Selasa, 08 Juni 2010

Peranan Media Massa dalam Kehidupan Sosial dan Politik Indonesia


I. PENDAHULUAN

Media massa mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Peran komunikasi sangat menentukan dalam penyampaian informasi maupun suatu kebijakan pemerintah. Sejalan dengan tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, maka metode komunikasi pun mengalami perkembangan yang pesat pula. Namun semua itu, mempunyai aksentuasi sama yakni komunikator menyampaikan pesan, ide, dan gagasan, kepada pihak lain (komunikan). Hanya model yang digunakannya berbeda-beda.
Bila dirinci secara lebih kongkrit, metode komunikasi dalam dunia kontemporer saat ini yang merupakan pengembangan dari komunikasi verbal dan non-verbal meliputi banyak bidang, antara lain jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, pameran/eksposisi, propaganda, dan publikasi. Berdasarkan metode dalam komunikasi seperti tersebut tadi, semakin jelas kiranya, bahwa propaganda menjadi salah satu metode dalam komunikasi.
Tentunya, karena propaganda menjadi bagian dari kegiatan komunikasi, maka metode, media, karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan) dan pola yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain. Oleh karena itu, unsur komunikasi secara umum juga berlaku bagi propaganda.
Menghadapi pemilu 2004, media massa memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting. Sebagai langkah awal perbaikan politik untuk mencapai keberhasilan pemerintahan yang demokratis, sangat ditentukan peran media massa dalam mempropagandakan pesan-pesan yang penuh harapan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan krisis multidimensional. Apabila pelaksanaan pemilu 2004 mendapat dukungan dari sebagian masyarakat maka akan berdampak pada jalannya pemerintahan selanjutnya.

II. PERAN MEDIA MASSA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Media massa dapat merubah gaya hidup atau budaya lokal setempat, dengan cara mempengaruhi (persuade) cara berfikir suatu kelompok atau kalangan masyarakat tertentu agar menyukai atau mengikuti suatu hal yang baru atau asing bagi mereka. Pengaruh dari media massa tersebut dapat berdampak positif maupun negatif dan dapat berwujud dalam suatu proses modernisasi ataupun westernisasi.
Menurut McQuail (2000: 102) bahwa, “the mass media are largely responsible for what we call either mass culture or popular culture, and they have ‘colonized’ other cultural forms in the process” (media massa bertanggung jawab atau mempunyai peran besar terhadap apa yang disebut kebudayaan massa atau budaya populer, dan dalam prosesnya media massa telah ‘menjajah’ bentuk budaya lain). Dengan demikian media massa dapat mensosialisasikan dan menanamkan budaya populer negara Barat di negara Asia, contohnya: berbagai produk ataupun gaya hidup Barat dengan mudahnya diterima oleh masyarakat Asia seperti minuman kaleng Coca Cola, makanan cepat saji (seperti: McDonald’s, KFC, Pizza Hut), celana jeans, musik dan para penyanyi Barat (seperti: Madonna, Justin Timberlake, atau Rihanna). Melalui televisi dan majalah, penyebarluasan budaya atau gaya hidup yang berlaku di negara Barat dilakukan dengan cara yang sangat menarik di negara-negara Asia. Ditayangkannya berbagai film barat yang mengangkat gaya hidup Barat yang bebas dan individualis mampu merubah kelakuan (attitude) dan perilaku (behavior) masyarakat timur di negara-negara Asia, khususnya para remaja.
Bisa dikatakan, sebagian besar remaja Asia juga menganggap bahwa kebudayaan asing seperti mengkonsumsi produk Barat atau mengikuti gaya hidup masyarakat barat adalah sesuatu yang modern dan dapat menambah wawasan mereka. Saat ini, gaya hidup masyarakat di Indonesia pun menunjukkan suatu transisi, karena kebudayaan Timur yang berlaku telah “terjajah” oleh kebudayaan asing yang dianggap lebih modern, praktis dan bebas. Hal ini tentunya memberikan dampak negatif bagi perkembangan budaya lokal setempat (budaya timur) yang seharusnya dilestarikan dan diterapkan oleh remaja Indonesia pada umumnya. Dari cara berpakai, ragamnya restoran franchise asing, selera musik hingga cara berbahasa di Indonesia sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat. Sangatlah jelas bahwa proses ini termasuk dalam unsur westernisasi.
Di lain hal, media massa pun mempunyai dampak yang positif apabila arahnya menuju proses modernisasi, misalnya: sosialisasi gaya hidup yang positif dan modern yang tidak menimbulkan pengikisan budaya lokal setempat. Dalam kehidupan sehari-hari, contoh kongkritnya ialah fungsi media dalam menginformasikan ilmu pengetahuan, inovasi pendidikan maupun teknologi terbaru. Perusahaan asing dunia yang bergerak pada bidang teknologi (misalnya: komputer, peralatan rumah tangga dan kendaraan) menggunakan media massa untuk memperkenalkan inovasi terbaru dari produk mereka, baik berbentuk iklan komersil ataupun liputan berita. Secara tidak langsung, informasi yang ditayangkan memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat luas dan mampu membuat masyarakat luas untuk segera menggunakan barang-barang tersebut. Masyarakat yang dulunya membersihkan lantai rumah dengan cara menyapu, sekarang sudah dapat menggunakan vacuum cleaner. Teknologi komunikasi pun semakin marak dengan adanya iklan-iklan televisi maupun majalah yang menampilkan perkembangan inovasi yang dimiliki produk-produk telepon genggam ataupun internet. Dengan mudahnya masyarakat terpengaruh oleh media massa untuk menggunakan produk-produk terbaru demi untuk mengikuti perkembangan teknologi yang semakin hari semakin cepat.

III. MEDIA MASSA SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM POLITIK

Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa begitu besarnya peran media massa dalam kehidupan masyarakat, yang mampu mempengaruhi dan merubah cara berpikir suatu kelompok masyarakat. Kekuatan media massa ini juga digunakan oleh pemerintah maupun suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu pemerintahan untuk mempengaruhi opini publik. Dalam dunia politik pun media massa digunakan sebagai alat penyampaian informasi dan pesan yang sangat efektif dan efisien.
Sebagaimana juga dijelaskan oleh Lasswell (1972), bahwa “the study of politics is the study of influence and the influential” (ilmu tentang politk adalah ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh).
Tampilan media massa akan mengemban beberapa fungsi yang menggambarkan kedemokrasian dalam pemberitaannya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.
Menurut Gurevitch dan Blumer (1990:270) fungsi-fungsi media massa adalah:
1. Sebagai pengamat lingkungan dari kondisi sosial politik yang ada.
Media massa berfungsi sebagai alat kontrol sosial politik yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial itu sendiri, yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta, maupun oleh pihak masyarakat. Contoh penyimpangan-penyimpangan seperti praktik KKN oleh pemerintah, penjualan pasir ke Singapura yang mengakibatkan tujuh pulau hilang dan tenggelam (suatu kerugian yang lebih besar dari sekadar perebutan pulau Sipadan dan Ligitan), perilaku masyarakat yang tidak tertib hukum/anarkis, polemik Susno-Polri, dan lain-lain. Berbagai permasalahan sosial tersebut akan membuka mata kita bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
2. Sebagai pembentuk agenda (agenda setting) yang penting dalam isi pemberitaannya.
Pembentukan opini dengan cara pembentukan agenda atau pengkondisian politik sehingga masyarakat terpengaruh untuk mengikuti dan mendukung rencana-rencana pemerintah. Contohnya: wacana pembatasan subsidi BBM untuk sepeda motor, SKPP Bibit-Candra, dan lain-lain.
3. Media massa merupakan platform (batasan) dari mereka yang punya advokasi dengan bukti-bukti yang jelas bagi para politisi, jurubicara, dan kelompok kepentingan.
Ada pembagian lain dari komunikator politik, yaitu yang disebut dengan komunikator profesional (Carey, 1969). Pembagian ini muncul karena kemajuan-kemajuan dalam dunia teknologi komunikasi. Sehingga ada batasan/pembagian tugas dan peranan penyampaian pesan politik.
4. Media massa mampu menjadi tempat berdialog tentang perbedaan pandangan yang ada dalam masyarakat atau diantara pemegang kekuasaan (yang sekarang maupun yang akan datang).
Media massa sebagai sarana untuk menampung berbagai pendapat, pandangan, dan paradigma dari masyarakat yang ingin ikut andil dalam membangun sistem politik yang lebih baik.
5. Media massa merupakan bagian dari mekanisme penguasa untuk mempertahankan kedudukannya melalui keterangan-keterangan yang diungkapkan dalam media massa.
Hal ini kerap terjadi pada masa Orba, ketika masa Presiden Soeharto berkuasa yang selalu menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dengan maksud agar masyarakat mengetahui bahwa pemerintahan tersebut harus dipertahankan apabila ingin mengalami kemajuan yang berkesinambungan.
6. Media massa bisa merupakan insentif untuk publik tentang bagaimana belajar, memilih, dan menjadi terlibat daripada ikut campur dalam proses politik.
Keikutsertaan masyarakat dalam menentukan kebijakan politik bisa disampaikan melalui media massa dengan partisipasi dalam poling jajak pendapat dan dialog interaktif. Hasil dari poling atau jajak pendapat tersebut akan merefleksikan arah kebijakan para politisi.
Seperti hasil poling akhir-akhir ini dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat pemilih pada pemilu 2009, mengharapkan pemerintah hasil Pemilu dapat memprioritaskan perbaikan ekonomi. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang memilih untuk prioritas pemberantasan korupsi. Hal ini yang menjadi kekhawatiran para aktivis anti korupsi bahwa hasil itu akan mempengatuhi arah kebijakan pemerintah sebagai kecenderungan sebagian besar kelompok masyarakat.
7. Media massa bisa menjadi penentang utama terhadap semua upaya dari kekuatan-kekuatan yang datang dari luar media massa dan menyusup ke dalam kebebasannya,integritasnya, dan kemampuannya di dalam melayani masyarakat.
Fakta-fakta kebenaran yang diungkapkan oleh media massa dapat menyadarkan masyarakat tentang adanya kekuatan-kekuatan berupa terorisme atau premanisme, maupun intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang mencoba mengkaburkan suatu permasalahan.
8. Media massa punya rasa hormat kepada anggota khalayak masyarakat, sebagai kelompok yang punya potensi untuk peduli dan membuat sesuatu menjadi masuk akal dari lingkungan politiknya.
Adanya kecenderungan dalam menilai para politisi, komunikator politik, aktivis adalah sebagai pihak yang selalu bicara dengan publik. Oleh karena itu Bryce (1900) menyatakan bahwa khalayak komunikasi (khususnya dalam komunikasi politik) pada umumnya akan terpusat pada masalah opini publik.
Dari gambaran di atas mengenai fungsi media massa dalam kaitannya sebagai alat politik, maka semakin jelas bahwa peran media massa sangat besar dalam kekuasaan pemerintahan. Pendapat ini juga dipertegas dengan pernyataan Harold Lasswell, bahwa Politik tidak bisa dipisahkan dari pengertian kekuasaan dan manipulasi yang dilakukan oleh para elit penguasa atau counter elite.

