Rabu, 12 Mei 2010

Tentang BB: pesan bbm nyangkut, seolah-olah ada pesan padahal gak ada


Buat bloggers yang punya BB trus di bbm ada pesan yang masuk padahal pas diliat ternyata...jreng jrong....gak ada! Nich cara ngebenerinnya:

1. Hilangkan contact bbm yang pernah diignored, caranya masuk ke option bbm trus cari ignored contact, lalu klik edit, lalu centang semua, lalu di OK (bagi yang gak pernah ignored contact, abaikan langkah ini)
2. Setelah itu tekan ALT L G L G lalu clear log, lalu jawab yes/delete. Trus matiin bb dan cabut batrei, lepas sim cardnya. Abis itu pasang lagi batreinya tanpa kartu sim, biarkan bb loading tanpa kartu, nah pas masuk ke bbm, akan keliatan penyebab nyangkutnya pesan bbm yang gak keliatan.
3. Lalu matiin bb, cabut batrei lagi, baru pasang lagi kartu simnya lalu pasang batrei lagi....udah deh, dijamin tuh tanda bbm yang nyangkut kagak ada lagi...

(Sori bukan artikel tentang polisi, intermezzo aza zich....) Baca selengkapnya.....

Selasa, 04 Mei 2010

PENERAPAN TINDAK PIDANA KORPORASI BAGI KEJAHATAN LINGKUNGAN HIDUP

Pendahuluan

Membangun sikap peduli terhadap kelestarian hutan, saat sekarang ini, bukanlah persoalan gampang. Susah. Sebab, republik ini susah kalau melihat lingkungan hidup sehat dan hutan Indonesia lestari dan alami. Perilaku orang-orang di negeri ini sudah begitu masif, terlanjur babak belur digerogoti ideologi sesat: serakah, apatis, hedonis, kapitalis-materialistis, dan anti lingkungan hidup. Kegelisahan ini bukan tanpa alasan. Bukti paling aktual, Indonesia menjadi negara dengan tingkat penghancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90% dari sisa hutan dunia. Bahkan lembaga internasional Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah, dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, penebangan komersial dan praktik illegal loging. Para ahli kehutanan juga memprediksikan, hutan Indonesia akan musnah paling lambat pada 2012 jika tidak ada reformasi tata kelola kehutanan. Akibat lebih jauh, kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 3,8 juta hektar telah mengancam 720 ribu nyawa manusia setiap tahunnya (Pontianak Post, 2007). Dalam jangka panjang, fenomena miris ini menunjukkan suatu dinamika ekonomi kapitalis yang akan menghasilkan ketidakseimbangan sosial: kekayaan untuk segelintir orang dan menciptakan bencana dan kesengsaraan untuk mayoritas. Dengan dampak kegiatan industri yang cukup signifikan terhadap lingkungan hidup, maka tindakan-tindakan untuk mendorong para industriawan untuk taat sangatlah dibutuhkan, salah satunya adalah melalui tindakan penegakan hukum. Tindakan ini dalam rangka memberikan efek jera terhadap para pelakunya.

Perspektif Pentaatan Lingkungan

Namun, sangat disayangkan bahwa ternyata Indonesia masih terus dipusingkan pada lemahnya sistem pentaatan dan penegakan hukum lingkungan. Kedua hal ini saling berkaitan karena pentaatan dalam arti pemenuhan persyaratan-persyaratan lingkungan tidak akan terwujud jika tidak dibarengi dengan upaya penegakan, khususnya oleh pemerintah. Padahal pentaatan dan penegakan hukum lingkungan merupakan elemen penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Tidak maksimalnya peran pentaatan dan penegakan hukum lingkungan dapat menghambat pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Penegakan hukum memang bukan satu-satunya cara untuk mencapai penaatan. Secara garis besar, pendekatan pentaatan dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan yaitu: 1) pendekatan atur dan awasi; 2) pendekatan ekonomi;3) pendekatan perilaku; 4) pendekatan pendayagunaan tekanan publik (Santosa, 2001: 38). Pendekatan atur dan awasi adalah suatu tindakan untuk mencegah agar tidak terjadi tindakan-tindakan merusak lingkungan dengan cara atur, awasi dan ancam dengan hukuman. Pendekatan ini yang sebagian besar digunakan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu, pendekatan ekonomi berangkat dari suatu pemikiran bahwa pihak yang berpotensi untuk melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan akan menghitung terlebih dahulu secara rasional sejauhmana melaksanakan pentaatan lingkungan dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Pendekatan perilaku mengutamakan pentingnya membangun motivasi dikalangan industriawan dalam rangka mendorong penaatan. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain melalui bantuan teknis atau bantuan pendanaan. Dalam pendekatan ini diperlukan kerjasama yang erat antara pemerintah selaku regulator dengan para industriawan atau dengan para penanggung jawab kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan. Sedangkan pendekatan pendayagunaan tekanan publik adalah dengan memberikan ruang bagi publik untuk melakukan pengawasan dan kontrol yang efektif. Pendekatan ini hanya dapat berjalan secara efektif apabila dijamin haknya untuk memperoleh informasi, mempunyai akses untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan, serta dapat mengekspresikan pendapat dan keberatan.

Akuntabilitas Korporasi

Pelanggaran atau kejahatan lingkungan hidup adalah merupakan suatu hal yang unik dibandingkan dengan pelanggaran atau kejahatan yang lain. Seperti telah kita ketahui bahwa banyak pencemaran dan perusakan lingkungan yang cukup serius timbul dari industri yang sebagian besar adalah merupakan badan hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapakah yang dapat dikenakan pertangggung jawaban pidana dalam perbuatan merusak lingkungan tersebut, badan hukum atau pegawainya atau bahkan keduanya.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (Rusmana, 2007). Dasar pemikiran yang digunakan oleh KUHP, ialah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang perorangan atau legal persoon. Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa perkembangan kegiatan ekonomi tumbuh dengan pesat, gejala kriminalitas lingkungan hidup juga semakin meningkat dengan badan hukum atau korporasi banyak berperan dalam mendukung atau memperlancar kejahatan tersebut, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subyek hukum perdata menjadi subyek hukum pidana.
Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup memberikan ancaman hukuman kepada korporasi dengan diperberat sepertiga dari hukuman yang ada dalam undang-undang ini (diatur dalam pasal 45). Sedangkan untuk pemimpin dan pemberi perintah dalam korporasi juga diancam hukuman penjara dan atau denda. Hal ini sesuai dengan pemikiran Gunter Heine (2006) bahwa pengurus korporasi adalah individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu selain menikmati kedudukan sosial, perlu pula diiringi dengan tanggung jawab (Hu & Faure 2006, 46)
Siapa-siapa saja yang dapat dihukum dalam tindak pidana korporasi, diatur di dalam pasal 46 Undang-Undang No.23 Tahun 1997, sebagai berikut:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tatatertib sebagamana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pimpinan tanpa mengingat apkah orang-orang tersebut baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Berdasarkan pasal 46 tersebut diatas, maka yang dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja akan tetapi juga para pengurusnya. Dalam menentukan pertanggungjawaban tersebut maka ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan. Hal pertama yaitu korporasi tersebut memang merupakan obyek dari norma hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh, perlu dibuktikan bahwa memang korporasi yang dimaksud adalah korporasi yang memang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Tentu saja tidak akan tepat apabila korporasi dalam tindak pidana lingkungan adalah Bank. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah korporasi yang bersangkutan atau manajemennya memiliki power terhadap orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut, termasuk terhadap pelaku fisik tindakan yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu korporasi dan pengurusnya akan dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila dapat menerima tindakan-tindakan melanggar dari pegawainya sehingga menimbulkan pencemaran.
Tahapan berikutnya dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu apabila manajemen dari korporasi tersebut telah mengetahui tindak pidana yang telah dilakukan, dan membiarkannya maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya apabila manajemen memiliki kewenangan untuk menghentikan tindakan pelaku fisik yang melakukan pencemaran lingkungan, tapi tidak melakukannya, maka dapat dikenakan tindak pidana lingkungan.
Dalam praktiknya memang tidak mudah untuk menerapkan tindak pidana korporasi. Prinsip ini harus dipahami dengan baik oleh para aparat penegak hukum, baik penyidik, Penuntut Umum, juga oleh hakim yang menangani perkara. Tindak pidana korporasi memang merupakan hal yang relatif masih baru di dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga dengan pemahaman aparat penegak hukum yang masih beragam, dan masih terpengaruh oleh paradigma lama bahwa yang dapat dihukum pidana hanya yang melakukan tindakan pidana secara fisik, menyebabkan belum optimalnya penanganan perkara lingkungan dengan menggunakan prinsip ini.

