Senin, 28 Maret 2011

KERUSUHAN MASSA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG MASYARAKAT


I. PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam dunia informasi membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat karena setiap issue yang berkembang terutama yang berkaitan dengan issue demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan dijadikan sebagai issue sentral dalam kelangsungan bernegara. Keadaan ini tentunya akan memberikan dampak terhadap perkembangan aspirasi dan kreatifitas masyarakat dalam berbagai segi kehidupan baik secara individu maupun kelompok. Masuknya nilai-nilai dari luar dapat memberikan masukan yang bersifat positif, namun disisi lain dapat juga memberikan masukan yang bersifat negatif timbulnya konflik sosial yang mengarah pada aksi kerusuhan massa pada dasarnya merupakan rangkaian dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat derasnya arus informasi dari luar. Kerusuhan massa sebagai tindakan agresif tidak sekonyong-konyong terjadi, tetapi biasanya secara bertahap diawali dengan berkumpulnya/bergerombolnya massa di suatu tempat, apakah karena ada aksi unjuk rasa yang turun ke jalan yang ingin menyampaikan suatu aspirasi seperti halnya pada saat ini, melakukan tuntutan menentang perubahan RUU penanggulangan keadaan bahaya, dimana aparat keamanan bersikap represif terhadap para pengunjuk rasa sehingga menimbulkan perlawanan dan terjadi bentrokan dan apabila ada pengaruh (rangsangan) dari luar atau ada yang mendahului/memulai untuk melakukan tindakan kekerasan maka akan menimbulkan aksi kerusuhan sebagaimana telah terjadi pada bulan Mei 1998 silam.
Pada saat terjadinya kerusuhan, massa terpecah belah dan cenderung bersikap tidak menuruti aturan/nilai yang berlaku di masyarakat (hukum diabaikan) dan akan terjadi berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh individu maupun kelompok berupa berbagai tindakan kekerasan, penjarahan, perkosaan, pencurian dan sebagainya yang kesemuanya merupakan perilaku menyimpang dalam kehidupan sosial masyarakat.

II. PEMBAHASAN

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa pada umumnya kerusuhan massa terjadi diawali dengan berkumpul/bergerombolnya massa disuatu tempat. Berkumpulnya massa sebagai kerumunan (crowd)adalah termasuk kelompok sosial yang tidak teratur, yang ditandai dengan adanya kehadiran orang-orang secara fisik karena ada pusat perhatian yang sama, selanjutnya akan muncul seseorang yang biasanya mendapat dukungan kelompok tertentu yang berupaya memimpin, mempengaruhi, mengendalikan dan menggerakan massa, merubah pandangan dan perilaku massa sesuai kehendak orang tersebut.
Kemudian akan ada berinisiatif untuk memulai atau mengawali terjadinya aksi kerusuhan massa dengan melakukan tindakan yang memanaskan situasi dengan memancing emosi massa maupun petugas agar berbuat diluar kontrol sehingga akan terjadi konflik dan akan ada korban dipihak massa, selanjutnya agar situasi menjadi berkembang tidak terkendali dan kerusuhan terjadi.
1. Diagnosis Kerusuhan Massa.
Apabila dianalisa aksi kerusuhan massa yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa daerah di Indonesia apapun bentuk kasusnya maka faktor penyebabnya dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut:
a. Sikap Penguasa/aparat termasuk Aparat Penegak Hukum yang Dianggap Terlalu Represif dan Sewenang-wenang. Seperti halnya contoh menghadapi unjuk rasa mahasiswa Tri Sakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang mengakibatkan terjadinya tragedi tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Kasus unjuk rasa merupakan suatu konflik sosial antara dua pihak yang bertentangan, yaitu massa pengunjuk rasa disatu sisi dengan aparat keamanan yang masing-masing mempertahankan pendapat dan kepentingannya dengan berusaha masing-masing ingin mencapai tujuannya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan mengkibatkan terjadi benturan kepentingan. Bahwa kerusuhan yang terjadi sebagai perilaku menyimpang merupakan pelampiasan dari rasa kekecewaan masyarakat terhadap adanya ketidak adilan diberbagai sektor kehidupan mengakibatkan rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Hal ini apabila dilihat dari teori penyimpangan sosial sesuai dengan The Achievement Barrier Theories yang beranggapan bahwa penyimpangan disebabkan karena pencapaian seseorang terhalang.
b. Pelayanan Terhadap Masyarakat yang Belum Baik. Dalam hal ini ada semacam ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan keputusan dari aparat yang dianggap tidak peduli terhadap masyarakat yang merasa berada dipihak yang lemah dan menganggap tidak mendapat pelayanan yang baik dari Pemerintah dan para petugas/penegak hukum yang cenderung membela kepentingan kelompok tertentu. Kondisi seperti ini merupakan konflik yang bersifat latent yang dapat berkembang menjadi konflik manifest.
c. Faktor Kesenjangan Sosial di Masyarakat Sangat Tajam (terlihat diperkotaan).
Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat akan mempengaruhi perilaku individu untuk menyimpang karena adanya kepentingan yang berbeda, sebagai contoh kaum miskin kota (pengangguran, gelandangan, pengamen dan sebagainya). Banyak kaum miskin kota dapat dimanfaatkan, dipengaruhi dan digerakkan untuk melakukan unjuk rasa dengan memberikan imbalan uang dalam jumlah cukup dan cenderung berbuat tanpa memperhatikan norma yang ada.
d. Adanya Pengusaha yang Hanya Mementingkan Keuntungan tanpa Memperhatikan Hak Buruh/Karyawannya.
Konflik sosial yang terjadi antara buruh dengan pihak perusahaan karena adanya tuntutan buruh perusahaan untuk kenaikan upah yang dilakukan dengan cara unjuk rasa dan apabila situasi konflik menyebabkan para buruh tertekan, maka unjuk rasa dapat berubah menjadi aksi kekerasan dan pengrusakan yang menjurus pada timbulnya kerusuhan massa. Timbulnya kerusuhan massa sebagai pelaku penyimpang bermula dari adanya benturan kepentingan antara kelas-kelas sosial yang berbeda (teori konflik kelas sosial).
e Permasalahan Sosial yang Berkaitan dengan Sara.
Konflik sosial yang berkaitan dengan sara banyak dan gampang terjadi di Indonesia. Adanya perbedaan dalam sistim nilai/norma sebagai akibat adanya sara sangat mudah menimbulkan embrio konflik, sebagai contoh kasus Ambon dan kasus Kalimantan Barat.

2. Dampak Kerusuhan Massa.
Kerusuhan Massa secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan secara individu maupun kelompok/instansi di masyarakat sebagai berikut:
a. Aksi kerusuhan massa cenderung merusak dan sulit dikendalikan sehingga akan menimbulkan kerugian secara materiil maupun secara psikologis masyarakat. Kerugian secara materiil dapat berupa terbakarnya/rusaknya fasilitas/ bangun perkantoran, pusat perbelanjaan/pertokoan dan lain-lain, sehingga dapat mengacaukan stabilitas.
b. Akibat adanya kerusuhan massa akan mempengaruhi terhadap kredibilitas aparat pemerintah dimata masyarakat. Pemerintah sebagai penguasa cenderung dianggap sebagai penghambat kebebasan dan melakukan tindakan pemaksaan masyarakat sehingga menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat. Dalam kehidupan sosial politik sudah jelas bahwa bagaimana kecilnya masalah yang timbul terutama yang berkaitan dengan terganggunya hubungan Pemerintah dengan masyarakat akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah sehingga timbul konflik antara pemerintah dengan masyarakat.
c. Berdampak Internasional yaitu timbulnya rasa ketakutan dan kekhawatiran orang asing untuk datang ke Indonesia baik dalam rangka usaha maupun pariwisata sehingga mempersulit dalam usaha pengembangan ekonomi nasional karena masyarakat internasional ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan alasan keamanan.

3. Langkah Treatment Menangani Kerusuhan Massa.
a. Preventif.
Merupakan upaya pencegahan terhadap timbulnya kerusuhan massa melalui upaya yang bersifat arif dan bijaksana dengan melibatkan berbagai pihak. Didalam UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, dalam pasal 10 ayat(1) disebutkan bahwa unjuk rasa sebagai media dalam menyampaikan pendapat dimuka umum diwajibkan memberitahukan kepada pihak Polri. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk menghindari agar unjuk rasa berjalan dengan tertib dan lancar.Disamping itu juga dengan pemberitahuan pelaksanaan unjukrasa kepada Polri maka Polri akan dapat mempersiapkan pengamanan dan sekaligus menjembatani dengan pihak yang diunjukrasa sehingga dapat terjadi dialog dalam rangka menyelesaikan masalah.
Upaya-upaya dialog antara pihak-pihak yaitu pengunjuk rasa, aparat keamanan maupun pihak terkait merupakan alternatif penanganan untuk menghindari komplik antar pihak, sehingga terjadi interaksi untuk mencegah adanya pemaksaan kehendak yang mengarah pada tindakan destruktif/kekerasan berupa kerusuhan massa.
b. Represif.
Tindakan represif dilakukan oleh Polri secara terkoordinasi dengan aparat keamanan lainnya apabila massa atau kelompok pengunjuk rasa telah melakukan tindakan-tindakan destruktif yang mengarah pada kerusuhan massa dengan mempergunakan kekuatan Dalmas yaitu dengan membubarkan massa secara bertahap mulai dari tindakan persuasif dengan memberikan himbauan untuk bubar, sampai pada tindakan pendorongasn dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana/kerusuhan.
Terhadap pelaku kerusuhan yang dapat merugikan masyarakat karena telah melakukan pelanggaran norma hukum perlu dilakukan tindakan tegas sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Terhadap pelaku tindak pidana (pengrusakan, pembakaran, penjarahan, pencurian, perampokkan dan sebagainya) dilakukan penyidikan untuk mendapatkan informasi tentang latar belakang dan faktor penyebab terjadinya kerusuhan atau dilakukannya tindakan kepada yang perilakunya menyimpang, selanjutnya diproses untuk diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya.
c. Rehabilitasi.
Upaya rehabilitasi dilakukan secara terkoordinasi dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait antara lain dengan melakukan rehabilitasi fisik (pembangunan fasilitator) dilakukan oleh Pemda. Rehabilitasi terhadap korban dilakukan dengan memberikan perawatan di rumah sakit tanpa dibebani biaya pengobatan. Pemulihan situasi dilakukan oleh aparat keamanan dengan melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat.

III. KESIMPULAN

1. Kerusuhan massa merupakan konflik yang bersifat manifest yang timbul akibat adanya beberapa faktor penyebab sebagai konflik yang bersifat laten, karena adanya rangsangan yang mempengaruhi emosi massa untuk melakukan perilaku menyimpang.
2. Terjadinya kerusuhan massa karena situasi tidak terkendali yang dibarengi dengan tindakan kekerasan/pengrusakan terhadap maupun orang sebagai akibat dari tidak dipatuhinya -nilai/norma yang berlaku di masyarakat.
3. Apapun motif terjadinya kerusuhan massa perlu treatment penanganan secara arif dan bijaksana dengan melibatkan semua secara musyawarah dan mufakat melalui upaya preventif, represif dan melakukan rehabiltasi.
Baca selengkapnya.....

Ketika Sepeda Motor Aparat Masuk Jalan Tol



Seringkali setiap saya mengendarai kendaraan menuju dan pulang kantor, kerap saya temui sepeda motor aparat (ya polantas, provos Polri, TNI) melewati jalur jalan tol. Dalam hati, saya berdoa semoga sepeda motor mereka tidak tersenggol angin kendaraan berat yang tengah melaju kencang di lajur sebelahnya, meskipun sepeda motor tersebut sudah memasang sirine maupun rotator sebagai pemberitahuan adanya ”makhluk kecil” yang lewat diantara para ”raksasa jalanan”. Saya juga tidak tahu apakah mereka melewati jalan tol tersebut dalam rangka pengawalan atau hanya sekedar melewati jalan pintas agar tidak terlambat masuk kantor/pool penjagaan, karena yang sering saya lihat adalah sepeda motor tersebut tanpa pengikut di belakangnya (tidak ada yang dikawal). Lha, kalau tidak ada yang dikawal, buat apa sepeda motor masuk jalan tol? Bukankah pada PP No.44 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas PP No.15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol pada pasal 38 ayat (1) disebutkan ”Jalan tol diperuntukkan bagi pengguna yang menggunakan kendaraan bermotor roda empat atau lebih”, meskipun ditambah satu ayat (1a) yaitu ”Pada jalan tol dapat dilengkapi dengan jalur jalan tol khusus bagi kendaraan bermotor roda dua yang secara fisik terpisah dari jalur jalan tol yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih”. Nah loh, berarti memang sepeda motor boleh lewat jalan tol asalkan di jalan tol tersebut ada separatornya (kayak busway gitulah). Jalur khusus ini sepertinya hanya saya temui di Jembatan Suramadu, sedangkan di jalan tol Jagorawi, Cikampek, Cipularang, dan lain-lain sepertinya tidak ada separator untuk sepeda motor. Kalau begitu, PP ini hanya sekedar aksesoris saja atau bagaimana?

