Rabu, 20 Juli 2011

POLICE FLASH MOB


Pernah dengar flash mob? Kalau anda adalah penggemar acara hiburan di televisi pasti pernah mendengar kata ini. Ya, flash mob adalah gerakan yang dilakukan sekelompok besar orang asing yang tiba-tiba berkumpul di tempat umum, melakukan hal yang tidak biasa untuk beberapa menit, kemudian membubarkan diri begitu saja. Kegiatan ini biasanya diorganisir hanya melalui situs sosial media, email atau media lainnya. Nama flash mob sendiri sebenarnya berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris yaitu flash yang berarti sekejap atau kilat dan mob yang berarti kerumunan. Makanya, setiap gerakan flash mob pasti melibatkan banyak orang dan hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat (en.wikipedia.org). Kegiatan ini pernah dijadikan iklan oleh sebuah produk minuman kesehatan di Bundaran Hotel Indonesia yang dilakukan oleh beberapa puluh orang saat car free day.

Lantas apa kaitannya dengan judul diatas? Saya kali ini menengahkan bagaimana Polri bisa memanfaatkan flash mob ini untuk merubah mindset dan culture set organisasinya. Mungkin banyak yang mencibir bahwa kegiatan ini hal yang sia-sia belaka, sama seperti ketika Polwan Polantas PMJ melakukan gerakan tarian untuk mengatur lalu lintas di bilangan Bundaran HI beberapa waktu silam, yang justru menjadikan jalan macet karena pengguna jalan melambatkan laju kendaraan untuk sekedar melihat wajah-wajah manis polisi kita menari dan hal ini memunculkan komentar dari senior-senior polisi yang berpikiran jadul “jaman dulu gak ada kayak gini, polisi itu jaga imej....wah, kok kayak gak ada kerjaan aja nari-nari di jalan...ko malu-maluin gitu sih polisi sekarang”. Karena tidak memiliki kejelasan konsep dan banyak mengundang komentar, akhirnya kegiatan kreatif ini dihentikan (Chrysnanda, 2011: 29). Memang akhirnya program-program kreatif di kepolisian gugur dengan sendirinya karena kondisi internal sendiri, polisi yunior banyak mengalah pada polisi senior yang hanya bisa memberikan komentar tanpa menyampaikan solusi, ngeritik tok gaweane.

Bagaimana Polri bisa memanfaatkan flash mob ini untuk mengubah mindset personelnya untuk kemudian merubah culture set agar mendapat kepercayaan dari masyarakat? Kalau dalam terminologi diatas memang, flash mob hanya dilakukan secara insidentil. Gerakan pun dilakukan di kerumunan, dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Flash mob disini dapat pula diartikan bagaimana polisi bisa menggerakkan masyarakat agar melakukan sesuatu secara singkat namun pesannya tersampaikan ke masyarakat yang lainnya. Jadi bukan hanya sekadar slogan saja, namun sudah kepada aksi. Terkadang organisasi ini hobi menyuarakan slogan, jargon, pesan namun aksinya tidak diperhatikan.
Polri memiliki teknologi informasi, personel pun sudah pandai menggunakan gadget karena hampir setiap gadget baru di-launching, pasti banyak personel Polri yang sudah mengantri untuk memilikinya. Tidak heran kalau personel Polri sekarang sudah menenteng-nenteng iPad, menggenggam Blackberry, menggunakan iPhone, dan gadget-gadget lainnya. Kalau teknologi ini dimanfaatkan untuk membangun jaringan kemitraan, kemudian mengajak komunitas-komunitas binaannya untuk melakukan flash mob yang berkaitan dengan kamtibmas, tentu inovasi seperti ini bisa semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Flash mob yang dilakukan bisa saja berisi pesan-pesan keselamatan lalu lintas, anti KKN, Polmas, reformasi birokrasi Polri, dan lain-lain. Ajakan dilakukan melalui jejaring sosial yang ada, diteruskan kepada komunitas binaan, dan lokasi yang dapat dijangkau serta mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan dapat langsung mengena pada sasaran. Flash mob bukan hanya membuat gerakan-gerakan kesenian saja, namun juga gerakan-gerakan kemasyarakatan untuk membangkitkan rasa memiliki kewaspadaan akan gangguan kamtibmas.