Implementasinya Dalam Sistem Peradilan

Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil sebuah contoh kasus pencemaran lingkungan berupa kabut asap akibat praktik pembakaran lahan sebagai salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan perkebunan di Riau untuk menaikkan pH tanah, di samping pertimbangan biaya murah. Dengan pembakaran Ph tanah, bisa dinaikkan menjadi antara 5 - 6, sehingga cocok untuk tanaman tahunan seperti sawit. Kasus tersebut berupa pembakaran yang dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry, sebuah perusahaan milik Malaysia yang bergerak dibidang kelapa sawit, di mana perusahaan bersangkutan akhirnya didenda Rp.100 juta ditambah kurungan badan 2 (dua) tahun bagi manajer perusahaan bersangkutan.
Akan tetapi perusahaan menyalahkan penduduk sekitar yang dianggap sebagai penyebab kebakaran. Hal tersebut dapat dipatahkan oleh saksi ahli di bidang kebakaran hutan yang dapat menunjukan bahwa kebakaran yang terjadi adalah bukan berasal dari luar areal perusahaan melainkan pembakaran yang dilakukan secara terencana dan sistematis dalam rangka pembukaan lahan untuk penanaman kelapa sawit. Dalam putusan No.19/Pid/B/2001/PN BKN, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang menyatakan bahwa Presiden Direktur dan Manajer Umum Tang Sew Hon dan C.Goby, terbukti melakukan tindak pidana secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan. Selain pidana, pemerintah kemudian mengajukan gugatan pula secara perdata karena perbuatan itu juga bertentangan dengan Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 38/KB.110/SK/DJ.BUN/05.95 tentang Petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107/KPTS-II/1999 tentang Perizinan usaha perkebunan Pasal 15, yang menyatakan bahwa setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membuka lahan tanpa bakar. Perbuatan itu menimbulkan kerugian seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perkara ini sempat melalui proses Banding dan Kasasi, dan akhirnya putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam proses kasasi (Kompas, 2001). Namun memang sangat disayangkan, karena putusan kasasi akhirnya menjatuhkan vonis dari dua tahun menjadi delapan bulan. Padahal kebakaran hutan itu merupakan masalah nasional dan internasional. Mengapa harus ada klemensia atau peringanan hukuman?
Klemensia ini bisa terjadi karena lemahnya penegakan hukum kita terhadap contoh kasus PT. Adei ini. Apabila kita telaah, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan lima tahun penjara baik bagi pemilik maupun penggarap lahan (Syumanda, 2001: 95). Demikian pula halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Dalam PP ini tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Demikian pula halnya dalam UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama UU No. 41/99, yang tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.

Penutup

UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya telah mengikuti trend perkembangan hukum lingkungan modern dan praktek di negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan dimuatnya pasal yang mengatur tentang tindak pidana korporasi yang merupakan perkembangan dari kejahatan lingkungan seiring dengan perkembangan ekonomi. Akan tetapi memang tidak mudah untuk merubah paradigma yang sudah lama dianut, yaitu bahwa yang dapat dikenakan tindak pidana hanyalah pelaku fisik. Oleh karena itu perlunya sosialisasi kepada para aparat penegak hukum mengenai penerapan prinsip ini sehingga tugas-tugas penegakan hukum lingkungan dapat dilaksanakan secara optimal.
Pemahaman yang memadai dari aparat penyidik PPNS dan Polri serta Jaksa (sinergitas) sangatlah diperlukan sehingga dapat menerjemahkan pertanggungjawaban korporasi kedalam berkas perkara dan dakwaan dengan lebih baik. Disamping itu dari pihak hakim, diharapkan juga dapat mempunyai pemahaman yang baik, serta wawasan dan keberanian dalam menterjemahkan UU No.23 Tahun 1997 sehingga muncul putusan adil dan dapat dipertanggungjawabkan serta dapat digunakan sebagai upaya pembenahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

DAFTAR ACUAN

Buku & Situs


Heine, Gunter. 2006. Marine (oil) Pollution: Prevention and Protection by Criminal Law-International Perspectives, Corporate and/or Individual Criminal Liability. Dalam Prevention and Compensation of Marine Pollution Damage: Recent Developments in Europe, China and the US, ed. James Hu & Michael Faure, 41-59. The Hague: Kluwer Law International.
Julyono. 2007. Perkebunan Kelapa Sawit; Antara Peluang dan Ancaman. Harian Analisa 10 Desember.
Rusmana. 2007. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan. Diunduh dari http://www.solusihukum.com pada tanggal 23 April 2009.
Santosa, Mas Achmad. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
Syumanda, Rully. 2001. Kejahatan Terhadap Lingkungan Riau: Masalah Kebakaran dan Solusi Berkaitan Dengan Pengembangan Perkebunan dan HTI di Areal Rawa/Gambut. Diunduh dari http://www.fire.uni-freiburg.de pada tanggal 23 April 2009.

Surat Kabar

"Penghancur Hutan Tercepat; Indonesia Tercatat di Buku Rekor Dunia". Artikel, Pontianak Post 4 Mei 2007.
Baca selengkapnya.....

KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN

Pendahuluan

Pada dasarnya manusia lahir merupakan makhluk tak berdaya. Dengan ketidakberdayaan itu manusia membuat suatu kebiasaan kemudian menjadi bagian dari kebudayaan. Kebiasaan itu dikembangkan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan umumnya mempunyai ciri yang berwatak keibuan, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, mempunyai seksualitas feminim,. Sedangkan laki-laki mempunyai kepribadian keras, agresif, dan menguasai. Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Gender tidak bersifat biologis tetapi dikonstruksikan secara sosial. Dalam interaksinya dalam masyarakat, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut dapat berbentuk hubungan seks secara paksa, kekerasan fisik, dan pelecehan seksual.

Hubungan Seks Secara Paksa

Hubungan seks secara paksa dapat dikatagorikan sebagai suatu tindak pidana perkosaan. Banyak pemberitaan kasus terhadap kaum perempuan yang menghiasi media cetak maupun media elektronika. Pemberitaan kasus tersebut berupa pemerkosaan di luar negeri terhadap tenaga kerja perempuan dari Indonesia, tentang anak perempuan dibawah umur yang diperkosa dan perempuan yang diperkosa sejumlah laki-laki secara bergantian. Akibat daripada perkosaan akan mengakibatkan trauma dan tekanan psikologis. Kasus perkosaan yang menghebohkan di Indonesia adalah terjadinya perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa. kasus perkosaan tersebut dilakukan secara brutar pada tragedi 13 Mei 1998 di Jakarta. Para korban dan keluarganya merasa shock dan trauma, bersikap tertutup karena aib yang ditanggungnya. Dalam kasus tersebut para LSM atau tim pencari fakta telah berusaha untuk mengungkap kasus tersebut secara transparan. Namun usaha tersebut rasanya sia-sia karena tidak ada penyelesaian yang selesaikan sampai ke sidang pengadilan.

