Senin, 25 April 2011

PERILAKU FEODAL



Di sebuah acara dokumenter Metro TV hari Sabtu (23/4) lalu ditayangkan kehidupan Pangeran William putra mahkota Kerajaan Inggris dalam kesehariannya sebelum melangsungkan pernikahan abad ini dengan Kate Middleton pada tanggal 29 April 2011 nanti. Disitu ditayangkan kehidupan William saat kecilnya, ketika mengikuti wajib militer, sampai pada hubungannya dengan Ratu Elizabeth II. Pangeran William seolah-olah mewakili kesahajaan ibundanya, Lady Diana, yang berupaya beradaptasi dengan lingkungan kerajaan berikut semua kegiatan protokolernya. Mungkin yang dirasakan adalah ketidakbebasan anak untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya, dengan siapa dia berteman, dan kegiatan apa yang layak diikuti, atau bagaimana dia berkomunikasi dengan orang lain (termasuk dengan media). Hubungannya dengan media inilah yang membuat keluarga kerajaan terkesan sangat berhati-hati, karena setiap kegiatannya merupakan makanan empuk bagi wartawan untuk dipublikasikan ke khalayak ramai.
Inggris merupakan negara monarki konstitusional tertua di dunia yang masih bertahan saat ini. Dimana meskipun sebagai simbol, seluruh keluarga kerajaan wajib hukumnya untuk mengikuti semua aturan kerajaan termasuk bagaimana bersikap perilaku serta bertindak, dalam kaitannya dengan orang diluar kerajaan. Yang saya soroti disini adalah bagaimana William menjalani kesehariannya sebagai orang penting dari kerajaan. Disitu saya melihat William mengikuti kegiatan orang tuanya, dan disaat bertingkah laku selayaknya anak-anak, dengan halus diberitahu oleh ibunda Lady Diana untuk bersikap santun. Pun begitu ketika menginjak dewasa, ketika mengikuti perintah wajib militer sebagaimana diamanatkan dalam UU, William pun harus mengikuti setiap program wajib militer itu dengan seksama. Ketika dia diharuskan membawa barang-barang keperluan selama mengikuti wajib militer, dia tampak membawa sendiri perlengkapannya tersebut. Bahkan ketika pasukan pengawal kerajaan hendak membawakan, ditampiknya permintaan tersebut. Ketika dia ditugaskan mengikuti sebuah program pelatihan di Chile pun, dia ditempatkan di barak yang jauh dari akomodasi selayaknya putra kerajaan. Disitu dia harus membersihkan WC sendiri, karena kebetulan tugasnya untuk membersihkan. Sekali lagi, ketika ada petugas barak yang ingin membantunya malah ditampiknya permintaan tersebut. Dan ketika diterjunkan pada tugas pasukan, William tidak memilih-milih hendak ditempatkan di daerah mana dia bertugas. Dan ketika ditugaskan sebagai salah satu staf pasukan perdamaian di Afganistan pun , dia dengan semangat berangkat memenuhi perintah tersebut. Meskipun disana pasti telah ditempatkan pasukan pengawal kerajaan untuk melindungi William dari serangan kelompok militan Afganistan.
Lalu apa pelajaran yang bisa kita dapat dari dokumenter diatas? Pelajarannya adalah bagaimana perilaku seseorang yang tidak memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan hanya untuk kesenangan diri sendiri. Perilaku seorang putra kerajaan monarki konstitusional tertua di dunia ternyata tidak seperti yang dibayangkan dalam dongeng-dongeng pengantar tidur. Perilaku pejabat kita malah lebih feodal dari William, dimana lebih mengedepankan pelayanan ketimbang melayani. Perilaku ini bahkan merembet sampai keluarganya. Istri dan anak-anaknya seolah menjadi orang kaya baru (OKB), pemimpin bayangan dan orang yang harus