkan penggunaan secara kreatif strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning) atau colaborative learning, seperti penggunaan strategy pare and share, peer grouping, dan berbagai bentuk pembelajaran kelompok lainnya (Krause, 2007: 183; Elfis, 2010).
Dalam menyusun strategi pendidikan, perspektif Vygotsky menganjurkan untuk menghindari bias dalam interaksi di kelas, sehingga tidak ada privilese bagi siswa yang berasal dari kultur atau jabatan yang dominan. Semua siswa berhak memperoleh peluang dan perlakuan yang sama dalam menyusun strategi kebijakan pendidikan (Saha, 2001: 405). Pendekatan ini juga mengimplikasikan pada strategi pengelolaan kelas yang spesifik, yaitu:
1) Pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented experiences and activities).
Pengelolaan kelas dilakukan dengan metode discovery learning, dimana siswa belajar untuk menemukan hubungan antar materi/bahan ajaran dan ide-ide yang dikeluarkan oleh pendidik. Siswa juga diharuskan belajar untuk memecahkan masalah, pendidik harus mampu menumbuhkan rasa percaya diri siswa untuk mengeluarkan konsep-konsep dan gagasan, namun tetap dalam nuansa akademis.
2) Pendekatan pembelajaran melalui cooperative learning, collaborative learning dan peer-assisted learning.
Dalam pendekatan ini, Gadik dan siswa sama-sama mengorganisir kegiatan pembelajaran. Siswa secara otonom kemudian melakukan kegiatan pembelajaran tanpa didampingi Gadik (Gadik hanya mengawasi jalannya proses pembelajaran dengan terlebih dahulu melemparkan bahan diskusi). Dalam kelompok yang terbentuk, sesama siswa harus saling memberikan informasi dan gagasan/konsep sesuai bahan diskusi yang dikeluarkan oleh Gadik. Dengan demikian akan terdapat saling interaksi positif antara Gadik dan siswa dalam satu hubungan partnership yang baik. Interaksi dilakukan secara dialogis, mendengar dan memberikan respon kepada siswa secara positif.

b. Teori Taksonomi Bloom

Dalam proses pembelajaran, setiap individu mengalami perubahan. Perkembangan pengetahuan merupakan perubahan nyata manusia sebagai hasil pembelajaran. Pada tahun 1956, Benjamin Bloom menciptakan suatu taksonomi. Taksonomi Bloom adalah sebuah metode dan perangkat kerja yang mengukur nilai-nilai kompleksitas organisasional yang rendah ke nilai-nilai organisasional yang lebih tinggi (Hidayat, 2007: 265).
Bloom membagi tujuan pembelajaran ke dalam tiga domain (ranah, kawasan) berdasarkan hirarkinya (Kadarmanta, 2008: 86). Ketiga domain tujuan pembelajaran yaitu:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2) Affective Domain (Ranah Afektif), berisi perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor), berisi perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek keterampilan motorik, seperti tulisan tangan, mengetik, dan mengoperasikan mesin.
Menurut Bloom, pada aspek kognitif terdapat enam tingkatan pembelajaran, yaitu:
1) Mengetahui. Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat informasi yang diterima sebelumnya. Misalnya: terminologi, rumus, strategi, gagasan, metodologi, dan lain-lain.
2) Memahami. Berisi kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Misalnya: mengerti apa yang tergambar dalam fish bone diagram, pareto chart, dan lain-lain.
3) Menerapkan. Berisi kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, rumus, teori yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
4) Menganalisis. Berisi kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan, dan menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, serta melihat setiap komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi.
5) Mengevaluasi. Berisi kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dan sebagainya dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
6) Menciptakan. Berisi kemampuan untuk mengkaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga menghasilkan pola, gagasan, atau ide yang baru yang lebih menyeluruh.
Lalu untuk ranah afektif, Gadik diharuskan mengetahui karakteristik siswanya sebelum memulai pembelajaran. Proses mengetahui karakter siswa dapat dilakukan pada saat proses belajar berlangsung, di luar kegiatan belajar mengajar, dan di luar lingkungan lembaga pendidikan (Chatib, 2009:174).
Dan terakhir, pada ranah psikomotor adalah ranah yang berorientasi pada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Misalnya: keterampilan olah TKP, bongkar pasang senjata, kecermatan dalam uji balistiik, dan lain-lain (Kadarmanta, 2008: 90).
Kegunaan dari taksonomi diatas adalah: Pertama, sebagai contoh/template untuk mengevaluasi validitas dan cakupan sebuah pendidikan, kurikulum atau program pelatihan dan pengembangan untuk sebuah organisasi besar. Taksonomi ini merupakan saran yang baik untuk mengukur dan memastikan elemen-elemen pendidikan dan keterampilan berpikir yang diperlukan oleh siswa untuk berkembang telah disesuaikan secara konstruktif. Kedua, digunakan untuk merancang dan mengembangkan pendidikan dimana persyaratan-persyaratan tujuan pembelajaran mengindikasikan kompleksitas dan keterampilan berpikir yang perlu dikembangkan oleh para siswa.