Kekerasan Fisik

Dalam kehidupan sehari-hari, kaum perempuan maupun laki-laki sering mengalami kekerasan fisik. Kekerasan fisik itu dilakukan oleh orang yang dekat dengannya. Dampak daripada kekerasan ini dapat berakibat gangguan emosi pada korban, dapat berakibat cedera fisdik, dan maut. Dalam suatu keluarga tidak jarang kaum istri diperlakukan dengan kekerasan fisik oleh suaminya. Kekerasan fisik ini jarang dilaporkan oleh istri karena merupakan aib dalam keluarganya. Akibat daripada kekerasan fisik ini mengakibatkan perempuan mendapat tekanan bathin yang kadang-kadang menimbulkan rasa keberanian untuk melawannya. Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap istri akan menimbulkan dampak kepada anak perempuannya. Tidak jarang perempuan takut akan berumahtangga karena takut dengan masa lalunya. Dalam kehidupan rumahtangga kekerasan fisik dapat mengakibatkan suatu kehancuran rumahtangga yang menuju pada perceraian.

Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual dapat diartikan sebagai berbagai bentuk tidak menyenangkan terhadap kaum perempuan dengan kata-kata, menempel, menyentuh, dan meraba. Banyak pelecehan seksual terhadap perempuan yang dilakukan di tempat kerja. Untuk mendapatkan tempat kedudukan atau jabatan perempuan kadang harus mendapatkan pelecehan seksual. Pelecehan seksual ini dilakukan oleh atasannya. Perempuan agar mendapatkan kenaikan gaji harus menerima pelecehan seksual dari majikanya. Perlakuan yang dilakukan terhadap kaum perempuan juga jarang dilaporkan karena merupakan sebuah aib yang dideritanya. Perlakuan pelecehan tersebut dapat mengakibatkan shock dan trauma bagi kaum perempuan.

Penutup

Perjuangan untuk mewujudkan adanya perlindungan terhadap kaum perempuan terhadap perkosaan, kekerasan fisik, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan tidaklah muda. Tetapi harus melewati dan menempuh perjalanan yang sangat panjang dengan membutuhkan waktu yang lama dan pengorbanan demi terbebasnya kekerasan terhadap perempuan. Perjuangan terhadap diskriminasi dan kekerasan kekerasan terhadap perempuan telah diperjuangkan oleh beberapa LSM, dibentuk Komisi yang independen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangan tersebut misalnya memasukkan dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kekerasan fisik dalam keluarga, perkosaan, menghamili perempuan dan tidak bertanggungjawab serta pelecehan seksual. Diadakan seminar, lokakarya dalam bentuk ilmiah dalam rangka mencari solusi atau cara yang terbaik untuk melindungi hak-hak kaum perempuan.


DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi, Edisi ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia.

Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Baca selengkapnya.....

FIGUR POLISI YANG VISIONER, YANG DIBUTUHKAN POLRI MASA DEPAN

Pada umumnya, masyarakat berpendapat bahwa polisi saat ini masih mempunyai pekerjaan dengan fungsi yang tidak jelas (Bayley, 1998: 129). Anggaran yang diberikan kepada Polri tanpa bisa diperhitungkan sebagai keuntungan yang maksimal bagi masyarakat luas, Polri dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut tentu ada penyebabnya. Berbagai laporan, pengaduan dan masalah global tentang kejahatan yang terjadi tidak serta merta dapat diselesaikan kepolisian dengan baik.
Kepolisian hanya bermain-main dengan kesenangan menghitung angka crime rate, crime index, crime clearance, yang hasilnya dilaporkan kepada masyarakat sebagai wujud keberhasilan kepolisian dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain ketidakprofesionalan Polri dalam menjalankan tugasnya disebabkan karena kurangnya kesejahteraan anggota Polri sehingga hal tersebut menjadi pemicu terhadap penyimpangan-penyimpangan yang seharusnya tidak perlu terjadi apabila apa yang dibutuhkan anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya sudah terpenuhi dengan baik.
Perubahan demi perubahan dilaksanakan demi mencapai kepolisian yang professional, modern dan mandiri serta bermoral. Mengapa demikian dan mengapa baru sekarang? Kemunduran Polri di era Orde Baru membuat Polri tidak dapat mencapai kepolisian yang professional, modern, mandiri dan bermoral yang disebabkan karena kemunduran Polri yang dialami selama lebih dari 30 tahun saat masih bergabung dengan ABRI. Beberapa hal yang menidetifikasikan kemunduran Polri diantaranya adalah, rasio polisi 1:1200 sedangkan negara lain 1:400, sistem pendidikan yang diberikan harus bernuansa militer, tidak ada anggaran pendidikan luar negeri, anggaran pembangunan yang sangat kecil, perlengkapan kepolisian yang tidak memadai dan kegiatan penyidikan yang seharusnya independen namun harus selalu mendapatkan persetujuan panglima ABRI (Djamin, 2007: 18).
Dari beberapa penjelasan sebelumnya, tentunya kita menginginkan kepolisian yang lebih maju di masa yang akan datang. Kepolisian harus berpenampilan berdasarkan tiga kriteria; efektif, efisien dan jujur. Dari ketiga kriteria tersebut, diharapkan kepolisian tidak akan lagi mempunyai permasalahan dengan administrasi manajemen, kepemimpinan, berkomunikasi, hubungan dengan masyarakat (human relation) dan kemampuan mengambil keputusan.Meskipun dirasakan tidak nyata, penilaian terhadap efektifitas, efisiensi dan kejujuran akan mempengaruhi kebijakan dan tujuan (Bayley, 1998: 130).
Efektifitas yang diharapkan dari Polisi di masa yang akan datang tentunya dilihat dari bagaimana kepolisian dapat meningkatkan keamanan dan ketertiban umum serta mengurangi dan mencegah segala bentuk kejahatan. Pada dasarnya semua itu merupakan rumusan tugas kepolisian yang termuat dalam Undang-undang kepolisian. Rumusan tugas pokok dalam Undang-undang Kepolisian yang memuat substansi-substansi tersebut bukan merupakan urutan prioritas namun kesemuanya sama-sama penting sehingga karena pentingnya maka substansi tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bersumber dari kewajiban kepolisian yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum (Kelana, 2002).
Pelaksanaan tugas yang sesuai dengan fungsinya, serta menempatkan orang yang tepat dalam pekerjaan yang tepat pula, akan membuat semua pelaksanaan tugas menjadi benar dan tepat. Di sisi lain, hal-hal yang dirasa tidak perlu dan tidak dapat diberdayakan, sudah sepatutnya tidak digunakan lagi. Di saat yang akan datang kepolisian tidak lagi harus mengikuti budaya timur yang serba sungkan dalam melakukan sesuatu, kepolisian harus dapat tegas dalam menerapkan peraturan perundangan yang dibebankan kepadanya. Namun sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat kepolisian harus dapat bersikap penuh etika dalam berhubungan dengan masyarakat dan menjadi polisi yang dicintai masyarakat karena selalu dirindukan dan dinantikan kehadirannya ditengah masyarakat.
Dalam kegiatan kepolisian, efesiensi menunjukkan hubungan antara pembiayaan yang dianggarkan oleh negara kepada kepolisian dengan hasil yang telah dicapai terhadap penggunaan anggaran tersebut. Apa yang terjadi saat ini tentu saja masih jauh panggang dari api, walaupun sudah agak membaik daripada tahun-tahun sebelumnya. Pembiayaan terhadap institusi kepolisian yang masih terkesan minim, terutama dalam masalah operasional dan kesejahteraan, dinilai sebagai salah satu penghambat lajunya profesionalitas yang dicanangkan oleh kepolisian.
Oleh karena itu, negara selayaknya memikirkan peluang-peluang kejahatan yang mungkin dilakukan oleh kepolisian hanya karena anggaran yang diberikan tidak memadai. Dengan anggaran yang memadai, maka kepolisian dapat melaksanakan tugas dengan baik tanpa harus melakukan korupsi terhadap dana yang seharusnya didapatkan untuk kepentingan operasional, atau melakukan pungutan liar untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Kepolisian harus mendapatkan dana yang memadai dari negara dari segi pelaksanaan tugas (dana operasional masing-masing fungsi terkait baik piranti keras maupun lunak), kesejahteraan hidup (tunjangan istri, anak, pendidikan, fasilitas tempat tinggal, gaji, asuransi kesehatan dan kematian) dan jaminan hari tua (dana pensiun). Di saat pembiayaan yang diberikan sesuai dan tidak ada yang tersisa karena korupsi, maka kepolisian masa depan telah dapat terwujud.
Diantara keduanya, yang paling penting adalah kejujuran, karena kejujuran terletak diantara keduanya. Perlakuan polisi yang pantas sesuai dengan moral dan norma hukum tanpa mengindahkan keefektifan dalam mencegah kejahatan atau efesiensi dalam mengurangi penampilan (Bayley, 1998: 130). Dalam tujuan kita mencapai polisi yang profesional, modern dan bermoral, kejujuran adalah faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari tiga unsur itu. Jujur dalam bertugas dan jujur dalam menggunakan apa yang telah diberikan kepada kepolisian. Masyarakat berharap banyak untuk dapat melihat kepolisian yang profesional dengan segala kelebihannya. Sedangkan untuk melakukan itu semua polisi memerlukan kepercayaan dari masyarakat, sehingga polisi dapat mencapai tujuannya yaitu polisi yang profesional, modern dan bermoral.
Baca selengkapnya.....