difasilitasi semua keinginannya. Ingin kunjungan supervisi harus penerbangan first class, disambut dengan tarian adat bak raja, akomodasi minimal bintang 4 (kalau bintang 3 kayaknya badan rasa gatal-gatal), pulangnya harus diberi ongkos balik juga (biar uang jalannya utuh masuk kantong sendiri). Apalagi kalau pejabat tersebut memegang fungsi strategis dalam rangka mempromosikan seseorang, tulisannya ibarat mantra yang apabila dibacakan akan menjadi kenyataan. Simsalabim, abracadabra.....aku minta jadi monyet! TRING!!! Jadilah monyet.....!
Selagi pejabat melakukan supervisi, istrinya ikut-ikutan melakukan supervisi (supervisi tempat belanja maksudnya....). Kalau tidak diservis, si istri melaporkan kepada si pejabat bahwa dia tidak dilayani dengan baik (apa maksudnya biar dianggap berpengaruh pada penempatan? Promosi?). Kelakuan ini merembet pada si anak, kalau anaknya jadi anggota di instansi tempat bapaknya bertugas, dia harus difasilitasi, baik tempat tugasnya, jabatannya, sekolahnya. Anaknya seperti panitia penempatan, diperlakukan bak raja, kalau tidak dilayani maka orang yang minta tidak akan diperhatikan. Si anak kemudian menganggap senior-seniornya seperti pengamen pinggir jalan, yang kalau tidak diberi uang dari satu kendaraan kemudian beralih ke kendaraan yang lain (gak nganggep).
Atau mungkin banyak yang berpikiran ketika pejabat tadi berdiskusi di ruang makan keluarga, sudah selayaknya tengah melakukan rapat penempatan. Apa masukan istrinya, apa masukan anaknya, ditampung, dijadikan konsep dan dijadikan keputusan untuk memindahkan orang yang tidak disukai atau disukai oleh koloni keluarga tersebut. Orang-orang yang dicap tidak loyal harus dicabut dari akarnya, dibuang karena tidak bermanfaat bagi koloninya, lebih baik dijadikan penghuni museum daripada dibiarkan berkeliaran. Sedangkan orang-orang loyalis harus dipupuk demi keberlangsungan koloni keluarga tersebut apabila tidak menjabat lagi, jadi akan selalu diingat setiap jasa-jasanya dalam mengangkat kaum loyalis ini. Kelakuan ini mirip dengan orang yang sedang pesugihan (minta wangsit di gua-gua), harus bawa sesajen, bakar kemenyan biar penghuni gua mendatangi orang yang minta pesugihan. Makhluk halus kalau disuruh ingat orang, pasti selalu ingat yang bawa sesajen ketimbang yang cuma omong doang. Waduuuuuhhhh.....
Melihat itu semua, kita seolah dibandingkan antara perilaku feodal Inggris yang merupakan negara monarki tertua di dunia dengan perilaku feodal Indonesia. Bukan kita menyalahkan perilaku feodalismenya, namun perilaku manusianya lah yang menjadi sorotan. Pangeran William akan lebih malu untuk dilayani hanya karena kapasitasnya sebagai anggota keluarga kerajaan yang tidak berbuat apa-apa, ketimbang dia yang harus melayani karena menjaga martabat sebagai keluarga kerajaan. William tidak mau memilih-milih tempat tugas karena dia sadar bahwa nama kerajaan dipertaruhkan apabila dia bersifat cengeng dihadapan publiknya sendiri, ditugaskan di Chile maupun Afganistan diterima dengan ikhlas daripada dia harus menghindari program wajib militer meskipun dia yakin bisa berbuat seperti itu (mengabaikan wajib militer). Dari sini ada sisi positif yang diajarkan William kepada kita, bahwa perilaku malu untuk memanfaatkan sesuatu dari kehidupan feodal demi kepentingan pribadi adalah hal yang baik daripada kita memanfaatkan kehidupan feodal demi kepentingan sendiri.
Baca selengkapnya.....