c. Teori Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah proses analisis atau penilaian lingkungan organisasi yang meliputi kondisi situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh di dalam dan di sekeliling organisasi yang berdampak pada kehidupan organisasi (Salusu, 1996: 356 – 359). Tentang Analisis SWOT ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Lingkungan internal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi struktur organisasi (termasuk susunan dan penempatan personelnya), sistem organisasi dalam mencapai efektivitas organisasi, SDM, anggaran serta faktor-faktor lain yang menggambarkan dukungan terhadap proses kinerja/misi organisasi yang sudah ada, maupun yang secara potensial dapat muncul di lingkungan internal organisasi, seperti teknologi yang telah digunakan sampai saat ini. Lingkungan internal meliputi:
a) Faktor Kekuatan (strenghts) adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan organisasi memenuhi keuntungan strategik dalam mencapai visi dan misi.
b) Faktor Kelemahan (weakness) adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang mengakibatkan organisasi tidak dapat atau gagal mencapai visi dan misi.
2) Lingkungan eksternal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi :
c) Faktor Peluang (opportunities) adalah situasi dan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi.
d) Faktor Ancaman/tantangan (threats) adalah faktor-faktor luar organisasi yang bersifat negatif, yang dapat mengakibatkan organisasi gagal dalam mencapai visi dan misi.


BAB III.PERAN GADIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN SAAT INI

9. Keterampilan Dasar Gadik

Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik terkadang memberikan pertanyaan yang tidak memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa. Misalkan: Gadik hanya bertanya mengenai kejelasan materi saja, tidak mensinkronkan materi dengan memberi pertanyaan yang membutuhkan diskusi kelompok.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik terkadang tidak menguasai referensi lain selain yang dikuasainya. Sehingga terkesan memaksakan memberi definisi dari satu literatur saja.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik terkadang kurang memberi rangsangan untuk peserta didik menyukai materi yang dibawa, mungkin akibat materi yang tidak diberikan ice breaking terlebih dahulu atau materi yang langsung pada intinya saja tidak diberikan pendahuluan/pengantar.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik terkadang tidak menguasai bagaimana membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan terkesan garing (tidak menarik).
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik terkadang tidak bisa menjalankan perannya sebagai fasilitator, malah kesan menjadi otoriter karena dianggap menguasai materi tanpa memberikan kesempatan peserta didik untuk menyampaikan pendapat/gagasan/ide/pertanyaan.

10. Peran Gadik Saat Ini

Pendekatan dalam proses belajar mengajar pada umumnya melibatkan strategi-strategi pendidikan yang mengharuskan siswa untuk mengikuti jalur yang telah ditentukan dan jalur linier dalam suatu pendidikan sehingga dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu. Disinilah peran Gadik diperlukan guna memberi pemahaman kepada peserta didik mengenai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk menghapus misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa.
Saat ini, peran Gadik dirasakan masih cenderung sebagai pengajaran yang berorientasi pada guru (teacher-oriented). Hal ini disebabkan oleh:
a. Menggunakan metode ceramah didepan siswa. Ceramahnya pun terkadang menggunakan bahasa yang kurang dimengerti mahasiswa (terutama materi yang sifatnya teknologi informasi).
b. Hanya menyampaikan materi kuliah, tanpa mengecek sejauh mana mahasiswa memahami isi materi tersebut. Ini disebabkan karena Gadik banyak yang memaksakan materi stripping (kejar tayang) untuk mencapai target penuntasan materi dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
c. Menyampaikan pengetahuan/teori/konsep saja yang bersifat text book.
d. Cenderung memberi instruksi, arahan dan informasi.
e. Persiapan materi dilakukan sebelumnya.
f. Biasanya komunikasi berlangsung dengan satu arah. Komunikasi dilakukan dengan cepat, penayangan slide hanya dibaca oleh Gadik saja, selebihnya dibaca oleh mahasiswa tanpa diberikan penjelasan (karena dianggap sudah mengerti).
g. Menekankan kewibawaan pengajar, mahasiswa dianggap dibawah level pengajar sehingga tidak memberi kesempatan untuk ruang bertanya.
h. Melakukan pendekatan didaktif/yang mendidik.
i. Berlaku sebagai ”orang bijak di panggung” (pasif, monoton, kurang interaksi).
Pada akhirnya pendekatan yang berorientasi pada pengajar ini membuat sebagian besar peserta didik waktunya dihabiskan untuk duduk, mendengar, dan mengamati saat materi tersebut disampaikan, sehingga tidak banyak informasi yang terserap, tersaring, dan dirubah menjadi sesuatu yang diterapkan dalam praktik untuk selanjutnya menjadi sebuah pembelajaran yang dapat diterapkan dan pada akhirnya menjadi perubahan mindset yang diinginkan.

11. Paradigma Gadik Dalam Mendidik

Paradigma Gadik dalam mendidik para peserta didik juga dapat dilihat dari alat menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi, motivasi dan perumusan tujuan, serta pemberian evaluasi sebagai penilaian materi yang disampaikan kepada siswanya. Lebih lanjut kondisi saat ini paradigma mendidik yang digunakan oleh Gadik seperti tercantum dibawah ini:

a. Alat Menyampaikan Materi
1) Penyampaian materi disajikan secara simultan tanpa mengecek sampai sejauh mana siswa mampu untuk menyerap isi materi tersebut. Sehingga pendekatan akhirnya berorientasi pada guru (teacher-oriented).
2) Pembelajaran masih menjadi domain dari Gadik, materi dan pengalaman yang tersaji merupakan pengalaman diri sendiri yang tentunya sudah tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan fenomena saat ini.
3) Gadik memberikan materi yang terkesan kejar tayang untuk menuntaskan target kurikulum dalam periode tertentu. Siswa tidak dilatih untuk merefleksikan materi terdahulu untuk diketahui apakah materi baru siap untuk dilanjutkan lagi.