DASAR-DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pendahuluan

Pengambilan keputusan menjadi hal yang penting dalam organisasi Polri dan melekat pada seluruh personel Polri di dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota dalam suatu organisasi atau dalam tugasnya sebagai aparat negara penegak hukum maupun sebagai pelayan masyarakat. Sebagai organisasi yang besar, maka Polri tentunya mempunyai visi dan misi yang harus dicapai melalui langkah-langkah yang diambil atau dilakukan oleh seluruh personel Polri itu sendiri mulai dari level yang terendah sampai dengan level yang tertinggi, dimana langkah-langkah itu didasari dan dimulai oleh adanya suatu pengambilan keputusan yang tepat dari personel yang melaksanakan tugasnya, supaya tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang justru dapat menghambat pencapaian visi, misi ataupun tujuan organisasi Polri itu sendiri.
Bagaimana keputusan itu diambil?, marilah kita mulai dengan menggambarkan bagaimana hendaknya individu berperilaku dalam rangka memaksimalkan atau mengoptimalkan hasil dari suatu tujuan tertentu, yang nantinya kita menyebut ini adalah suatu proses pengambilan keputusan rasional, dalam proses pengambilan keputusan, pengambil keputusan yang optimal adalah rasional. Artinya, dia membuat pilihan memaksimalkan dalam batas-batas tertentu. Pilihan-pilihan dibuat dengan mengikuti model pengambilan keputusan rasional enam langkah (Robbins, 2001: 102).

Langkah-langkah Pengambilan Keputusan

Model pengambilan keputusan rasional enam langkah tersebut dimulai dengan penetapan masalah, dimana masalah itu ada apabila ada kesenjangan antara keadaan nyata dan keadaan yang diinginkan dari persoalan yang ada, hal ini menjadi sangat penting mengingat banyak keputusan buruk yang diambil berasal dari pengambil keputusan yang meremehkan persoalan atau menetapkan permasalahan yang salah, sebagai contoh dalam hal kalkulasi anggaran operasional kepolisian dan kita menemukan lebih dari yang dinggarkan maka kita menetapkan sebuah masalah.
Tahap berikutnya, pengambil keputusan perlu untuk mengidentifikasi kriteria yang penting dalam menyelesaikan masalah, dalam langkah ini pengambil keputusan menetapkan apa yang relevan didalam pengambilan keputusan, langkah ini membawa kepentingan, nilai, dan pilihan-pilihan pribadi yang sama ke dalam proses. Identifikasi ini penting karena apa yang dianggap relevan oleh seseorang mungkin tidak relevan bagi orang lain, juga perlu diingat bahwa faktor apa saja yang tidak diidentifikasi dalam tahap ini dianggap tidak relevan bagi pengambil keputusan.
Langkah ketiga adalah mempertimbangkan kriteria yang sudah diidentifikasi untuk memberikan prioritas yang benar dalam suatu keputusan, mengingat jarang terjadi bahwa semua kriteria yang sudah diidentifikasi tersebut sama pentingnya.
Langkah keempat menuntut pengambil keputusan untuk menghasilkan alternatif yang mungkin bisa berhasil untuk dapat menyelesaikan masalah. Dalam langkah ini tidak perlu dibuat percobaan-percobaan untuk dapat menilai alternatif-alternatif ini, hanya saja kita perlu untuk mendaftarkannya atau membuat daftar.
Langkah kelima adalah apabila alternatif sudah dihasilkan, maka pengambil keputusan harus secara kritis menganalisis dan mengevaluasi masing-masing, hal ini dilakukan dengan membuat peringkat dari setiap alternatif dari masing-masing kriteria, sehingga kekuatan dan kelemahan dari masing-masing alternatif menjadi jelas ketika dibandingkan dengan kriteria dan bobot yang telah ditetapkan dalam langkah kedua dan ketiga.
Langkah terakhir dalam model ini menuntut penghitungan keputusan optimal, hal ini dibuat dengan mengevaluasi masing-masing alternatif terhadap kriteria berbobot dan memillih alternatif dengan skor tertinggi.
Selanjutnya setelah mengetahui langkah-langkah tersebut maka pengambilan keputusan tidak akan lengkap tanpa dimasukannya etika, karena pertimbangan etis seharusnya merupakan suatu kriteria yang penting dalam pengambilan keputusan organisasional, dalam hal pengambilan keputusan maka ada tiga kriteria keputusan etis (Robbins, 2002: 115).
Kriteria yang pertama adalah kriteria utilarian, dimana keputusan-keputusan diambil atas dasar hasil atau konsekuensi mereka, tujuan ini adalah memberikan kebaikan untuk jumlah yang terbesar, hal ini konsisten dengan tujuan-tujuan seperti efisiensi, produktifitas, dan keuntungan yang tinggi. Dengan memaksimalkan keuntungan suatu eksekutif dapat dapat berargumen ia sedang menjamin kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Kriteria lain adalah penekanan terhadap hak. Kriteria ini membolehkan bagi individu untuk mengambil keputusan yang konsisten dengan kebebasan dan keistimewaan mendasar seperti dikemukakan dalam dokumen-dokumen seperti Piagam Hak Asasi. Suatu tekanan pada hak dalam pengambilan keputusan berarti melindungi dan menghormati hak dasar dari para individu, seperti misalnya hak keleluasaan pribadi, kebebasan berbicara, dan proses hak perlindungan. Kriteria ketiga adalah menekankan pada keadilan. Hal ini mensyaratkan individu untuk mengenakan dan memperkuat aturan-aturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga ada pembagian manfaat.
Dalam perilaku pengambilan keputusan etis ada faktor-faktor yang mempengaruhi, hal tersebut terkait dan disebabkan oleh moral individu dan moral lingkungan kerja yang mendorong kegiatan yang tdak etis. Bukti menandakan bahwa tindakan etis dan tidak etis sebagian besar merupakan suatu fungsi baik dari karakeristik individu maupun lingkungan dimana seorang individu bekerja.
Tahap-tahap perkembangan moral adalah suatu penilaian dari kapasitas seseorang untuk menimbang apakah secara moral benar, makin tinggi perkembangan moral seseorang maka makin kurang ia bergantung pada pengaruh-pengaruh dari luar dan dari situ, maka cenderung ia akan melakukan tindakan yang etis atau berperilaku yang tidak etis. Individu yang telah maju ketahap yang lebih tinggi akan memberikan nilai yang lebih tinggi pada hak orang lain, tak perduli akan pendapat mayoritas, dan kemungkinan besar akan menantang praktek-praktek organisasi yang mereka yakini secara pribadi adalah keliru.
Tempat kedudukan kendali (locus of control) adalah karakteristik kepribadian yang mengukur sejauh mana orang meyakini bahwa mereka bertanggung jawab untuk peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka, dari hasil penelitian menunjukan bahwa orang-orang dengan tempat kedudukan kendali eksternal lebih kecil kemungkinannya untuk memikul tanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi dari perilaku mereka dan lebih besar kemungkinan untuk mengandalkan pengaruh-pengaruh eksternal. Kaum internal lebih mungkin untuk mengandalkan pada standar internal mereka sendiri mengenai benar atau salah untuk memandu perilaku mereka sendiri.
Lingkungan organisasional merujuk pada persepsi individu mengenai pengharapan organisasional, apakah organisasi itu mendorong dan mendukung perilaku etis dengan memberi ganjaran atau meghalangi perilaku tak etis dengan memberikan hukuman, kode etik tertulis, perilaku moral yang tinggi dari manajemen senior, pengharapan yang realistis akan kinerja, penilaian kinerja yang mengevaluasi cara maupun hasil, pengakuan yang tampak, dan promosi untuk individu memperlihatkan perilaku moral yang tinggi, dan hukuman yang tampak untuk mereka yang berperilaku tak etis merupakan beberapa contoh dari lingkungan organisasional yang kemungkinan besar dapat memupuk pengambilan keputusan yang sangat etis.
Oleh karena itu orang-orang yang kurang memiliki rasa moral yang kuat akan kecil kemungkinannya untuk mengambil keputusan yang tidak etis jika mereka dihambat oleh lingkungan organisasional yang tidak menyukai perilaku semacam itu. Sebaliknya individu yang sangat berbudi dapat dicemari oleh suatu lingkungan organisasional yang mengijinkan atau mendorong praktek-praktek yang tidak etis.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan betapa penting arti sebuah keputusan yang harus diambil dan dilakukan oleh setiap personel Polri baik dari tingkat terendah sampai tertinggi, sehingga diharapkan dengan memahami proses pengambilan keputusan yang baik dan benar maka akan dapat dihindari kesalahan-kesalahan akibat perilaku yang salah akibat pengambilan keputusan yang tidak sempurna, yang pada akhirnya dapat menghambat tercapainya visi dan misi organisasi Polri itu sendiri seperti keinginan dan kehendak masyarakat yang dari waktu ke waktu terus meningkat, hal ini seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin berkembang.
Dengan pengambilan keputusan yang tepat itu pulalah maka Polri akan dapat selalu peka terhadap setiap gejala atau fenomena yang timbul di dalam masyarakat, serta dapat selalu mengembangkan strategi untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi segala macam bentuk tantangan ataupun kendala yang akan dihadapi di dalam pelaksanaan tugasnya, dengan kemampuan yag dimiliki tersebut akan dapat terus meningkatkan citra Polri dimata masyarakat sebagai pelindung, pelayan, pengayom masyarakat dan penegak hukum yang profesional.
Baca selengkapnya.....