Kamis, 07 April 2011

BRIPTU NORMAN MENDEKATKAN POLISI DENGAN MASYARAKAT



Mendadak sontak nama Briptu Norman Kamaru anggota Brimob Polda Gorontalo menjadi terkenal lewat aksinya yang diunggah di Youtube dengan label "Polisi Gorontalo Menggila". Aksinya menirukan gerakan Shah Rukh Khan dinilai sangat menghibur ribuan pengunduh situs video tersebut, dan turut memberikan komentarnya atas aksi uniknya tersebut. Aksinya tersebut sempat mengundang reaksi kontra dari Polda Gorontalo karena dianggap melecehkan seragam yang dikenakan, mengunggah aksinya ke situs jejaring sosial, dan tidak berlaku selayaknya polisi yang bertugas pokok melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Pernyataan kontra tersebut diluncurkan seketika setelah beberapa saluran televisi swasta menayangkan aksinya tersebut, mungkin hal ini yang membuat kebakaran jenggot para pejabat Polda setempat tanpa melihat substansi dari aksi Briptu Norman tersebut. Mungkin takut dianggap tidak bisa membina disiplin anak buahnya oleh pusat, atau terburu-buru memberikan pernyataan bahwa tindakannya salah dan harus segera dihukum agar menjadi contoh bagi personel Polri lainnya yang berniat melakukan kegiatan yang sama.

Mungkin ada baiknya kepolisian tidak terkungkung oleh rutinitas tugas semata, melek teknologi kadang diwajibkan untuk melihat fenomena apa yang ada di dunia kepolisian belahan dunia lain saat ini. Kalau kita rajin mengunduh di situs jejaring sosial, mungkin bisa kita lihat ratusan aksi polisi-polisi yang melakukan seni atau budaya untuk melakukan pendekatan kerja dengan masyarakat. Apakah ketika mengatur lalu lintas, ketika mendekati kelompok masyarakat tertentu, ketika melakukan dikmas lantas, ketika melaksanakan kampanye lalu lintas, atau acara-acara hiburan kamtibmas lainnya. Apakah dengan melakukan kegiatan kesenian tersebut, polisi dianggap melecehkan seragamnya? Sehingga harkat martabatnya selaku polisi akan turun apabila melakukan hal tersebut? Apakah Presiden SBY yang bernyanyi di depan khalayak ramai dianggap melecehkan harkat dan martabatnya sebagai Presiden? Inilah yang kita sebut inovasi dalam rangka mendekatkan polisi dengan masyarakat yang diayominya.

Maaf kalau cara memandang polisi dengan pendekatan robocop memang salah, pendekatan pemolisian dengan cara kaku, jaim, tidak humanis, kolot, minderan sudah bukan konsumsi polisi saat ini (Chrysnanda, 2011). Polri harus berani mendobrak tradisi feodal namun tetap memandang sesuatu dengan cara-cara elegan untuk mendekatkan Polri dengan masyarakat. Jangan belum apa-apa sudah disebut mbalelo, mbelgedhes, gemblung, atau stress. Polisi juga sebagai manusia yang bekerja dengan otot, otak, dan hati nuraninya, dimana kesenian dan kebudayaan merupakan bagian dari corak pemolisiannya. Harga diri dan martabat bukan dilihat dari uniform yang banyak brevetnya atau sikap patah-patahnya seperti patung polisi, melainkan harus bisa bersikap luwes, humanis, santun, bersahabat dengan masyarakat namun tegas, berwibawa dalam kinerjanya guna membawa manfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Oleh sebab itu, sebelum Polri melihat suatu kasus anak buahnya dari unsur eksternal (untuk meminta klarifikasi), Humas sebagai penyambung lidah Polri dengan media massa jangan terlebih dahulu memberikan pernyataan yang seolah-olah ingin melindungi kredibilitas pimpinan, takut akan teguran dari pusat, atau ingin membersihkan diri dari perilaku anggotanya yang dianggap mencoreng nama baik institusi. Namun Humas terlebih dahulu mengkaji setiap permasalahan dengan melihat terlebih dahulu substansinya, komparasikan dengan teknologi untuk melihatnya sebagai perbandingan dengan perilaku polisi di luar sana, sesuaikan dengan kode etik profesi. Menurut saya masih lebih baik perilaku Briptu Norman yang mengunggah keahliannya dalam bernyanyi (atau lip-sync) tersebut, daripada oknum-oknum polisi yang mengunggah perilakunya menyiksa masyarakat atau berbuat mesum. Apalagi apa yang dilakukan Norman tersebut dilakukan disela-sela tugasnya menjaga markas polisi, yang otomatis saat itu tengah siaga bukan dilakukan di tempat karaoke atau klub malam.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Briptu Norman kita anggap sebagai corak pemolisian yang dilakukan melalui perspektif seni dan budaya, yang ini dianggap sebagai salah satu inovasi pendekatan kepada masyarakat untuk menggerus kesan polisi yang sangar atau galak terhadap masyarakat. Polisi juga manusia, yang punya karsa, karya dan cipta.

