Jumat, 30 Juli 2010

2015, JAKARTA TERANCAM LUMPUH


Pendahuluan

Sebuah survei pada salah satu televisi swasta nasional memunculkan sebuah temuan yang fenomenal yaitu Jakarta akan mengalami mengalami kelumpuhan pada tahun 2015! Kemudian Kompas memprediksikan kelumpuhan tersebut dengan beberapa data empiris yang menyebutkan dengan pertumbuhan kendaraan roda 4 sebesar 236 unit per-hari, sepeda motor sebesar 891 unit per-hari, sedangkan pembangunan jalan hanya 0,01% per-tahun maka diprediksikan kurun waktu tiga tahun lagi maka kemacetan akan dapat dijumpai di segala penjuru ibukota (Kompas, 26 Juli 2010). Pertumbuhan kendaraan yang sedemikian pesat dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan jalan, sedikit banyak akan menambah lagi permasalahan ibukota disamping masalah sosial dan banjir yang sampai saat ini belum bisa ditangani dengan baik, bahkan oleh ”ahlinya” sekalipun.
Berbagai cara sudah dicoba untuk menangani masalah kemacetan ini, mulai dari yang didahului oleh kajian ilmiah seperti Three in One, kanalisasi lajur sepeda motor, proyek busway dan konsep MRT, sampai pemikiran instan seperti wacana pembatasan BBM bagi sepeda motor, pelarangan BBM bersubsidi bagi mobil rakitan 2005 keatas, Electronic Road Pricing (ERP), sampai pembatasan sepeda motor di jalur protokol. Kesemua konsep tersebut nampak manis diatas hitam dan putih, namun pada pelaksanaannya menemui banyak kendala.
Memang menguraikan kemacetan di Jakarta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai penelitian baik itu yang dilakukan oleh pihak pemerintah, akademisi, maupun praktisi luar negeri hanya bisa mengutarakan sebab-sebab kemacetan itu sendiri, namun solusi yang diharapkan hampir semua memberikan jawaban yang seragam.
Sebab-sebab kemacetan itu sendiri disampaikan secara garis besar lebih kepada:
1. Volume kendaraan berbanding kapasitas jalan yang tersedia.
2. Kelengkapan hukum lalu lintas dan aturan yang mengikatnya.
3. Kedisiplinan masyarakat dan perilaku aparatur pelaksana penegakan hukumnya.
4. Pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan faktor globalisasi yang mempengaruhi peningkatan arus lalu lintas.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa kemacetan lalu lintas bukanlah semudah yang kita kira, cukup kompleks untuk bisa mengurai benang kusutnya. Karena disitu terdapat kebijakan politis, kebijakan ekonomi, serta perilaku pengguna jalan itu sendiri (Kunarto, 1999: 107). Ditambah lagi dengan kerugian yang diderita para pengguna jalan yang bisa mencapai 5,5 triliun per-tahunnya. Suatu angka yang fantastis! Kadang kita berpikir, katanya orang Jakarta banyak yang miskin, ternyata pertahunnya bisa juga kok menghabiskan 5,5 triliun rupiah hanya untuk di jalan saja!