MENGGALI POTENSI LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN)

Pendahuluan

Dalam suatu organisasi, terkait mengenai keberhasilan maupun kegagalan dalam mencapai tujuannya, maka kepemimpinan memegang peranan yang signifikan untuk mewujudkan tujuan organisasi tersebut. Kecakapan pemimpin dengan segala potensi yang terkandung didalamnya, sangat diperlukan guna menggerakkan anggotanya demi tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan. Ketrampilan memimpin (leadership skill) untuk mengarahkan, menjadi faktor yang sangat penting demi tercapainya efektivitas pemimpin (Djamin, 1995:251). Seorang pemimpin harus mampu memacu dirinya guna meningkatkan potensi kepemimpinan secara berkesinambungan sehingga mampu menjadikannya sebagai perilaku yang patut dijadikan sebagai seorang pemimpin. Dalam manajemen, tanpa adanya pemimpin ibarat perahu yang terombang ambing di tengah laut yang landai. Tujuan perahu sebenarnya hendak menuju dermaga, namun karena tidak ada yang mengarahkan, maka perahu tersebut hanya bergerak mengikuti arah angin. Apalagi dalam memimpin sebuah organisasi yang besar, yang didalamnya masih terdapat berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal seperti organisasi Polri. Dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu bersikap terpuji, mengarahkan, inovatif, visioner, dan memiliki intelejensia yang tinggi.
Ada beberapa ahli yang mengupas teori-teori mengenai kepemimpinan. Menurut Rauch & Behling (1984:46), “Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan”. Kemudian, definisi lain mengenai kepemimpinan yaitu “kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam hal ini bawahannya sedemikian rupa, sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya” (Siagian dalam Kadarmanta, 2007:299). Pada kesempatan lain, George R.Terry (1960) berpendapat bahwa “kepemimpinan adalah proses mempengaruhi individu atau kelompok untuk menentukan tujuan dan sekaligus mencapai tujuan tersebut”. Dari sekian pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa “kepemimpinan merupakan suatu seni untuk mempengaruhi individu atau kelompok guna mengikuti kehendak pemimpin dalam mencapai suatu tujuan organisasi”. Dengan demikian kepemimpinan memainkan peran yang sangat krusial dari keseluruhan upaya organisasi untuk meningkatkan kinerja yang berkualitas menjadi suatu nilai yang mengandung makna positif bagi perkembangan suatu organisasi.

Pemimpin Yang Berkualitas

Pemimpin Polri pada Era Reformasi sekarang ini, haruslah seorang yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang selalu berubah dengan cepat. Kritisisasi masyarakat yang demikian dominan, harus dengan cepat ditransformasi oleh pemimpin Polri menjadi suatu kebijakan dalam membangun kultur kinerja organisasi. Kesemuanya ini tentunya berlandaskan pada visi dan misi Polri itu sendiri untuk membangun kepercayaan masyarakat, demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat dalam beraktifitas dan bersosialisasi.

1. Kualifikasi Pemimpin Polri Yang Transformasional

Sebagaimana telah dibahas pada bagian pendahuluan diatas, seorang pemimpin yang transformasional tidak hanya mengandalkan peran bawahan, tetapi harus mampu menciptakan suatu kondisi kepemimpinan yang dapat membangun kinerja organisasinya. Pemimpin tersebut harus memiliki komitmen untuk mencapai sasaran organisasi dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat, tentunya dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang berada diluar koridor sasaran organisasi tersebut. Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin untuk memberi kepercayaan penuh terhadap bawahan, cepat tanggap menyesuaikan dengan lingkungan yang selalu berubah, serta mampu menggunakan informasi yang berada disekitarnya untuk kepentingan pelayanan yang maksimal (Warsito, 2004:34).
Pemimpin yang mau memberikan tanggungjawab pekerjaan pada bawahannya, baik itu pemberian kuasa maupun pendelegasian wewenang menunjukkan sikap keterbukaan seorang pemimpin pada bawahannya. Dengan demikian dapat dihindari sikap saling curiga antara bawahan dan atasan atas pelaksanaan tugas yang diembannya, sehingga peran pemimpin dapat mengoptimalkan kinerja bawahannya guna mewujudkan tercapainya sasaran organisasi. Perubahan lingkungan yang sedemikian cepat, harus ditanggapi oleh pemimpin dengan cepat pula. Ia harus menyadari tentang apa yang telah terjadi di lingkungannya, sehingga dapat mengevaluasi perbedaan kondisi tersebut guna memperbaiki ketertinggalan organisasinya dalam mengikuti perubahan lingkungan yang telah terjadi. Pemimpin Polri juga harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan para bawahannya di daerah, sehingga segala kebijakan maupun perintah yang harus diikuti dapat sampai pada level bawah. Komunikasi ini juga penting untuk mengetahui apa yang menjadi kendala pada bawahan untuk membantu mengembangkan kemampuan bawahan agar semakin meningkat. Pengembangan kemampuan bawahan diperlukan sebagai upaya mendorong dan memotivasi serta melatih bawahan agar kelak menjadi pemimpin masa depan.
Oleh sebab itu, kepemimpinan transformasional diharapkan memiliki sifat-sifat antara lain:
a. Memberi contoh melalui bentuk keteladanan.
b. Transparan, terbuka dan apa adanya.
c. Membina hubungan baik antara atasan dan bawahan.
d. Menciptakan situasi komunikasi yang harmonis.
e. Mampu mendelegasikan tugas dan wewenang pada bawahan.
Dengan sifat-sifat diatas, diharapkan pemimpin Polri mampu melakukan reformasi secara keseluruhan, terutama sekali menyangkut reformasi kultural, yaitu mampu mengikutsertakan anggota Polri dalam membina hubungan yang harmonis antara Polri dan masyarakat. Hubungan tersebut memberikan kedudukan Polri pada 3 aspek yang diharapkan yaitu:
a. Mau mensejajarkan diri dengan masyarakat, sehingga tercipta kemitraan yang seimbang dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul di masyarakat.
b. Setiap anggota Polri pada akhirnya menganggap masyarakat seperti atasannya, yang apabila tidak dapat memenuhi tanggungjawabnya maka akan ada beban moral dari polisi tersebut untuk segera menuntaskannya.
c. Polri pada akhirnya memposisikan dirinya sebagai aparat pelindung, pangayom, dan pelayan masyarakat sehingga akan timbul kepercayaan dari masyarakat (Suparlan, 2003, 2004).