Referensi:

Chrysnanda, DL. (2011). Uniform, Kehormatan dan Harga Diri. KIK@yahoogroups.com
Baca selengkapnya.....

Rabu, 06 April 2011

PROFIL PENYIDIK YANG IDEAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP

I. Di dalam aspek tugas dan penataan lingkungan hidup, Polri terkait dalam perananya sebuah fungsi penegakan hukum. Salah satu titik lemah dalam penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup adalah proses penyelidikan dan penyidikan perkaranya, oleh karena itu penulis dalam memberikan masukan, “Postur Penyidik Yang Ideal Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Hidup” khusus kami membahas tentang bagaimana bareskrim Polri menyiapkan jajarannya untuk menghadapi perkembangan permasalahan lingkungan hidup, hal ini di latar belakangi juga oleh faktor pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat. Adapun konsepsinya dalam upaya-upaya sebagai berikut:
1. Upaya peningkatan penyidik Polri dalam rangka mengantisipasi tindak pidana lingkungan hidup dengan prioritas para penyidik Polri pada tingkat Bareskrim Polri dan Polda, guna lapis-lapis kekuatan dibidang penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
2. Mewujudkan postur Polri yang profesional, efektif, efisien dan modern dengan penekanan bahwa Polri dibangun untuk menjadi inti kekuatan kamtibmas dan penegakan hukum.
3. Bareskrim Polri menyusun kebijakan dibidang penyidikan, sebagai berikut:
a. Penyidikan harus objektif pada seluruh lapisan masyarakat dan setiap langkah penyidikan tidak boleh ada yang menyimpang.
b. Penyidikan harus dilaksanakan secara konsisten dan mentaati prinsip-prinsip, aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan.