Memang kalau disebut melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban yang sifatnya urjensi, sepeda onthel yang dikendarai aparat pun boleh masuk ke dalam jalan tol. Namun substansi harkamtib tersebut haruslah diikuti oleh obyek yang menyertainya. Apabila memang tugasnya adalah pengawalan, berarti harus ada obyeknya yaitu yang dikawal. Karena selain menjalankan tugas negara, aparat juga harus memperhatikan keamanan dan keselamatan dalam berkendara. Harus diingat bahwa angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia telah mencapai suatu angka yang memprihatinkan, apalagi bila melihat kepada angka korban laka lantas setiap tahun tidak mengarah kepada menurunnya jumlah korban meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Sebagai indikator bahwa tingkat keselamatan lalu lintas nasional rendah adalah tingginya angka konsekuensi fatal yang mencapai 0,37% (dari setiap 100 orang korban laka, maka 37 orang meninggal dunia), sehingga korban meninggal dunia rata-rata mencapai lebih dari 100.000 orang per-tahunnya. Belum kerugian materiil yang tidak terbilang kecil (Susilo, 2006: 58).

Kembali kepada tugas pengawalan, maka harus diingat bahwa pengawalan yang bagaimana yang merupakan diskresi bagi petugas untuk menerabas aturan-aturan keselamatan jalan. Pengawalan menurut Susilo (2006: 50 – 51) terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Pengawalan rutin:
a. kegiatan pengawalan yang memerlukan pelayanan Polri pada setiap saat dengan cepat dan tepat.
b. pengawalan terhadap orang-orang tahanan dengan terlebih dahulu mempersiapkan surat-surat pengawalan.
2. Pengawalan insidentil:
a. pengawalan terhadap pejabat penting pemerintah/tamu negara/VIP.
b. pengawalan terhadap barang/dokumen negara termasuk sarana pemilu (langsung mengikuti orang/baran/dokumen dan pengawasan tidak langsung dengan cara mengamankan daerah/rute perjalanan dan tempat tujuan tetap tidak mengikuti barang/rombongan/dokumen yang dikawal, umumnya berbentuk pos pengamanan).
Dari definisi diatas sudah jelas dimana batas kewenangan aparat untuk melaksanakan tugas pengawalan ketika melakukan diskresi untuk masuk ke jalan tol, bukan berarti semua yang berbau instansi penegakan hukum bisa dengan mudahnya pula untuk melanggar hukum apalagi dengan dalih diskresi.

Bebasnya sepeda motor berseliweran di jalan tol memberi indikasi kepada masyarakat bahwa penegakan aturan di Indonesia masih lemah, meskipun yang melakukan baru aparat penegak hukum (lha wong penegak hukumnya sendiri melanggar, apalagi orang awam?). Kalaupun dalih melaksanakan tugas pengawalan, kok gak ada yang dikawal ya?. Memang siapa saja boleh menggunakan jasa pengawalan, terlebih di jalan tol, karena itu merupakan bagian dari pelayanan terhadap masyarakat. Namun saya jarang melihat yang dikawal merupakan kendaraan biasa (omprengan, angkot, kendaraannya Mr.Bean, dll), pasti yang menjadi obyek kawalan adalah kendaraan-kendaraan mewah (apakah kepunyaan juragan, tuan tanah, adipati, atau penggede istana). Inilah yang terkadang membuat kendaraan lain pun dengan leluasa memasang sirine atau rotator sendiri (tanpa kuasa polantas untuk menindaknya), ya karena fungsinya sudah beda kalau dijalankan di jalan tol, apalagi bila menemui jalan bebas hambatan di Indonesia.....hambatan yang bebas di jalan tol atau gak ada hambatan di jalan tol, sama-sama berada di garis abu-abu. Gak jelas.....!!

Mungkin ada baiknya fungsi pengawasan berperan secara intens disini, karena pencitraan aparat penegak hukum lalu lintas akan semakin tergerus kalau terus menerus aturan jalan raya dilanggar apalagi dengan dalih pelaksanaan tugas. Kesadaran pribadi harus ditumbuhkan, bahwa keselamatan berkendara berada diatas segalanya. Tentunya kita tidak mau ada korban jatuh karena kecelakaan yang disebabkan oleh ketidakpahaman akan hukum lalu lintas.

Referensi:

Susilo, Djoko. (2006). Implementasi Polmas Pada Fungsi Lalu Lintas. Jakarta: Ditlantas Polda Metro Jaya.
Baca selengkapnya.....

Rabu, 23 Maret 2011

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENYIDIK TIPIKOR DALAM MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN POLRI

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang


Bergemanya genderang reformasi di Indonesia merupakan akibat dari pengaruh global yang tidak mampu diatasi pemerintah Indonesia dalam perjalanan pembangunan bangsa, karena adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan yang berawal dari penyelenggaraan negara yang tidak bersih, membuat terjadinya penyelewengan-penyelewengan berupa kegiatan korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) seperti adanya berbagai penyimpangan dana perbankan dengan fasilitas kredit yang disalahgunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan perorangan ataupun kelompok tertentu, sehingga berpengaruh pada perekonomian negara serta stabilitas ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan. Berbagai sorotan dari dalam negeri tentang kondisi korupsi di Indonesia yang ditengarai sudah menjadi penyakit kronis yang berkembang sejak dulu dan bahkan dari hasil penelitian lembaga internasional di luar negeri, menempatkan Indonesia pada peringkat ke enam negara terkorup dunia, dan nomor satu terkorup di Asia Pasifik (www.lintasberita.com, 2010). Kenyataan ini menimbulkan dampak hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penyelenggaraan negara, serta dapat pula menurunkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia untuk berinvestasi yang pada akhirnya membawa pengaruh terhadap roda pembangunan nasional.
Untuk menekan angka korupsi di Indonesia, maka ditetapkannya Tap MPR No.: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta revisi UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dengan berbagai perubahan yang dianggap mampu memenuhi harapan masyarakat dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun realita yang terjadi kasus korupsi masih saja menjadi polemik di masyarakat, oleh karenanya diperlukan suatu komitmen dari seluruh komponen bangsa untuk mendukung upaya-upaya penanganan kasus korupsi terutama dalam rangka penegakan hukum agar dapat dilakukan secara konsisten.
Polri sebagai alat negara penegak hukum sudah seharusnya banyak berperan aktif dalam rangka penegakan hukum yang menyangkut penyidikan tindak pidana korupsi, akan tetapi dalam kenyataannya sangatlah jarang adanya kasus korupsi yang ditangani secara tuntas, oleh sebab itu dirasakan oleh masyarakat bahwa penyidik Polri terkesan belum mampu dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebagai upaya penegakan hukum (law enforcement). Hal ini dapat diketahui dari adanya penanganan berbagai tindak pidana korupsi oleh penyidik Polri dilapangan masih penuh dengan keraguan dan bahkan ada kecenderungan kurang berani dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Kurang berperannya penyidik Polri dalam menegakan hukum tindak pidana korupsi karena adanya beberapa penyebab antara lain:

1) Sisi Yuridis
Adanya ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan peraturan pelaksanaannya yang memberikan kewenangan-kewenangan dalam penyidikan tidak hanya kepada Polri tetapi juga kepada kejaksaan, sehingga menimbulkan dualisme yang justru merugikan bagi eksistensi Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Disamping itu dengan adanya UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang mengatur tentang kewenangan kejaksaan didalam penanganan kasus tindak pidana tertentu (termasuk korupsi) berdasarkan UU (sebelumnya didahului terbitnya Keppres No.86/1999 tentang Susunan OTK Kejaksaan RI pada pasal 17 mengenai kewenangan Jampidsus menangani kasus tindak pidana tertentu termasuk korupsi), serta kewajiban Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi kepada Kejagung, mempengaruhi kecepatan penyidik Polri dalam melakukan langkah-langkah penyelidikan maupun penyidikan.

2) Sisi Psikologis
Tindak pidana korupsi pada umumnya banyak melibatkan para pelaku dari kalangan pejabat yang mempunyai power untuk melegalisasi perbuatannya dengan upaya intervensi kepada penyidik. Dalam situasi demikian penyidik Polri sering terjebak pada posisi yang sulit untuk berada pada independensi untuk melakukan penyidikan sebagai akibat adanya tekanan psikologis yang sering menurunkan moral dan menghilangkan hati nurani penyidik Polri untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum.

3) Sisi Teknis
Penanganan tindak pidana korupsi yang memerlukan kemampuan dalam upaya pembuktian terutama menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan perbankan, moneter, manajemen dan sebagainya, adalah ciri betapa kompleksnya kasus tindak pidana korupsi, oleh karenanya penyidik Polri masih banyak mengalami kendala dalam kemampuan pembuktian terhadap berbagai kasus tindak pidana korupsi, sehingga ada kesan kualitas penyidik Polri belum memadai dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknis dan taktis yang berhubungan dengan pengungkapan modus operandi tindak pidana korupsi.
Dalam mewujudkan kemandirian Polri sebagai alat negara penegak hukum yang sekaligus sebagai penyidik sebagaimana ketentuan KUHAP harus mempunyai kemantapan diri dan bersifat progresif untuk berinisiatif mengambil langkah-langkah penegakan hukum kasus-kasus tindak pidana korupsi guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat, karena nilai kepercayaan merupakan salah satu nilai dalam masyarakat yang dapat mewujudkan adanya dukungan masyarakat secara luas.
Hampir dalam setiap statement pakar hukum menyatakan bahwa keberhasilan usaha penegakan hukum sangat bergantung pada kondisi dan dukungan masyarakat untuk memberikan legitimasi kepada penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, untuk hal inilah diperlukan upaya peningkatan kualitas penyidik Polri dalam penegak hukum tindak pidana korupsi sehingga mampu membangun imej positif masyarakat sebagai bagian dari tuntutan akuntabilitas publik.
Berdasarkan uraian diatas penulis ingin mencoba memecahkan permasalahan yang dihadapi Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui rumusan permasalahan “bagaimana upaya meningkatkan kualitas penyidik Tipikor dalam mewujudkan kemandirian Polri?”

2. Maksud dan Tujuan

a. Maksud


Penulisan makalah ini untuk mengetahui lebih lanjut upaya peningkatan kualitas penyidik Polri di bidang penegakan hukum tindak pidana korupsi.

b. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada Lembaga dan Pimpinan Polri guna dijadikan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan kualitas penyidik Polri dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang pada gilirannya penyidik Polri dapat lebih profesional dan memiliki komitmen yang kuat untuk selalu progresif dan percaya diri dalam menghadapi/menangani kasus tindak pidana korupsi.

3. Pokok-Pokok Persoalan

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka dapat diidentifikasi dalam persoalan-persoalan yang perlu mendapat jawaban dalam pembahasan penulisan ini sebagai berikut:
1)Bagaimana hubungan penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan kemandirian Polri?
2)Bagaimana kualitas penyidik Polri dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini?
3)Apa faktor-faktor yang mempengaruhi?
4)Bagaimana kualitas penyidik Polri yang diharapkan dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi?
5)Bagaimana upaya peningkatan kualitas penyidik Polri dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi.

4. Ruang Lingkup

Pada penulisan makalah ini penulis membatasi terhadap pembahasan dalam ruang lingkup sebagai berikut:
a.Tugas dan kewenangan Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b.Kondisi penyidik Polri dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi yang meliputi kendala dan peluang yang dihadapi penyidik Polri serta upaya peningkatan kualitas penyidik dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi.

5. Metode dan Pendekatan

a. Metode


Dalam penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis yaitu penulis berusaha menggambarkan data aktual yang diperoleh, kemudian dicoba untuk dianalisis dalam rangka pemecahan masalah.

b. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah:
1) Pendekatan Yuridis, yaitu pendekatan dalam pemecahan masalah dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku sesuai perumusan pasal-pasal yang ada.
2) Pendekatan Sosiologis, yaitu pembahasan diarahkan kepada bagaimana masyarakat menilai suatu proses hukum ditengah-tengah masyarakat.

II. HUBUNGAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN KEMANDIRIAN POLRI

6. Korupsi di Indonesia

a. Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi


1) Korupsi berasal dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu: Corrupt yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu Com yang berati bersama-sama dan Rumpere yang berarti pecah dan jebol. Istilah korupsi dalam kamus Webster juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan adanya suatu pemberian.
2) Korupsi di Indonesia sudah dikenal luas oleh kalangan masyarakat karena telah mengakibatkan rusaknya sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan utama dalam pembangunan nasional. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Soedjono Dirdjosisworo(1983: 46) menguraikan sebab-sebab korupsi sebagai berikut:
a) Kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum di berbagai bidang kehidupan.
b) Ketidaktertiban di dalam mekanisme administrasi pemerintahan.
c) Pengaruh samping dari meningkatnya volume pembangunan yang meningkat secara relatif cepat.
d) Masalah kependudukan, kemiskinan, pendidikan dan lapangan kerja, berkaitan dengan akibat dari padanya yakni kurangnya gaji pegawai dan buruh.
e) Faktor-faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap psikologi perilaku, misalnya kultur malu pada suatu keluarga apabila keluarga tersebut termasuk berkedudukan dan terpandang tetapi tidak mampu menampung dan memberi kesenangan kepada saudara-saudaranya. Keadaan ini akan mendorong untuk melakukan korupsi.
3) Dari hasil penelitian BPKP (1999: 290) terhadap responden masyarakat untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang penyebab terjadinya korupsi menunjukan hasil sebagai berikut :
a) Moral yang rendah.
b) Sanksi yang lemah.
c) Rendahnya disiplin .
d) Sifat konsumtif.
e) Kurangnya pengawasan dalam organisasi
f) Contoh dari atasan.
g) Wewenang yang berlebihan.
h) Tersedianya kesempatan.
i) Lemahnya pengawasan internal.
j) Lemahnya peran lembaga Legislatif.
k) Peraturan yang tidak jelas.
l) Budaya untuk memberi upeti.
m) Pengaruh lingkungan.
n) Penghasilan yang rendah.
o) Sikap permisif/serba membolehkan dari masyarakat.

b. Bentuk Korupsi.
Korupsi dapat terjadi bila ada peluang dan keinginan dalam waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari sebelah mana saja, bisa berupa suap yang ditawarkan pada seorang pejabat birokrasi, atau seorang pejabat yang meminta (atau bahkan memeras) sejumlah uang sebagai pelican. Orang yang menawarkan suap melakukannya karena ia menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap pejabat bersangkutan supaya pejabat tersebut mengabaikan aturan-aturan, atau karena ia yakin pejabat tersebut tidak akan mau memberikan kepadanya apa yang sebenarnya menjadi haknya tanpa imbalan uang. Keinginan korupsi dapat muncul karena kemiskinan (atau takut miskin pada saat pejabat itu pensiun nanti) (Pope, 2003: xxv).
Bentuk korupsi semakin bervariasi dan semakin canggih, menurut Kartini Kartono (1997: 82) menjelaskan bentuk perbuatan yang bisa dimasukan dalam perbuatan korup antara lain:
“Penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intensi mencuri kekayaan Negara, pemerasan, penggunaan kekuatan hukum dan/atau kekuatan bersenjata untuk imbalan dan upah materiil, barter kekuasaan politik dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-kontrak oleh kawan “sepermainan” untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan kelompok dalam, penjualan “pengampunan” pada oknum-oknum yang melakukan tindak pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang suap, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi, dan lain-lain".

c. Tanggapan Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Korupsi.
1) Tanggapan pemerintah terhadap korupsi sudah cukup serius terbukti sejak dulu pemerintah telah mencanangkan kebijakan pemberantasan korupsi dengan menerbitkan instrumen perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan anti korupsi, namun sampai saat ini pemerintah belum dapat berbuat banyak karena dalam praktek korupsi sukar sekali untuk diberantas dan amat sulit dalam pembuktian-pembuktiannya.
2) Tanggapan masyarakat terhadap korupsi ditanggapi dengan penuh emosi dan melakukan protes-protes terbuka dengan jalan unjuk rasa dan demonstrasi. Mereka sangat mengutuk perbuatan yang merugikan negara dan bangsa, masyarakat tidak henti-hentinya melontarkan kritik kepada pemerintah yang dinilai sangat lemah dan lamban dalam penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi. Apabila pemerintah tidak mampu mewujudkan aspirasi dan tuntutan masyarakat dalam pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum secara obyektif dan transparan, akan berdampak pada menurunnya kredibilitas pemerintah karena hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terutama aparat penegak hukumnya.

7. Kewenangan Penyidik Polri Dibidang Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

a. Kewenangan Polri
Guna memahami kewenangan Polri selaku salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, akan selalu melihat pada kewenangan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang diberikan sesuai peraturan yang berlaku, yaitu:
1) Dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI diatur kewenangan Polri sebagai berikut :
a) Pasal 14 ayat (1) huruf g: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan”.
b) Pasal 15 ayat (1):
(1) huruf a : ”menerima laporan dan/atau pengaduan” (bahwa setiap pengaduan mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi bisa dilaporkan kepada kepolisian).
(2) huruf g : ”melakukan tindakan pertama di tempat kejadian” (segera setelah menerima laporan terjadinya tindak pidana korupsi, polisi berwenang untuk mendatangi TKP untuk pengumpulan bukti-bukti lebih lanjut mengenai terjadinya tindak pidana korupsi tersebut).
(3) huruf i : ”mencari keterangan dan barang bukti”.
c) Pasal 16 ayat (1) huruf a s/d i:
Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
(1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
(2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
(3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
(4) Menyuruh berhenti orang yang di curigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
(6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
(7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
(8) Mengadakan penghentian penyidikan.
(9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
2) Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan kewenangan Polri sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik sebagai berikut :
a) Sebagai Penyelidik.
(1) Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
(a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
(b) Mencari keterangan dan barang bukti.
(c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
(d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
(a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
(b) Pemeriksaan, penyitaan surat.
(c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
(d) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
b) Sebagai Penyidik.
Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
(1) Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
(2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
(3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
(4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat-surat.
(6) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
(7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
(8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan seorang.
(9) Mengadakan penghentian penyidikan.
(10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Kewenangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.
Untuk mengetahui kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi maka dapat dilihat dari ketentuan UU No. 31/1999 yang memberikan petunjuk/ketentuan dalam proses acaranya (hukum materiil) seperti disebutkan dalam pasal 26, pasal 27 dan pasal 39 sebagai berikut:
Pasal 26 :
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain, dalam Undang-Undang.
Pasal 27 :
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 31/1999 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi dibidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka atau dibidang moneter dan keuangan yang :
1) Bersifat lintas sektoral.
2) Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih.
3) Dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara.
Pasal 39 :
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korusi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Berdasarkan ketentuan pasal 26 tersebut bahwa kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi terutama dalam pelaksanaan hukum materiilnya tetap berpedoman pada KUHAP walaupun ada beberapa ketentuan yang ditentukan lain dalam UU No. 31/1999 yang harus dipedomani seperti pasal 27 dan pasal 39 tersebut.
Apabila diperhatikan pada ketentuan KUHAP terutama pada pasal 4 dan pasal 6 KUHAP, maka akan jelas bahwa menurut ketentuan hukum yang berwenang sebagai penyelidik maupun penyidik adalah Polri. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut sebagai berikut :
Pasal 4 :
Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 6 :
Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Selain adanya ketentuan umum sebagaimana pasal 4 dan pasal 6 KUHAP tersebut masih perlu diperhatikan adanya ketentuan peralihan pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan acara pidana yang diatur dalam UU tertentu (termasuk UU No. 31/1999) masih berlaku.
Pasal 284 ayat 2:
Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap perkara-perkara diperlukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Adanya ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP telah dipertegas dengan ketentuan PP No. 27 tahun 1983 pada pasal 17 yang menjelaskan sebagai berikut: “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
Dari ketentuan perundang-undangan yang diuraikan diatas maka jelas dan tegas bahwa penyidik Polri dalam penegakan hukum terutama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi mempunyai kewenangan yang sah menurut UU, walaupun ada kewenangan Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan penyidikan tetapi hanya pada tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya maupun tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.

8. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Kemandirian Polri

a. Mengutip pendapat Soerjono Soekanto (2004: 8) bahwa dalam penegakan hukum ada 5 (lima) faktor yang berpengaruh yang sangat esensi dan saling berkaitan dan memiliki arti netral sehingga dampak positif ataupun negatif yang ditimbulkan tergantung dari tiap-tiap faktor tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah sebagai berikut:
1) Faktor hukumnya sendiri.
2) Faktor penegak hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat.
5) Faktor kebudayaan.
Dari kelima faktor tersebut dikatakan bahwa faktor penegak hukum merupakan titik sentral yang sangat berpengaruh di dalam penegakan hukum, karena bekerjanya hukum di masyarakat sangat diwarnai oleh sejauh mana penegak hukum melaksanakan kewajibannya dalam menerapkan hukum di masyarakat secara benar.
Hal ini juga ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya artinya ia tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu (2002: 11).
Dari pendapat tersebut sangat jelas bahwa dalam penegakan hukum sangat ditentukan adanya peran “penegak hukum”, karenanya dapat dikatakan beroperasinya hukum secara baik dimasyarakat sesuai dengan tujuan penegakan hukum untuk menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, juga akan tergantung dari kualitas penegak hukum itu sendiri.
b. Polri sebagi salah satu alat negara penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang yang sangat luas oleh UU dalam penegakan hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi, memerlukan kualitas penyidik Polri yang memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dan taktis yang memadai untuk mampu dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Apabila penyidik Polri dapat menunjukan jati diri sebagai penegak hukum yang handal untuk eksis melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan sorotan masyarakat saat ini, maka akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyidik Polri, karena adanya kepercayaan masyarakat merupakan modal untuk memperoleh dukungan ataupun legitimasi guna mewujudkan kemandirian Polri. Hal ini sejalan dengan pendapat Awaloedin Djamin (1999: 11) bahwa polisi mandiri dapat diartikan:
1) Mandiri operasional dan pembinaan.
2) Mandiri dalam arti cukup jumlah personil (menuju 1 : 450, misalnya), kualitas atau profesionalisme anggota (keahlian, keterampilan dengan kode etik sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat), kelengkapan peralatan (dengan teknologi Kepolisian yang canggih), kesejahteraan anggota Polri dan sebaginya.
Demikian juga halnya dengan Satjipto Rahardjo (1999: 25) yang menyatakan bahwa kemandirian Polri perlu ditopang oleh personil yang mampu mewujudkan sikap dan perilaku polisi yang tulen atau otentik.
Sikap dan perilaku Polisi yang tulen atau otentik dimaksudkan adalah menjalankan fungsi Kepolisian secara layak polisi (Police Proper) yaitu sebagai polisi yang mempunyai karakteristik tugas yang harus ditunjang oleh profesionalisme. Dengan demikian terwujudnya kemandirian Polri sangat signifikan dipengaruhi dari keberhasilan penyidik Polri dalam tugas penegakan hukum khususnya dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang sangat ditentukan dari kualitas penyidik Polri sebagai penegak hukum yaitu penyidik Polri yang profesional.

III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Keberhasilan pelaksanaan tugas penyidik Polri terutama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang demikian kompleks tidak lepas karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yang bersifat intern maupun ekstern berupa peluang maupun kendala.

9. Internal:
a. Kekuatan:


1) Adanya peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan serta piranti-piranti lunak berupa Juklak, Juklap dan Juknis mengenai penyidikan perkara pidana, sehingga dapat menjadi pedoman atau penuntun bagi penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana.
2) Kebijakan dan strategi Pimpinan Polri (10 Program Prioritas Kapolri) untuk mengungkap kasus korupsi yang terjadi di semua lini penyidikan mulai dari tingkat Polres sampai Mabes Polri.
3) Adanya beberapa keberhasilan penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi memberikan indikasi masih adanya kemauan bagi penyidik Polri untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan sekaligus sebagai modal dasar yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan guna mengantisipasi tindak pidana korupsi.
4) Semakin jelasnya sistem dan metode yang mengatur Hubungan Tata Cara Kerja. (HTCK) antara pengemban fungsi Reskrim, maupun dengan pengemban fungsi operasional Kepolisian lainnya (sinergitas antar fungsi) sehingga dapat mempercepat upaya penyidikan tindak pidana korupsi terutama dalam memperoleh informasi.
5) Nilai-nilai kode etik Kepolisian merupakan nilai-nilai pedoman hidup Tri Brata dan pedoman kerja Catur Prasetya yang telah terinternalisasi sejak di lembaga pendidikan maupun telah tersosialisasi dalam pelaksanaan tugas di lapangan, merupakan pendorong bagi terwujudnya sikap perilaku penyidik Polri untuk memiliki semangat pengabdian tanggung jawab, kejujuran dan kerelaan berkorban untuk kepentingan tugas yang dilandasi semangat dan keuletan untuk berprestasi dalam tugas.

b. Kelemahan:

1) Pembinaan Personil Pembinaan personil penyidik Polri yang belum mendukung terutama dalam penempatan penyidik Polri, maupun dalam rangka pendidikan kejuruan masih belum memperhatikan kualitas dan cenderung menempatkan penyidik pada Sat Tipikor adalah personil yang belum berpengalaman, sehingga tidak sebanding dengan tantangan tugas yang dihadapi yang melibatkan tersangka tindak pidana korupsi adalah orang yang memiliki intelektualitas yang baik.
2) Kurangnya pemahaman penguasaan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dan pengetahuan yang terspesialisasi, menyebabkan terjadinya kesalahan penyidik Polri dalam penerapan hukumnya dan pengungkapan modus operandi tersangka, sehingga hasil penyidikan tidak memberikan kepercayaan bagi pihak Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dan keyakinan bagi Hakim untuk memvonis tersangka.
3) Masih ditemukannya praktik-praktik penyimpangan yang sering terjadi dalam tugas penyidikan, berupa kolusi penyidik Polri dengan tersangka dalam pelaksanaan tugas sebagai upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan jalan membuat kabur/dikaburkannya kasus posisi dengan menjadikan kasus perdata dan sebagainya.
4) Penerapan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara konsisten guna dapat mendorong persaingan dalam meningkatkan kualitas penyidik Polri untuk lebih berprestasi dalam tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
5) Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Polri khususnya dalam rangka menunjang kegiatan penyelidikan dan penyidikan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

10. Eksternal:
c. Peluang:


1) Adanya dukungan pemerintah tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
2) Dukungan kalangan masyarakat (LSM, tokoh masyarakat, cendikiawan dan sebagainya) dalam rangka pemberantasan KKN akan mendorong kepada penyidik Polri untuk lebih eksis dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi secara konsisten.
3) Diselenggarakannya berbagai seminar maupun acara-acara talkshow tentang pemberantasan KKN dalam upaya sosialisasi anti KKN, dapat memberikan wawasan bagi penyidik Polri untuk lebih intensif dan proaktif melakukan upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi.
4) Kehadiran KPK dan Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi dengan suatu alasan akuntabilitas penyidikan, memberikan peluang bagi penyidik Polri untuk lebih meningkatkan kualitas terutama untuk lebih profesional dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
5) Dicanangkannya transparansi/keterbukaan dalam kebijakan setiap Kementrian/Non Lembaga dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, memberi peluang bagi penyidik Polri untuk lebih mudah dalam berkoordinasi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
6) Peran media massa yang semakin independen dalam menginformasikan setiap penyelewengan tentang adanya tindak pidana korupsi dapat mendukung untuk memudahkan dalam proses penyidikan.

d. Kendala:

1) Adanya ketentuan dalam UU No. 31/1999 tentang pemberantasan korupsi yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan juga kewenangan kepada Kejaksaan dan KPK. Apabila penyidik Polri tidak memiliki kualitas yang mampu berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, maka akan menghilangkan eksistensi penyidik Polri dalam kewenangan untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi.
2) Imej masyarakat terhadap profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat belum mampu menunjukan eksistensi secara realitas dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
3) Pelaksanaan koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi masih belum terselenggara dengan baik, khususnya antara penyidik Polri dengan Kejaksaan maupun dengan pihak BPKP atau PPATK.
4) Masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau Instansi lain (Kelembagaan dan Non Kelembagaan) bahwa Polri tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sehingga penyidik Polri mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana korupsi.
Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi yang bersifat intern maupun ekstern merupakan tantangan yuridis, psikologis dan teknis bagi penyidik Polri yang harus dihadapi dengan upaya peningkatan kualitas penyidik Polri agar lebih proporsional dan profesional dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.

IV. PENINGKATAN KUALITAS PENYIDIK POLRI DIBIDANG PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIHARAPKAN

11. Pembenahan Profesionalisme Penyidik Korupsi

Menghadapi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya wujud nyata dari pelaksanaan tugas Polri terutama dalam penegakan hukum, maka kebutuhan kualitas penyidik Polri yang baik yaitu memiliki profesionalisme merupakan keharusan agar dapat menjawab tantangan tugas khususnya dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Kebutuhan dan harapan akan profesionalisme penyidik Polri dalam pelaksanaan tugas tidak hanya kebutuhan organisasi Polri saja tetapi merupakan harapan bangsa Indonesia.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka kondisi profesionalisme penyidik Polri yang diharapkan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi meliputi :
a. Kemampuan Penyidik Polri.
1) Mampu memahami dan menguasai perundang-undangan/peraturan hukum, terutama pemahaman terhadap UU No. 31/1999 menyangkut kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain :
a) Penyidikan dalam perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya (pasal 25).
b) Penyidik dapat meminta keterangan dari tersangka tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga oleh penyidik mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (pasal 29).
c) Penyidik berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka maupun memblokir rekening simpanan milik tersangka yang diduga hasil dari korupsi dengan permintaan keterangan kepada bank diajukan kepada Gubernur BI sesuai peraturan yang berlaku (pasal 29).
d) Penyidik diberi hak untuk membuka, memeriksa dengan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi (pasal 30).
e) Penyidik diberi hak untuk merahasiakan identitas pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahui pelapor.
Kemampuan penyidik Polri dalam menguasai ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang ada akan memberikan kepercayaan diri serta wawasan dalam penegakan hukum terutama dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
2) Mampu memahami dan menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan tugas-tugas sebagai penyidik dalam rangka memberikan wawasan/pola pikir, antara lain:
a) Pengetahuan tentang akuntansi.
b) Pengetahuan tentang moneter.
c) Pengetahuan tentang perbankan.
d) Pengetahuan tentang pasar modal.
e) Pengetahuan tentang cessie.
f) Pengetahuan bidang ekonomi.
3) Memiliki dan menguasai pengetahuan teknis dan taktis penyidikan. Dengan menguasai pengetahuan taktis dan teknis penyidikan secara spesialisasi terhadap tindak pidana korupsi maka penyidik Polri secara kualitas akan baik dan dapat dihandalkan terutama dalam mengambil langkah-langkah penyidikan dalam rangka pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi. Kemampuan dalam menguasai taktis dan teknis penyidikan dapat diketahui dari seberapa jauh penyidik Polri menguasai proses penyidikan tindak pidana sesuai dengan Juklak dan Juknis yang telah ada.
b. Keterampilan
Keterampilan yang diharapkan dimiliki penyidik Polri yang profesional antara lain:
1) Memiliki keterampilan dalam komputer yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam pemeriksaan maupun dalam mengakses informasi-informasi yang diperlukan dalam pengungkapan perkara korupsi yang ditangani.
2) Keterampilan dalam berkomunikasi.
Keterampilan dalam berkomunikasi bagi penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan terutama dalam mencari informasi-informasi maupun dalam berkoordinasi antara instansi terkait. Keterampilan dalam berkomunikasi diperlukan juga adanya dukungan penguasaan bahasa yang baik diantaranya bahasa asing (bahasa Inggris).
3) Keterampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan taktis dan teknis penyidikan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi, antara lain :
a) Terampil dalam pelaksanaan tugas dalam bentuk team/unit baik dalam penyelidikan maupun penyidikan.
b) Terampil dalam memecahkan permasalahan terutama dalam penerapan/penentuan pasal-pasal pidana korupsi.
c) Terampil dalam upaya pembuktian baik dalam penyelidikan maupun penyidikan .
d) Terampil dalam melaksanakan gelar perkara dalam rangka analisa kasus untuk diketahui dapat tidaknya penyidikan dilanjutkan ataupun masih diperlukan tambahan bukti-bukti sehubungan kasus yang sedang ditangani.
c. Sarana dan Prasarana.
Kondisi sarana dan prasarana yang diharapkan meliputi peralatan penyidikan, alat komunikasi dengan teknologi maju dan kendaraan bermotor roda empat yang memadai yang dapat membantu mobilitas penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana tersebut dalam keadaan terawat dan terpelihara dengan baik sehingga dapat memperpanjang usia pakai serta tingkat kesiapan yang prima dalam mendukung kecepatan penyidikan.

12. Pelaksanaan Penyidikan

Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang diharapkan bahwa penyidik Polri mampu membuat terang terjadinya tindak pidana korupsi dengan didukung oleh alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP. Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan Ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Pembuktian yang dilakukan melalui penyelidikan dan penyidikan secara benar berdasarkan ketentuan perundang-undangan merupakan cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan yaitu penyidik yang profesional.
a. Penyelidikan.
Dalam penyelidikan diharapkan penyidik Polri dapat menemukan bukti permulaan dari tindak pidana korupsi secara cepat, dan dini yang merupakan kegiatan diteksi dini dimana kegiatan penyelidikan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, antara lain:
1) Didukung dengan keterampilan wawancara dengan penguasaan keterampilan bertanya dan berbicara efektif dengan sasaran yang tepat baik sebagai saksi, saksi ahli maupun tersangka.
2) Didukung keterampilan pengamatan dengan teknik pengamatan yang benar
3) Didukung keterampilan dalam penyamaran (undercover), dalam rangka memperoleh keterangan/informasi.
b. Penyidikan.
1) Penindakan.
a) Penggeledahan. Penggeledahan dilakukan terhadap orang dan tempat-tempat yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dimana penggeledahan dilaksanakan sesuai dengan prosedur yaitu adanya surat perintah penggeledahan, surat ijin dan atau dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, serta adanya saksi-saksi dan setelah itu penyidik membuat berita acara penggeledahan.
b) Penyitaan. Penyitaan dilaksanakan terhadap surat-surat dan barang-barang yang berkaitan dengan tindak pidana dimana penyitaan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penyitaan, surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, adanya saksi-saksi yang turut menanda tangani, dan dibuatkan berita acara penyitaan serta surat dan barang-barang yang disita dibuat label dan dilak dengan baik.
c) Penangkapan.
(1) Penangkapan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penangkapan, satu lembar diserahkan kepada keluarga dan dalam surat perintah disebutkan pasal-pasal yang disangkakan dan alasan penangkapan, dilaksanakan dalam waktu 1 x 24 jam.
(2) Penangkapan dilakukan secara baik dan cermat, dengan demikian tidak akan terjadi kekeliruan terhadap orang yang ditangkap.
(3) Tidak melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi.
c) Penahanan.
(1) Penahanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur, adanya surat perintah penahanan dengan memuat pasal-pasal dan alasan penahanan, satu lembar surat perintah penahanan diserahkan pada keluarganya, waktu penahanan selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 40 hari kepada Penuntut Umum.
(2) Penahanan dilakukan dengan menghormati hak azasi, dengan demikian tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap tersangka.
(3) Penahanan tidak mencari keuntungan pribadi, dengan memberikan jasa penangguhan namun meminta imbalan kepada tersangka atau keluarganya.
e) Pemanggilan.
(1) Pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menyebutkan status yang dipanggil.
(2) Pemanggilan harus menghormati hak-hak azasi, sehingga pada saat yang dipanggil datang sesuai jadwal segera dilayani sebagaimana maksud dari pemanggilan.
(3) Pemanggilan dilaksanakan tidak untuk kepentingan pribadi penyidik.
2) Pemeriksaan.
Pemeriksaan dilaksanakan dalam penyidikan diharapkan untuk dapat memperoleh keterangan baik dari saksi maupun tersangka untuk kepentingan pembuktian.
a) Pemeriksaan tersangka.
(1) Mengarah dan sesuai dengan unsur-unsur dan pasal-pasal yang disangkakan kepada tersangka.
(2) Pemeriksaan tersangka dan hasilnya harus disesuaikan dengan keterangan saksi-saksi, saksi ahli dan barang bukti yang ada.
(3) Hasil pemeriksaan tersangka dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditanda tangani oleh tersangka serta penyidik yang memeriksa.
b) Pemeriksaan saksi/saksi ahli.
Pemeriksaan saksi-saksi/saksi ahli diarahkan :
(1) Pemeriksaan dan hasilnya harus berhubungan dengan keterangan tersangka.
(2) Diantara keterangan saksi-saksi/saksi ahli harus berhubungan satu dengan yang lain serta dengan barang bukti yang ada.
(3) Hasil pemeriksaan saksi /saksi ahli dituangkan dalam berita acara pemeriksaan kemudian ditanda tangani oleh saksi/saksi ahli dan penyidik yang memeriksa.
3) Penyelesaian/pemberkasan perkara.
Penyelesaian/pemberkasan diharapkan dapat dilakukan dalam waktu cepat sejalan dengan kecepatan dalam pemeriksaan maupun pengumpulan bukti-bukti.
4) Pengiriman berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Berkas perkara yang dikirim oleh penyidik Polri kepada Penuntut Umum diharapkan dapat segera diterima oleh Kejaksaan tanpa pengembalian dengan alasan tidak cukup bukti ataupun tidak terjadi bolak balik berkas perkara secara berlarut-larut.
5) Administrasi penyidikan yang diharapkan.
Administrasi penyidikan yang diharapkan adalah:
a) Memiliki ketatalaksanaan administrasi yang tertib dan lengkap yang meliputi surat menyurat dan kearsipan yang menyangkut seluruh kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi.
b) Memiliki kelengkapan data, dan tersusun dengan rapi serta data yang mutakhir, agar dapat dilakukan analisis data yang tepat sehingga dapat membuat perkiraan dan tindakan yang tepat.
c) Memiliki format-format dan blangko-blangko surat yang dapat mendukung pelaksanaan tugas penyidikan.
d) Memiliki sistim laporan yang baik, adanya keterampilan dalam penyusunan administrasi serta keterampilan analisis.
6) Pengawasan dalam penyidikan yang diharapkan.
Pengawasan dilaksanakan oleh atasan penyidik Polri tidak untuk intervensi ataupun mempengaruhi indevendensi penyidik Polri tetapi sebagai kontrol untuk mencegah terjadinya penyelewengan ataupun adanya kesalahan prosedur/tidak sesuai ketentuan undang-undang.
7) Koordinasi yang diharapkan.
Kondisi koordinasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang diharapkan yaitu terjalinnya koordinasi yang baik, tidak hanya antar fungsi operasional pada kepolisian dengan Direktorat tindak pidana korupsi tetapi juga ada jalinan yang baik dengan lintas sektoral/instansi terkait, diantaranya:
a) Koordinasi antar fungsi operasional.
Diharapkan dapat memberikan dukungan dalam melakukan deteksi dini melalui pemberian informasi atau data kepada penyidik sehingga dapat dengan segera mengungkap adanya kasus korupsi.
b) Koordinasi dengan aparat penegak hukum (CJS)
Diharapkan adanya saling pengertian dan persamaan persepsi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi terutama dalam rangka penyidikan untuk menghindari dualisme dalam penyidikan yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dapat dilakukan lebih intensif melalui pemberdayaan lembaga Makejapol yang secara periodik dapat mengevaluasi pelaksanaan koordinasi dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi.
c) Koordinasi dengan BPKP.
Diharapkan terjalin koordinasi yang baik terutama kepentingan penyidik Polri dalam pembuktian yang memerlukan adanya keterangan saksi ahli sehingga dapat memudahkan dalam penyidikan.
d) Koordinasi dengan Kelembagaan terkait (Bank Indonesia, PPATK, Imigrasi dan sebagainya). Diharapkan tiap-tiap Kelembagaan mau transparan kepada Polri untuk memberikan informasi tentang terjadinya tindak pidana korupsi.
e) Partisipasi masyarakat.
Adanya partisipasi masyarakat diharapkan dapat memberikan dukungan kepada penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan ikut secara aktif memberikan informasi tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi, berdasarkan informasi tersebut penyidik Polri akan dapat dengan proaktif untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan.