Banyak momen yang dapat dijadikan ajang kreatifitas baru bagi Polri, bahkan inovasi tersebut tidak memerlukan biaya banyak, namun polisi bisa menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama menyuarakan program perubahan kultur Polri, dan kalau dikemas dengan baik bukan tidak mungkin program ini menjadi produk kesenian dan pariwisata, namun tetap menjaga profesionalitas sebagai penjaga kedamaian. Dengan demikian diharapkan inovasi yang muncul mendapat dukungan baik dari eksternal maupun internal kepolisian, bukan hanya pandai mencibir dan menghujat demi kepentingan pribadi namun saling mendukung demi peningkatan kepercayaan masyarakat pada Polri di masa depan.

Referensi:

Chrysnanda DL, 2011. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi?. Jakarta: YPKIK.

Flash Mob”. http://en.wikipedia.org.
Baca selengkapnya.....

Jumat, 01 Juli 2011

POLISI YANG CENDEKIA, ASET POLRI MASA DEPAN



Menurut Chrysnanda, SDM merupakan aset bangsa yang berarti harkat dan martabatnya sebagai manusia didudukkan sebagaimana seharusnya manusia. Di kepolisian, SDM menjadi aset utama bagi institusi (Chrysnanda, 2011: 367). Sadar akan asetnya tersebut, maka dalam pembinaan SDM, Polri menerapkan standar tinggi dalam rekrutmen dan seleksi menjadi anggota Polri, termasuk juga dalam mendidik dan melatih setiap personel Polri yang memenuhi syarat untuk mendapatkan figur polisi yang berkualitas dan memiliki daya pikir serta daya tanggap melebihi yang lain.
Sebagai implementasi grand strategy Polri 2005 – 2025, Polri memiliki serangkaian program yang dirinci dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu trust building (2005 – 2010), partnership (2011 – 2015), dan strive for excellence (2016 – 2025). Dalam menjalankan tiga tahapan ini, SDM yang berkualitaslah yang diharapkan dapat mewujudkan manajemen perubahan Polri. Sebagai pemelihara kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, maka Polri sudah seyogyanya membangun SDM Polri untuk mewujudkan sosok yang berkualitas, profesional, dan proporsional (Sunarno, 2010: 15).

Berkualitas disini bahwa SDM Polri harus memiliki derajat kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan organisasi untuk menjalankan peran dan fungsinya. Dinamika masyarakat yang selalu bergerak mengikuti arus globalisasi, membuat Polri harus tetap kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Untuk memperoleh kualitas maka sudah barang tentu Polri harus selalu mengikuti perubahan yang terjadi, dimana untuk mencapai hal tersebut sudah tentu personel Polri harus selalu (dalam istilah komputerisasi) “di upgrade” agar tidak lemot, hang, atau error. Cara meng-upgrade personel tersebut bisa dengan meningkatkan kualitas rekrutmen, mendidik serta melatih personel di berbagai lembaga pendidikan luar dan dalam negeri, serta melibatkan peran stakeholders (pemangku kepentingan) dalam upayanya meningkatkan kualitas personel Polri. Kemudian untuk membentuk karakter Polri yang profesional, personel tersebut dituntut untuk tahu akan kewajibannya, terampil pada profesinya, serta ahli dalam bidang yang diembannya. Untuk menuju itu semua, personel Polri harus memiliki standar kompetensi yang bukan saja diukur oleh latar belakang pendidikan semata, namun juga perilaku dan integritas moral dalam menjalani peran dan fungsinya sebagai polisi. Dan terakhir adalah bagaimana membangun sosok polisi yang proporsional yaitu setiap anggota Polri memiliki keterampilan, kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sesuai bidang tugas yang diembannya dengan sumberdaya yang ada (dan tidak mengada-ada) sesuai kondisi organisasi.

Guna membangun SDM Polri yang berkualitas, profesional dan proporsional, maka Polri membangun kerjasama dengan perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri untuk mengirimkan personel-personelnya untuk mengenyam pendidikan. Seleksi untuk mendapatkan peserta didik pun dilakukan sesuai dengan standar kelulusan perguruan tinggi yang bersangkutan. Pembiayaan personel melalui beasiswa mengandung maksud agar personel Polri yang mengikuti pendidikan tidak terkendala oleh biaya kuliah, sehingga diharapkan selesai tepat waktu dan peserta didik dapat fokus pada penyelesaian tugasnya. Sudah banyak personel Polri yang setelah lulus dari jenjang S1 dinas (STIK-PTIK) maupun non dinas (perguruan tinggi di wilayah) melanjutkan ke jenjang magister (S2) yang telah menjalin kerjasama dengan Polri seperti di Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, serta S2 Manajemen Transportasi di Inggris. Dan dari jenjang magister bahkan ada yang meneruskan ke jenjang doktoral (S3), semua ini dilakukan Polri untuk meningkatkan kapabilitas personelnya agar dapat membawa organisasi kearah kemajuan yang komprehensif dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat.