2. Tantangan dan Kendala Pemimpin Polri Dalam Membangun Organisasinya

Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, kriteria pemimpin yang diharapkan Polri dibutuhkan guna menumbuhkembangkan kultur kinerja yang profesional, secara berjenjang dari bawah sampai ke atas untuk mewujudkan harapan masyarakat akan adanya reformasi Polri yang didengungkan pasca pemisahan dari ABRI. Untuk itu tantangan yang dihadapi pemimpin Polri untuk mewujudkan kemandirian dan keprofesionalannya, antara lain:
a. Komitmen pada arah reformasi. Setiap pemimpin dalam organisasi Polri harus memiliki komitmen guna mendorong bawahannya untuk mau merubah tampilannya agar membawa kebaikan dan manfaat bagi semua pihak.
b. Terus mencoba mencari peluang yang inovatif guna berubah, bertumbuh dan berkembang dengan segala resiko yang ada, serta mau belajar dari kesalahan yang telah dibuat. Karena mengelola organisasi sebesar Polri tidak mungkin luput dari kesalahan baik itu kesalahan prosedural, individu maupun organisatorial.
c. Menguasai perubahan global yang terjadi. Dinamika global yang terjadi di lingkungan sekitar Polri, membuat pemimpin Polri harus pandai memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang. Pemimpin Polri jangan selalu berkaca pada masa yang lampau saja, namun yang terpenting bagaimana masa yang akan datang membawa kemungkinan-kemungkinan (baik itu bersifat buruk maupun baik) bagi organisasi Polri.
d. Meraih kepercayaan masyarakat. Masyarakat tentunya menghendaki Pemimpin Polri yang mampu membangun terwujudnya hubungan yang tulus antara masyarakat dan Polri guna mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan tersebut didapatkan melalui perubahan kinerja Polri yang harus semakin profesional seiring dengan semangat kemandirian Polri dalam berorganisasi. Kepercayaan tersebut tentunya tidak mudah didapat, dikarenakan Pemimpin Polri juga harus memperhatikan kinerja organisasi tingkat daerah. Sehingga disinilah peran dari Pemimpin untuk bisa mendelegasikan wewenangnya, sekaligus sebagai alat monitor keberhasilan kepemimpinannya pada tingkat daerah.
Namun di tengah eforia semangat kemandirian Polri tersebut, terdapat beberapa kendala yang sering dihadapi oleh Pemimpin Polri, antara lain:
a. Masih adanya pemimpin yang berfikiran untuk mengutamakan kepentingan sesaat tanpa mampu melihat ke depan atau menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan saat ini. Sehingga sering muncul kasus pemimpin yang memanfaatkan kondisi kepemimpinannya untuk memperkaya diri sendiri, bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan, serta melukai hati rakyat.
b. Terperangkap pada kejayaan masa lampau. Perubahan Era Orde Baru menjadi Era Reformasi membawa dampak pada seluruh birokrasi kenegaraan, masyarakat kini memiliki peranan yang penting untuk membawa pemerintahan kearah good governance, tak luput pula Polri. Namun masih adanya pemimpin yang hanya memahami perilaku masa lampau, memimpin dengan pola-pola lama, serta bersembunyi dibalik semangat reformasi Polri. Sehingga terkadang ada suatu missing link antara pemimpin transformasional dengan pemimpin ortodoks, hal ini yang membuat bawahan hanya sebagai sapi perahan saja.
c. Tidak memiliki keahlian dan intelejensia yang tinggi. Polri saat ini dihadapkan pada kenyataan yang membuat tantangan semakin berat, berbeda dengan masa yang lalu, saat ini Polri menghadapi masyarakat yang kritis. Hampir semua kebijakan Polri selalu mendapat sorotan dari publik, hal ini tentunya membuat Polri harus merubah cara pandangnya. Perubahan cara pandang tersebut dapat diraih melalui jenjang pendidikan, semakin tinggi pendidikan yang diraih pemimpin Polri tersebut maka akan semakin berpengaruh pada proses pengambilan keputusan. Sehingga terkadang, ada pemimpin Polri yang dihadapkan pada suatu situasi tertentu, tidak dapat mengambil keputusan yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Baca selengkapnya.....