13. Kondisi Perilaku Penyidik Yang Diharapkan

a. Kondisi mental kepribadian.

Memiliki mental kepribadian yang baik bagi penyidik Polri, merupakan bagian dari cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan yang dapat mendukung keberhasilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Adapun mental kepribadian yang diharapkan adalah :
1) Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam arti :
a) Beriman Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan dinas, pribadi, keluarga dan masyarakat.
c) Menjaga kerukunan umat beragama.
2) Telah dihayati kode etik Kepolisian, Tri Brata dan Catur Parsetya sebagai pedoman hidup dan pedoman kerja dalam kehidupan sehari-hari.
3) Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tidak mudah putus asa dan tidak mengeluh tetapi mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi.
4) Dalam pekerjaannya tetap tekun walaupun kekurangan dukungan dan fasilitas serta tidak terpengaruh akan godaan nafsu kebendaan.
5) Adanya kepercayaan kepada diri sendiri dalam melaksanakan tugas didasarkan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta selalu mendahulukan kewajiban daripada hak.
6) Adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dan berani bertanggung jawab serta dapat menghargai dan menghormati orang lain.
7) Memiliki sikap dan tingkah laku yang dapat dijadikan contoh teladan oleh lingkungan kerja maupun lingkungan sosialnya.
8) Berbudi luhur, jujur, penuh dedikasi dalam melaksanakan tugas yang dilandasi oleh nilai-nilai agama.

b. Kondisi fisik yang diharapkan.
Penampilan fisik yang diharapkan merupakan kualitas fisik yang samapta dan yang dapat mendukung pelaksanaan tugas penyidikan.
1) Dilihat dari segi postur tubuh adanya keserasian antara tinggi badan dan berat badan.
2) Memiliki sikap tampang yang rapi dan bersih.
3) Dalam memakai peralatan dan atribut sesuai dengan ketentuan dan rapi serta terpelihara dan terawat dengan baik.
4) Memiliki kecekatan, kelincahan dan tidak loyo dalam gerak-gerik sehari-hari.
5) Memiliki daya tahan yang tinggi dan prima.
6) Memiliki kemampuan dalam bela diri Polri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis melihat bahwa penyidik Polri yang profesional dengan didukung perilaku yang handal maka akan mempu melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi dengan benar sesuai harapan masyarakat. Hal demikian merupakan cerminan dari kualitas penyidik Polri yang dapat mewujudkan eksistensi penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi karena mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat (akuntabilitas publik), dengan demikian diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat dan memberikan legitimasi kepada penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi secara mandiri sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

V. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENYIDIK POLRI DIBIDANG PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

14. Tujuan, Sasaran dan Kebijakan
a. Tujuan.

1) Menegakkan hukum secara adil dan bersih serta menjamin kepastian hukum guna tercapainya supremasi hukum.
2) Menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia.
3) Menyelenggarakan penegakan hukum secara transparan atau memperhatikan prinsip-prinsip keterbukaan dalam rangka akuntabilitas publik.
4) Mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam rangka mewujudkan budaya hukum.
5) Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat secara proforsional dan profesional.
6) Menumbuhkan dan mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam tugas selaku penegak hukum.
7) Terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Sasaran.
Dalam rangka tercapainya tujuan diperlukan pencapaian sasaran sebagai berikut :
1) Terwujudnya landasan yang mantap bagi terselenggaranya tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
2) Terwujudnya kemampuan penyidik Polri yang benar-benar memiliki kualifikasi ahli (spesialisasi) dibidang tugasnya yang dilandasi oleh kemampuan teknis dan taktis dalam penyidikan dan jiwa kejuangan yang tinggi.
3) Meningkatnya kemampuan penyidik Polri dalam penyelesaian perkara secara cepat dan tuntas.
4) Terselenggaranya manajemen penyidikan yang mantap dan pembuktian dalam penyidikan yang lengkap guna memperkecil kemungkinan terjadinya pengembalian berkas perkara berulang maupun adanya putusan bebas.
5) Menghilangkan/mencegah peluang terjadinya penyimpangan/pelanggaran dalam bentuk kolusi maupun penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum yang dapat merugikan masyarakat.
6) Tersedianya sarana teknologi Kepolisian yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung dalam penegakan hukum.
7) Terselenggaranya pelaksanaan tugas oleh setiap kesatuan sesuai lapis-lapis kemampuan dan kewenangannya.

c. Kebijakan
Guna dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan secara maksimal, diperlukan kebijakan pimpinan Polri sebagai prinsip dasar yang dapat dijadikan pedoman sehingga terbentuk persepsi yang sama dalam aktivitas pelaksanaan tugas.
Adapun kebijakan pimpinan Polri yang dijadikan pedoman sebagai berikut:
1) Kebijaksanaan Kapolri dalam Era Reformasi menggariskan adanya perubahan 3 (tiga) aspek dalam organisasi Polri yaitu :
a) Perubahan aspek struktural mencangkup perubahan jati diri organisasi Polri menuju organisasi yang lebih otonom yang setara dengan instansi penegak hukum lainnya
b) Perubahan aspek instrumental mencakup instrumen-instrumen hukum yang mengatur kompetensi dan kewenangan Polri
c) Perubahan aspek kultural merupakan perubahan budaya Kepolisian yang mampu menunjukkan identitas Polri yang tercermin dari sikap dan perilaku dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
2) Kebijakan Kapolri Jenderal Pol. Drs. Timur Pradopo yang menggariskan kebijakan revitalisasi Polri terutama pembenahan kinerja Reserse dengan melanjutkan program ”Keroyok Reserse” melalui peningkatan kompetensi penyidik Polri. Menyikapi kebijakan pimpinan Polri tersebut, maka arah kebijakan dalam peningkatan kualitas penyidik Polri adalah penyidik Polri yang profesional, efektif, efisien dan modern (PEEM) yang dijabarkan sebagai berikut :
1) Penyidik Polri Yang Profesional.
a) Penyidik Polri yang profesional berarti harus mempunyai dasar/basis ilmu pengetahuan dan pengalaman, keterampilan, kemahiran dan keahlian yang memadai serta mempunyai etika profesi yang menjadi pedoman untuk ditaati secara tulus dan ikhlas.
b) Profesionalisme penyidik Polri yang didambakan adalah profesionalisme yang secara utuh mencerminkan kemampuan sebagai alat negara penegak hukum sehingga secara umum dapat mencegah, menindak dan mengatasi setiap tantangan dalam rangka keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam penegakan hukum.
c) Berdasarkan hakikat profesionalisme yang dikaitkan dengan tuntutan tugas dan peranan Polri, maka penyidik Reserse Polri diharapkan mampu bertindak sebagai patriot, ahli dibidangnya, pembina dan pemikir.
2) Penyidik Polri Yang Efektif dan Efisien.
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penegakan hukum terutama dalam penyidikan perlu diperkuat dengan manajemen mutakhir yang mendayagunakan pendekatan kesisteman dalam wujud konkrit yaitu :
a) Semakin meningkatnya keterpaduan pelaksanaan fungsi baik intern maupun ekstern.
b) Antisipasi terhadap permasalahan dan kesiapan dapat dilakukan secara lebih baik.
c) Apresiasi terhadap teknologi modern semakin besar.
d) Keterbukaan dan kerjasama pimpinan dengan bawahan/anggota semakin mantap.
e) Metode kerja semakin profesional.
f) Pelayanan terhadap masyarakat semakin lebih bermutu.
g) Pemantapan sistim perencanaan strategi dalam kontek pembinaan dan penggunaan kemampuan dan kekuatan.
h) Penyempurnaan organisasi secara bertahap dan berlanjut serta peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya yang serba terbatas.
i) Optimalisasi fungsi, dan sarana yang telah dimiliki dalam rangka menjamin kesiapan terutama dari segi kemampuan.
3) Penyidik Polri Yang Modern .
Ciri penyidik Polri yang modern adalah dalam cara berpikir, berperilaku dilandaskan pada wawasan ilmu pengetahuan dalam wujud :
a) Peningkatan kualitas penyidik Polri yang didukung sistem manajemen yang handal, serta penggunaan dan kemampuan iptek kepolisian.
b) Peningkatan dan penajaman spesialisasi dan lebih lanjut secara proporsional pada spesialisasi dan profesionalisme personilnya.
c) Pemenuhan kebutuhan operasional dan tuntutan modernisasi peralatan Polri sejauh mungkin secara mandiri dan selaras dengan kepentingan tugas.
d) Peningkatan kemampuan lembaga Litbang Polri, yang secara integral mendukung upaya pengembangan yang masih sangat terbatas serta mendukung upaya alih teknologi mutakhir.
e) Modernisasi organisasi Polri dan manajemennya sejalan dengan perkembangan kultur dan teknologi yang dianggap determinan dalam mengakselerasikan proses modernisasi.
f) Pengembangan kekuatan personil sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk.