Keinginan Polri untuk memiliki personel-personel yang berpendidikan ini tentunya selain unggul dan memiliki prestasi juga diharapkan mampu mengimplementasikan tugas dan tanggungjawabnya melalui produk-produk yang dihasilkan, baik secara konseptual maupun kinerjanya (Chrysnanda, 2011: 369). Tentunya menjadi harapan personel Polri juga untuk mengembangkan karirnya berdasarkan pendidikan yang didapat, dengan mengikuti pendidikan pengembangan Polri seperti Sespimmen maupun Sespimti. Namun terkadang harapan personel Polri tersebut terkendala oleh aturan-aturan yang selalu berubah, dan tak urung menemui kendala sehingga mereka tidak bisa mengikuti pendidikan pengembangan tersebut. Padahal kalau secara logika, berapa biaya yang dikeluarkan Polri guna membiayai personel-personel tersebut, yang hasilnya pun tentu bukan menjadi milik yang bersangkutan namun juga organisasi, sehingga apabila Polri tidak memanfaatkan output dari apa yang sudah dibiayai tentunya menjadi pemubaziran anggaran dan SDM. Padahal tentu Polri juga berharap lembaga pendidikan pengembangan seperti Sespimmen dan Sespimti diisi oleh peserta-peserta didik yang qualified secara keilmuan maupun kinerja, karena sebagai pusat keunggulan (centre of excellence) memiliki makna sebagai ujung tombak atau penggerak utama organisasi untuk mencapai keunggulan kompetetitf dalam bidang ilmu pengetahuan maupun manajerial (Chrysnanda, 2009: 176). Apalagi lembaga pendidikan seperti Sespimmen maupun Sespimti dituntut untuk menghasilkan produk-produk pelayanan kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari hasil kajian maupun pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam memberikan rasa aman bagi masyarakat. Bukankah lebih baik peserta didikpun salah satunya adalah alumnus-alumnus dari sekolah-sekolah yang juga dibiayai oleh Polri tadi, sehingga outcome dari pendidikan itu sendiri dapat dihasilkan hasil didik yang profesional serta memiliki pengetahuan konseptual dan teoretis mengenai berbagai permasalahan sosial dan kepolisian.

Kalau dipikir, tidak seluruh peserta didik pendidikan S2/S3 akan mengikuti pendidikan pengembangan Polri, karena dari sejumlah peserta didiknya beragam dari angkatan senior maupun yunior di kepolisian. Dari keseluruhan peserta, mungkin hanya 2 atau 3 orang yang pada saat lulus telah mempunyai syarat untuk mengikuti seleksi pendidikan pengembangan Polri. Kalau Polri mengedepankan mutu, tentunya mereka ini memperoleh prioritas untuk langsung mengikuti pendidikan pengembangan tanpa harus melewati seleksi, karena seyogyanya mereka yang lulus pendidikan S2/S3 tentu telah melewati tes potensi akademik dan telah juga melakukan penelitian sebagai outcome dari pendidikan tersebut. Apabila kebijakan ini dijalankan, mungkin personel-personel Polri yang tengah mengikuti pendidikan D3/S1 akan berlomba-lomba untuk meraih prestasi di bidang akademik, karena diharapkan lulusan terbaik dapat langsung mengikuti seleksi mengikuti pendidikan S2/S3. Polri tidak lagi susah untuk memanggil personel terbaiknya untuk mengikuti pendidikan lanjutan S2/S3, tidak ada personel yang sengaja untuk “ninja” (mencari alasan untuk tidak dipanggil seleksi), atau pura-pura sibuk kalau dipanggil seleksi (bahkan memperdaya pimpinannya untuk membuat rekomendasi/surat pembatalan agar tidak dipanggil seleksi). Kecuali ada pikiran oknum-oknum internal Polri yang resisten terhadap perubahan, yang merasa bahwa daripada meloloskan 2 atau 3 orang lulusan S2/S3 (yang dibiayai sendiri oleh Polri) ke jenjang pendidikan pengembangan tanpa seleksi, lebih baik ditawarkan pada 2 atau 3 orang personel Polri yang mau dan mampu “membayar” untuk masuk pendidikan. Selain kantung oknum bisa gemuk, mungkin bisa mengembalikan “ongkos” yang sudah dikeluarkan Polri untuk membiayai personelnya yang mengikuti S2/S3.