b. Aktivitas dan Metodologi
1) Kegiatan pembelajaran dan metodologi yang dipakai dilakukan kurang memperhatikan kebutuhan siswa. Metode ceramah/berbicara banyak digunakan, adakalanya dikombinasikan dengan alat bantu penyampaian lain (powerpoint, handout, flipchart, dan lain-lain) namun akhirnya materi hanya terfokus pada alat bantu, tanpa dijelaskan lebih lanjut isi materi tersebut.
2) Gadik terkadang tidak memberikan metode yang relevan dengan situasi saat ini, apa yang diketahui saat dia dulunya bertugas itu yang disampaikan kepada siswanya.
3) Gadik sudah membuat rencana pembelajaran (lesson plan) tapi terkadang terjebak pada bagaimana target materi selesai sesuai dengan jam pelajaran. Sehingga terkadang pemahaman tidak penting dilakukan, yang penting adalah nilai akhir dapat mencapai target.
4) Metode penyampaian Gadik disampaikan secara monoton/kurang menarik, menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh Gadik itu sendiri, serta kurang aktif untuk menarik perhatian siswa (apalagi kalau mendidik pada kelas yang jumlah peserta didiknya cukup banyak).

c. Motivasi dan Tujuan
1) Dalam proses pembelajarannya, siswa diberi kesempatan sedikit saja untuk mengembangkan inisiatif dan munculnya kreatifitas siswa secara perorangan. Inisiatif dan kreatifitas siswa dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol secara ketat.
2) Gadik belum mengetahui banyaknya dimensi dari diri siswa (multidimensi) yang dapat dioptimalkan untuk mendukung pembelajaran dan pencapaian hasil yang lebih baik. Gadik jarang yang mengerti tingkat kecerdasan majemuk (multiple intelligence) siswanya, sehingga tidak dapat mengelolanya menjadi lebih baik agar materi tersebut dapat dipahami.
3) Gadik menciptakan lingkungan pembelajaran sendiri, siswa harus mampu mengerjakan tugas sesuai materi, namun tidak memahami apa yang sesungguhnya siswa terima.
4) Gadik belum bisa menjelaskan secara detail tentang materi yang diberikan, karena menganggap siswa sudah mengerti fenomena yang dibicarakan. Sehingga kadang siswa belum bisa menyambungkan teori/konsep yang diterima dengan fenomena yang akan dibahas.

d. Evaluasi
1) Gadik jarang membiasakan memberikan evaluasi sebelum pelajaran (pre-test), hanya beberapa saja yang sudah melakukan itu. Penilaian biasanya dilakukan dalam bentuk ujian sumatif (digunakan untuk menilai kinerja dan pencapaian siswa), sehingga terkadang apabila diujikan membuat esai maka yang muncul adalah lomba mengarang bebas tanpa jelas pemahamannya.
2) Gadik terlalu banyak memberi penugasan daripada memberi pemahaman. Penugasan yang diberikan sifatnya individual, sehingga sedikit tercipta ruang untuk melakukan diskusi antar teman atau dengan lingkungan sekitar.
3) Gadik kurang bisa menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Gadik kadang memberi evaluasi yang subyektif kepada beberapa siswa yang memiliki hubungan emosional atau tercipta hubungan patron-klien, sehingga terkadang kualitas individu dikesampingkan.
5) Gadik belum membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding, Skills, Attitude, and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama dalam peran yang dimiliki Gadik.


BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

12. Faktor Internal


a. Kekuatan
1) Tersedianya piranti lunak berupa perundang-undangan beserta peraturan Polri yang mengatur mengenai Polri dan pendidikan Polri, seperti: UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/28/XII/2005 tentang Sistem Pendidikan Polri.
2) Polri telah mengambil langkah reformasi menuju lembaga kepolisian sipil, profesional dan mandiri melalui pembenahan berkelanjutan pada reformasi struktural, instrumental, dan kultural.
3) Reformasi struktural di bidang pendidikan adalah menjadikan lembaga pendidikan semakin kaya fungsi (Perkap No. 21/2010 tentang OTK Mabes Polri), untuk mendukung personel Polri yang ingin mengabdikan diri di bidang pendidikan dalam memperoleh kesempatan berkarir.
4) Reformasi Instrumental berupa perubahan sistem dan metode yang meliputi piranti lunak, fasilitas, anggaran, pelatihan, pembenahan SDM (sistem rekrutmen, seleksi dan pendidikan, penilaian kinerja, pembinaan karir) yang diharapkan dapat menghasilkan postur Polri yang profesional, patuh hukum, dan modern.
5) Reformasi kultural meletakkan landasan untuk membentuk SDM yang berorientasi strategi untuk meletakkan dasar-dasar budaya Polri yang mahir, terpuji dan patuh hukum serta berwibawa dan berkinerja secara profesional.
6) Lembaga pendidikan dijadikan sebagai centre of excellence, yaitu menjadi pusat unggulan, pembinaan, dan think tank untuk membangun ataupun mengambil kebijakan yang bersifat strategis.