PENEMPATAN PERSONEL POLRI BERBASIS KOMPETENSI UNTUK MEMBANGUN SDM POLRI YANG BERKUALITAS

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang


Pada era globalisasi saat ini, suatu negara tidak akan dapat bersaing apabila tidak didukung oleh sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan kuat untuk menghadapinya, karena persaingan yang begitu keras harus didukung pula
oleh SDM yang menguasai, memahami, dan dapat mengantisipasi perkembangan
tersebut melalui inovasi-inovasi untuk dapat bertahan. Hal ini berlaku untuk tataran organisasi, dimana SDM merupakan faktor sentral didalamnya. Setiap organisasi selayaknya memiliki Manajemen SDM (MSDM) yang diawaki oleh manusia yang berkompeten agar mereka bisa mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi dan misi organisasi sehingga dapat tercapai tujuan dan sasaran secara optimal.
Sebagai sebuah organisasi, Polri juga harus didukung oleh SDM yang memiliki kompetensi. Salah satu misi Polri adalah mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuannya yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat. Misi ini menjadi dasar dari upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi SDM Polri. Dengan adanya misi yang menyentuh aspek sumberdaya manusia, maka sesungguhnya Polri telah berupaya untuk berkomitmen terhadap kualitas kompetensi yang baik bagi para anggotanya.
Pencapaian tujuan organisasi yang baik tercermin dari peningkatan kontribusi yang dihasilkan oleh SDM-nya. SDM yang dihasilkan dari rekrutmen yang baik, tentu akan menghasilkan pegawai yang baik pula. Begitu pula dengan pegawai yang telah bekerja secara profesional, tentu mengharapkan peningkatan status pekerjaannya sebagai bukti penghargaan institusi atas kinerjanya selama ini berupa mutasi dan promosi jabatan (Siagian, 2007: 27).
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa proses pembinaan karir personel Polri dalam hal mutasi dan promosi, selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Menurut Krimininolog UI Adrianus Meliala, saat ini telah terjadi ketidakadilan dan kecemburuan dalam hal promosi dan mutasi di jajaran kepolisian, terutama di kalangan polisi berpangkat rendah. Pasalnya, mutasi dan promosi jabatan di Polri masih diwarnai KKN, masih ada “bisnis jual beli jabatan” di jajaran Polri (www.harianterbit.com, 2007).
Penelitian oleh PTIK angkatan 39-A tentang perilaku KKN di tubuh Polri seakan membenarkan hal tersebut. Penelitian ini membuktikan parahnya KKN yang terjadi bukan semata-mata ulah oknum, melainkan sudah melembaga dengan rapi. Pola korupsi yang dilakukan mulai dari rekrutmen, penyelesaian kasus, kenaikan pangkat anggota, sampai dengan penempatan personel. Dalam penelitian itu disebutkan, untuk menjadi Kapolda di daerah ”basah” atau di Pulau Jawa, seorang Pati dengan pangkat Irjen perlu dana sampai ratusan juta rupiah. Pada level di bawahnya, baik Kapolres maupun Kapolwil dengan pangkat AKBP dan Kombes, dana yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu puluhan juta rupiah. Kondisi seperti itu tentu sangat memprihatinkan (Setyawan, 2008).
Penyimpangan ini terjadi karena bertemunya berbagai kepentingan antara atasan maupun bawahan. Kondisi demikian karena adanya motivasi dan kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan pelaksana MSDM untuk melakukan penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 11). Karena melibatkan atasan dan bawahan, penyimpangan manajerial ini menimbulkan pengaruh eksternal dan internal Polri. Dampak internal adalah akan mempengaruhi kinerja organisasi serta menimbulkan citra buruk kepolisian di mata masyarakat, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya masyarakat yang dirugikan akibat penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 9).
Adanya proses mutasi dan promosi yang salah dapat merugikan tidak saja kepada personel tersebut, namun juga pada organisasi. Pada personel akan berdampak pada tidak adanya motivasi kerja yang tentunya akan berpengaruh pada organisasi, sedangkan pada organisasi ada ketidakpercayaan pada fungsi MSDM dalam membangun personel Polri yang berkualitas. MSDM yang buruk juga berdampak pada kredibilitas lembaga tersebut dalam mengelola MSDM-nya.
Seperti contoh penembakan Wakapolwiltabes Semarang AKBP Lilik Purwanto yang dilakukan oleh Briptu Hance Christian karena marah akan dimutasi ke Polres Kendal (Sinar Harapan, 14 Maret 2007). Kemudian dibatalkannya Skep Kapolri No.Pol.: Skep/133/IV/2008 tanggal 15 April 2008 dimana disitu terdapat salah seorang Pamen dibatalkan mutasinya karena tersandung masalah hukum (www.antaranews.com, 2008).
Beberapa contoh kasus diatas tentunya tidak akan terjadi apabila pola penempatan personel selalu dibarengi dengan pola pembinaan karir yang berprinsip merit system. Motivasi anggota dalam pelaksanaan tugas sangat dipengaruhi oleh sistem karir yang bersih, transparan, akuntabel, serta sesuai jenjang karir yang berlaku dan telah disepakati oleh penilaian prestasi, penilaian kematangan dalam jabatan awal, integritas, dan loyalitas.
Apabila MSDM Polri sudah berjalan baik, tentu kasus seorang Kombes yang terlibat konspirasi dengan orang lain yang lumayan berpengaruh di negeri ini (turut melenyapkan nyawa seseorang) demi mendapatkan pangkat jenderal tidak perlu terjadi. Hal ini menandakan bahwa pemetaan personel Polri masih belum tertata rapi, personel Polri yang ingin mendapat promosi ramai-ramai mendekati unsur eksternal yang dekat dengan Pimpinan Polri, bukan dengan menunjukkan kompetensinya sebagai jatidiri Polri yang profesional dalam menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

2. Permasalahan

Sehubungan dengan latar belakang diatas, maka dirumuskan sebuah permasalahan yang menjadi dasar pembahasan, yaitu “Apakah melalui penempatan personel Polri dengan berbasis kompetensi dapat membangun SDM Polri yang berkualitas?”

3. Pokok-Pokok Permasalahan

Untuk memudahkan pembahasan, bahwa saya perlu membuat pokok-pokok permasalahan agar lebih mudah dibahas secara tajam, yaitu:
a. Bagaimana aktualisasi penempatan personel yang dilaksanakan Polri?
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi?
c. Seperti apa model penempatan personel berbasis kompetensi yang diharapkan dapat dijadikan tolok ukur profesionalisme Polri?
d. Bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan Polri untuk mewujudkan penempatan personel dengan berbasis kompetensi?

4. Tujuan dan Manfaat

a. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:
1) Untuk mengetahui hubungan kompetensi terhadap pembangunan SDM Polri yang berkualitas.
2) Untuk menggali dan mengidentifikasi unsur-unsur kompetensi yang diperlukan sebagai bahan penyusunan kompetensi dasar personel Polri.

b. Manfaat
Manfaat dari penulisan ini sebagai bahan rekomendasi dalam menyusun kebijakan sistem penempatan personel Polri berbasis kompetensi di masa mendatang.

5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan makalah ini dititikberatkan pada proses penempatan personel Polri untuk mengetahui hubungan kompetensi terhadap pembangunan SDM Polri yang berkualitas, serta identifikasi unsur-unsur kompetensi dasar dalam meningkatkan profesionalisme Polri dalam sistem mutasi/promosi jabatan.

6. Sistematika

I. PENDAHULUAN
II. KAJIAN KEPUSTAKAAN
III. KONDISI PENEMPATAN PERSONEL SAAT INI
IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
V. POLA PENEMPATAN YANG DIHARAPKAN
VI. UPAYA PERBAIKAN
VII. PENUTUP

II. KAJIAN KEPUSTAKAAN

7. Kajian Konseptual


Sejauh ini memang belum ada sebuah penelitian khusus mengenai penempatan personel Polri dengan berbasis kompetensi, yang ada hanyalah beberapa pemikiran-pemikiran kritis dari beberapa pakar administrasi baik yang berasal dari internal maupun eksternal Polri. Untuk itu saya mencoba untuk mengemukakan konsep dari pemikiran-pemikiran tersebut, sebagai berikut:
Pertama, Tesis Mas Gunarso mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian-Universitas Indonesia (KIK-UI) berjudul “Kebijakan Penempatan Bintara Polri dan Pelaksanaannya di Polwiltabes Semarang” (2004). Dalam tesisnya, ia menemukan tidak adanya peraturan tertulis yang jelas dari komando atas (centralize policy) tentang penempatan bintara polisi menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan Polwil hanya berdasarkan perintah secara langsung (wisdom), baik berupa perintah lisan maupun tertulis. Peraturan tertulis yang tidak jelas menimbulkan lemahnya konsistensi pejabat yang mengeluarkan kebijakan, karena setiap ganti pejabat sudah pasti ganti kebijakan. Akibatnya bintara polisi dalam melaksanakan tugas menjadi tidak efektif dan efisien. Kebijakan penempatan personel pun tidak sesuai dengan prinsip the right man on the right place berdasarkan minat, bakat dan kemampuan. Tesis ini juga menemukan adanya hubungan otoriter, hubungan personal, rendahnya gaji dan tunjangan yang tidak mencukupi untuk hidup layak, serta adanya perbedaan tempat basah dan tempat kering dalam pelaksanaan tugas, sehingga bintara polisi tidak termotivasi untuk bekerja secara maksimal, terutama menjalankan tugas pokoknya sebagai polisi. Implikasi dari tesis ini adalah perlunya kebijakan penempatan yang jelas dari Mabes Polri untuk pembinaan karir bintara terutama penempatan mereka, karena selama ini yang terjadi adalah hak prerogatif pejabat yang mendapat pendelegasian wewenang saja yang menjadi fatwa bagi pembinaan karir personel Polri di wilayah.
Kedua, tesis Suwarni yang telah dialihbukukan dengan judul “Perilaku Polisi; Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi” (2009). Dalam buku ini ia mengemukakan bahwa sebagai sebuah budaya organisasi yang telah melembaga, proses mutasi/promosi belum sesuai dengan kompetensi para personelnya, selain itu tidak dilaksanakan secara prosedural, dan kurang transparan. Bahkan ada kesan otoriter dengan bisa melakukan mutasi kapan dan dimana saja. Atasan tidak pernah mengkomunikasikan dengan anggota, baik secara formal maupun informal. Dengan ketidakjelasan mutasi ini, membuat bawahan mempunyai interpretasi yang berbeda-beda serta bekerja dalam ketidakpastian, karena sewaktu-waktu bisa dilakukan mutasi. Bahkan untuk tingkat Polres, ada Kapolres yang tidak menyertakan Kabagmin dalam melakukan proses mutasi personel. Jadi disimpulkan tidak ada kompetensi Pimpinan Polres karena tidak berupaya memfungsikan bawahan sesuai kompetensi dan bidang tugas yang harus diembannya, yang pada akhirnya lahir budaya Polri untuk selalu patuh pada atasan. Apa yang menjadi “Bijak Pimpinan” harus dilaksanakan anggota dengan penuh loyalitas, meskipun kadang menyimpang dari kompetensi dan profesionalisme Polri (Suwarni, 2009: 82 – 83).