IV. FUNGSI MEDIA MASSA KOMUNIKASI DI INDONESIA

Pelaksanaan komunikasi politik di Indonesia tentu tidak terlepas dari kebebasan pers. Di era keterbukaan yang dikenal dengan istilah masa global, peranan pers sebagai sarana komunikasi politik di Indonesia sangat penting untuk menyalurkan berbagai kebijakan kepada masyarakat, baik yang datang dari atas maupun bawah.
Setelah berakhirnya Rezim Soeharto, pada tanggal 21 Mei 1998, akibat gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi, maka semasa pemerintahan Presiden B.J Habibie cengkeraman pemerintah terhadap pers dihapuskan. Namun kebebasan pers digunakan secara berlebihan sehingga orang mulai bicara tentang kebablasan pers. Meskipun dari pihak penguasa berkurang intervensinya, kelompok-kelompok penekan timbul dalam masyarakat yang bertindak anarkis terhadap pers.
Selama kebebasan pers dapat dipertahankan, kemungkinan lebih besar dalam abad informasi ini bagi pesatnya perkembangan pers Indonesia dan menjelma sebagai the fourth estate di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai frekuensi tidak hanya terhadap dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem komunikasi politik di Indonesia dikembangkan dengan dasar komunikasi yang bebas dan bertanggung jawab. Setiap media massa bebas memberitakan suatu hal selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, tidak membahayakan kepentingan negara dan masyarakat. Di samping itu media massa juga berfungsi menyuarakan suara pembangunan dan program-program kerja pemerintah, menyuarakan ide-ide politik, membina tumbuhnya kebudayaan politik kemudian memelihara dan mewariskannya pada generasi pelanjut.
Namun peran media massa bagi kepentinagan sosialisasi pemilu 2004 belum maksimal. Hal ini terungkap dalam hasil pelaksanaan simulasi pemilihan umum yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat Centro, bahwa 40% hasil suara dari masyarakat yang melakukan pemilihan simulasi tersebut dinyatakan tidak sah. Dengan demikian tata cara pemilu 2004 yang akan datang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Permasalahan ini mungkin akibat para elite politik masih terkonsentrasi dengan penyusunan caleg dan perekrutan masa.
Pemerintah seharusnya dapat melakukan pensosialisasian ini. Demikian juga pemilu 2004 belum disosialisasikan bagi kalangan tuna netra. Padahal kalangan ini tetap memiliki hak untuk menentukan proses politik.

V. KESIMPULAN

Sistem komunikasi Pemerintah, belum mempunyai strategi sistem komunikasi untuk memberdayakan masyarakat. Seharusnya ada sistem komunikasi nasional, sehingga dapatlah dibicarakan subsistem media cetak dan siaran. Pemerintah harus membekali para wartawan agar berita-berita yang ditampilkan dapat menggambarkan situasi demokrasi yang faktual dan mengajak masyarakat Indonesia untuk ikut serta dalam membangun sistem poltik Indonesia yang lebih baik.
Media massa di Indonesia diharapkan juga dapat mendidik masyarakat agar lebih memahami ilmu politik praktis dan perkembangan situasi politik nasional yang sebenarnya, dan media massa harus mampu menampilkan pemberitaan secara adil (fairness) dan faktual (factual/accurate) walaupun menganut azas kebebasan pers. Sistem dan dinamika media massa di suatu negara pun dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai sistem demokrasi yang dianut oleh negara tersebut.
Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat me-manage seluruh media massa sebagai alat untuk pembangunan politik, sesuai dengan harapan seluruh masyarakat. Jadi berita yang ditampilkan tidak selalu memojokkan pemerintahan yang berkuasa dan cenderung sekadar menjatuhkan, tetapi seharusnya menjadi sarana kritik yang konstruktif dan objektif bagi kelangsungan pembangunan yang demokratis.


DAFTAR PUSTAKA

Johanes, Richard L. 1996. Ethics in Human Communication (Third Edition), Etika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Macnmara, Jim. 1999. How to Handle The Media, Strategi Jitu Menjinakkan Media, Ada Saatnya Media Perlu Dihadapi. Jakarta: Mitra Media Publisher.
McQuail, Dennis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition. New Delhi: SAGE publications Ltd.
Rachmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Gramedia.
Rice, E. Ronald, William J.Paisley (ed). 1982. Public Communication Campaigns. London: Sage Publications.
Baca selengkapnya.....