b. Kelemahan

1) Masih adanya imej bahwa jabatan Gadik merupakan jabatan yang kurang populer dibandingkan mereka yang berada di satuan kewilayahan.,
2) Kualifikasi Gadik yang belum memenuhi standar kompetensi mengajar (ikut AKTA, TOT, atau Diklat).
3) Belum diperhatikannya pemberian reward bagi Gadik, seperti: renumerasi (tidak sama dengan yang bekerja di fungsi operasional), kesempatan berkarir (mutasi/promosi), atau kesempatan melanjutkan pendidikan pengembangan Polri (Selabrip/Setukpa, STIK-PTIK, Selapa, Sespim, Sespati, atau Lemhanas).
4) Struktur Gadik ada yang tidak tercantum dalam organisasi Lemdikpol. Hal ini dapat menimbulkan tendensi Gadik tidak memiliki sarana kontrol, selain itu pemanfaatan tenaga mereka yang kurang optimal.
5) Kurang memadainya fasilitas belajar mengajar di lembaga pendidikan seperti: minimnya laboratorium keilmuan, minimnya kelas, minimnya alat bantu penyampaian (proyektor, OHP, komputer, dll), padahal lembaga pendidikan mempunyai misi menjadi police science centre of excellence (pusat keunggulan ilmu kepolisian). Hal ini mempengaruhi kinerja Dosen/Gadik dalam mengupayakan ”student centered” (partisipasi aktif siswa) pada setiap proses belajar mengajarnya.

13. Faktor Eksternal

c. Peluang

1) Adanya dukungan pemerintah mengenai pendidikan dengan adanya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
2) Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari jumlah APBN.
3) Terbukanya kesempatan bagi para Gadik untuk mengikuti pendidikan di perguruan-perguruan tinggi, dalam maupun luar negeri, baik melalui beasiswa Polri maupun instansi terkait.
4) Meningkatnya daya kritis masyarakat terhadap perkembangan hukum dan penegakannya, yang membuat personel Polri dituntut bertindak profesional dalam pelaksanaan tugasnya.
5) Meningkatnya fungsi kontrol masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menginginkan eksistensi fungsi kepolisian dapat terwujud secara utuh dan mandiri.
6) Adanya keinginan masyarakat agar personel Polri benar-benar mampu tampil sebagai polisi sipil yang modern, serta mampu menjadikan masyarakat sebagai titik pusat pengabdiannya (point of departure).

d. Kendala

1) Masyarakat masih menuding bahwa kualitas personel Polri yang bermasalah di kewilayahan merupakan hasil didik dari Gadik yang kurang profesional.
2) Kultur masyarakat yang masih mengembangkan sistem patron-klien dalam membina hubungannya dengan polisi membuat pemolisian cenderung korup, potensi ini menyebabkan personel Polri tidak bertindak profesional dan proporsional, dan cenderung melakukan penyimpangan.
3) Adanya keluhan dari masyarakat akan polisi-polisi yang tidak ”intelektual” dan ”tidak pandai berargumen” disebabkan karena saat berada di lembaga pendidikan hanya belajar secara pasif (menerima hanjar saja), tidak mampu berdiskusi secara baik (karena tidak difasilitasi oleh Gadik/Dosen), dan tidak mampu memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat karena ketidaktahuan personel Polri pada fenomena yang ada.

BAB V. PERAN GADIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN YANG DIHARAPKAN

14. Keterampilan Dasar Gadik


Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik harus mampu memberikan pertanyaan yang memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik menguasai beberapa referensi untuk memberikan penguatan terhadap peserta didik yang masih dalam keraguan terhadap materi yang dipelajari.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik harus mampu memberi rangsangan sehingga peserta didik senang, tertarik untuk terlibat dalam mengembangkan pengetahuan yang dipelajarinya.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik harus menguasai bagaimana membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan tidak terkesan garing (tidak menarik), sehingga membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar.
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik harus mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator. Memberikan penjelasan, penguatan, mendorong semangat, memuji, menghargai pendapat, serta memberikan jawaban terhadap pertanyaan, membuat kesepakatan yang demokratis, serta konsisten dalam mewujudkannya dalam setiap proses pembelajaran.

15. Peran Gadik Yang Diharapkan

Untuk mendapatkan kualitas SDM Polri yang mampu menjelaskan secara ilmiah tugas pokok kepolisian di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta mampu berpikir, bersikap dan bertindak secara profesional di bidang kepolisian, maka peran Gadik diharapkan membangun pendekatan pendidikan yang berorientasi pada siswa (student-oriented) antara lain:
a. Membantu mencapai pemahaman. Tidak hanya pada saat memberi materi di dalam kelas, namun juga memanfaatkan ruang interaksi diluar kelas untuk membahas materi yang telah disampaikan.
b. Merangsang siswa dengan mengecek pemahaman isi materi. Oleh sebab itu, Gadik diharapkan menyusun silabus yang relevan antara teori dan kenyataan di lapangan, sehingga tidak ada kesan bahwa beberapa materi hanya sekedar dimasukkan demi mengejar target materi.
c. Mendukung siswa untuk pencarian pengetahuan/teori/konsep.
d. Melakukan bimbingan proses pembelajaran.
e. Melakukan persiapan materi dilakukan sebelumnya, lalu merespon kebutuhan pendidikan dalam prosesnya.
f. Gadik harus membangun komunikasi yang interaktif (komunikasi dua arah) dan mengandung percakapan. Tidak bosan-bosan untuk mengulangi materi yang sekiranya belum dipahami oleh siswanya.
g. Gadik diharapkan menghargai siswa, apabila diberikan suatu pertanyaan, seorang Gadik harus menghargai jawaban dari siswa meski jawaban itu kurang tepat.
h. Melakukan pendekatan konstruktivistik.
i. Berlaku sebagai ”pembimbing di sisi” (bertindak sebagai fasilitator, aktif, kreatif, perbanyak interaksi).
Sebuah faktor penting dalam mempertimbangkan pendekatan apa yang akan digunakan adalah pengertian antara para Gadik dalam memahami cara belajar siswanya. Pendekatan berorientasi siswa dan efektifitasnya sangat dihargai oleh para Gadik yang melihat pembelajaran tersebut dinilai sangat efektif dengan adanya interaksi, diskusi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, otonomi, dan kerjasama kelompok yang dilakukan oleh para siswa. Pembelajaran yang berhasil merupakan hal-hal yang dilakukan siswa melalui proses penyerapan informasi, pengetahuan dan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Gadik.