Faktor Kemacetan di Ibukota

Diatas telah disebutkan, temuan para peneliti mengenai kemacetan di Ibukota Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Ketidakseimbangan pengguna kendaraan pribadi dan angkutan publik karena belum optimalnya angkutan publik di Jakarta baik dari segi keamanan, kenyamanan, maupun ketepatan waktu membuat orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang angkutan publik. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis juga mengharuskan orang-orang yang bekerja di pusat pemerintahan dan bisnis untuk selalu tepat waktu dan berpenampilan rapi yang tidak mungkin dilakukan kalau ia memakai kendaraan umum. Disamping itu usia pakai angkutan publik yang rata-rata sudah tua membuat kenyamanan tidak lagi didapatkan, banyak kendaraan yang tidak ber-AC, kapasitas yang dipaksakan meski sudah sesak, atau pengoperasian yang ugal-ugalan sehingga membuat penumpangnya sport jantung alih-alih nyaman berkendaraan. Kemudian untuk menunjukkan status sosialnya, orang menunjukkannya dengan menggunakan kendaraan pribadi. Akhirnya banyak OKB-OKB yang berbondong-bondong menyerbu showroom mobil untuk menunjukkan jatidirinya sebagai orang kaya dan berpengaruh, apalagi dibarengi dengan peningkatan jabatan dan pangkat. Maka tidak heran selain di pusat bisnis, di perkantoran baik swasta maupun negeri pun tak ubahnya sebagai showroom mobil yang tidak seimbang dengan kapasitas parkir yang tersedia.
Dulu, konsep tata ruang kota Jakarta sudah lumayan bagus. Sarana publik hampir sama dengan keadaan di Eropa (karena Jakarta banyak mendapat inspirasi dari Amsterdam, mengikuti keterikatan emosional pemerintahan kolonial Belanda), banyak jalur Trem di sekitar jalan protokol, kali Ciliwung maupun kali Angke banyak digunakan untuk angkutan sungai (pemerintah kolonial membangun waterfront sekitar Harmoni).

2. Pertumbuhan jalan yang tidak merata, bisa diakibatkan oleh penggunaan lahan di Jakarta ini yang kebanyakan digunakan untuk pembangunan pusat perbelanjaan (mall, supermarket, hypermarket, ITC), perkantoran baru, atau hotel-hotel. Seolah-olah Pemprov DKI enggan untuk menolak perijinan pembangunan tersebut, ketimbang memakai lahan tersebut untuk pelebaran jalan, lahan terbuka hijau, atau pedestrian (jalur pejalan kaki). Memang kalau dilihat pemakaian lahan milik pemerintah daerah tidak akan menghasilkan keuntungan apabila dipakai untuk jalan atau pedestrian, namun keuntungan yang dapat diraih adalah kualitas udara Jakarta bisa ditekan emisinya, pengguna jalan lebih baik jalan kaki ketimbang naik mobil/sepeda motor pribadi (seperti di Singapura, Malaysia, Melbourne, dll), dan penumpukan kendaraan tidak bertumpu pada satu titik saja. Perda DKI juga terlihat lemah dalam menegakkan peraturan bagi pedagang kaki lima yang menghalangi pedestrian, bahkan terkesan penegakan aturan itu setengah hati dilaksanakan oleh oknum aparat Satpol PP yang dibebani tugas untuk menegakkan Perda. Apakah karena sudah membayar retribusi ataukah tidak mampu menolak keinginan kaum grassroots, sehingga seolah-olah tidak kuasa untuk menindak? Penegakan aturan ini tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan untuk pedagang kaki lima melakukan aktifitas ekonominya, termasuk penataan ruang untuk berjualan pun terlihat semrawut sehingga wajar apabila kemudian para pedagang tersebut sampai meluber ke bahu jalan.

3. Faktor pembangunan kota Jakarta juga menjadi sorotan dalam terjadinya kemacetan tersebut, dimana banyaknya pembangunan yang tidak berorientasi pada kenyamanan kota dan transportasi menimbulkan munculnya faktor baru bagi Jakarta yaitu pertumbuhan urbanisasi. Mall baru, hotel baru, perguruan tinggi baru mendatangkan niat para pendatang untuk mengadu keuntungan di Jakarta (Keraf, 2010). Kondisi ini semakin memperparah kemacetan Jakarta, disisi lain, daerah-daerah yang mereka tinggalkan semakin sepi saja.