Strategi Meningkatkan Pembinaan SDM Guna Memantapkan Profesionalisme Polri

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang


Posisi polisi ditengah dinamika masyarakat yang kompleks dihadapkan pada berbagai tantangan substansial yang tidak dapat dielakkan. Suatu negara yang ingin menjadi maju dan modern harus memiliki kehidupan masyarakat yang tertib. Kehidupan yang tertib ini merupakan cerminan dari terselenggaranya keadilan melalui penegakan hukum. Sebagai alat negara, polisi menjadi pengawal dan penegak peraturan dan hukum, dimana posisinya yang berhadapan langsung dengan masyarakat membuat polisi membawa tanggungjawab moral dan kebenaran pada aspek penegakan hukum, dalam artian polisi berada pada pihak yang netral, tidak pilih kasih, dan profesional dalam menegakkan hukum. Jadi jelaslah mengapa polisi disini memegang peranan yang teramat penting dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan modern.
Terlebih dalam era reformasi ini, masyarakat menuntut pemerintahan yang demokratis dengan terwujudnya supremasi sipil yaitu aparatur pemerintahan berada diatas kepentingan rakyat dan tidak memanfaatkan kewenangannya untuk menyengsarakan rakyat. Perubahan mendesak dan segera yang dihadapi oleh polisi ini, membuat polisi harus menjadi ”ujung tombak” dan ”korban” dari perubahan tersebut. Hal ini senada yang disampaikan oleh Toffler (1990) dan Tafoya (1989) bahwa perubahan itu pasti akan datang untuk menggantikan berbagai ketidakpastian dan benturan-benturan yang ada dalam berbagai bidang kehidupan maupun dampak dari pembangunan nasional. Tatanan dan praktek yang lama, tidak begitu saja digantikan dengan yang baru. Hal ini yang menyebabkan bahwa masyarakat mengalami transisi, dan untuk mengawal masa transisi itulah polisi menjadi baris paling depan untuk mengawalnya (Rahardjo, 2002: 18).
Oleh sebab itu, dalam mengawal kehidupan masyarakat ke arah kehidupan demokratis maka dituntut profil polisi yang profesional, yang mampu menjalankan fungsi dan tugas pokoknya dalam memberikan pelayanan keamanan yang bertujuan melindungi harkat dan martabat manusia sehingga dapat menjalankan produktifitasnya dengan aman.
Akhir-akhir ini Polri didera berbagai permasalahan yang menyangkut profesionalismenya sebagai alat penegak hukum dan pemelihara kamtibmas. Berbagai masalah yang timbul ini sedikit banyak dipengaruhi oleh dampak negatif pembangunan itu sendiri, antara lain:
a. Menonjolnya pola hidup konsumtif.
b. menonjolnya sifat individualistis.
c. Menipisnya/melemahnya mental spiritual.
d. Menurunnya disiplin nasional.
e. Masih melebarnya kesenjangan sosial.
f. Meningkatnya masalah lingkungan hidup.
Tafoya menganalogikan permasalahan diatas sebagai ”destructive and long-lasting civil unrest and perceived social injustice” (Rahardjo, 2002: 13). Hal ini semakin mempertanyakan kredibilitas Polri sebagai aparat penegak hukum, apakah komitmen dan integritas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat hanya sebatas lip service belaka ataukah memang sudah tidak ada lagi sumberdaya manusia Polri yang memegang komitmen tersebut?
Berbagai kasus yang terjadi apakah itu penembakan atasan oleh bawahan akibat masalah mutasi, pembatalan mutasi sejumlah perwira menengah Polri, konspirasi jahat demi mendapatkan pangkat dan jabatan, pemberian reward yang hanya memenuhi euforia pimpinan, rekayasa kasus, atau fenomena “whistle blower” oleh pejabat tinggi Polri seolah menambah daftar panjang permasalahan Polri diluar berbagai keluhan-keluhan masyarakat atas buruknya kinerja dan perilaku personel Polri antara lain menyangkut pemerasan, pungli, intimidasi, diskriminasi, penganiayaan, dan sebagainya (Muradi, 2009: 299). Pencitraan Polri yang negatif ini seolah-olah menutupi beberapa pencapaian fenomenal Polri dalam hal pemberantasan terorisme, narkoba, maupun illegal logging.
Reformasi Polri akhirnya dianggap ideal dalam konsep saja, namun pada pelaksanaannya tidak ada perubahan. Kalau menurut Prof. Awaludin Djamin, konsep perubahan paradigma Polri penuh dengan ”bahasa dewa-dewa”, hanya manis di tulisan namun pahit pada kenyataan. Perubahan dalam aspek struktural dan instrumental sudah berulang kali dibahas dalam segala rapat, apakah itu sifatnya rakor atau rapim. Berbagai regulasi pun sudah berulang kali disampaikan, namun tak kunjung membuat aspek kultural ikut berubah. Masalah kultur sudah menjadi suatu kebiasaan, perilaku sehari-hari polisi sudah menyangkut mentalitasnya dalam bertindak atau bekerja (Chrysnanda, 2009; 151).
Oleh sebab itu SDM memiliki peran penting sebagai dasar atas keberhasilan Polri dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Terwujudnya perubahan aspek kultural dimulai dari bagaimana Polri itu sendiri membangun sistem SDM secara terpadu dan berkesinambungan, serta bukan hanya menuntut aparatur pelaksananya bekerja secara profesional namun para penentu strategi kebijakan SDM Polri pun harus bertindak diatas dasar profesionalisme yang objektif mengesampingkan hal-hal yang bersifat subjektif.
Jika Polri mampu melaksanakan MSDM dengan baik, diharapkan perubahan kultur menuju polisi yang profesional, modern, bermoral dan patuh hukum sebagai perwujudan polisi sipil dalam masyarakat yang demokratis dapat terwujud. Cara-cara menunjukkan jatidiri pada pimpinan dengan perilaku tidak etis seperti pola 3S (sowan, sungkem, setor) dapat digantikan dengan berlomba-lomba menciptakan inovasi pelayanan pada masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang bisa menilai polisi tersebut cukup kompeten untuk menduduki jabatan tertentu tanpa harus menyakiti hati rakyat dengan cara-cara yang kurang terpuji.

2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka diajukan permasalahan pokok sebagai berikut: ”Bagaimanakah strategi meningkatkan pembinaan SDM guna memantapkan profesionalisme Polri?”

3. Pokok-Pokok Permasalahan

Berdasarkan permasalahan pokok tersebut, maka dapat disusun beberapa persoalan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kondisi pembinaan SDM Polri saat ini?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi?
c. Bagaimana kondisi pembinaan SDM Polri yang diharapkan?
d. Bagaimana strategi pembinaan SDM guna memantapkan profesionalisme Polri?

4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan makalah ini dibatasi pada pola-pola pembinaan SDM yang berkualitas dikaitkan dengan pemantapan profesionalisme Polri, yang dikaji melalui analisis SWOT untuk menentukan strategi jangka pendek, jangka sedang, dan jangka panjang.

5. Metode dan Pendekatan

a. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara melakukan penggambaran yang menjelaskan tentang strategi pembinaan SDM Polri yang terjadi saat ini dan selanjutnya menguraikan langkah-langkah yang diambil guna menghadapi tantangan tugas yang semakin kompleks dalam rangka memantapkan profesionalisme.

b. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan empiris praktis berdasarkan pengalaman penugasan penulis dan beberapa kajian kepustakaan mengenai pola pembinaan SDM.

6. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
III. KONDISI SAAT INI
IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
V. KONDISI YANG DIHARAPKAN
VI. STRATEGI PEMBINAAN SDM DALAM MEMANTAPKAN PROFESIONALISME POLRI
VII. PENUTUP


II. LANDASAN KONSEPTUAL

1. Analisis SWOT


Dalam merancang MSDM yang baik, tidak ada salahnya kita memakai analisis SWOT sebagai data untuk menelaah lebih jauh kualitas dan kuantitas SDM yang dipunyai oleh suatu organisasi. Analisis SWOT adalah salah satu langkah yang paling penting dalam memformulasi strategi. Dengan menggunakan misi organisasi sebagai konteks, manajer mengukur kekuatan dan kelemahan internal (kompetensi unggulan), demikian juga dengan kesempatan dan ancaman eksternal. Tujuannya adalah untuk mengembangkan strategi yang baik dalam mengeksploitasi kesempatan dan kekuatan, menetralisir ancaman, dan menghindari kelemahan (Griffin, 2004: 229). Tujuan utama SWOT adalah untuk mengungkapkan kompetensi unggulan dari suatu organisasi, sehingga organisasi tersebut dapat memilih dan mengimplementasikan strategi yang mengekploitasi kekuatan organisasionalnya yang unik.
MSDM yang strategis didefinisikan sebagai adanya keterkaitan antara SDM dengan tujuan dan sasaran strategis untuk meningkatkan kinerja bisnis dan mengembangkan budaya organisasi yang mendorong inovasi dan fleksibilitas untuk memampukan organisasi dalam mencapai tujuannya. Definisi ini mengatakan bahwa Departemen SDM harus menjadi mitra strategis, dimana Departemen SDM tidak hanya sekedar pemadam kebakaran sebagaimana disebutkan diatas atau pendukung, akan tetapi harus terlibat dalam perumusan strategi (Hariandja, 2002: 13).
Analisis SWOT diawali dengan melakukan review pernyataan visi dan misi, yang dilanjutkan dengan review terhadap tujuan, sasaran, strategi, rencana, dan kebijakan yang ada. Analisis SWOT dalam SDM juga harus memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan organisasi. Untuk lingkungan Polri, faktor internal bisa dilihat dari korelasi antara SDM dengan fungsi-fungsi terkait di Polri lainnya seperti logistik, pengawasan dan pengendalian, sistem dan metode, serta kepemimpinan. Kemudian faktor eksternal yang barus diperhatikan yaitu aspek instrumental dan kebudayaan lokal yang turut mempengaruhi profesionalisme Polri.
Setelah dilakukan review terhadap situasi saat ini dan masa lalu, mulailah dilakukan analisis. Melalui analisis ini, data-data dikumpulkan guna menjawab pertanyaan mengenai kondisi organisasi saat ini dan di masa depan (strengths, weakness) serta prediksi mengenai kegiatan yang dimasuki (opportunities, threats). Berdasarkan analisis SWOT, rekomendasi dibuat guna menentukan strategi alternatif yang terbaik bagi organisasi.

2. Manajemen SDM

Dorongan manusia untuk hidup dan mengaktualisasi diri tidak dapat dilakukan hanya seorang diri, hal tersebut membuat individu memiliki kehendak untuk bergabung dengan individu yang lain. Secara generalisasi keinginan manusia tersebut untuk bergabung memiliki motif dan tujuan yang sama, namun pencapaian tujuan masing-masing individu tidak sedikit problematika kehidupan akan mereka hadapi (Djamin, 1995: 2). Individu-individu yang tergabung dalam suatu wadah mempunyai tujuan yang ingin dicapai, oleh sebab itu ada beberapa keahlian yang dipakai untuk dapat mewujudkan misi dari wadah tersebut, keahlian ini dimiliki oleh individu-individu yang memiliki kecakapan dan kompetensi, sedangkan individu yang tidak memilikinya hanya dimanfaatkan untuk beberapa bidang pekerjaan saja. Pengelolaan orang-orang dan aktifitas inilah yang dinamakan sebagai manajemen.
Salah satu rumpun ilmu manajemen adalah manajemen sumberdaya manusia (MSDM) yang mengkhususkan diri pada hal-hal yang berkaitan dengan faktor produksi manusia dengan segala aktifitasnya sehingga individu tersebut dapat efisien dan efektif. beberapa pakar memberi batasan mengenai MSDM tersebut, seperti disampaikan oleh Flippo (1976) “is the planning, organizing, directing and controlling, of procurement, development, compensation, integration, and maintenance, of peoples for the purpose of contributing to organizational, individual and societal goals” (perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dari pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian dan pemeliharaan tenaga kerja dengan maksud untuk membantu pencapaian tujuan organisasi, individu, dan masyarakat) (Hejdrachman & Husnan, 1990: 5).
Kemudian Simamora mengemukakan bahwa MSDM adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok karyawan. MSDM juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karir, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan, dan hubungan ketenagakerjaan yang baik (Simamora, 2004: 5).
Dari batasan yang dikemukakan diatas, maka MSDM didefinisikan sebagai ilmu dan seni dalam melaksanakan fungsi pokok manajemen dan implementasi fungsi operasional dalam bidang SDM dalam suatu organisasi agar tercapai efisiensi, efektivitas personel dan profesionalisme yang optimal (Djamin, 1995: 11). Fungsi pokok MSDM adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengendalian. Sedangkan fungsi operasional MSDM adalah analisis pekerjaan, rekrutmen, seleksi, penempatan, orientasi, kompensasi, diklat, penilaian kerja, mutasi/promosi, supervisi, pengakhiran kerja dan kepemimpinan.