16. Paradigma Gadik Dalam Mendidik

Untuk melihat bagaimana paradigma dalam mendidik guna menghasilkan hasil didik yang berkualitas dan siap pakai, McInerney dan McInerney (2002: 153) memandang Gadik dapat menggunakan paradigma konstruktivistik dilihat dari cara menyampaikan materi, metodologi yang digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, dan cara evaluasi sebagai berikut:

a. Alat Menyampaikan Materi
1) Penyampaian materi merupakan bagian tidak terpisah yang dilakukan oleh siswa itu sendiri tentang materi, aktivitas atau apapun yang dikerjakan. Dengan demikian pembelajaran berpusat pada siswa dan bukan pada Gadik.
2) Pembelajaran merupakan proses menghubungkan materi dengan pengalaman yang memang menjadi minat dari siswa itu sendiri.
3) Untuk mengetahui kemampuan siswa memahami materi, siswa harus dilatih untuk praktik refleksi. Praktik ini memanfaatkan kekuatan mengamati dengan cara yang bertujuan dan terstruktur dengan maksud untuk meningkatkan praktik pendidikan siswa.

b. Aktivitas dan Metodologi
1) Kegiatan pembelajaran dan metodologi yang dipakai dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan siswa. Metode ceramah/berbicara relatif tifak efektif jika digunakan sebagai metode pendidikan, tetapi efektifitas pendidikan akan naik secara eksponesial jika dikombinasikan dengan alat bantu penyampaian yang terpilih (powerpoint, flipchart, handout, internet, video, dan lain-lain).
2) Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terpadu dengan memberikan contoh yang aplikatif kepada siswa dan dikombinasikan dengan teori/konsep yang relevan dengan materi.
3) Menekankan kepada proses pembelajaran daripada terlalu dibebani dengan isi/materi pembelajaran dengan maksud untuk kejar target selesai materi. Untuk itu Gadik harus membuat perencanaan pembelajaran (lesson plan) terlebih dahulu yang relevan dengan kondisi saat ini.
4) Metode penyampaian Gadik hanya untuk menfasilitasi dan mengelola situasi pembelajaran dengan teknik-teknik tertentu untuk memberikan kesempatan seluas mungkin kepada siswa untuk mencapai hasil yang sudah ditentukan

c. Motivasi dan Tujuan
1) Motivasi, kepuasan, pemenuhan diri dan pemahaman dalam pembelajaran datang dari dalam diri siswa (instrinsik).
2) Gadik harus mengetahui banyaknya dimensi dari diri siswa (multidimensi) yang dapat dioptimalkan untuk mendukung pembelajaran dan pencapaian hasil yang lebih baik. Gadik harus mengetahui tingkat kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang dimiliki siswanya, sehingga dapat mengelolanya menjadi lebih baik lagi.
3) Mendorong tumbuhnya kemampuan belajar dengan sendirinya (self-learning and self-regulated) dan tanggungjawab (self-reliance).
4) Gadik harus mampu menumbuhkembangkan sikap kepribadian (affective-attitude) siswanya untuk memahami suatu fenomena yang ada berdasarkan teori/konsep yang diberikan.

d. Evaluasi
1) Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah memberikan pengajaran (membiasakan memulai materi dengan pre-test dan mengakhiri dengan post-test untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan).
2) Memberi penugasan yang mengarah kepada terciptanya diskusi antar teman, siswa dengan Gadik, siswa dengan lingkungan pendidikan lainnya (masyarakat, senior, siswa perguruan tinggi lain). Penugasan dalam bentuk mengetahui pemahaman mengenai materi yang telah diberikan, bukan sekedar open-book examination.
3) Menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Memberikan evaluasi yang obyektif kepada mahasiswa yang aktif, dengan mengesampingkan unsur-unsur subyektifitas tanpa memperhatikan kualitas.
5) Gadik membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding, Skills, Attitude, and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama dalam peran yang dimiliki Gadik.