II. Kemampuan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup oleh Polri yang harus ditingkatkan adalah :
1. Ada 3 (tiga) hal yang sangat substansial yang menjadi kelemahannya yaitu :
a. Kemampuan dalam melakukan pengolahan TKP dan penanganan barang bukti kasus pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup.
b. Kemampuan dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban, saksi dan tersangka.
c. Kemampuan dalam melakukan transformasi “science evidence” ke dalam “legal evidence” kasus pencemaran lingkungan hidup.
2. Kelemahan-kelemahan secara internal :
a. Kualitas SDM/personil yang masih rendah sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup, dari segi kuantitas juga masih sangat kurang, karena hingga saat ini ditingkat Polda maupun Polres belum ada satuan/unit khususnya yang menangani kasus tindak pidana lingkungan hidup, demikian halnya di tingkat Mabes Polri baru 30%kebutuhan personil terpenuhi.
b. Kurangnya pengetahuan dibidang lingkungan hidup, kurang latihan dan sangat jarang atau hampir tidak pernah menangani perkara pemcemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup.
c. Sistim atau juknis dan juklak masih kurang.
d. Anggaran, sarana dan prasarana kurang.
3. Fakta-fakta yang ada sangat kontradiktif dengan konsep ideal yang seharusnya dimiliki oleh seorang penyidik tindak pidana lingkungan hidup, yaitu:
a. Sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup harus menguasai “legal sampling” , karena dengan menguasai metode tersebut maka penyidik akan mampu melakukan oleh TKP dan penanganan barang bukti secara cermat dan benar.
b. Harus menguasai materi hukum lingkungan hidup, karena dengan menguasai materi Hukum, maka penyidik akan mampu melakukan pemeriksaan secara benar.
4. Untuk memperbaiki kelamahan/kekurangannya maka harus dilakukan upaya-upaya :
a. Para penyidik tindak pidana lingkungan hidup harus diberi pelatihan yang sifatnya “on the spot training” dan “case work training”, diharapkan akan menguasai metode “legal sampling” sehingga tak akan mengalami kesulitan dalam hal pengolahan TKP dan penanganan barang bukti.
b. Para penyidik harus diikut sertakan dalam program pendidikan formal, yang relevan dengan pengetahuan konsep bilogi, konsep ekologi, konservasi dan konsep lingkungan hidup melalui pendidikan formal ini diharapkan para penyidik akan mampu melakukan transformasi “science evidence” ke dalam “legal evidence”.

III. Program pendidikan dan pelatihan yang harus dilaksanakan, adalah:
1. Polri khususnya Bareskrim melaksanakan kerja sama pelatihan dengan Bapedal, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
2. Dalam melaksanakan/menyelenggarakan pendidikan spesialis Reserse Lingkungan Hidup perlu disempurnakan bahan pelajarannya.
3. Segera melakukan pengorganisasian berupa pembentukan unit penyidik lingkungan hidup untuk Polres dan satuan penyidik lingkungan hidup untuk tingkat Polda, untuk mengisi struktur tersebut perlu dilakukan rekrutmen personil baru yang mempunyai latar belakang yang relevan dengan bidang hukum lingkungan dan ilmu lingkungan.
Baca selengkapnya.....

EFEKTIFITAS TILANG ELEKTRONIK (e-TLE)



Sejak diberlakukan ujicoba penilangan secara elektronik (e-TLE/Electronic Traffic Law Enforcement) mulai 1 April 2011 lalu, sudah ratusan pelanggar yang tertangkap kamera CCTV kedapatan melanggar aturan lalu lintas. Pelanggaran yang terekam kamera CCTV tersebut meliputi penerobosan traffic light, pelanggaran marka stop-line, dan pelanggaran marka yellow box junction. Penerapan e-TLE tersebut baru diujicobakan di kawasan Sarinah, dan apabila terbukti mampu menekan angka pelanggaran lalu lintas, maka e-TLE akan diterapkan di kawasan three in one lainnya seperti di Sudirman, Kuningan, dan Gatot Subroto. Penerapan e-TLE ini sengaja dipersiapkan untuk pemberlakuan sistem Electronic Road Pricing (ERP) akan diharapkan dapat menjadi solusi kemacetan di Jakarta.

Mekanisme tilang elektronik ini adalah dengan merekam kendaraan yang kedapatan melanggar aturan lalu lintas, kemudian polantas akan mengirimkan surat tilang kepada pelanggar berdasarkan alamat yang tertera pada STNK disertai bukti foto kendaraan yang digunakan untuk melanggar. Pada tilang elektronik tersebut nantinya akan disertai dua kolom isian, kolom pertama berisi nama pemilik kendaraan yang tertera dalam STNK dan pada saat melanggar kendaraan tersebut digunakan oleh siapa, kolom kedua berisi jika kendaraan itu sudah dijual, kepada siapa, dan dimana alamat lengkapnya. Dengan demikian surat tilang akan dialamatkan kepada pemilik baru kendaraan tersebut. Dan jika pemilik kendaraan yang tertera pada STNK mengabaikan tilang tersebut, maka STNK akan diblokir dan otomatis akan menemui kesulitan apabila hendak memperbaharui pajak kendaraan maupun proses registrasi kendaraan lainnya.