3. Profesionalisme Polisi

Profesionalisme merupakan kualitas dan perilaku yang merupakan ciri khas orang yang berkualitas dan profesional. Profesionalisme polisi adalah sikap, cara berpikir, tindakan, dan perilaku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian, yang diabdikan pada kemanusian atau melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya supremasi hukum.
Untuk mengukur profesionalisme menurut Sullivan dapat dilihat dari 3 (tiga) parameter yaitu motivasi, pendidikan, dan penghasilan. Untuk memperoleh aparat penegak hukum yang berkualitas maka harus memenuhi Well MES, yaitu: Pertama, well motivation, harus dilihat motivasi polisi dalam mengabdikan diri pada masyarakat. Dari awal rekrutmennya, seorang calon polisi harus mempunyai cita-cita luhur untuk mencurahkan fisik dan mentalnya hanya untuk masyarakat, bukan motivasi karena faktor-faktor yang lainnya sehingga mempengaruhi interaksinya dengan masyarakat. Kedua, well education, polisi harusnya memiliki standar pendidikan tertentu. Pendidikan dasar kepolisian tidak harus diikuti peserta didik yang memiliki strata tinggi namun lemah dalam mental, akan tetapi standar kurikulum yang harus disusun secara berjenjang sesuai dengan pola kependidikan yang ada dalam Polri. Ketiga, well salary patut mendapat perhatian dari Pimpinan Polri. Gaji polisi tidak seimbang dengan kinerja yang harus dituntut lebih oleh masyarakat akan mempengaruhi perilaku mereka di lapangan, kecilnya penghasilan ditambah dengan penerapan pola hidup yang tidak dimanage dengan baik akan membuat polisi menggunakan kewenangannya untuk melakukan diskresi yang tidak bertanggungjawab (Rahardi, 2007: 207).

III. KONDISI PEMBINAAN SDM POLRI SAAT INI

Sebagai suatu lembaga, Polri harus didukung oleh SDM yang memiliki kompetensi. Salah satu misi Polri adalah mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuannya yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Misi ini menjadi dasar dari upaya pembinaan SDM Polri. Dengan adanya misi yang menyentuh aspek sumber daya manusia, maka sesungguhnya Polri telah berupaya untuk berkomitmen terhadap kualitas kompetensi yang baik bagi para anggotanya. Pengembangan kemampuan, kekuatan, dan penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri.
Pencapaian tujuan organisasi yang baik tercermin dari peningkatan kontribusi yang dihasilkan oleh SDM-nya. SDM yang dihasilkan dari rekrutmen yang baik, tentu akan menghasilkan pegawai yang baik pula. Begitu pula dengan pegawai yang telah bekerja secara profesional, tentu mengharapkan peningkatan status pekerjaannya sebagai bukti penghargaan instansi/perusahaan atas kinerjanya selama ini berupa mutasi dan promosi jabatan (Siagian 2007: 27). Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa pembinaan SDM Polri selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan.
Terlebih semakin mengemukanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pelaksana, sampai lemahnya pengawasan terhadap proses pembinaan SDM itu sendiri dikarenakan bertemunya berbagai kepentingan-kepentingan antara atasan maupun bawahan. Penyimpangan ini bisa saja terjadi karena adanya motivasi dan kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan untuk melakukan penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 11).
Karena melibatkan atasan dan bawahan, maka akan terjadi penyimpangan manajerial yang dapat mempengaruhi pengaruh eksternal dan internal Polri. Dampak internal adalah akan mempengaruhi kinerja organisasi serta menimbulkan citra buruk kepolisian di mata masyarakat, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya masyarakat yang dirugikan akibat penyimpangan tersebut.
Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh Pimpinan Polri untuk mengeliminir analogi tersebut, seperti upaya Kapolri Jenderal Pol. Drs.Bambang H.Danuri melalui program Quick Wins-nya dalam bidang pembinaan SDM-nya, namun pada kenyataannya masih saja terjadi penyimpangan sistem pembinaan SDM baik di tingkat pusat maupun daerah. Konsep Electronic Recruitment System, Sistem Transparansi Penilaian dalam Proses Pendidikan, dan Assessment Center sebagai sarana mewujudkan transparansi dan objektifitas dalam seleksi dan penilaian kinerja personel belum dimanfaatkan secara proporsional oleh penyelenggara MSDM. Kembali lagi sistem pembinaan SDM ke pola-pola lama, ibarat kata ”paradigma baru, kultur lama”.
Ada anggapan yang tidak mengenakkan saya mengenai pembinaan SDM Polri saat ini, bahwa SDM Polri menjadi sosok yang paling menakutkan alih-alih membina dan menyejukkan para personelnya. Orang Personel dimanapun sering mengungkapkan ”kami tidak bisa membantu banyak, tapi kami bisa menjatuhkan”. Sehingga banyak yang berupaya untuk memberikan ”bakti” sebagai bentuk loyalitas/kesetiaan/utang budi, sehingga yang seharusnya berfungsi membina justru menikmati semacam jeruk makan jeruk (Mabes Polri: 12).
Beberapa kondisi pembinaan SDM yang ada sekarang ini antara lain:

1. Pola Rekrutmen:

a. Masih adanya praktik KKN yang mewarnai sistem penerimaan. Walaupun telah komputerisasi, namun saat peserta melaksanakan seleksi (kesehatan, jasmani, psikologi, parade) masih menggunakan sistem manual jadi ada kemungkinan “sponsorship” memainkan perannya disitu untuk menaikkan nilai calon siswa.
b. Belum terakomodirnya putra daerah untuk menjadi polisi sehingga konsep ”local boy for local job” belum terpenuhi secara optimal.
c. Masih dipermasalahkannya domisili memiliki dampak diskriminatif terhadap putra bangsa yang tidak tergolong ”putra daerah” terutama dikaitkan dengan keterbatasan SDM lokal untuk pemenuhan kuota.
d. Pendanaan. Walaupun selalu disampaikan bahwa Polri kekurangan personel untuk meng-cover seluruh wilayah hukum Indonesia, namun Polri malah mengurangi kuota tiap-tiap pendidikan Polri. Berkurangnya peserta didik, menimbulkan permasalahan penempatan lanjutan untuk mengantisipasi kekurangan personel yang ada. Penyalahgunaan sistem kuota dan hak prerogatif Pimpinan menimbulkan penyimpangan manajerial, hal ini dapat dilihat dari penumpukan personel pada suatu daerah yang “basah” dan kurangnya personel di daerah yang dikategorikan “kering”.
e. Tenggat waktu yang relatif sebentar membuat pengumuman rekrutmen kurang menjangkau daerah pelosok, sehingga kuota diapers tidak sesuai dengan target.

2. Pendidikan:

a. Hak prerogatif yang diberikan kepada Kasatker/wil memungkinkan terjadinya KKN dalam penentuan kelulusan.
b. Belum ada kesinambungan antara masing-masing jenjang pendidikan Polri (Akpol/ PPSS, PTIK, Selapa, Sespim dan Sespati).
c. Pola pendidikan pembentukan Bintara yang relatif sebentar, sehingga belum mampu menginternalisasi nilai-nilai kejuangan dan profesionalisme Polri.
d. Ambiguitas pendidikan pada level akademi menyangkut regulasi, peserta didik, kurikulum, dan pemberian kepangkatan yang berpengaruh pada hubungan antarpersonal (adanya Akpol SMA dan Akpol Sarjana, kurikulum yang berbeda padahal sama-sama menjalani pendidikan pembentukan, serta masa dinas efektif selama menjalani pendidikan).
e. Motivasi pendidik dan pengasuh bukan untuk mewujudkan center of excellence, tapi lebih kepada pemanfaatan peserta didik untuk kepentingan pribadi atas nama lembaga pendidikan.
f. Belum dihargainya produk-produk lembaga pendidikan Polri untuk pembenahan organisasi maupun kultur.
g. Tidak mengedepankan kualitas calon peserta didik (prinsip senioritas yang tidak memperhatikan mutu, seleksi hanya sebagai formalitas).