Kalau sudah begini pikirannya, bagaimana kita merubah kultur Polri agar lebih dipercaya oleh masyarakat? Karena untuk membangun kepercayaan di tingkat internalnya sendiri saja belum bisa terwujud? Perubahan yang mendasar yang harus dilakukan oleh Polri adalah mensinergikan kebudayaan Polri yang ideal sama dengan perilaku personel Polri itu sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam masyarakat. Membangun kultur birokrasi yang ideal dan rasional dimana personel yang mengawakinya berlaku profesional, cerdas, bermoral, dan patuh hukum tidak penuh dengan intervensi tentunya perlu suatu komitmen kuat dari para pemangku kepentingan (stakeholder) Polri untuk dapat memenuhi itu semua. Apalagi ketika Polri menghendaki reformasi birokrasi di lingkungannya dapat berjalan cepat, tentu harus didukung adanya manajemen perubahan dan manajemen pengetahuan yang menyertainya.
Reformasi birokrasi di tubuh Polri merupakan satu dari tiga langkah yang harus diambil untuk mewujudkan terciptanya kepercayaan masyarakat, dua langkah lainnya adalah pelayanan prima dan kemitraan dengan masyarakat. Oleh sebab itu untuk mewujudkan reformasi birokrasi, Polri harus melakukan beberapa langkah perubahan kultur birokrasi yaitu:
1. Paradigma “dilayani menjadi melayani”, baik terhadap masyarakat maupun internal Polri.
2. Optimalisasi satuan kerja dan inovasi kelembagaan masing-masing fungsi untuk mewujudkan efektifitas penyelenggaraan organisasi.
3. Mengelola keuangan yang efisien dengan memangkas kegiatan-kegiatan yang tidak efisien serta yang bersifat seremonial (yang tidak dianggarkan dalam DIPA).
4. Sistem reward and punishment untuk mengapresiasi produktifitas, kreatifitas, dan inovasi sekaligus menindak pelanggaran, penyimpangan personel dalam bidang pelayanan.
5. Pemanfaatan teknologi informasi dalam birokrasi untuk memungkinkan berlangsungnya interaksi internal dan eksternal secara cepat, tepat, sederhana, jangkauan luas, serta efisien dan efektif.

Manajemen perubahan tersebut harus diikuti dengan pemanfaatan manajemen pengetahuan seperti telah dijelaskan pada paragraf awal tulisan ini, karena memang yang dirasakan masyarakat saat ini adalah polisi yang masih bersikap sebagai penguasa, berilmu cetek (dangkal), korup dengan memutarbalikkan fakta, yang tidak sesuai dengan perubahan masyarakat yang mengarah pada tantangan yang demokratis (Radjab, 2011: 40). Manajemen pengetahuan akan didapat dari personel atau SDM yang unggul. Lulusan yang dihasilkan harus berkualitas tinggi, yang ditinjau dari tiga aspek keunggulan yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap/perilaku (attitude). Ketiganya disebut kompetensi, yang demikian perubahan kultur polisi harus terbentuk dari personel-personel yang memiliki kompetensi tinggi dan memiliki kepribadian serta dedikasi pengabdian yang tinggi terhadap organisasi Polri dalam memelihara kamtibmas serta menjaga rasa aman masyarakat (Chrysnanda, 2009: 190).
Menjadi polisi yang cendekia tentu bukan untuk kebutuhan si individu saja, namun sebagai representasi tugas Polri dalam turut memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, dan mengayomi, melindungi, melayani masyarakat. Polri dengan demikian harus menjaga asetnya tersebut agar dapat menjalankan reformasi birokrasi seperti yang diamanatkan rakyat. Kesadaran untuk menjadi Bhayangkara sejati harus sudah dipupuk sejak menjalani berikrar untuk mengabdikan diri pada Polri, ikrar yang selalu diucapkan merupakan janji yang harus ditepati, karena janji tersebut akan ditagih bukan oleh pimpinan Polri namun oleh masyarakat dan Tuhan YME.