BAB VI.UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GADIK GUNA MENGHASILKAN HASIL DIDIK YANG SIAP PAKAI

17. Pemahaman Mengenai Prinsip Pembelajaran Siswa


Upaya untuk meningkatkan profesionalisme Gadik salah satunya dengan menggunakan paradigma konstruktivistik, dimana pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa (self-regulated). Siswa mengembangkan pola pikirnya ditempat dimana dia memperoleh pelajaran, dengan difasilitasi oleh guru sebagai fasilitator dan narasumber. Paradigma ini mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran, sehingga pemahaman sangat ditekankan untuk memecahkan suatu persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa.
Oleh sebab itu, paradigma konstruktivistik ini harus mengenal prinsip-prinsip pembelajaran dewasa agar bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Seorang Gadik harus mengetahui tingkat pengetahuan siswanya terlebih dahulu, karena ini menyangkut proses perubahan nyata manusia sebagai hasil pembelajaran, dari yang belum tahu menjadi tahu, memahami, bahkan bisa menganalisis sampai menciptakan (Kadarmanta, 2008: 86). Mulai dari tingkat pengetahuan yang paling rendah yaitu mengingat dan memahami, tingkat pengetahuan menengah yaitu mengaplikasikan dan menganalisis, serta tingkat pengetahuan yang paling tinggi yaitu mengevaluasi dan menciptakan.
Keenam taksonomi pembelajaran Bloom ini digunakan juga nantinya untuk merancang dan mengembangkan materi pelajaran dimana persyaratan-persyaratan tujuan pembelajaran mengindikasikan kompleksitas dan keterampilan berpikir yang perlu dikembangkan oleh para siswa. Keenam taksonomi ini merupakan aspek kognitif yang harus dimiliki pertama oleh siswa yang nantinya menjadi dasar bagi Gadik untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang diberikan. Gadik terlebih dahulu harus memahami kecerdasan majemuk (multiple intellegence) yang dimiliki para siswanya.
Pemahaman mengenai kecerdasan majemuk ini penting diketahui oleh Gadik karena seringkali metode pengajaran yang diberikan (karena bergaya ortodoks/one way traffic) pada proses pembelajaran tidak dapat mengakomodir perbedaan-perbedaan pemahaman yang ada. Kecerdasan majemuk manusia terdiri dari:
a. kecerdasan verbal-linguistik (word smart); siswa yang pandai dalam hal berbicara.
b. kecerdasan olah tubuh (body smart); siswa yang pandai dalam hal olah tubuh/kecerdasan kinestetik.
c. kecerdasan logika-matematika (reasoning/number-smart); siswa yang memiliki kepandaian pada angka-angka dan sesuatu yang logis.
d. kecerdasan secara visual-spasial (picture/3D-smart); siswa yang pandai mempelajari sesuatu melalui indera penglihatan dan menuangkannya dalam gambar/motif.
e. kecerdasan dalam musik (music-smart); siswa yang mudah memahami sesuatu dengan bantuan suara/bunyi.
f. kecerdasan interpersonal (people-smart); siswa yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain/bisa berdialog dengan baik, dapat bekerjasama dengan tim, dan dapat mendengarkan dengan baik.
g. kecerdasan intrapersonal (self-smart); siswa yang pandai mengekspresikan perasaan dengan berbagai cara, mandiri, dan sangat menyadari kekurangan dan kelemahannya dalam tim.
Apabila ke-7 kecerdasan ini dikuasai oleh Gadik, maka satu sisi yang lemah dari siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik pembelajaran aktif yang dipilih oleh Gadik tersebut, sehingga siswa akan lebih siap tidak hanya untuk belajar dengan baik dalam situasi pembelajaran apapun tetapi Gadik mungkin akan lebih efektif dalam berbagai situasi untuk menghadapinya.
Untuk mengecek seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan oleh Gadik, setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan mana yang harus diolah dari kecerdasan majemuk yang dimiliki siswa, maka selanjutnya adalah melatih siswa untuk melakukan praktik refleksi. Praktik refleksi bertujuan untuk memanfaatkan kekuatan pengamatan untuk alasan yang spesifik dengan sengaja dan terstruktur sepanjang waktu yang berguna untuk meningkatkan kinerja seseorang. Bagi Gadik, praktik refleksi yang sering dilakukan setelah menerima materi pelajaran akan membawa keuntungan sebagai berikut:
a. Mendukung pendekatan pengajaran berbasis siswa karena memerlukan responsivitas yang lebih besar terhadap siswa.
b. Siswa lebih mampu untuk mencerna dan menciptakan makna dari pembelajaran karena mereka diberikan kesempatan untuk melakukan refleksi melalui penilaian mandiri, evaluasi dan kontribusi terhadap anev pendidikan.
Metode refleksi yang bisa digunakan antara lain:
a. Sebaik apakah kinerja siswa atau kelompok siswa dalam melakukan refleksi?
b. Siswa paling percaya diri di bagian mana pada refleksi tersebut?
c. Pada bagian mana siswa tidak percaya diri dalam melakukan refleksi tersebut?
d. Apakah ada feed-back dari narasumber/Gadik mengenai penampilan siswa hari itu?
e. Bagaimana feed-back dari rekan-rekan siswa sendiri terhadap refleksi yang dilakukan rekannya?
e. Bagaimana usaha siswa untuk memperbaikinya pada penampilan berikutnya.

18. Peningkatan Keterampilan Gadik

Untuk membantu siswa agar dapat memahami pelajaran yang disampaikan oleh Gadik, maka ada baiknya seorang Gadik yang profesional menyiapkan perencanaan pelajaran terlebih dahulu. Perencanaan pelajaran ini untuk membimbing dan memberikan struktur terhadap input dari pendidikan itu sendiri, sehingga tidak melenceng jauh dari materi yang disesuaikan dengan fenomena yang sekarang dan nantinya akan terjadi.
Rencana pelajaran tersebut disusun dalam bentuk matriks yang menguraikan sembilan kegiatan instruksional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur hirarki keterampilan intelektual siswa berdasarkan tingkat kerumitannya: pengenalan materi, respon, prosedur, penggunaan istilah, informasi, penerapan aturan dan pemecahan masalah (Gagne, 1962: 263 – 276). Kegiatan dalam perencanaan pelajaran meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menarik perhatian siswa (reception/resepsi).
b. menyampaikan tujuan pelajaran kepada siswa (expectation/harapan).
c. merangsang ingatan pada pelajaran terdahulu/kemarin (retrieval/mendapatkan kembali).
d. menyajikan materi yang menarik (selective perception/persepsi selektif).
e. memberi bimbingan pada siswa (semantic encoding/penyandian semantik).
f. menggali penerapan (responding/merespon).
g. memberikan umpan balik/masukan kepada siswa (reinforcement/penguatan).
h. menilai penerapan materi (retrieval/pemulihan).
i. meningkatkan daya ingat dan transfer (generalization/generalisasi).