3. Pembinaan karier:

a. Sistem kedekatan personal (angkatan, kesukuan, suka atau tidak suka).
b. Menempatkan personel tidak pada kualifikasinya (the right man on the wrong place, the wrong man on the right place).
c. Sikap pejabat yang ambivalen terhadap figur polisi yang reformis, khawatir pada berkurangnya distribusi/partisipasi kepada pejabat yang bersangkutan.
d. Masih belum optimalnya rotasi dalam penempatan personel (ada personel yang selama hidupnya tidak pindah-pindah dari satu daerah/jadi tanaman keras).
e. Inkonsistensi reward dan punishment, menyebabkan dosa tak berampun jasa tak terhimpun.
f. Tidak memotivasi personel yang bermasalah (tidak memberikan konseling, tidak memberikan jabatan/pekerjaan, menghambat karier).
g. Penempatan personel berdasarkan faktor kedekatan dengan lingkungan eksternal Polri (pengusaha, parpol, DPR/D, tokoh masyarakat, incumbent).

4. Perawatan personel:

a. Reward terhadap anggota berdasarkan euforia pimpinan saja, tidak memperhatikan aspek legal (pemberian KPLB untuk misi kepolisian yang tidak jelas apakah itu sebagai prestasi atau tugas rutin).
b. Birokrasi yang red tape (berbelit-belit) pada personel yang akan mengurus hak-haknya (klaim asuransi, santunan, tabungan, tanda jasa).
c. Tidak memperhatikan pelayanan kesehatan pada personel yang sakit parah (rujukan, perobatan, santunan).
d. Kurang informatif terhadap hak-hak personel, personel harus jemput bola (gaji berkala, pendidikan, jenjang karier, pangkat).

5. Pengakhiran personel:

a. Pengurusan pensiun yang berbelit-belit.
b. Pelayanan yang diskriminatif (perbedaan perlakuan antara pensiunan Pamen dengan bintara).
c. Kurang memberikan pelatihan kerja informal untuk persiapan jelang MPP (Masa Persiapan Pensiun), sehingga tak jarang MPP dianalogikan sebagai ”Mati Pelan-Pelan”.

IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Berdasarkan identifikasi situasi internal dan eksternal yang telah menghasilkan gambaran pembinaan SDM Polri saat ini pada aspek personel, sarpras, anggaran, sistem dan metode, pengawasan dan pengendalian, serta kepemimpinan dan kondisi eksternal sosial budaya berupa aspek instrumental dan kebudayaan lokal, maka selanjutnya dilakukan diagnosa kinerja dengan menggunakan analisa SWOT yang bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan internal yang diarahkan pada penilaian kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang ada dan yang akan ada, serta lingkungan eksternal yaitu peluang (opportunity) dan ancaman (threats) yang ada dan yang mungkin ada terhadap dinamika organisasi. Penjelasan terhadap kedua lingkungan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor Internal

Dalam analisai lingkungan internal akan dinilai berbagai kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Sasaran analisa yang menjadi titik perhatian saya ada enam variabel yaitu SDM, logistik, anggaran, sistem dan metode, pengawasan dan pengendalian, dan kepemimpinan.

a. Kekuatan (strength)

Ada beberapa hal yang merupakan sumber kekuatan yang dapat dimanfaatkan oleh Polri dalam mengantisipasi permasalahan SDM, antara lain:
1) Tersedianya pedoman kerja dan juklak/juknis pembinaan SDM Polri.
2) Tersedianya kesempatan untuk meningkatkan dan mengembangkan profesionalisme SDM melalui kerjasama pendidikan, beasiswa, kursus singkat di luar negeri, dikjur, dan lain-lain.
3) Adanya komitmen internal Polri untuk berubah lebih baik. Hal ini diaktualisasikan dalam visi, misi, dan rencana strategis Polri yang pernah disampaikan oleh Kapolri untuk menuju perubahan paradigma baru.
4) Kebanggaan terhadap organisasi masih cukup kuat dan hubungan sesama personel cukup baik.
5) Pola pengawasan dan pengendalian dapat berfungsi secara baik yang dilakukan secara struktural maupun fungsional.
6) Terpenuhinya anggaran yang dibutuhkan Polri untuk pembangunan dan penggunaan kekuatan kepolisian.
7) Pembenahan fasilitas penunjang pelayanan terhadap masyarakat meskipun belum cukup memadai namun adanya fasilitas tersebut sudah cukup membantu kelancaran tugas Polri.

b. Kelemahan (weakness)

Beberapa hal yang merupakan kelemahan dalam pembinaan SDM Polri antara lain:
1) Tingkat pendidikan dan keterampilan personel yang masih minim.
2) Anggaran yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal.
3) Jumlah sarana/prasarana belum sebanding dengan beban tugas personel Polri.
4) Kelemahan mendasar yang menjadi pemicu seringnya ada personel Polri yang bersikap arogan terhadap masyarakat karena belum terinternalisasinya filosofi kepolisian secara menyeluruh.
5) Nilai-nilai konsumerisme yang merasuk dalam institusi Polri sehingga mempengaruhi perilaku polisi dalam pelaksanaan tugasnya.
6) Masih terpusatnya pengambilan keputusan pada pimpinan tertinggi.
7) Hubungan personal masih mempengaruhi pola komunikasi.
8) Belum konsistennya sistem reward and punishment.
9) Sistem pembinaan SDM yang belum berpegang pada merit system.
10) Orientasi pada jabatan/pangkat/kekuasaan/kewenangan.
11) Masih mengharapkan reward intrinsik (sanjungan, promosi, penghargaan) dalam pelaksanaan pekerjaannya, bukan orientasi pada pelayanan masyarakat.
12) Keluarga turut mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan, ada tuntutan untuk menjadi kaya, atau sebagai perantara untuk membangun karir.
13) Belum adanya standardisasi keberhasilan kinerja.

2. Faktor Eksternal

Pada analisis lingkungan eksternal sosial budaya dalam kaitannya dengan pembinaan SDM Polri, akan dinilai berdasarkan peluang (opportunity) dan ancaman/kendala (threats) yang ada, antara lain:

a. Peluang (opportunity)

Ada beberapa hal yang menjadi peluang dalam pembinaan SDM Polri, yaitu:
1) Dukungan perundang-undangan untuk pencegahan dan pemberantasan KKN.
2) Adanya dukungan anggaran dari pemerintah yang memadai untuk mendukung bidang pembinaan dan operasional Polri.
3) Kuatnya dukungan lembaga legislatif terhadap kinerja kepolisian.
4) Meningkatnya partisipasi masyarakat atau LSM dalam pengawasan kinerja kepolisian.
5) Dukungan dan kepercayaan masyarakat baik regional maupun internasional terhadap pelaksanaan tugas kepolisian.
6) Kerjasama dengan insan pers dalam membentuk opini masyarakat guna mendukung kamtibmas dan penegakan hukum.
7) Adanya kebijakan pimpinan Polri yang bersifat desentralisasi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.
8) Koordinasi CJS, aparatur pemerintahan daerah dan instansi lintas sektoral lainnya cukup berjalan harmonis sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan peranan masing-masing lembaga.

b. Kendala (threats)

Yang termasuk dalam ancaman atau kendala dalam pembinaan SDM Polri antara lain:
1) Perilaku masyarakat yang mendorong polisi melakukan penyimpangan tugas (menyodorkan suap, tilang dibawah tangan, memberikan hiburan).
2) Berubahnya kebijakan politik negara maupun dari elit politik.
3) Pengaruh dari stakeholder lainnya yang tidak berurusan dengan tugas operasional Polri (menjadi pembina kegiatan masyarakat: olahraga, keagamaan, atau kegiatan sosial non-profit lainnya).
4) Euforia kebebasan yang timbul sejak reformasi serta tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah, cenderung mendorong terjadinya tindakan anarkis dan main hakim sendiri.
5) Rendahnya tingkat pendidikan serta adanya fanatisme sempit terhadap agama tertentu, menyebabkan minimnya daya nalar masyarakat, sehingga akan sangat mudah terpengaruh oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang ingin memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan pribadi atau golongan.
6) Adanya intervensi terhadap independensi kepolisian dalam penanganan kasus atau pembinaan SDM.
7) Maraknya tayangan negatif di media mengenai perilaku polisi menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri

V. KONDISI PEMBINAAN SDM POLRI YANG DIHARAPKAN

Untuk menyikapi tuntutan masyarakat akan postur personel Polri yang mampu mewujudkan pemolisian sipil serta mengawal pemerintahan yang demokratis sesuai kapabilitasnya sebagai alat negara penegak hukum dan pemelihara kamtibmas, maka upaya nyata yang diharapkan langsung dirasakan oleh masyarakat adalah melakukan pembinaan SDM Polri secara profesional. Beberapa langkah yang seyogyanya dilaksanakan oleh pengemban fungsi pembinaan SDM Polri untuk membentuk postur personel Polri yang profesional antara lain:

1. Pola Rekrutmen:

a. Tidak memperhatikan faktor sponsorship dalam perekrutan.
b. Merangkul sebanyak mungkin putra daerah untuk dijadikan polisi, termasuk penambahan kuota untuk daerah-daerah yang masih memerlukan tenaga polisi.
c. Tidak mempermasalahkan domisili peserta seleksi, karena untuk memenuhi kuota putra daerah siapapun berhak mengikuti seleksi, dengan konsekuensi pada saat penempatan ia harus siap ditempatkan di daerah dimana proses seleksi tersebut dilaksanakan.
d. Memberi kesempatan yang cukup lama kepada daerah untuk mengumumkan proses perekrutan sampai ke pelosok, agar terjaring potensi-potensi lokal yang tidak terpantau untuk bisa memperkuat kepolisian (untuk promosi minimal 3 bulan).
e. Memberikan sanksi tegas kepada pelaksana seleksi yang melanggar komitmen seleksi bersih.
f. Melibatkan lingkungan eksternal (masyarakat, LSM, Pemda, DPR/D) untuk memantau proses seleksi, namun bukan sebagai lembaga intervensi proses seleksi.