DIRGAHAYU BHAYANGKARA KE-65......!!!!


Referensi:

Chrysnanda. 2009. Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.

Chrysnanda. 2011. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi?. Jakarta: YPKIK.

Radjab, Untung S. 2011. Polisi Yang Elegan. Jakarta: Pensil-324.

Sunarno, Edy. 2010. Berkualitas, Profesional, Proporsional; Membangun SDM Polri Masa Depan. Jakarta: Pensil-234.
Baca selengkapnya.....

MERANGKUL MEDIA


Polisi berkata, wartawan itu ibarat dua sisi mata uang. Sebagai kuli tinta mereka juga bisa jadi mitra kerja polisi, namun disisi yang lain bisa juga jadi provokator dengan menulis berita yang terkadang memerahkan telinga polisi. Wartawan sering memanfaatkan media massa sebagai alat untuk memunculkan opini yang terkadang mencoreng nama baik organisasi Polri. Namun ada juga polisi yang memanfaatkan media sebagai sarana untuk menyampaikan akuntabilitas kinerja mereka agar tetap menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat. Dan ada juga yang memang hobi narsis, program tidak jelas, yang penting nama dan fotonya nampang dimana-mana.

Polisi memang tidak lepas dari sisi publisitas untuk memberitahukan program-program yang dilaksanakan. Selain tugasnya sebagai pemelihara kamtibmas, menegakkan hukum dan memberi pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, polisi juga memerlukan peran serta aktif dari masyarakat. Tidak mungkin polisi memberi arahan kepada masyarakat seperti memberi arahan kepada anak buahnya sendiri, tentu pola memberi arahan berbeda. Terkadang perlu sentuhan akademis untuk mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat, ketika komunikasi intrapersonal mengalami kuldesak (jalan buntu).

Terkadang ketika polisi hendak memulai suatu program sosialisasi memulainya dengan cara-cara yang konvensional. Membuat program yang hanya diketahui internal polisi sendiri, kemudian melakukan sosialisasi hanya sekedarnya saja dengan waktu yang singkat, kemudian dilanjutkan dengan penegakan hukum. Maka wajar saja masyarakat kemudian sering menentang program tersebut, meskipun program yang diusung baik untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak salah memang kalau polisi kemudian menggandeng media untuk menyukseskan program-programnya. Namun bukan berarti hanya dengan mempublikasikan program kemudian memasang gambar narsis pejabat yang mengkampanyekan saja, tetapi setidaknya dilengkapi dengan kajian-kajian ilmiah yang mengajak masyarakat mengerti mengapa program tersebut harus dijalankan.

Merangkul media juga dapat dikatakan sebagai sarana kontrol polisi terhadap kinerja yang dilakukannya. Karena biasanya wartawan memiliki wawasan intelejen yang terkadang lebih awas dibanding personel intelejen polisi itu sendiri. Adakalanya suatu informasi tidak tertangkap oleh mata intelejen polisi, namun ketika wartawan menyampaikan informasi sebagai klarifikasi itu menandakan pencarian keterangan selangkah lebih maju dari polisi itu sendiri. Dan ketika pengawas internal kepolisian tidak menemukan penyimpangan yang terjadi di tubuh organisasi, kadangkala media menemukan sesuatu kejanggalan yang harus segera menjadi atensi dari pimpinan kepolisian itu sendiri.

Oleh sebab itu pejabat humas di kepolisian janganlah dianggap sebagai orang buangan yang tidak berguna, justru pejabat humas ibarat salesman yang memberikan keterangan mengenai keunggulan program polisi kepada masyarakat. Jadi gap antara masyarakat dan polisi setidaknya dapat diminimalisir dengan adanya media sebagai jembatan penghubungnya. Maka, seyogyanya pejabat humas diisi oleh personel yang memiliki kapabilitas sebagai negosiator, fasilitator, dan dinamisator dengan keunggulan analisis akademis dipadukan dengan kemampuan pengetahuan operasional fungsi kepolisian. Dan kepada mereka apabila berhasil menjalankan tugas dan fungsinya agar diberikan reward sesuai dengan prestasi yang diraihnya. Ini untuk menjadi kredibilitas humas sebagai corong organisasi sebagai representasi reformasi birokrasi Polri dalam turut mewujudkan revitalisasi Polri.
Baca selengkapnya.....