Melalui penerapan tilang elektronik ini, kita tentu mengharapkan pengguna jalan akan semakin tergugah untuk berdisiplin dalam berkendara. Namun inovasi yang sudah menerapkan kecanggihan teknologi ini hendaknya didukung oleh moralitas dan integritas petugas yang mengawakinya. Kita memang harus menyadari bagaimanapun canggihnya suatu teknologi, tentunya sumberdaya manusia sebagai operator mesinnya menjadi sorotan untuk melihat baik atau buruknya sebuah penerapan teknologi. Kita tentunya sering mendengar bagaimana programmer komputer bisa mengedit sebuah foto artis yang berpakaian lengkap menjadi artis yang telanjang dan kemudian mengunggahnya ke dunia maya untuk menjatuhkan nama baik artis tersebut. Kemudian video yang bisa diedit sehingga terlihat adegan yang didramatisir (visual effect). Bukan berarti kita menaruh prasangka pada penggunaan teknologi tilang elektronik ini, namun semua bisa saja terjadi apabila tidak didukung oleh integritas petugas yang mengawakinya. Alih-alih menegakkan hukum lalu lintas, bisa saja foto bukti pelanggaran diedit nomor polisinya oleh oknum Polantas dengan maksud-maksud yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, misalnya: memilah kendaraan mewah, kendaraan yang alamatnya gampang dicari, dsb. Karena harus diingat pula bahwa tentunya dibutuhkan kesungguhan dari petugas itu sendiri untuk mau mencari alamat pelaku pelanggaran ditengah kesemrawutan kota besar, belum lagi apabila alamat yang dituju tidak ada atau kendaraan sudah berpindah tempat. Ingat, bahwa sampai saat ini kesadaran pemilik kendaraan untuk melakukan balik nama belum terinternalisasi dengan baik. Masih banyak pemilik kendaraan yang menggunakan alamat pemilik lama (apabila membeli kendaraan seken) karena membeli dengan kredit, atau STNK yang memakai nama perusahaan (sehingga akan sulit ditemukan siapa pengemudinya saat melanggar). Belum rentang waktu yang belum ditentukan, apakah 24 jam setelah ditemukan pelanggaran kemudian tilang dikirim atau sesaat setelah pelanggaran terekam maka tilang segera dikirim. Kalau ini yang dilakukan, maka dibutuhkan ribuan petugas untuk mendatangi alamat pelaku pelanggaran lalu lintas. Begitu juga kesiapan mental petugas untuk menghadapi pelanggar-pelanggar yang mengelak melakukan pelanggaran karena rentang waktu yang cukup lama (apabila tilang elektronik diberikan lebih dari 24 jam) yang membuat mereka amnesia telah melakukan pelanggaran lalu lintas. Yang dikuatirkan adalah penerapan teknologi yang mahal ini akan sia-sia apabila tidak didukung oleh motivasi petugas itu sendiri, sehingga pada akhirnya akan melakukan pembiaran terhadap terjadinya pelanggaran lalu lintas (Muhammad, 1999: 186).