2. Pendidikan:

a. Hak prerogatif tidak sewenang-wenang dijadikan dasar untuk menentukan kelulusan personel yang akan mengikuti pendidikan, namun harus menghargai proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan memperhatikan kualitas peserta seleksi, tidak sekedar memperhatikan aspek senioritas dan jabatan saja.
b. Membuat sistem pendidikan yang berkesinambungan antara masing-masing lembaga pendidikan (mulai dari Akpol/PPSS berlanjut ke PTIK, lalu ke Sespim dan diakhiri pada level Sespati merupakan satu kesatuan kurikulum yang saling sinergi).
c. Pola pendidikan pengembangan untuk mencari figur polisi yang berkualitas harus memperhatikan aspek-aspek kompetensi (misal: dari Akpol yang setara D3 berlanjut ke jenjang PTIK untuk mengambil gelar sarjana ilmu kepolisian, kemudian lulusan PTIK melanjutkan ke Selapa untuk mengambil kursus manajerial pertama, dari Selapa kemudian mengambil S2 di KIK-UI yang lulusannya bisa melanjutkan pendidikan di Sespim untuk mengambil kursus manajerial menengah, lulusan Sespim nantinya bisa melanjutkan pendidikan di Sespati untuk mengambil kursus manajerial akhir).
d. Pola pendidikan bintara Polri diperpanjang menjadi 1 (satu) tahun, untuk lebih menginternalisasi kurikulum berbasis kemitraan, HAM, dan profesi tugas.
e. Menyesuaikan pendidikan dengan regulasi yang ada, kurikulum tidak gampang berubah sesuai keinginan pejabat yang terkait dengan masalah itu, memperhatikan aspek hubungan antar peserta didik baik didalam lembaga pendidikan maupun setelah kembali ke kewilayahan (misal: Akpol sesuaikan dengan UU Sisdiknas, pangkat efektif diberikan hanya untuk peserta didik PPSS saja).
f. Peningkatan mutu tenaga pendidik, instruktur, maupun pengasuh, agar lembaga pendidikan kembali ke khittahnya sebagai centre of excellence dan melahirkan produk-produk yang berkualitas. Jabatan di lembaga pendidikan merupakan jabatan promosi dan diberikan tunjangan khusus untuk kesejahteraan, dengan harapan mereka akan menjadi transfer of science dan transfer of behavior.
g. Peningkatan kualitas fasilitas lembaga pendidikan sehingga dapat mendukung suasana belajar mengajar untuk menghasilkan personel Polri yang berkualitas dan profesional.
h. Memberi penghargaan kepada produk-produk lembaga pendidikan sebagai acuan dasar untuk membuat kebijakan pimpinan (penelitian pada skripsi, tesis atau disertasi menjadi pedoman untuk membuat kebijakan).
i. Merubah strategi dan kebijakan pendidikan harus melalui dengar pendapat publik/internal, agar tidak terkesan euforia pimpinan saja (siapa yang sedang memimpin mempunyai kewenangan untuk merubah-rubah).

3. Pembinaan karier:

a. Membangun sistem pembinaan karir berdasarkan merit system (berbasis kompetensi) sehingga dapat mengeliminir sistem yang despotik, KKN, personal approaches (pendekatan personal, antarpribadi).
b. Memanfaatkan Assessment Centre sebagai tempat untuk menentukan pejabat yang akan ditempatkan pada posisi strategis, bukan sekedar penunjukan tanpa memperhatikan prestasi kerja (the right man in the right place).
c. Memanfaatkan bank data personel (personel database) sebagai pedoman wanjak, sehingga tidak ada personel yang hanya bertugas di satu daerah saja atau jabatan yang itu-itu saja. Ini untuk memenuhi asas keadilan diantara personel Polri, sekaligus meminimalisir gap antara jabatan ”basah” dan jabatan ”kering”.
d. Tidak menjatuhkan mental personel Polri yang bermasalah, namun tetap memberikan mereka pekerjaan/jabatan yang tidak terlalu beresiko mengulangi kesalahan mereka (menghilangkan jabatan ”non job” baik di pusat maupun daerah, ”diuwongke”).
e. Pejabat yang menduduki jabatan strategis agar diberikan kontrak kerja, rencana kerja, dan strategi pencapaian sasaran, sehingga menjadi kontrol bagi pembina fungsi SDM dalam proses pembinaan karir selanjutnya (apakah layak promosi, mutasi, atau demosi).
f. Pemberian jabatan dan promosi kepangkatan tidak berlebihan, namun memperhatikan faktor masa dinas, usia pensiun, prestasi kerja, dan rata-rata pencapaian per-angkatan, agar tidak terjadi saling mengejar pangkat dan jabatan sebagai ajang menyombongkan diri, hedonis style (pola aktualisasi diri berlebihan), dan melupakan tugas pokoknya dalam penegakan hukum dan pemeliharaan kamtibmas.

4. Perawatan personel:

a. Membuat regulasi mengenai pemberian reward dan punishment secara jelas dan tidak bertentangan dengan peraturan/per-UU-an yang lain (bagaimana pemberian KPLB, hukuman yang tidak berkepanjangan, dan lain-lain).
b. Memberikan pelayanan segera (quick response) pada personel Polri yang akan mengurus hak-haknya (tabungan, asuransi, tanda jasa, santunan).
c. Memperhatikan kualitas pelayanan kesehatan personel.
d. Memberikan informasi melalui berbagai inovasi kepada para personel yang akan mengurus hak-haknya (pengumuman melalui internet atau SMS mengenai gaji berkala, seleksi pendidikan, jenjang karier, UKP).

5. Pengakhiran personel:

a. Memberikan pelayanan yang memperhatikan perlakuan kesetaraan (equality) pada personel yang MPP/pensiun.
b. Memberikan pelatihan kerja informal sebagai bekal pada personel yang akan melaksanakan MPP.
c. Pelayanan pensiun bagi personel Polri/PNS Polri merupakan penghargaan atas pengabdiannya, maka ditetapkan secara sederhana, mudah, dan tepat waktu, hindari proses yang berbelit-belit (red tape).


VI. STRATEGI PEMBINAAN SDM DALAM MEMANTAPKAN PROFESIONALISME POLRI

1. Visi dan Misi Pembinaan SDM Polri

Dalam menghadapi perubahan masyarakat menuju Grand Strategy Tahap III ”Strive for Excellence” mencakup evaluasi kinerja dan profil Polri 2025, ada suatu strategi dan kebijakan Kapolri di bidang pembinaan SDM Polri untuk menghadapi kondisi 20 tahun mendatang, yaitu:

a. Visi

”Mewujudkan personel Polri yang profesional, bersih, dan bermoral untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat”.

b. Misi

Adapun misi yang diemban oleh fungsi pembinaan SDM Polri itu sendiri adalah:
1) Membangun sistem pembinaan SDM Polri sesuai dengan UU dan peraturan yang terkait.
2) Menyiapkan personel Polri yang berpendidikan sebagai modal menghadapi dinamika kehidupan masyarakat dan negara.
3) Membangun postur Polri yang profesional dan menjaga suasana kerja personel Polri agar tidak terbebani segala hal yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas pokok Polri.
4) Memanfaatkan sumberdaya eksternal Polri untuk membangun kemampuan dan sistem pembinaan SDM Polri.
5) Mendayagunakan segenap potensi personel Polri untuk mampu menjalankan reformasi Polri.

2. Sasaran

a. Seluruh SDM Polri mulai pangkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
b. Pedoman yang terkait dengan pembinaan SDM Polri.

3. Tujuan

a. Menuntaskan restrukturisasi organisasi Polri yang makin ramping di tingkat atas, penguatan tingkat menengah pada Polda, serta makin efisien dan efektif pada pemberdayaan pelayanan di bawah pada tingkat Polres dan Polsek, termasuk penguatan Polda-Polda tertentu yang merupakan konsentrasi kekuatan Polri di wilayah barat, tengah, dan timur.
b. Membentuk SDM Polri dengan prinsip ”FIRST”: bersahabat (friendly), berpengatahuan (intelegent), cepat tanggap (responsible), berorientasi pelayanan (service oriented), terpercaya (trustworthed), melalui implementasi MSDM Polri yang profesional.
c. Peningkatan pengetahuan serta keterampilan SDM Polri.
d. Membangun kepercayaan masyarakat sebagai organisasi yang peduli dan kredibel, mampu membangun kerjasama dengan stakeholders untuk turut menciptakan rasa aman, dan mulai membangun kesempurnaan agar semakin tangguh menghadapi kompleksitas, minimal setara dengan kepolisian negara Asia Pasifik.