4. Faktor masyarakat turut berperan dalam kemacetan yang terjadi di Jakarta ini. Suatu kondisi yang diharapkan apabila masyarakat berperilaku tertib, disiplin, dan patuh hukum. Namun keadaan yang ada membuat para pengguna jalan seolah bersikap seperti kaum barbar di jalanan, bagi orang yang ingin tertib seolah-olah menjadi seperti orang bodoh karena dianggap menghalangi jalan orang lain, dan orang yang ugal-ugalan dianggap sebagai orang yang pintar karena turut mempercepat laju pengguna jalan lain yang ingin cepat-cepat sampai ke tempat kerja atau sekolahnya. Kondisi ini tampak terlihat pada jam-jam sibuk, dimana orang-orang terlihat tidak mau mengalah dengan yang lain. Berpindah lajur, bersepeda motor tidak pada lajurnya, zig-zag, memakai bahu jalan, kendaraan besar tidak pada lajurnya sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Jakarta. Sehingga wajar tingkat stress warga Jakarta semakin tinggi (apalagi kalau ditambah dengan adanya pertandingan sepakbola yang mengutamakan fanatisme kedaerahan.....wuih, tambah rawan!). Ketidakpatuhan pengguna jalan pada aturan lalu lintas menambah lagi persoalan kemacetan di ibukota, sehingga rambu-rambu yang terpasang seolah-olah sebagai hiasan tanpa makna yang akan dipatuhi apabila ada ”penunggunya”.

5. Aparat penegak hukum lalu lintas turut berperan dalam kemacetan. Kenapa? Masyarakat masih melihat bahwa petugas di jalanan adalah hukum itu sendiri (Kunarto, 1999: 120). Kalau petugasnya berperilaku aneh-aneh, ya gimana mau menuntut masyarakat pengguna jalannya berperilaku baik? Aneh-aneh yang saya maksudkan disini adalah masih adanya perilaku petugas baik dari kepolisian maupun instansi transportasi lainnya yang tidak konsisten dengan penegakan aturan lalu lintas, ditambah dengan tidak adanya keteladanan yang diberikan untuk dijadikan contoh bagi pengguna jalan. Misalnya: membiarkan pelanggaran yang ada di depan matanya, melakukan pungli pada pelanggaran lalu lintas, menjebak pelanggar lalu lintas, tidak tanggap pada faktor-faktor penyebab kemacetan (tidak mau mendorong mobil yang mogok, tidak segera menutup arus yang padat, tidak tanggap pada kecelakaan di jalan tol, dll), kurang melakukan rekayasa lalu lintas, atau malas memberikan pembelajaran lalu lintas pada masyarakat (memandang rendah pekerjaan dikmas lantas ketimbang menjadi fungsi regident). Oleh sebab itu, perilaku petugas lalu lintas sangatlah diharapkan memenuhi keinginan masyarakat untuk menampilkan sosok yang tegas, profesional, patuh hukum, serta tanggap lalu lintas.

Upaya Penanggulangan Kemacetan di Jakarta


Kondisi Jakarta 1969


Tidak ada kata terlambat untuk segera membenahi kemacetan di Jakarta, sebelum dinyatakan lumpuh total. Seandainya kita memiliki mesin waktu, saya ingin membalikkan Jakarta pada tahun 1960-an dan 1970-an dimana Jakarta sedang giat-giatnya membangun untuk menunjukkan eksistensinya sebagai ibukota suatu negara yang sedang berkembang. Harus ada pejabat yang sanggup menolak pendirian gedung-gedung untuk pusat perbelanjaan, hotel dan perkantoran sebelum membangun jalur jalan yang mampu menampung transportasi. Seharusnya pemerintah daerah memikirkan pembangunan jalan lebih dahulu ketimbang pembangunan infrastruktur lainnya, tidak apa-apa dikatakan pandir karena membuat jalan yang lebar-lebar disaat arus lalu lintas sepi ketimbang ternyata 20 atau 40 tahun kedepan dinyatakan macet total....namun nasi sudah menjadi bubur, alangkah baiknya memikirkan situasi yang sudah terjadi, bertanya kepada ”ahlinya” pun sudah percuma, pembenahan harus dilakukan secara terstruktur dengan melibatkan unsur pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, dan pelaku bisnis.
Perilaku pengguna jalan sudah kronis karena pemakaian kendaraan yang sudah melebihi batas yang tidak diimbangi oleh perkembangan jalan yang ada, perlu komitmen nasional untuk menjadikan Jakarta bebas dari kemacetan, dan langkah-langkah kongkrit yang harus segera dilaksanakan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Ada beberapa pemikiran (mungkin sebagian ekstrem) untuk mengurai kemacetan di Jakarta, antara lain:

1. Mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menggunakan kendaraan publik ketimbang kendaraan pribadi. Kendaraan yang akan masuk ke jalur protokol pada jam sibuk harus dibatasi, caranya bisa dengan memungut biaya masuk (ERP), yang aliran dananya masuk ke kas daerah yang digunakan untuk perbaikan transportasi publik (Kompas, 26 Juli 2010).

2. Melanjutkan kembali program pembangungan MRT baik itu perluasan koridor busway, penyediaan waterway, sampai pembangunan monorail. Karena kalau tidak dilanjutkan sangat mubazir baik dari pendanaan maupun infrastruktur yang sudah terbangun (jangan sampai tonggak-tonggak pembangunan menjadi monumen yang malah merusak keindahan ibukota).

3. Menyediakan transportasi publik yang nyaman, tepat waktu, dan aman. Transportasi publik tersebut harus diawaki oleh personel-personel yang terampil, patuh hukum, serta lingkungan kendaraan yang dirawat dengan baik. Mungkin hal ini akan menimbulkan keresahan bagi pengelola transportasi ”konvensional” namun demi kenyamanan berkendaraan umum tidak ada salahnya untuk dicoba.

4. Perbanyak jalur untuk transportasi alternatif yang bebas polusi, seperti penggalakan Bike to Work sudah bagus namun tidak didukung dengan sarana yang memadai, sepeda harus beradu fisik dengan kendaraan bermotor lain, ini tentunya sangat membahayakan keselamatan lalu lintas.

5. Kendaraan-kendaraan umum yang tidak laik jalan, tidak nyaman, dan tidak aman dihentikan operasionalnya. Digantikan oleh kendaraan-kendaraan baru yang laik dan layak jalan, serta selalu dilakukan inspeksi selama periode tertentu, apabila kendali mutunya tidak memenuhi syarat maka ijin trayek bisa dicabut.

6. Tidak memusatkan perkantoran dan perbelanjaan pada ruas jalan protokol, setidaknya Pemprov DKI bisa memanfaatkan daerah-daerah kantong untuk dijadikan basis bisnis dan perkantoran. Daerah-daerah seperti di Bekasi, Cikarang, Tambun, Kabupaten Tangerang, atau Kapuk mungkin bisa dijadikan perkantoran atau pusat bisnis, jangan lagi membangun di daerah pusat kota yang sudah terlalu sumpek dan padat untuk dijadikan sentra bisnis, hotel atau kantor.

7. Menolak ijin mendirikan bangunan yang faedahnya tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat banyak seperti mall, hotel, dan perkantoran (kecuali yang melakukan renovasi). Beberapa lahan yang dibebaskan seperti perkampungan kumuh, proyek banjir kanal, dan bangunan yang tidak sesuai peruntukan agar dijadikan proyek transportasi jalan serta penunjang jalan (pedestrian, lahan terbuka hijau, taman kota). Harus ada komitmen dan konsistensi dari aparatur Pemprov DKI untuk menghentikan pembangunan mall atau hotel, karena Jakarta sekarang ini sudah sesak oleh mall-mall dan pusat perbelanjaan yang manfaatnya hanya dirasakan oleh segelintir orang saja sehingga dengan lahan yang luas namun tidak bisa menampung daya beli yang ada, sudah sebaiknya untuk menolak IMB untuk bangunan-bangunan tersebut.

8. Dalam pembangunan jalan baru, setidaknya harus memperhatikan prediksi 20 tahun kedepan di sekitar pembangunan jalan itu. Jangan hanya memikirkan jangka pendek namun setelah daerah tersebut berkembang, jalan yang dibangun ternyata tidak memadai untuk menampung volume kendaraan yang ada.