15. Upaya Peningkatan

Peningkatan kualitas penyidik polri dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi dituntut untuk profesional dalam penyidikan, sehingga setiap bentuk tindak pidana korupsi yang diketahui dapat ditangani secara cepat dan tuntas. Guna menjadikan penyidik Polri yang memiliki kualitas sebagai penyidik yang profesional sesuai harapan, maka dapat dilakukan dengan upaya peningkatan sebagai metode yaitu:
a. Pembinaan Kemampuan.
1) Subyek.
Subyek yang berperan dalam pembinaan kemampuan penyidik Polri meliputi :
a) Para pimpinan/pejabat Polri (Kapolri, Asrena, As SDM, Kalemdikpol, Kapolda dan Kapolres)
(1) Kapolri
Sebagai pimpinan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kebijakan pada peningkatan kemampuan penyidik Polri.
(2) Asrena dan As SDM Kapolri..
Sebagai pembantu Kapolri dalam melaksanakan tugas membuat perencanaan untuk pengembangan dan pembangunan personil penyidik Polri agar mampu dan memiliki kualitas sesuai harapan masyarakat yaitu profesional dalam penegakan hukum.
(3) Kalemdikpol
Bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan kemampuan melalui pelaksanaan seleksi dan pelaksana pendidikan dan latihan secara terencana sesuai kalender pendidikan.
(4) Kapolda dan Kapolres.
Bertanggung jawan terhadap terselenggaranya pembinaan kemampuan penyidik Polri dengan mengembangkan melalui pendidikan dan latihan maupun pengembangan diri.
b) Para pejabat dilingkungan komuniti Reskrim (Kabareskrim, Dir Tipikor, Dirreskrim dan Kasat Reskrim).
Bertanggung jawab terhadap pembinaan kemampuan khususnya dalam kemampuan teknis dan taktis penyidikan secara berjenjang sesuai lapis-lapis kemampuan dari tingkat KOD sampai dengan tingkat pusat (Bareskrim).
2) Obyek.
Obyek dalam pembinaan kemampuan meliputi personil Polri yang bertugas dijajaran fungsi Reskrim maupun yang dipersiapkan untuk mengemban tugas fungsi Reskrim, namun yang lebih diutamakan adalah penyidik Polri.
3) Metode
Adapun metode yang dilaksanakan dalam meningkatkan kemampuan penyidik Polri agar memiliki kualitas yang diharapkan yaitu melalui upaya-upaya :
a) Pendidikan
Kualitas penyidik Polri yang ditopang dengan pendidikan yang memadai akan membentuk penyidik yang profesional. Hal ini sulit untuk disangkal karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah dalam menangkap gagasan-gagasan modern, seperti adanya issue demokratisasi, HAM, kemerdekaan berpendapat, transparansi dan sebagainya.
Berbagai penelitian yang menunjukan adanya kaitan yang erat antara pendidikan dengan kinerja Polisi, antara lain dibuktikan bahwa Polisi yang berpendidikan Akademi lebih memiliki kepekaan terhadap masyarakat, lebih memiliki kemampuan berkomunikasi dan cara bertindak dalam pelaksanaan tugas. Secara singkat polisi dengan pendidikan Akademi cenderung lebih adil, jujur dan efektif. Penelitian lain menunjukan bahwa Polisi berpendidikan Akademi menunjukan toleransi lebih besar dalam menghadapi golongan minoritas, kurang otoriterian dan dogmatis dibandingkan dengan Polisi yang kurang berpendidikan.
Menyadari pentingnya arti pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas penyidik Polri, maka diperlukan pendidikan jenis kejuruan ataupun spesialisasi dibidang Reskrim serta pendidikan pembentukan dan pengembangan yang mampu mendukung terealisasinya kualitas penyidik Polri yang profesional.
Adapun jenjang pendidikan yang perlu ditempuh, yaitu :
(1) Pendidikan Kejuruan.
(a) Kejuruan Pamen Senior Reskrim dibidang Korupsi:
aa. Peserta adalah Pamen berpangkat AKBP atau Kompol yang telah lulus mengikuti pendidikan Sespim Polri.
bb. Telah mengikuti pendidikan kejuruan Reserse Spesialisasi Tipikor.
cc. Tujuan dari pendidikan untuk membentuk Pamen yang mampu memenej proses penyidikan secara profesional sesuai dengan spesialisasinya.
(b) Pendidikan Kejuruan Spesialisasi Tipikor:
aa. Peserta adalah terdiri dari Pama dengan pangkat Iptu/AKP, dan Bintara dengan pangkat Briptu s/d Aiptu.
bb. Peserta memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1a) Untuk golongan Perwira Pertama :
• Lulusan Pendidikan PTIK maupun Selapa.
• Telah mengikuti pendidikan Reserse Tipikor.
2a) Untuk golongan Bintara :
• Lulusan Pendidikan Bintara.
• telah mengikuti pendidikan kejuruan spesialisasi Reserse.
(c) Pendidikan Kejuruan CID Luar Negeri.
aa. Peserta adalah Pama ke atas.
bb. Telah mengikuti pendidikan Reserse lanjutan Tipikor.
(2) Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan.
Bahwa penataan lapis kemampuan tidaklah hanya dilaksanakan melalui pendidikan kejuruan bagi anggota Polri dilapangan, namun secara mendasar harus dimulai dari tingkat pendidikan pembentukan, yang selanjutnya secara simultan dilaksanakan pula ditingkat pendidikan kejuruan dan pendidikan pengembangan dalam rangka memantapkan lapis kemampuan fungsi Reskrim, adalah sebagai berikut :
(a) Pendidikan Pembentukan (Diktuk) Pa:
aa. Akpol.
Untuk lulusan Akpol, diarahkan memiliki kemampuan setingkat dengan pendidikan kejuruan Reserse lanjutan, dan mereka diarahkan sebagai Perwira Polri dengan kualitas penyidik.
bb. PPSS Polri.
Materi keresersean yang dimiliki merupakan pengetahuan Reserse yang sifatnya umum dan pengetahuan tentang tugas serta peranan penyidik. Tujuan agar memahami tugas, fungsi dan peranan Reserse Polri serta dapat menjunjung tugas-tugas penyidik.
(b) Pendidikan Pengembangan (Dikbang).
aa. PTIK
Untuk lulusan PTIK diarahkan memiliki kemampuan setingkat dengan pendidikan kejuruan lanjutan Reskrim Tipikor. Materi keresersean yang dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan ilmu-ilmu pengetahuan(science)yang berkaitan dan mendukung tugas Reskrim. Tujuannya agar membantu dan menunjang tugas, taktik dan tehnik fungsi Reserse Polri dengan penerapan ilmu-ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam pelaksanaan dilapangan.
bb. Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa)
Untuk lulusan Selapa diarahkan memiliki kemampuan setingkat dengan pendidikan kejuruan Reserse setingkat dengan pendidikan kejuruan Reserse Tipikor. Materi keresersean yang dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan mekanisme hubungan antar fungsi guna berhasilnya tugas-tugas Reserse.
Tujuannya agar dapat membantu dan menunjang tugas, tehnik dan taktik fungsi Reserse Polri dalam rangka pelaksanaan tugas dilapangan.
cc. Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim Polri)
Materi keresersean yang dimiliki bersifat strategis, merupakan pengetahuan tugas-tugas Reserse yang didasarkan pada kekuatan personil serta sarana peralatan yang ada kaitan dengan ancaman kejahatan. Tujuannya agar dapat mengatur tugas-tugas Reserse dilapangan sehingga mampu menunjang keberhasilan pengungkapan kasus-kasus yang terjadi.
b) Pelatihan.
Peningkatan kualitas penyidik Polri tidak saja dilaksanakan melalui peningkatan kemampuan berupa pengetahuan hukum dan pengetahuan lainnya yang bersifat wawasan (knowledge) tetapi juga diperlukan peningkatan keterampilan (skill) sebagai aplikasi dari pengetahuan yang dimiliki (pengetahuan hukum, pengetahuan teknis dan taktis) melalui pelaksanaan pelatihan secara terprogram dan berkesinambungan.
Dengan demikian setiap penyidik Polri baik secara individu maupun kesatuan akan selalu terpelihara kemampuannya untuk tetap dalam kondisi siap operasional dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Aktualisasi dari pelaksanaan pelatihan diarahkan pada sasaran yang dapat meningkatkan keterampilan penyidik Polri secara perorangan maupun dalam team/unit, sebagai berikut :
(1) Latihan diarahkan agar mampu mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi secara cepat dan tuntas, untuk itu diperlukan pengembangan taktik dan teknik penyidikan untuk tujuan pembuktian dalam mengungkap setiap modus operandi dari tindak pidana korupsi yang terjadi.
(2) Latihan diarahkan dalam rangka melancarkan dan maningkatkan keterpaduan operasional dalam penyidikan antar individu penyidik Polri, tim/unit maupun antar fungsi-fungsi operasional lainnya.
(3) Pelaksanaan latihan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan operasional penyidik Polri dalam penyelidikan dan penyidikan pada setiap tingkat kesatuan Kepolisian mulai dari tingkat Mabes Polri hingga tingkat Kewilayahan (Bareskrim sampai dengan Polres) guna memelihara tingkat lapis kemampuan penyidik Polri.
Berdasarkan pada pencapaian sasaran tersebut dalam pelaksanaan pelatihan pada tiap-tiap tingkat kesatuan kepolisian agar tetap dalam kondisi siap operasional merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi setiap Kepala Kesatuan untuk melaksanakan pelatihan secara terprogram dan berkesinambungan sebagai berikut:
(1) Tingkat Mebes Polri.
(a) Subyek.
Bareskrim adalah subyek penanggungjawab pelaksanaan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan penyidik Polri sebagai berikut :
• Memprogramkan pelatihan secara teratur guna meningkatkan kemampuan penyidik Polri yang belum mengikuti pendidikan kejuruan dasar lanjutan maupun spesialisasi khususnya menyangkut tindak pidana korupsi.
• Memprogramkan pelatihan secara teratur untuk dapat mencapai sasaran pemantapan kemampuan penyidik Polri dengan kualifikasi spesialisasi penyidik tindak pidana korupsi.
• Pelaksanaan latihan diarahkan dalam rangka memantapkan kemampuan back up operasional penyidikan pada tingkat kesatuan kewilayahan sebagai wujud dari tingkat lapis-lapis kemampuan kesatuan.
(b) Metode.
Pelaksanaan pelatihan dapat diaplikasikan dengan metode antara lain :
• Simulasi/Studi kasus.
Pelatihan simulasi dilaksanakan dengan memberikan permasalahan yang menyangkut tindak pidana korupsi untuk dipecahkan baik secara individu maupun dalam bentuk team/unit.
• Drilling.
Pelatihan Drilling dilaksanakan untuk melatih keterampilan dalam aplikasi pengetahuan taktik dan teknik penyidikan tindak pidana korupsi antara lain:
aa. Drilling dalam teknik dan taktik penyelidikan.
bb. Drilling dalam taktik dan teknik pemeriksaan, dan lain sebagainya.
• Gladi.
Pelaksanaan pelatihan gladi dalam oprasional penyidikan diarahkan terutama dalam melatih keterampilan penyidik Polri dalam bentuk team/unit karena dalam penyidikan tindak pidana korupsi memerlukan tidak hanya pada kemampuan individu tetapi juga kemampuan tim/unit.
Dalam pelatihan dengan metode gladi ditekankan pada pelaksanaan kerjasama kelompok dalam rangka pemecahan masalah-masalah tindak pidana korupsi.
(2) Tingkat Polda.
(a) Subyek.
Dirreskrim Polda bersama-sama Karo SDM Polda memprogramkan pelatihan sebagai berikut:
• Memprogramkan pelatihan secara teratur yang dilakukan terpusat di Polda guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan penyidik Polri. Pelaksanaan pelatihan dibedakan menurut tingkat kualifikasi kemampuan yang dimiliki yang secara berjenjang mulai dari kemampuan dasar hingga kemampuan spesialisasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
• Program pelatihan pada tingkat Polda dilaksanakan minimal dua kali dalam setahun yang melibatkan kepala kesatuan maupun penyidik Polri pada kesatuan tindak pidana korupsi, guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan taktik dan teknik penyidikan dalam rangka pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
• Pelatihan diprogramkan dalam rangka pengenalan dan pemanfaatan teknologi kepolisian dalam mendukung tugas operasional penyidikan tindak pidana korupsi.
• Program pelatihan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan individu penyidik Polri maupun kerja sama dalam tim/unit.
• Kemampuan back-up operasional penyidikan pada tingkat Polres.
(b) Metode.
Metode dalam pelatihan pada tingkat Polda diarahkan untuk dapat membentuk individu penyidik Polri maupun tim/unit yang memiliki kualitas yang handal sebagai penyidik Polri yang profesional. Metode yang digunakan dalam pelatihan antara lain simulasi, drilling, dan gladi.
(3) Tingkat Polres.
(a) Subyek.
Kapolres dan Kasat Reskrim Polres melakukan program pelatihan sebagai berikut:
• Memprogramkan latihan secara teratur guna meningkatkan kemampuan anggota Reskrim Polres sebagai penyidik Polri agar mampu dalam penyidikan tindak pidana korupsi secara berjenjang sesuai kemampuan yang dimiliki untuk menjadikan penyidik Polri yang berkualifikasi spesialisasi penyidik tindak pidana korupsi.
• Melakukan pelatihan bagi penyidik Polri di Polres yang telah mengikuti dikjur spesialisasi serse dasar maupun dikjur spesialisasi lanjutan dalam rangka memelihara kinerja maupun meningkatkan kemampuan dan keterampilan untuk menjadi penyidik Polri yang diharapkan.
• Program pelatihan di tingkat Polres lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas penyidik Polri secara individu dibandingkan dengan pelatihan dalam bentuk team/unit dengan suatu pertimbangan pada tingkat Polres adanya kendala kuantitas personil penyidik yang terbatas serta kasus tindak pidana yang ditangani bersifat sederhana.
(b) Metode.
Metode yang digunakan pada tingkat Polres antara lain simulasi dan drilling.
c) Pengembangan diri.
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyidik Polri terutama dalam peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan, hukum dan perundang-undangan maupun pengetahuan yang berhubungan dengan masalah-masalah tindak pidana korupsi tidak hanya terfokus dari hasil pendidikan formal di lembaga pendidikan Polri saja tetapi dapat juga diarahkan melalui pendidikan non formal yaitu: melalui pengembangan diri, dengan demikian upaya peningkatan kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan profesionalisme penyidik Polri merupakan tuntutan dalam memupuk keahlian dalam suatu bidang (spesialisasi) yaitu penyidik dibidang tindak pidana korupsi.
Upaya peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pengembangan diri sangat didukung oleh pimpinan Polri dari tingkat pusat sampai kewilayahan dengan memberikan kesempatan bagi setiap penyidik Polri untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam rangka berguna untuk menunjang pelaksanaan tugas dalam penyidikan tindak pidana korupsi, antara lain:
(1) Memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan program studi magister (S-2, S-3), baik pendidikan di dalam maupun di luar negeri atas biaya dari institusi Polri.
(2) Kesempatan mengikuti kursus atau seminar yang bersifat internasional diluar negeri dalam rangka menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
(3) Melaksanakan kursus-kursus dan pelatihan/ keterampilan dibidang penyidikan bagi setiap penyidik Reskrim Polri di Luar Negeri.
d) Pemanfaatan Teknologi Kepolisian.
Penyidik Polri dimasa datang akan dihadapkan pada berbagai kasus tindak pidana korupsi dengan modus operandi menggunakan kecanggihan dari teknologi, untuk itu dalam melakukan penyidikan diperlukan juga pemanfaatan teknologi Kepolisian sebagai sarana maupun cara dalam pelaksanaan tugas penyelidikan maupun penyidikan untuk mengungkap setiap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Dari hasil pengamatan secara nyata menunjukan kelemahan penyidik Polri dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi Kepolisian untuk menunjang keberhasilan tugas penyidikan dan bahkan cenderung beranggapan pemanfaatan teknologi kepolisian menghambat dalam pengungkapan setiap kasus yang terjadi.
Untuk menghilangkan dilema psikologis berkaitan pemanfaatan teknologi Kepolisian dalam mendukung proses penyidikan diperlukan sosialisasi secara kontinyu dan konsisten oleh seluruh kepala kesatuan dari tingkat pusat hingga tingkat kewilayahan untuk memiliki komitmen yang kuat memanfaatkan teknologi kepolisian dalam setiap proses penyidikan sebagai wujud dari penyidik Polri yang profesional yaitu: kemampuan melakukan penyidikan secara ilmiah (scientific investigation).