4. Strategi

Strategi yang diharapkan dapat mewujudkan pembinaan SDM dalam memantapkan personel Polri yang profesional adalah dengan mengacu pada:
a. Memanfaatkan secara maksimal Assessment Centre sebagai lembaga penilaian kinerja dan kredibilitas personel Polri.
b. Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dalam dan luar negeri untuk meningkatkan profesionalisme personel Polri.
c. Pengkajian dan strategi SDM Polri dalam perumusan kebijakan, program dan pembinaan teknis informasi SDM.
d. Melibatkan unsur akademisi dalam hal seleksi pendidikan pengembangan.
e. Meningkatkan kualitas pendidikan pembentukan dan pengembangan Polri, dengan periode pendidikan dan metode sebagai berikut:
1) Pendidikan pembentukan bintara Polri selama 1 (satu) tahun, dengan perbandingan skill 70% dan knowledge 30%.
2) Pendidikan pembentukan perwira Polri (Akpol) selama 3 (tiga) tahun, dengan perbandingan skill 70% dan knowledge 30%.
3) Pendidikan pembentukan perwira Polri (PPSS) selama 1 (satu) tahun, dengan perbandingan skill 40% dan knowledge 60%.
4) Pendidikan pembentukan perwira Polri (Setukpa) selama 6 (enam) bulan, dengan perbandingan skill 70% dan knowledge 30%.
5) Pendidikan pengembangan perwira Polri (PTIK) selama 2 (dua) tahun dan Selapa selama 4 (empat) bulan, dengan perbandingan skill 30% dan knowledge 70%.
6) Pendidikan pengembangan perwira Polri (Sespim dan Sespati) selama 6 (enam)dan 4 (empat) bulan, dengan perbandingan skill 10% dan knowledge 90%.

5. Kebijaksanaan

a. Bidang Pembangunan Kekuatan.

1) Pola rekrutmen bintara Polri diarahkan untuk memenuhi konsep ”local boy for local job”, dan rekrutmen perwira diarahkan untuk pengembangan wawasan kebangsaan ke seluruh wilayah RI.
2) Membagi organisasi polisi kedalam tiga struktur kerja, yaitu polisi operasional investigasi pidana, polisi operasional paramiliter dan polisi manajerial. Kepolisian investigasi pidana (CID uniform) merupakan satuan kerja polisi yang bergerak dibidang penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana dalam hal ini diawaki oleh Reskrim, Sat Narkoba dan Intelijen. Kepolisian operasional paramiliter (paramilitary uniform) seperti fungsi Lalu Lintas, Samapta, Polairud, Propam, Biro Operasi dan Brimob. Sedangkan kepolisian manajerial (civilian style blazer) merupakan fungsi manajemen kepolisian yang bertugas sebagai penunjang tugas pokok kepolisian seperti Administrasi Kepolisian (SDM, keuangan, dan logistik), Pembinaan Masyarakat (Binmas), Tekomunikasi, Renbang, Dokkes, Piknas, NCB, Hukum, dan Humas.
3) Bidang pembangunan kemampuan dan kekuatan melalui pendelegasian tanggungjawab dan wewenang yang lebih luas (desentralisasi).

b. Bidang Pembinaan Kekuatan.

1) Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, tenaga pendidik, instruktur, dan pengasuh agar dapat menjadi transfer of change dan transfer of behavior.
2) Desentralisasi kewenangan pembinaan SDM pada strata kepangkatan dan jabatan tertentu di satu wilayah (termasuk penentuan jabatan Kapolres memperhatikan usulan dari setiap Polda).
3) Peningkatan pengawasan dan pengendalian pembinaan SDM Polri.
4) Memanfaatkan bank data personel untuk penentuan pembinaan karir personel Polri. Pemantauan prestasi dimulai saat personel menjalani pendidikan sampai mengabdikan diri di kewilayahan, sehingga penempatan dapat sesuai dengan kualitasnya.
5) Melakukan pembenahan SDM Polri dengan mengedepankan kompetensi berdasarkan penilaian kinerja di satuan kerjanya, serta bagaimana interaksinya dengan masyarakat yang dihadapi. Dengan demikian dapat menepis pencarian jabatan berdasarkan kedekatan dengan pejabat personalia tertentu (konsep Johari windows).
6) Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap personel Polri yang akan menghadapi masa pengakhiran dinas (pensiun).

6. Program/Implementasi

a. Jangka Pendek (2010 – 2011)

1) Memperbaharui bank data personel (RHP) sebagai kelengkapan Assessment Centre.
2) Pengawasan melekat pada setiap proses pembinaan SDM Polri.
3) Melakukan kerjasama dengan unsur eksternal Polri untuk mewujudkan transparansi rekrutmen personel Polri.
4) Penataan ulang sistem pendidikan kedinasan Polri, disesuaikan dengan peraturan dan perundang-undangan pendidikan yang berlaku.

b. Jangka Sedang (2011 – 2014)

1) Memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk turut mengawal strategi pembinaan SDM Polri.
2) Memberikan ruang bagi publik untuk mengawasi proses pembinaan SDM Polri, namun bukan untuk melakukan intervensi.
3) Memanfaatkan Assessment Centre sebagai lembaga penilaian kinerja personel Polri dengan segera membentuk kelembagaan tersebut di tingkat pusat (Mabes) dan daerah (Polda).
4) Memberikan peluang kepada personel Polri yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi untuk menduduki jabatan strategis, sehingga dapat melakukan sharing melalui kajian ilmiah pada sistem pembinaan SDM Polri.
5) Membentuk lembaga pengaduan pembinaan SDM Polri, untuk menampung proses pembinaan SDM yang tidak sesuai prosedur dan mencegah personel yang tidak kapabel menduduki jabatan/posisi strategis dalam menentukan langkah gerak organisasi Polri di masa depan.

c. Jangka Panjang (2015 – 2025)

1) Melakukan evaluasi dan melanjutkan program-program yang telah dilaksanakan dalam jangka pendek dan sedang guna penentuan peningkatan pembinaan SDM Polri di masa depan.
2) Meningkatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan di dalam dan luar negeri untuk mewujudkan personel Polri yang memiliki kualitas keilmuan dan keterampilan dalam menjawab tantangan masyarakat untuk mewujudkan konsepsi kepolisian sipil.
3) Menganalisa dan mengevaluasi aspek personel, anggaran, logistik, sistem dan metode, pengawasan dan pengendalian, serta kepemimpinan yang disesuaikan dengan kecenderungan perubahan paradigma Polri ke depan.
4) Mengoptimalkan lembaga Assessment Centre dalam setiap proses pembinaan SDM secara transparan, akuntabel, dan independen.
5) Melakukan inventarisasi prestasi personel lewat sistem digitalisasi mulai dari masa pendidikan pembentukan, lapangan pekerjaan, dan pendidikan pengembangan, sehingga proses pembinaan karir dilakukan secara tepat guna dan berdaya guna. Jadi apabila akan dilakukan promosi/mutasi, lembaga Assessment Centre tinggal menayangkan rekam jejak personel tersebut dan dapat terlihat prestasi kerja selama pendidikan maupun di lapangan kerjanya.

VII. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Untuk mewujudkan profesionalisme personel Polri, SDM memegang peranan penting untuk turut membentuk postur Polri yang profesional, dan ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi pembinaan SDM tersebut baik internal maupun eksternal.

b. Untuk mewujudkan pembinaan SDM Polri yang sesuai dengan harapan seluruh personel Polri serta masyarakat, membutuhkan waktu yang cukup lama. Harus terlebih dahulu membenahi kultur pengemban fungsi pembinaan SDM itu sendiri serta meningkatkan kualitas personel Polri agar mampu menjawab tantangan masyarakat pada penegakan supremasi hukum dan supremasi sipil dalam lingkungan pemerintahan yang demokratis.

c. Memerlukan komitmen moral diantara masing-masing pihak yang terkait dengan pembinaan SDM Polri untuk mampu dan mau menjalankan proses pembinaan SDM secara transparan, integritas, akuntabel, dan profesional. Serta ada sanksi hukum bagi pihak yang melanggar komitmen moral tersebut.