9. Penerapan hukum lalu lintas yang ketat ditambah dengan personel yang cukup untuk mengawasi aturan lalu lintas. Hal ini bukan saja menjadi tanggungjawab Polantas saja, namun juga Dishub atau Satpol PP bersama-sama untuk menegakkan aturan lalu lintas. Dengan petugas yang tersedia di setiap persimpangan jalan, diharapkan problem kemacetan akan teratasi.


Referensi:

Terlalu Mahal Biaya Kemacetan”, Kompas 26 Juli 2010.

Sinergikan Transportasi Umum”, Kompas 26 Juli 2010.

Keraf, A.Sonny. 2010. Pindahkan Ibu Kota. Kompas, 28 Juli.

Kunarto, 1999. Merenungi Kritik terhadap Polri; Masalah Lalu Lintas. Jakarta: Cipta Manunggal.
Baca selengkapnya.....

Kamis, 01 Juli 2010

Meretas Asa, Meraih Cita (Refleksi Hari Bhayangkara ke-64)

Pendahuluan

Hari ini 1 Juli 2010, Kepolisian Negara Republik Indonesia genap berusia 64 tahun. Hari Bhayangkara dilaksanakan ditengah situasi yang berbeda. Dalam kurun waktu setengah tahun ini saja, berbagai peristiwa penting yang menyangkut kepolisian kerap menghiasi headline media massa dan elektronik. Mulai prestasi Polri dalam pemberantasan terorisme, pencegahan penyelundupan narkoba, pemberantasan pembalakan liar, sampai pada penuntasan kejahatan konvensional lainnya. Kesemua prestasi Polri ini mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan masyarakat, mereka memuji tindakan cepat dan tepat kepolisian dalam menindak berbagai macam kejahatan yang meresahkan masyarakat. Namun ibarat pepatah ”bagai nila setitik, rusak susu sebelanga”, prestasi tersebut seolah hilang dengan adanya berita miring seputar lembaga penegakan hukum ini. Mulai dari kriminalisasi Bibit-Chandra, mafia penanganan kasus Gayus Tambunan yang berujung pada fenomena whistle-blower Susno Duadji, penegakan hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil, terkatung-katungnya kasus video porno ”mirip” Ariel-Luna Maya-Cut Tari, dugaan rekening tidak wajar sejumlah perwira tinggi Polri, sampai pada kritikan, protes, kekesalan, dan keluhan terhadap perilaku personel polisi di lapangan (pungli, penyalahgunaan wewenang, atau lambannya penanganan kasus).
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa pada tahun 2009, Polri sudah menunjukkan pencitraan yang positif dan terus meningkat. Lebih dari separuh responden (57,1%) mengatakan bahwa citra polisi saat itu mulai membaik (Kompas, 29 Juni 2009). Namun asumsi tersebut kembali merosot pada tahun 2010 ini, dimana hasil survei LSI menunjukkan ketidakpuasan masyarakat pada penegakan hukum oleh kepolisian mencapai 56,8%. Mayoritas responden (60,1%) menilai penanganan Polri terhadap penegakan hukum saat ini buruk/sangat buruk, hasil ini hampir sama dengan jajak pendapat yang diselenggarakan Kompas dimana citra Polri merosot sampai 49,1% dibandingkan tahun 2009 (Kompas, 1 Juli 2010). Berbagai penilaian miring masyarakat terhadap kinerja Polri mulai dari aparat kepolisian yang gampang disuap untuk menyelesaikan suatu perkara, pungli pada polisi lalu lintas, pembinaan SDM yang belum transparan, birokrasi yang berbelit-belit, sampai pada penegakan hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil (hukum progresif) menjadi masalah yang dikeluhkan para responden survei. Hasil survei ini seolah mewakili kekecewaan masyarakat pada Polri terhadap proses penegakan hukum di Indonesia, selain mungkin hal yang sama dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kehakiman.
Masalah reformasi birokrasi juga menjadi sorotan terhadap Polri. Program Quick Wins yang dihimbau oleh Kapolri Jenderal Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri, ternyata tidak berlangsung dengan lancar. Hasil survei dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai tingkat integritas di lembaga sektor pada tahun 2009, mendudukkan Polri sebagai lembaga yang memiliki tingkat integritas terendah setelah Depperin (Kompas, 23 Desember 2009), dan untuk unit layanan terendah adalah pelayanan SIM (Harian SINDO, 23 Desember 2009). Hasil survei KPK ini menunjukkan bahwa masih ada peluang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Polri seiring dengan himbauan Kapolri mengenai reformasi birokrasi.