b. Pembinaan Karir
Upaya untuk meningkatkan kualitas penyidik Polri sangat ditentukan juga oleh keberhasilan dalam pembinaan karir penyidik Polri yang dilaksanakan secara benar dan teratur serta konsisten dari unsur pimpinan (Kabareskrim, As SDM, Kapolda, Dirreskrim, Karo SDM dan Kapolres) sebagai subyek yang bertanggung jawab dalam pembinaan personil.
Pembinaan karir penyidik Polri untuk dapat menjadikan penyidik-penyidik berkualitas yang profesional dalam penyidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan upaya antara lain:
1) Intake Personil Penyidik Polri.
Untuk mendapat calon terbaik penyidik Polri tindak pidana korupsi yang berkualitas diperlukan pemantauan dalam pembinaan personil sejak awal penerimaan (rekrutmen) hingga dalam pelaksanaan tugas dilapangan. Agar memperoleh calon terbaik sebagai penyidik Polri maka harus dipersyaratkan melalui suatu penilaian antara lain :
a) Test psikologi
b) Mempunyai kejuruan spesialisasi dasar Reserse, kejuruan spesialisasi lanjutan maupun kejuruan perwira senior (spesialisasi) dalam tindak pidana korupsi.
c) Mempunyai pendidikan khusus Reskrim di Luar Negeri (BKA, FBI, CID dan lain-lain).
d) Mempunyai pendidikan formal kesarjanaan (keahlian) yang dapat mendukung dalam penyidikan tindak pidana korupsi antara lain :
(1) Bidang akutansi.
(2) Bidang perbankan.
(3) Bidang moneter.
(4) Bidang pasar modal.
(5) Bidang cessie.
(6) Bidang hukum.
e) Berpengalaman dalam pengungkapkan kasus-kasus yang berlatar belakang ekonomi.
f) Memiliki kemampuan fisik yang sehat dan samapta.
g) Memiliki sikap mental yang mampu menunjukkan jati diri seorang penyidik yang profesional.
2) Penempatan penyidik Polri (penugasan efektif).
Penempatan/penugasan penyidik Polri agar dapat secara efektif dan efisien serta profesional dalam pelaksanaan tugas sangat tergantung dari efektifitas penempatan yang sesuai dengan bidang atau bagian serta kemampuan yang dimiliki untuk menempati jabatan tertentu sesuai jenjang kepangkatan dan pengalaman dalam rangka pembinaan karir penyidik Polri. Penempatan dan penugasan penyidik Polri yang efektif akan mendukung proses pembentukan kualitas penyidik Polri yang profesional, tetapi sebaliknya penempatan penyidik Polri yang tidak proporsional atau tidak memperhatikan kualitas akan dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
a) Adanya kejenuhan dalam diri personil tersebut.
b) Pengalaman, pengetahuan dan wawasan akan sempit serta tidak berkembang.
c) Kemampuan dan keterampilan tidak berkembang.
d) Cara berpikir sempit karena akan berpikir untuk kepentingan fungsi atau tugasnya saja.
e) Akan dapat memberi peluang atau kesempatan terjadinya kolusi dan penyimpangan-penyimpangan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam rangka menghilangkan kejenuhan, memotivasi semangat dan gairah kerja serta menambah pengetahuan, dan keterampilan maka dalam rangka pembinaan karier penyidik Polri dilaksanakan melalui upaya penempatan/penugasan efektip yang meliputi alih tugas (tour of duty) dan alih daerah tugas (tour of area) yang mendukung pembinaan karir secara terspesialisasi.
Untuk dapat mewujudkan pembinaan karir yang terspesialisasi sebagai penyidik Polri tindak pidana korupsi diperlukan upaya penempatan/penugasan yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Penempatan penyidik Polri memperhatikan kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki.
Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor diutamakan memiliki pendidikan spesialisasi maupun pendidikan kesarjanaan (keahlian) tertentu yang dapat berguna/dimanfaatkan untuk penyidikan tindak pidana korupsi.
b) Penempatan penyidik Polri memperhatikan pengalaman dan produktifitas dalam tugas penyidikan tindak pidana.
Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor adalah penyidik Polri yang telah mempunyai pengalaman yang cukup dalam melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana umum maupun tindak pidana ekonomi sehingga dapat dijadikan modal dasar dalam mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
c) Penempatan penyidik Polri tindak pidana korupsi diutamakan bagi penyidik yang telah terseleksi secara baik melalui penilaian unsur pimpinan dengan katagori antara lain:
(1) Memiliki intelejensia .yang baik.
(2) Memiliki integritas pribadi yang baik (jujur, bertanggung jawab, ulet dan sebagainya).
(3) Memiliki wawasan/pengetahuan.
(4) Memiliki kamauan untuk mengembangkan diri.
d) Penempatan penyidik Polri memperhatikan usulan-usulan dari user yang telah mempertimbangkan berbagai aspek penilaian.
e) Penempatan penyidik Polri diarahkan untuk dapat meningkatkan karir secara berjenjang sesuai tingkat kualifikasi yang dimiliki dengan tidak terikat pada jabatan struktural tetapi diarahkan pada jabatan fungsional dengan kualifikasi spesialisasi sebagai penyidik tindak pidana korupsi.
3) Pemberian Penghargaan dan Sanksi (reward and punishment).
Upaya dalam peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pembinaan karir dengan cara pemberian penghargaan bagi penyidik Polri yang berprestasi dan memberikan sanksi/menghukum bagi penyidik Polri yang telah melakukan pelanggaran atau melakukan penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan tugas akan cukup memberikan andil untuk terwujudnya peningkatan kualitas penyidik Polri.
a) Pemberian Penghargaan.
Pemberian penghargaan diberikan kepada penyidik Polri yang telah mampu dan berhasil dalam tugas penyidikan:
(1) Berhasil dalam melakukan penyelidikan dalam rangka mengungkap dan membuktikan telah terjadinya tindak pidana korupsi.
(2) Berhasil dalam melakukan penyidikan secara tuntas (mulai dari pemeriksaan hingga pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum) dengan diterimanya berkas perkara kasus korupsi dengan katagori lengkap.
(3) Berhasil dalam melakukan kerjasama penyidikan tindak pidana korupsi dengan penyidik kejaksaan maupun instansi terkait lainnya (BPKP, PPATK, Perbankan dan Kelembagaan lainnya).
Penghargaan yang diberikan dapat berupa pemberian tunjangan khusus berupa insentif, yang diambilkan dari prosentase kerugian materi uang negara yang dapat diselamatkan oleh penyidik melalui pengungkapan perkara korupsi yang ditangani, misalnya besar prosentase adalah 1% dari jumlah kerugian uang negara yang dapat diselamatkan. Untuk penentuan insentif ini diperlukan suatu instrumen yang mengatur yang harus mendapat kesepakatan dan persetujuan dari DPR dan Pemerintah.
b) Pemberian Tindakan Koreksi dan Sanksi.
Pemberian tindakan sanksi dan koreksi kepada penyidik Polri dilihat dari berat ringannya pelanggaran ataupun penyelewengan/penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam menentukan berat ringannya hukuman bagi penyidik Polri maka pengoptimalan lembaga Pengawas Penyidik Polri sesuai pasal 142 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Polri adalah sebagai berikut :
(1) Melakukan pemeriksaan intensif oleh perwira pengawas penyidik.
(2) pembuatan pernyataan tentang tindakan yang telah dilakukan oleh penyidik.
(3) melakukan teguran tertulis.
(4) tindakan penghentian kegiatan penyidik dari penanganan pekara.
(5) tindakan skorsing/larangan untuk melakukan kegiatan penyidikan dalam periode tertentu.
(6) tindakan pengguguran (grownded) dari tugas penyidikan.
(7) pembebanan kewajiban mengikuti kegiatan pembinaan.
(8) pembebanan kewajiban menyelesaikan tugas lain.
Pemberian koreksi dan sanksi hendaknya diberikan untuk dapat memotivasi penyidik Polri untuk berprestasi dengan demikian koreksi dan sanksi ini diberikan dengan tujuan mendidik penyidik Polri untuk lebih profesional dalam setiap melakukan penyidikan yang berpedoman pada penghargaan terhadap HAM, kepastian hukum dan transparansi/keterbukaan.
4) Peningkatan Kesejahteraan.
Peningkatan kesejahtraan merupakan suatu kebutuhan organisasi dalam mewujudkan penyidik Polri yang profesional untuk hal tersebut diperlukan upaya-upaya antara lain:
(a) Menyalurkan hak-hak penyidik Polri secara tepat waktu dan tepat sasaran.
(b) Menghindari adanya beban-beban yang bersifat merugikan penyidik Polri seperti pemotongan gaji, pembebanan biaya lainnya.
(c) Mengupayakan pemenuhan kebutuhan operasional penyidikan yang dapat mendukung keberhasilan tugas.
(d) Membagikan/mengusahakan insentif secara merata bagi penyidik Polri.
(e) Mengupayakan pemenuhan perumahan dinas bagi penyidik Polri agar dapat tenang dalam melaksanakan tugas.
Dengan dipenuhinya peningkatan kesejahtraan bagi penyidik Polri akan mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang yang bertendesi kolusi dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