2. Rekomendasi

a. Disarankan membentuk dan mengoptimalkan lembaga Assessment Centre sebagai wadah pengawasan dan pengendalian pembinaan karier personel Polri.

b. Hak prerogatif pimpinan tidak sewenang-wenang dijadikan dasar untuk menentukan kelulusan personel yang akan mengikuti pendidikan, namun harus menghargai proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan memperhatikan kualitas peserta seleksi, tidak sekedar memperhatikan aspek senioritas dan jabatan saja.

c. Pembinaan SDM diarahkan pada asas keadilan, manfaat, dan profesionalisme personel Polri, sehingga tumbuh motivasi dan kompetisi para personel Polri untuk meraih prestasi bagi keberhasilan organisasi.

d. Melakukan penyesuaian kurikulum lembaga pendidikan Polri, agar masing-masing lembaga pendidikan memiliki sinergitas kurikulum serta ada kesinambungan pendidikan.

e. Melakukan penyesuaian aspek legalitas pada lembaga pendidikan yang ada, agar diperoleh akreditasi pendidikan nasional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan oleh Polri memiliki keunggulan mutu dan berdaya guna bagi perkembangan ilmu kepolisian dan disiplin ilmu lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Chrysnanda. 2009. Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.
Djamin, Awaloedin. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia 1; Kontribusi Teoretis Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi. Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri.
Griffin, Ricky. 2004. Manajemen Jilid 1 Edisi 7 (Wisnu Candra Kristiaji, editor). Jakarta: Erlangga.
Hariandja, Marihot Tua Efendi. 2002. Manajemen Sumberdaya Manusia; Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: PT. Grasindo.
Hejdrachman & Husnan, Suad. 1990. Manajemen Personalia Edisi 4. Yogyakarta: FE-UGM.
Muradi. 2009. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya: Laksbang Mediatama.
Rahardjo, Satjipto. 2002. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT. Kompas Media Utama.
Siagian, Sondang P. 2007. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simamora, Henry. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi III. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Baca selengkapnya.....

Perjuangan Baru Dimulai.......

Akhirnya, tugas belajar saya selama 2 (dua) tahun di KIK-UI tuntas sudah….seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 2010, saya berhasil mempertahankan tesis saya didepan sidang pascasarjana dan memperoleh nilai ”A”. Saya mengajukan penelitian berjudul ”Perilaku Polisi Lalu Lintas Polres Sumber Maju Terhadap Masyarakat Etnis Tionghoa (Kajian atas Birokrasi dan Pola Komunikasi)” didepan dewan penguji yang diketuai Prof. Dr. Sarlito W.Sarwono, Psi dengan anggota penguji antara lain: Prof. Drs. Koesparmono Irsan, SH, MM, MBA (sekaligus pembimbing saya), Drs. Ronny Lihawa, Msi dan Dra. Ida Ayu W.Soentono, MKom.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku Polantas di Polres Sumber Maju terhadap masyarakat etnis Tionghoa berkaitan dengan aspek birokrasi dan pola komunikasi. Berbagai karakteristik komunikasi dan birokrasi dijadikan perspektif untuk mengungkap adanya pertukaran sosial (social exchange) antara polisi dan masyarakat etnis Tionghoa. Stereotip dan kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa yang mempengaruhi praktik birokrasi di Satlantas Polres Sumber Maju juga menjadi fokus yang digali dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilaksanakan di Polres Sumber Maju dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada informan kunci, pengamatan terlibat, dan studi dokumenter. Informan kunci yang mendampingi saya selama penelitian yaitu IN (29 tahun), seorang etnis Tionghoa yang dulunya nyambi sebagai perantara di Satpas dan Samsat Polres Sumber Maju. Wawancara saya lakukan terhadap 16 personel Polantas (sebagai pejabat birokrasi lalu lintas) dan 17 orang etnis Tionghoa (yang pernah berhubungan dengan Polantas). Kemudian pengamatan selama penelitian saya lakukan di Satpas, Samsat, pecinan, dan warung kopi tempat berinteraksinya etnis Tionghoa dengan etnis lainnya. Sedangkan studi dokumenter saya menggunakan kajian terhadap dokumen baik itu perkembangan sejarah kedatangan etnis Tionghoa ke Kab.Sumber Maju, bahan-bahan statistik, dan foto. Pendekatan penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif untuk menemukan dan mendeskripsikan secara komprehensif apa adanya data yang diperoleh melalui interpretasi dan pemahaman peneliti sebagai instrumen penelitian. Hal ini merupakan faktor penting yang digunakan untuk melakukan analisis terhadap fenomena yang diketemukan.
Dalam penelitian ini saya menemukan bahwa perilaku sebagian besar Polantas Polres Sumber Maju masih memanfaatkan komunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa untuk menjalankan birokrasi yang mengarah pada perilaku menyimpang. Hubungan kemitraan yang berlaku lebih kepada saling mengeksploitasi untuk mencari keuntungan antarpribadi dan kelompok, bukan kepada keikhlasan untuk saling membangun kepercayaan. Dengan demikian, cita-cita reformasi birokrasi Polri dalam membentuk sikap aparatur yang profesional serta mempertahankan netralitas dalam pelayanan belum tercapai secara optimal.
Kemudian perilaku birokrasi antara Polantas dan etnis Tionghoa telah mengarah pada adanya pertukaran-sosial, dimana ada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dan interaksi itu harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan yang diinginkan dapat berupa ganjaran ekstrinsik (uang, barang-barang, atau jasa) atau intrinsik (kehormatan, perasaan dihargai, atau sanjungan). Temuan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Peter Blau (1964) dalam Advance in Experimental Social Pscychology vol. 17 (1984) bahwa: “conception of the exchange relationship is the assumption that the actor’s behavior is directed towards goals that can only be attained by social means and that, consequently, exchange behaviors often represent strategic accommodations to other in order to achieve those goals” (Berkowitz, 1984: 203).
Juga dalam penelitian ini saya menemukan bahwa masih adanya ”kewajiban” yang harus dipenuhi oleh Satlantas Polres dalam bingkai loyalitas (melalui wujud pelayanan supervisi, kunjungan wisata, pengambilan material SSB, maupun kegiatan seremonial yang tidak teranggarkan dalam DIPA Polres) membuat pejabat birokrasi tidak bisa bertindak secara profesional terhadap masyarakat yang dilayaninya, terutama kepada masyarakat etnis Tionghoa yang menguasai sumberdaya dan sumberdana di Kab.Sumber Maju.
Pada akhirnya hal-hal tersebut diatas menjadikan program Quick Wins yang dicanangkan oleh Kapolri untuk reformasi birokrasi belum terbukti secara ampuh untuk mencegah terjadinya perbuatan menyimpang yang dilakukan oknum Polantas, terutama menimpa pada etnis minoritas yang menguasai sumberdaya dan sumberdana di Kab.Sumber Maju.
Oleh sebab itu, guna merubah perilaku birokrasi dan komunikasi Polantas ketika berhadapan dengan etnis Tionghoa guna mendukung tercapainya proses reformasi birokrasi Polri, saya menyarankan agar melaksanakan reformasi birokrasi Polri dengan sungguh-sungguh, jangan berupaya mengkomunikasikan bahasa hukum (lalu lintas) untuk menghalalkan segala cara guna melakukan perbuatan menyimpang, terlebih kepada masyarakat yang memiliki sumberdaya dan sumberdana namun tidak memahami bahasa hukum (lalu lintas) dengan benar hanya untuk kepentingan pribadi maupun organisasi.
Lalu Polantas sebagai etalase Polri harus mampu membangun komitmen dan integritas dalam pelaksanaan tugas di bidang lalu lintas, dengan tidak memanfaatkan stereotip masyarakat etnis Tionghoa sebagai peluang untuk memperkaya diri pribadi maupun organisasi, sehingga kesan sebagai ”tempat basah” maupun ”dapur organisasi” yang selama ini melekat dapat perlahan dihilangkan.
Untuk itu diperlukan sosok pimpinan yang transformasional, yang mampu menggunakan komunikasi kewenangan yang dimiliki untuk membuat kebijakan birokrasi kearah perbaikan dan perubahan, dan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat etnis Tionghoa, sekiranya Polda Harapan Jaya perlu memberi peluang kepada etnis Tionghoa yang memenuhi syarat untuk menjadi anggota Polri (khususnya pada level Bintara), yang nantinya akan dikembalikan lagi ke Polres Sumber Maju untuk membantu merubah paradigma Polri dan etnis Tionghoa agar tidak berlarut-larut pada stigma negatif yang melekat pada masing-masing pihak.
Dan akhirnya, optimalisasi peran lembaga pengawasan internal dan eksternal Polri untuk mengawal proses reformasi birokrasi, sehingga dapat mewujudkan harapan masyarakat akan terbentuknya sosok polisi yang komunikatif, bertanggungjawab, patuh hukum, humanis, dan profesional.
Dalam penelitian ini, saya menggunakan 119 buku dan 8 dokumen sebagai referensi.

Akhirul kata, saya ucapkan terima kasih pada istri dan anak-anakku atas kesediaan kalian menyemangatiku sampai pendidikan ini selesai, pada kedua orangtua dan mertuaku yang tak putus-putusnya berdoa, serta kepada pembimbingku Prof. Drs. Koesparmono Irsan, SH, MM, MBA. Dan akhirnya kepada seluruh siswa S2 KIK-UI Angkatan 13 yang saya hormati Bang Ayi Supardan, Arya Perdana, Juliarman, Mustofa, Trisaksono, Dedy Indriyanto, Budi Rochmat, Febryanto Siagian, Wawan Kurniawan, Anwar Haidar, Adewira Siregar, Eka Syarif, Mbak Umi Fadillah, Mbak Rina Hastuti, Hendrik Bule, Anjarino Soko, Aris Bachtiar, Agung Kusprabandaru, dan Pungky Buana Santoso, all of you are great officer!
Baca selengkapnya.....