Momentum Reformasi (Total) Kepolisian

Masyarakat saat ini tengah rindu pada polisi yang mengemban tugas pokoknya sebagaimana diamanatkan dalam UU No.12 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yaitu memelihara ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Didalam pelaksanaan tugasnya, Polri pun menuntut peran serta masyarakat untuk turut membantu kinerja kepolisian dalam menegakkan tugas pokoknya tersebut (menerapkan konsep Polmas), sehingga wajar apabila masyarakat menuntut adanya timbal balik dari tuntutan Polri tersebut. Oleh sebab itu, kepolisian harus mengantisipasi kondisi tersebut dengan melakukan perubahan sikap, perilaku maupun kinerja jajarannya apalagi dengan diberikannya kewenangan penegakan hukum pada Polri, yang bisa saja memberikan energi positif maupun negatif pada pelaksanaannya di masyarakat (Pane, 2009: 74).
Kewenangan yang besar cenderung memberi peluang untuk dilakukan penyimpangan oleh aparatur pelaksananya, dimana penyimpangan ini dipengaruhi secara internal oleh terbatasnya sumberdaya dan sumberdana, budaya organisasi, pengawasan dan pengendalian yang lemah dari internal kepolisian itu sendiri, serta birokrasi patrimonial dan feodal. Sedangkan secara eksternal, situasi dan kondisi serta budaya masyarakat yang dilayani dan kondisi politik dan birokrasi pemerintah turut mempengaruhi penyimpangan di tubuh Polri (Mabes Polri: 3). Polisi yang bertugas hanya berlandaskan keinginan untuk dipuji atasan atau melakukan apa saja asal bapak atau ibu senang, tanpa memperdulikan tindakannya etis atau tidak etis turut mempengaruhi pencitraan terhadap organisasi kepolisian. Loyalitas yang hanya berlandaskan kepentingan di atas tanpa melihat ke bawah hanya akan melahirkan figur-figur polisi yang berorientasi pada kekayaan bukan pada integritas dan dedikasi (Chrysnanda, 2009: 48).
Siulan seorang mantan petinggi Polri terhadap kebobrokan institusinya merupakan suatu fenomena yang tidak boleh dianggap sebelah mata, meskipun beberapa orang berpolemik hal itu merupakan ”nyanyian orang yang sakit hati”, namun momentum ini merupakan bahan intropeksi bagi Polri untuk membenahi organisasinya secara menyeluruh (Rifai, 2010). Sebuah introspeksi secara jujur yang tercermin dari sikap, kinerja, dan perilaku semua anggotanya, terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (Wulan, 2010).
Reformasi Polri seharusnya bukan menjadi ajang coba-coba atau eksperimen pemikiran pejabat yang baru dilantik untuk menunjukkan eksistensi dan inovasinya, namun reformasi harus meletakkan dasar bagi perkembangan organisasi di masa depan. Reformasi Polri yang menekankan kepada aspek struktural, instrumental, dan kultural seharusnya memiliki strategi dan implementasi pencapaiannya, jangan berkutat pada pembongkaran (restrukturisasi) organisasi semata maupun instrumen pendukungnya saja, namun lebih kepada pembenahan kultur para pelakunya. Pembenahan kultur adalah bagaimana upaya Polri untuk mewujudkan secara kongkrit nilai-nilai dan paradigma kepolisian melalui perubahan perilaku personel Polri yang dilandasi kompetensi dan profesionalitas tugas pokok (Kadarmanta, 2007: 3).
Citra negatif yang ditunjukkan oleh perilaku polisi hanya akan membawa Polri kedalam wacana pengembalian fungsi kepolisian dibawah kementerian, sehingga cita-cita luhur Polri untuk bertindak secara independen dengan statusnya sekarang hanya akan menjadi ”bom waktu” bagi unsur-unsur diluar Polri yang tidak puas pada pencapaian kinerja Polri.