c. Pembinaan Sikap Mental/Perilaku Penyidik Polri.
Untuk menjadikan penyidik Polri berkualitas yang profesional dalam melakukan penyidikan, disamping disyaratkan memiliki pengetahuan hukum dan perundang-undangan dan keterampilan taktis dan teknis penyidikan serta bekal ilmu pengetahuan yang memadai juga diharuskan untuk memiliki sikap mental/perilaku yang baik, hal ini sesuai dengan ciri-ciri seorang profesional haruslah jujur, memiliki hati nurani yang tahu akan kewajibannya dan senantiasa menghormati hak orang lain serta memiliki tekad dan moral perbuatan yang dilandasi oleh niat untuk mengabdikan diri bagi kepentingan orang banyak.
Dalam pelaksanaan tugasnya penyidik Polri yang senantiasa berhubungan langsung dengan masyarakat baik masyarakat sebagai pelapor maupun terlapor dalam kasus tindak pidana korupsi, yang melibatkan golongan mampu secara ekonomi yang cenderung akan berkeinginan menyelesaikan perkaranya dengan jalan melakukan tindakan kolusi dengan penyidik.
Dalam kondisi demikian inilah diperlukan sikap mental/perilaku penyidik Polri yang tangguh dan memiliki integritas yang baik sebagai penyidik Polri yang berkualitas yaitu penyidik profesional. Guna mewujudkan kualitas penyidik Polri yang memiliki sikap mental/perilaku yang diharapkan diperlukan upaya pembinaan sikap mantal secara teratur dan berlanjut yang didukung oleh komitmen yang kuat dari unsur-unsur pimpinan kesatuan mulai dari tingkat pusat hingga kewilayahan, yaitu :
1) Pada Tingkat Pusat (Bareskrim)
a) Subyek
Kabareskrim sebagai subyek bersama-sama/berkoordinasi dengan Karo Binjah SDM, Karo Psi SDM, Kadiv Propam Polri dan Kapusdokkes Polri bertanggung jawab untuk memprogramkan pembinaan sikap mental/perilaku penyidik Polri pada tingkat pusat dan selanjutnya bertanggung jawab kepada Kapolri atas pelaksanaan pembinaan yang telah dilakukan.
b) Metode
Metode yang digunakan antara lain :
(1) Santiaji.
(2) Santi Karma.
(3) Test psikologi.
(4) Pemeriksaan kesehatan/test kesehatan.
(5) Test kesamaptaan.
(6) Konsultasi/konseling.
2) Pada Tingkat Kesatuan Kewilayahan (Polda dan Polres).
a) Subyek.
(1) Kapolda dan Kapolres.
Sebagai pimpinan tertinggi dikewilayahan mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pembinaan sikap dan mental penyidik Polri sebagai bagian dari upaya pembinaan personil.
(2) Dirreskrim Polda dan Kasat Reskrim.
Sebagai pembina langsung penyidik Polri berkoordinasi dengan Karo SDM Polda, Kabag Psi Ro SDM Polda, Kadis Dokes Polda, Dirintel Polda dan Kabid Propam Polda bertanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan sikap mental/perilaku penyidik Polri secara terprogram dan kontinyu yang dilaksanakan di Polda.
b) Metode.
Metode yang digunakan antara lain :
(1) Santiaji.
(2) Santi karma.
(3) Test psikologi.
(4) Pemeriksaan kesehatan/test kesehatan.
(5) Test kesamaptaan.
(6) Konsultasi/konseling.
Upaya untuk peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pembinaan sikap mental/perilaku diaktualisasikan dalam kegiatan sebagai berikut :
1) Pembinaan Mental.
Pembinaan mental dilaksanakan secara periodik dan disesuaikan dengan kebutuhan untuk memantapkan mental kejuangan dari penydik Polri antara lain :
a) Mengupayakan penghayatan dan pendalaman secara terus menerus tentang nilai-nilai kode etik Kepolisian yang meliputi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai pedoman hidup dan kerja yang merupakan etika profesi Kepolisian.
b) Memupuk rasa kebanggaan dan tanggung jawab sebagai penyidik Polri yang senantiasa patuh dan taat pada hukum/peraturan yang berlaku untuk mampu melakukan akuntabilitas penyidikan.
c) Memupuk integritas pribadi sebagai penyidik Polri, untuk selalu berbuat adil dan memiliki hati nurani untuk bertekad membela kebenaran.
d) Mengupayakan terbentuknya disiplin yang baik dari setiap penyidik Polri untuk selalu memegang teguh pada etika profesi.
2) Pembinaan Rohani.
Pembinaan rohani dilaksanakan secara periodik maupun secara insidentil sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung terbentuknya sikap mental dan perilaku penyidik Polri dalam pelaksanaan tugas antara lain:
a) Memberikan kesempatan kepada para penyidik Polri untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
b) Pembinaan rohani diberikan oleh para Perwira rohaniawan maupun pemuka agama/para ulama untuk dapat mendorong dan menumbuhkan kekuatan moral dan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran sebagai landasan terbentuknya sikap mental/perilaku yang handal.
c) Melalui pembinaan rohani akan dapat menghindarkan perilaku penyidik Polri yang bertentangan dengan norma-norma agama seperti :
(1) Penyalahgunaan wewenang.
(2) Tindakan-tindakan asusila dan lain-lain.
3) Pembinaan fisik.
Aktualisasi pembinaan fisik dilakukan dengan suatu sasaran:
a) Terwujudnya sikap tampang yang mendukung penampilan perorangan yang prima.
b) Terwujudnya kondisi kesehatan yang prima guna selalu siap untuk melaksanakan tugas penyidikan.
c) Terwujudnya tingkat kesamaptaan yang prima dari tiap-tiap penyidik Polri untuk selalu siap operasional, menumbuhkan kepercayaan diri dan kemampuan penyidik Polri.

d. Harmonisasi Koordinasi.
Agar dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi dapat berjalan secara cepat dan tuntas sebagai cerminan dari penyidik yang profesional harus mampu melakukan koordinasi sebagai berikut:
1) Dengan unsur Criminal Justice System (CJS)
a) Dalam upaya mengoptimalkan hasil penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan koordinasi tanpa mengurangi indevedensi dari masing-masing unsur penegak hukum sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
b) Menumbuhkan saling pengertian antar unsur CJS agar mempunyai persepsi dan komitmen yang sama untuk segera menuntaskan penyidikan tindak pidana korupsi.
c) Adanya saling tukar informasi dalam rangka penyidikan terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi yang sulit.
d) Dengan adanya koordinasi yang intensif maka akan dapat menambah wawasan dan kemampuan/keterampilan penyidik Polri terutama dalam penyidikan tindak pidana korupsi dengan modus operandi baru.
2) Dengan Instansi terkait (BPKP, PPATK, Bank Indonesia, Kelembagaan/Non Kelembagaan).
Dalam kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan koordinasi dengan instansi terkait terutama dalam rangka upaya pembuktian yang sering diperlukan keterangan saksi ahli untuk manunjang hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
3) Antar Fungsi Kepolisian.
Keberhasilan penyidik Polri dalam mengungkap setiap kasus tindak pidana korupsi sangat didukung pula oleh kemampuan penyidik dalam memanfaatkan peranan fungsi kepolisian yang lain melalui koordinasi yang baik, seperti:
a) Intelkam, berperan dalam pengungkapan mata rantai/jaringan dengan kasus lain, penajaman target operasi, serta pengawasan personil, materiil, kegiatan dan informasi.
b) Labfor Polri, berperan dalam upaya membentu pembuktian secara laboratorium kriminalistik kedokteran forensik, terhadap kasus-kasus penting.
c) Bagian Psikologi Polri, berperan dalam pengungkapan dan pemeriksaan saksi/tersangka yang mengalami masalah mental kejiwaan.
d) Kedokteran, berperan dalam memberikan bantuan perawatan tersangka atau saksi yang mengalami gangguan kesehatan atau diperlukan konsultasi medis.
e) Divisi hukum Polri, berperan dalam rangka penerapan hukum dan perundang-undangan serta bantuan hukum dalam melengkapi upaya hukum oleh anggota masyarakat melawan penyidik (Pra Peradilan, tuntutan ganti rugi).
f) NCB/Interpol, kerjasama dalam rangka penyidikan perkara-perkara tindak pidana yang berlingkup internasional.

e. Pemberdayaan Lembaga Gelar Perkara.
Pemberdayaan gelar perkara merupakan suatu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas penyidik dalam mempertanggungjawabkan langkah-langkah penyidikan maupun kemampuan analisa dari penyidik yang sekaligus sebagi bagian dari akuntabilitas penyidikan oleh penyidik Polri. Pemberdayaan gelar perkara juga dapat digunakan sebagai fungsi kontrol pimpinan bagi penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi untuk menghindari adanya penyelewengan-penyelewengan maupun penyalahgunaan wewenang.
Adapun pemberdayaan gelar perkara dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Pentahapan gelar perkara sebaiknya dilaksanakan sebagai berikut :
a) Tahap I sebelum upaya paksa, yaitu pengelaran langkah-langkah yang akan/sedang atau sudah dilakukan setelah menerima laporan polisi khususnya perkara-perkara berat yang sulit pembuktiannya.
b) Tahap II, pada saat dilakukan atau telah dilakukan upaya paksa, terutama terhadap kasus-kasus menonjol, sulit pembuktiannya atau yang mendapat perhatian yang besar dari pihak-pihak lain.
Dengan tujuan untuk pemantapan penerapan unsur-unsur dari pada Pasal tindak pidana yang dituduhkan.
c) Tahap III, adalah pada saat menjelang tuntasnya suatu penyidikan, baik untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum maupun dalam rangka penghentian penyidikan.
Sebelum melaksanakan gelar perkara yang akan digelarkan harus terlebih dahulu disaring dan dikonsultasikan pada pimpinan untuk mendapatkan persetujuan.
2) Peserta Gelar.
a) Untuk Tahap I dihadiri oleh seluruh penyidik/penyidik pembantu dalam lingkungan satuan tersebut, yang dipimpin oleh pejabat yang tertua.
b) Untuk Tahap II dihadiri penyidik/penyidik pembantu dalam satuan Reskrim ditambah fungsi Opsnal Polri dan kalau dipandang perlu dapat diundang Penuntut Umum.
c) Untuk Tahap III dihadiri sebagaimana tersebut pada butir (2) diatas ditambah unsur pimpinan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
3) Bahan yang harus dipersiapkan antara lain :
a) Laporan hasil penyidikan.
b) Alur perkara.
c) Matrik unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar.
d) Hambatan-hambatan yang dihadapi.
e) Rencana kegiatan mendatang, beserta alasan-alasannya.
4) Seluruh peserta gelar lainnya bisa berperan atau memberikan saran/pendapat yang berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan pengalaman yang baik.
5) Hasil gelar merupakan pedoman bagi penyidik Polri untuk ditindak lanjuti dalam rangka mempercepat proses penyidikan tindak pidana korupsi secara obyektif dan transparan.

VI. PENUTUP

16. Kesimpulan


a. Terjadinya kondisi perekonomian Indonesia yang tidak menentu dan berkepanjangan sampai saat ini, merupakan salah satu akibat dari pengelolaan negara yang tidak benar yaitu merebaknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merusak sendi-sendi pemerintahan negara dan merugikan masyarakat, sehingga dengan bergulirnya reformasi telah membuka wawasan dan pandangan masyarakat Indonesia dalam kehidupan bernegara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR RI No. XI/MPR/1998.
b. Berbagai upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi terutama melalui penegakan hukum belum mampu memberikan dampak positif bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang dicita-citakan masyarakat, karena masalah korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan individu atau kelompok/golongan yang mampu dari sisi intelektualitas maupun dari sisi ekonomi, sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi diperlukan aparat penegak hukum yang berkualitas yaitu penegak hukum yang profesional.
c. Polri sebagai salah satu aparat penegak hukum yang diberikan wewenang oleh UU (U No. 8/1981, UU No.2/2002 dan UU No. 31/1999) sebagai penyidik tindak pidana korupsi selain Kejaksaan dan KPK, seharusnya dapat berperan banyak dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, namun pada kenyataannya penyidik Polri saat ini belum melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana mestinya, karena adanya hambatan dan kendala yaitu diantaranya kualitas penyidik Polri saat ini belum profesional dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
d. Beberapa faktor baik yang bersifat intern maupun ekstern sebagai penyebab yang mempengaruhi kualitas penyidik Polri, yang secara yuridis, psychologis dan teknis belum mampu menunjukan jati diri sebagai penyidik Polri yang profesional dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sehingga popularitas penyidik Polri tidak sebaik Kejaksaan di hadapan masyarakat.
e. Agar penyidik Polri dapat lebih berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi maka diperlukan upaya peningkatan kualitas penyidik Polri sesuai dengan kebijaksanaan pimpinan Polri pada Era Reformasi untuk profesional dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum dengan melakukan perubahan mendasar menyangkut tiga aspek, yaitu: aspek struktural, aspek instrumental dan aspek kultural. Jabaran dari kebijakan Kapolri tersebut dalam mewujudkan kualitas penyidik Polri yang diharapkan diperlukan upaya peningkatan dengan komitmen yang kuat dari unsur pimpinan kesatuan Polri dari tingkat pusat hingga kewilayahan yang secara bertahap konsisten memprogramkan upaya pembinaan kemampuan, pembinaan karier, pembinaan sikap mental penyidik Polri dan harmonisasi koordinasi serta memberdayakan lembaga gelar perkara untuk dapat mewujudkan akuntabilitas penyidikan.
f. Berbagai upaya peningkatan yang dilakukan diharapkan penyidik Polri akan mampu menunjukan eksistensinya sebagai penyidik yang berkualitas dibidang penegakan hukum tindak pidana korupsi sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan mendukung upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh penyidik Polri. Dengan demikian secara keseluruhan akan memberikan legitimasi bagi terwujudnya kemandirian Polri.

17. S a r a n

a. Mengoptimalkan Lembaga Pengawas Penyidik Polri sebagai lembaga independen internal Polri yang terdiri dari para pakar hukum dan pejabat Polri di bidang penyidikan, untuk menghindari intervensi internal Polri terhadap penyidikan tipikor sekaligus sebagai lembaga konsultasi penyidikan tindak pidana korupsi.
b. Pembinaan karir penyidik Tipikor agar diperhatikan jenjangnya untuk mendukung profesionalisme penyidik tindak pidana korupsi agar diisi oleh personel yang berpengalaman dan profesional di bidangnya.

Referensi:

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Edisi Maret, 1999.

Dirdjosisworo, Soedjono. (1983). Pungli: Analisa Hukum dan Kriminologi. Bandung: Sinar Baru, Bandung.

Djamin, Awaloedin. (1999). Kemandirian Polri Pasca Pemisahan Dari Dephankam, Jurnal Polisi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartono, Kartini. (1997). Patologi Sosial. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.

Pope, Jeremy. (2003). Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: Transparency International Indonesia.

Rahardjo, Satjipto. (2002). Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru.

_______________ . (1999). Polisi Indonesia Mandiri, Jurnal Polisi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soekanto, Soerjono. (1993). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada.
Baca selengkapnya.....