Polri tentunya harus menyadari bahwa pola pikir masyarakat yang sedemikian terkooptasi mengenai Polantas harus lebih dahulu dirubah. Polantas saat ini masih menjadi cap bukan saja oleh internal maupun eksternal kepolisian sebagai lembaga yang masih mengedepankan penyimpangan sebagai solusi praktis untuk menghindari birokrasi penegakan hukum lalu lintas. Dalam lingkungan internal, Polantas masih dianggap sebagai "lahan basah" sebagai tempat menghasilkan uang banyak, cepat dan mudah. Dan personel yang menjabat di tempat itu dianggap sebagai orang sukses, orang yang loyal pada pimpinan, orang kepercayaan atau kasta tertinggi dari fungsi lainnya, bisa juga dianalogikan sebagai tanaman keras yang susah dicabut atau tahan badai (Chrysnanda, 2010: 130). Dalam lingkungan eksternal, Polantas dianggap sebagai backing pelanggar lalu lintas itu sendiri apakah sebagai calo, koruptor (karena memainkan denda tilang untuk kepentingan pribadi), maupun kolusi (memasukkan kendaraan selundupan, kongkalingkong dengan dealer, dll). Perilaku menyimpang ini disebabkan adanya kewenangan yang sedemikian besarnya dalam hal memberikan perijinan, upaya paksa, kontrol sosial, maupun diskresi. Penyimpangan ini secara internal dipengaruhi pula oleh terbatasnya sumberdaya, kebudayaan organisasi, sistem kontrol petugas polisi yang tidak baik atau birokrasi yang patrimonial dan feodal. Sedangkan secara eksternal adalah situasi dan kondisi serta kebudayaan masyarakat yang dilayaninya, juga pengaruh dari birokrasi pemerintah (kebijakan politik negara maupun elit politik). Penyimpangan ini social cost-nya sangat mahal yaitu ketidakpercayaan masyarakat dan citra buruk polisi di mata masyarakat (Mabes Polri: 3).

Kita tentunya patut mengapresiasi Polantas melalui inovasi-inovasinya untuk menegakkan kamseltibcarlantas. Polantas selain tugas pokoknya selaku petugas penegak hukum lalu lintas juga bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Kinerjanya untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas serta mencari solusi pemecahan masalah-masalah lalu lintas melalui rekayasa dan pendidikan masyarakat merupakan tugas pokok lainnya. Oleh sebab itu, Polantas memerlukan kode etik profesi sebagai pedoman untuk menjaga dan mengembangkan mutu kinerja yang mampu mewujudkan dan memelihara kamseltibcarlantas, serta menjaga dan menjamin kepercayaan masyarakat atas kegiatan-kegiatan pemolisian yang diselenggarakannya (Chrysnanda, 2010: 134).

Menjadi Polantas yang profesional, cerdas, bermoral, dan patuh hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses panjang dan kontinyu, perlu kesadaran dan dibutuhkan keberanian untuk mendobrak nilai-nilai feodal yang selama ini menggelayuti institusi Polantas. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah jangan dibiarkan, karena pembiaran akan membuat semua inovasi yang telah diterapkan untuk mendisiplinkan pengguna jalan akan berjalan sia-sia. Ada baiknya inovasi yang dikeluarkan sudah berdasarkan penelitian yang disusun secara holistik, sehingga nantinya aplikasi yang diterapkan tidak bertahan seumur jagung namun bisa digunakan secara berkesinambungan. Kita tentunya mengharapkan hadirnya tilang elektronik ini sebagai suatu inovasi yang dapat dibanggakan sebagai salah satu solusi menekan angka penyimpangan petugas di lapangan, bukan sebagai lahan penyimpangan baru dengan memanfaatkan teknologi (karena kadar pelanggarannya tidak diketahui secara langsung). Untuk itu dibutuhkan moralitas petugas yang mengawakinya yang memiliki dedikasi tinggi serta jujur, karena penerapan teknologi apabila tidak didukung adanya operator yang jujur akan memunculkan potensi-potensi korupsi baru berdalih teknologi. Hal ini tentunya semakin membuat citra Polri dimata masyarakat akan semakin turun dan kepercayaan kepada polisi pun akan semakin berkurang.

Referensi:

Chrysnanda, DL. (2010). Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.

Muhammad, Farouk. (1999). Praktik Penegakan Hukum Bidang Lalu Lintas. Jakarta: Balai Pustaka.

Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah sarasehan.
Baca selengkapnya.....