Untuk mendukung proses pembelajaran aktif, maka penggunaan alat bantu penyajian yang mendukung dan mengembangkan pembelajaran juga harus dipertimbangkan, dipilih, dan dipersiapkan dengan seksama. Semua hal tersebut harus sesuai dengan apa yang dipelajari oleh siswa dan harus digunakan dengan baik dan sesuai dengan waktu pelajaran. Gadik harus mengingat bahwa pembelajaran multi sensorik akan menghasilkan pembelajaran yang jauh lebih baik dengan ketahanan lebih lama yang membawa siswa dalam pertimbangan fakta-fakta generalisasi berikut ini:
• Indera penglihatan merupakan terpenting dari panca indera: 81%.
• Indera pendengaran adalah indera terpenting berikutnya: 11%.
• Indera yang lain (perasa, sentuhan, penciuman) adalah 8% sisanya.
Jika digunakan sendiri, ceramah/berbicara relatif tidak efektif jika digunakan sebagai metode pendidikan, tetapi efektifitas pendidikan akan naik secara eksponsial jika dikombinasikan dengan alat bantu pembelajaran lainnya. Hasilnya, peserta didik tidak hanya akan belajar lebih banyak hal tetapi minat dan variasi juga akan bertambah. Alat bantu yang umum digunakan diantaranya: flipchart, slide powerpoint, handout, artikel-artikel, buku, internet, komputer, video/rekaman, dan mapping.
Setelah perencanaan pelajaran dan alat bantu penyampaian disiapkan, maka tahapan selanjutnya yang terpenting dalam mengasah keterampilan Gadik adalah keterampilan presentasi. Presentasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya pembelajaran dimana siswa adalah pendengar yang memiliki peran pasif dan Gadik yang memberikan materi kepada mereka. Namun terkadang karena terlena dengan alat bantu penyampaian, maka hal ini membuat siswa mudah bosan. Bisa dikarenakan penyampaiannya monoton, datar, tidak humoris, terlalu banyak tulisan, dan lain-lain.
Beberapa hal yang penting dilakukan Gadik dalam melakukan presentasi adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan intonasi untuk menekankan pointer-pointer tertentu.
b. Tatap mata audience. Jangan menatap slide atau bidang diatas kepala audience (mati gaya dengan powerpoint).
c. Bicara dengan wajar, berikan jeda bicara pada waktu yang tepat, jangan seperti kereta api yang tidak pernah berhenti (berbicara terus).
d. Bersikap rileks dan jadi diri anda sendiri.
e. Perhatikan isyarat dari siswa jika mereka terlihat teralihkan perhatiannya, kemudian pertimbangkan untuk membahasnya kembali agar mereka lebih memahami.
f. Tidak hanya diam di tempat, berkeliling merupakan hal yang wajar dilakukan oleh Gadik dalam melakukan presentasi.
Dan beberapa hal berikut ini agar tidak dilakukan Gadik dalam memberikan presentasi, yaitu:
a. Mengabaikan kebutuhan peserta didik.
b. Bersikap dingin atau acuh tak acuh terhadap perhatian siswa.
c. Bergeser dari satu sisi ke sisi yang lain.
d. Terus menerus berjalan atau kadang cuma diam saja di kursi sambil berbicara.
e. Bersembunyi di balik podium.
f. Slide penuh dengan tulisan, gambar, efek animasi, bulkonah yang terlalu banyak, kata-kata asing yang banyak, dan lain-lain.

Dari penyampaian Gadik mengenai materi pelajaran yang terstruktur dan menarik, diharapkan siswa mampu mengaplikasikan penggunaan informasi yang dipelajari dari suatu materi untuk membantu pemecahan masalah yang muncul dalam suatu fenomena yang dihadapi. Dengan mengaplikasikan, akhirnya siswa dapat menganalisis bagaimana fenomena tersebut diidentifikasikan, dipisahkan, dan dibeda-bedakan dalam suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau menyimpulkan, serta melihat setiap komponen tersebut terlihat kontradiktif atau tidak. Dengan begitu siswa dapat melakukan evaluasi berdasarkan penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Yang diharapkan tercipta suatu gagasan, ide, konsep, teori, penerapan yang baru dan tentunya berguna bagi perkembangan ilmu kepolisian.