Polri, Pengabdianku Terbaik

Saat ini Polri dihadapkan pada situasi yang membuat masyarakat akan semakin kritis. Hampir setiap kebijakan dan tindakan kepolisian senantiasa menjadi sorotan publik. Bangsa ini juga semakin dilanda euforia reformasi, kondisi ini diperparah dengan munculnya konflik-konflik akibat potensi konflik vertikal dan horisontal yang timbul di permukaan. Ajang politik dijadikan mainan oleh pelaku-pelaku politik untuk menciptakan kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia. Tentunya menjadi beban tugas bagi Polri untuk mengendalikan itu semua, belum lagi dengan dihadapkannya pada persoalan-persoalan kejahatan berdimensi baru yang menggunakan teknologi tinggi seperti kejahatan dunia maya, kejahatan mass media, dll. Tentunya menjadikan suatu tantangan bagi Polri untuk bisa mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat di sela-sela keinginan masyarakat yang ingin hak nya sebagai warga negara tidak terganggu oleh ulah orang lain (kejahatan dan pelanggaran hukum). Suatu harapan dari masyarakat terhadap institusi Polri yang tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, suatu harapan yang secara tulus dikemukakan oleh masyarakat yang begitu mempercayai Polri untuk mewujudkan rasa aman dan tertib. Kepercayaan inilah yang sekarang terus dirintis oleh Polri, mulai dari perekrutan personel Polri yang mengikutsertakan unsur independen, intelectuality oriented bagi calon-calon pimpinan Polri (kedepankan assessment centre), pengembangan metode-metode yang lebih mengena pada masyarakat seperti Perpolisian masyarakat (Polmas), quick response, traffic police down to road (polantas turun ke jalan), dll. Semuanya dilakukan bermuara pada ungkapan ”mengedepankan pelayanan” Polri pada masyarakat. Masyarakat hanya mengharapkan timbulnya rasa aman dan adanya kepastian hukum, serta bersikap adil pada penegakan hukum (hukum progresif bukan hukum agresif). Disinilah terletak tantangan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat, karena Polri tidak mungkin berhasil menjalankan tugasnya tanpa dukungan masyarakat. Walaupun pada kenyataannya, masyarakat banyak yang mengeluhkan kinerja polisi di lapangan namun tidak bisa dipungkiri polisi akan tetap selalu dicari masyarakat untuk membantu menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat. Tinggal bagaimana Polri menyikapi hal tersebut dengan lebih mengedepankan pelayanan sebagai pengabdian yang terbaik.
Dirgahayu Polri ke-64.....Kami Siap Memberikan Pengabdian Terbaik Kepadamu!!!!

Referensi:

Chrysnanda. 2009. Menjadi Polisi yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.
Kadarmanta, A. 2007. Membangun Kultur Kepolisian. Jakarta: PT. Forum Media Utama.
Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah Sarasehan.
Pane, Neta S. 2009. Jangan Bosan Kritik Polisi. Jakarta: PT. Indonesia Satu.
Rifai, Amzulian. Saat Tepat Mereformasi Polri. SINDO, 28 April 2010.
Wulan, G. Ambar. Semangat Korps Polisi. Kompas, 8 April 2010.
”Saatnya Polisi Meraih Simpati”. Kompas, 29 Juni 2009.
”Polri, Becerminlah dari Keberhasilan”. Kompas, 1 Juli 2010.
”Depperin dan Polri Terendah; Gratifikasi di Atas Tarif, Nilai Integritas Terendah”. Kompas, 23 Desember 2009.
”Integritas Layanan SIM Terendah”. Koran SINDO, 23 Desember 2009.
Baca selengkapnya.....