BAB VII.PENUTUP

19. Kesimpulan


a. Gadik merupakan salah satu komponen penting di sebuah lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, peningkatan profesionalisme Gadik merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting sebagai upaya Polri untuk menghasilkan hasil didik yang berkualitas dan siap pakai.
b. Profesionalisme Gadik dalam menghasilkan hasil didik yang siap pakai dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara internal dan menjadi kekuatan yaitu: adanya piranti lunak berupa Perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan nasional dan Polri. Adanya komitmen dari Pimpinan Polri untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah pembentukan pribadi dan sosok Polri yang lebih mengedepankan sebagai pelayan masyarakat. Reformasi di bidang struktural, instrumental dan kultural pada lembaga pendidikan menjadi acuan Gadik untuk terus meningkatkan profesionalismenya agar menghasilkan hasil didik yang berkualitas.
Adapun kelemahan yang dirasakan antara lain terkait pada kurang populernya jabatan Gadik, belum adanya kualifikasi Gadik, kurang diperhatikannya reward bagi Gadik, tidak adanya wadah pembinaan Gadik, dan minimnya fasilitas belajar mengajar.
Faktor eksternal yang menjadi peluang antara lain: dukungan anggaran dari pemerintah sebesar 20% untuk pendidikan, terbukanya peluang untuk belajar di dalam dan luar negeri, serta partisipasi masyarakat dan LSM. Adapun kendala yang dirasakan antara lain: kualitas personel Polri yang bermasalah di lapangan, kultur masyarakat patron-klien, dan lulusan yang ”tidak bunyi” ketika berhadapan dengan masyarakat.
c. Kendala personel Polri yang dirasakan kurang berkualitas dan sering bermasalah, diakibatkan kurang berkembangnya pola pikir siswa selama duduk di bangku pendidikan. Fokus pembelajaran yang berorientasi guru (teacher-oriented) dan metodenya yang menjadikan siswa cenderung pasif, membuat siswa hanya duduk, mencatat, mengingat materi yang disampaikan oleh Gadik dan bertanya seperlunya tanpa memahami materi yang disampaikan. Hal seperti ini dapat membuat siswa tidak bisa mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, kurang bisa mengembangkan skema-skema berpikir, terutama dalam menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih kemajuan, dan pada akhirnya kurang bisa mengkonstruk pemahaman serta mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan teori/konsep dengan fungsi teknis kepolisian.
d. Alternatif paradigma dalam mengajar yang diharapkan dapat merubah pola pikir siswa menjadi lebih inovatif dan kreatif adalah melalui paradigma konstruktivistik. Dalam paradigma ini, selain penggunaan alat menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi yang digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, serta pemberian evaluasi, Gadik juga dituntut untuk memahami kecerdasan majemuk siswanya serta mengasah kemampuan mendidiknya, dimana kesemuanya untuk membuat siswa mengkonstruk makna tentang pemahaman berupa konsep dan prinsip-prinsip dalam skema mental siswa agar siap di lapangan kelak.

20. Rekomendasi

a. Memberikan pelatihan kepada Gadik untuk meningkatkan profesionalismenya melalui peningkatan kemampuan, keterampilan, agar memenuhi standar kompetensi dalam mendidik (ikut TOT, AKTA, atau Diklat).
b. Memasukkan Gadik kedalam struktur OTK Lemdikpol (di setiap satuan kerja dibawah Lemdikpol), agar jelas dalam spesialisasi, departemenlisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi, dan formalisasi dari Gadik tersebut.
c. Melengkapi setiap lembaga pendidikan Polri dengan fasilitas belajar mengajar yang memadai: ruang kelas yang banyak, mempunyai laboratorium keilmuan, mempunyai cukup alat bantu penyampaian (OHP, proyektor, komputer, dll).
d. Melakukan studi banding ke lembaga pendidikan yang telah melaksanakan pembelajaran berorientasi siswa, baik di dalam maupun luar negeri, untuk menyusun program kurikulum yang berbasis pada siswa.


DAFTAR ACUAN

Buku:


Chatib, Munif. (2009). Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intellegence di Indonesia. Jakarta: Kaifa.
Chrysnanda, DL. (2010). Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.
Gagne, R. (1962). Military Training and Principles of Learning. American Psychologist, 17, 263 – 276.
Hidayat, Anang. (2007). Strategi Six Sigma. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kadarmanta. A. (2008). Pendidikan Polisi Berbasis Kompetensi. Jakarta: Forum Media Utama.
Krause, Kerri-Lee, et.all. (2007). Educational Psychology for Learning and Teaching. Australia: Nelson Australia Pty Ltd.
Maliki, Zainuddin. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
McInerney, Dennis M. dan Valentina McInerney. (2002). Psychological Education. NSW: Prentice Hall.
Meliala, Adrianus. (2005). Mungkinkah Mewujudkan Polisi yang Bersih?. Jakarta: Partnership.
PTIK. (1981). Perkembangan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. tanpa penerbit.
Rahardi, Pudi. (2007). Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya: Laksbang Mediatama.
Rahardjo, Satjipto. (2002). Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.
Saha, Lawrence J. (2001). Bringing People Back In: Sociology and Educational Planning. Dalam Ballantine, The Sociology of Education: A Systematic Analysis. New Jersey: Prantice Hall.
Salam, Burhanuddin. (2002). Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.
Salusu. (1996). Pengambilan Keputusan Strategi Untuk Organisasi Publik. Jakarta: PT. Gramedia.
Semiawan, Conny. (2008). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Sunarno, Edy. (2010). Berkualitas, Profesional, Proporsional; Membangun SDM Polri Masa Depan. Jakarta: Pensil-324.
Triguno. (1997). Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.

Makalah/Bahan Sarasehan:

Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah Sarasehan, tanpa tahun.

Surat Kabar dan Majalah:

Chrysnanda DL. (Juni 2008). Ilmu Kepolisian dan Penyelenggaraan Tugas Polri. Majalah Jagratara edisi XXXVII.
Litbang Kompas. (1 Juli 2010). Polri, Becerminlah dari Keberhasilan. Harian Kompas.

Undang-Undang/Peraturan:

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan.
Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/28/XII/2005, Sistem Pendidikan Polri.

Web:

Elfis. (2010, 22 Januari). Teori Konstruktivisme Vygotsky. http://ahmadsyahbio. blogspot.com

Kurnianto. (2009, 30 Desember). Pendidik dan Tenaga Kependidikan. http://atmojo3. blogspot.com
Baca selengkapnya.....