8. Kajian Teoretis

a. Penempatan

Penempatan personel dalam MSDM adalah proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada personel yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditetapkan, serta mampu mempertanggungjawabkan atas segala risiko dan kemungkinan-kemungkinan atas tugas dan pekerjaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut (Djamin, 1995: 70). Sedangkan penempatan personel menurut Wether dan Davis (1990:225): “Placement is assignment of new empoyee to a new different job it includes the initial assignment of new employee and the promotion, transfer, or demotion of present employee”.
Dari definisi diatas, maka secara bebas penulis artikan bahwa penempatan tenaga kerja atau yang menyangkut personel baru artinya pengaturan awal bagi suatu jabatan, sedangkan penempatan bagi personel lama mengandung arti promosi, mutasi dan demosi.

b. Kompetensi

Persoalan dalam impelementasi MSDM berbasis kompetensi menurut Murgiyono (2002: 11) adalah bagaimana dapat mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kompetensi untuk membina pegawai yang profesional. Ini selaras dengan tujuan utama kompetensi pegawai yaitu:
1) sebagai persyaratan dalam penyusunan pola karir personel,
2) menjamin obyektifitas, keadilan dan transparansi dalam pengangkatan personel dalam jabatan,
3) menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas jabatan secara profesional, efektif, dan efisien, dan
4) mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Prasyarat diatas sesuai dengan pendapat Mitrani (1995:27) yang mengartikan kompetensi sebagai kemampuan, yaitu: “suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya dapat meningkatkan prestasi kerja”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan yang dimaksudkan dengan kompetensi adalah karakteristik dasar yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan, keahlian, sikap/perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya, sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja secara profesional.
Menurut Spencer & Spencer (1993: 9), ada lima karakteristik kompetensi yaitu:
1) Motives, adalah sesuatu yang selalu dipikirkan dan diinginkan seseorang yang dapat mengarahkan, mendorong atau menyebabkan orang melakukan tindakan. Motivasi ini mengarahkan seseorang untuk menentukan atau menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Armstrong, 1990: 68).
2) Traits, merujuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi.
3) Self concept, yakni sikap, nilai atau image yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Self concept ini akan memberikan keyakinan pada seseorang siapa jatidirinya dan perilakunya.
4) Knowledge, adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.
5) Skill, merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas mental atau tugas fisik tertentu. Berbeda dengan keempat karakteristik kompentensi lainnya yang bersifat “inten” dalam diri individu, skill merupakan karakteristik kompetensi yang berupa “action”. Skill mewujudkan sebagai perilaku yang didalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.

III. KONDISI PENEMPATAN PERSONEL POLRI SAAT INI

Pembinaan karir personel Polri sampai saat ini selalu menjadi atensi dari Pimpinan Polri. Karena masalah karir mencakup makna yang luas dan dapat berkembang menjadi permasalahan (issues), yang latar belakangnya selalu bersumber pada perkembangan internal organisasi, tuntutan untuk maju yang sangat tinggi dan ruang jabatan yang sangat terbatas. Disini sering terpacu kompetisi yang tidak sehat dan itulah sumber utama permasalahan karir (Kunarto, 1999: 40). Permasalahan pokoknya sendiri saya catat berupa:
a. Karir sebenarnya untuk semua personel, tanpa terkecuali.
b. Kesempatan yang sama buat semua personel.
c. Sikap konservatif dari tiap-tiap personel.
d. Berbagai karir yang sifatnya jamak.
e. Perluasan spesifikasi jabatan/pekerjaan dan berbagai pilihan posisi (basah/ kering).
f. Komitmen organisasional.
Sebenarnya banyak personel Polri yang mengeluhkan proses penempatannya (www.rambukota.com, 2008), namun karena birokrasi Polri yang disusun sedemikian rupa, dimana terdapat hirarki jabatan yang telah ditentukan, maka personel tersebut menerima penempatannya meski dengan perasaan yang tidak menentu (Albrow, 2005: 44). Menyadari SDM merupakan aset utama organisasi, maka ada pameo di kalangan internal “tidak kenal atau dikenal orang personalia biasanya tidak mendapat jabatan yang basah atau biasa-biasa saja”. Maka banyak anjuran buat personel Polri “sering-seringlah sungkem biar selamat, mintalah restu agar diperhatikan”. Sehingga banyak yang berupaya untuk memberikan "bulu bekti glondong pangareng-areng" (setoran sebagai bentuk loyalitas/kesetiaan/utang budi). Lagi-lagi yang tugasnya membina justru menikmati hasilnya, seperti ungkapan sebuah iklan komersial di televisi “jeruk makan jeruk” (Mabes Polri: 12).
Analogi semacam itu masih ditambah lagi dengan tidak adanya standardisasi penempatan personel. Seperti: seorang anak/mantu jenderal polisi bisa leluasa memilih kesatuan di Pulau Jawa, bekas staf pribadi/ajudan Kapolda bisa menjadi Kasat Lantas atau Kanit Regident, ranking 5 besar di Sespim tapi tidak pernah sowan (menghadap) maka ranking akan turun sehingga penempatannya terpental diluar keinginannya, dll. Hal seperti ini yang kemudian diidentifisir kedalam keabnormalan pembinaan karir (Mabes Polri: 13), yaitu:
a. Sistem jendela “johari” yang diingat atau yang sowan dan sungkem.
b. Sistem Klik (like or dislike, angkatan sentris, primordial) atau kedekatan secara personal.
c. The right man on the wrong place, the wrong man on the right place.
d. Tidak ada standar keberhasilan tugas.
e. Tidak jelasnya standar penilaian kerja (individu/satuan).
f. Dosa tak berampun, jasa tak berhimpun.
Keabnormalan pembinaan karir personel Polri diatas diamini oleh Edy Ramli Sitanggang dari Komisi III DPR-RI yang dalam suatu wawancara dengan Harian Sumut Pos mengatakan bahwa perekrutan dan penempatan personel Polri belum berdasarkan kriteria yang jelas dan track record pejabat yang menempati jabatan baru sering kali mengecewakan. Penempatan dalam jabatan di Polri lebih berdasarkan pengelompokan, atau istilahnya “gerbongnya ini, gerbongnya itu”. Kalau kriteria gerbong terus dipakai, sulit untuk mendapatkan yang profesional. Model penempatan sistem gerbong begitu kentara untuk pengisian jabatan Kapolda, Kapoltabes, dan Kapolres (www.hariansumutpos.com, 2009).

IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Kesuksesan dalam karir tidak saja penting bagi organisasi secara keseluruhan, namun bagi personel itu sendiri merupakan suatu motivasi untuk lebih maju lagi. Apabila terkadang penempatan tidak sesuai dengan harapan maka dari sisi psikologis akan mempengaruhi kompetensi personel tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penempatan personel, antara lain:

a. Hubungan personel dan organisasi.

Dalam konsep ideal, personel suatu organisasi berada dalam hubungan yang saling menguntungkan, sehingga baik personel maupun organisasi dapat mencapai produktifitas kerja yang tinggi. Namun adakalanya keadaan ideal ini gagal dicapai, karena personel yang sudah bekerja baik namun organisasi tidak mengimbangi prestasi personel tersebut dengan penghargaan sewajarnya. Misalnya, proses penempatan personel akan tersendat karena personel tersebut mungkin tidak diajak berpartisipasi dalam perencanaan karir tersebut. Meskipun di tubuh Polri, setiap personelnya harus selalu siap ditempatkan dimana saja.

b. Personalitas personel.

Kadangkala proses penempatan personel akan terganggu karena adanya personel yang mempunyai personalitas yang menyimpang (terlalu emosional, apatis, ambisius, licik, curang, dll). Personel ini mungkin akan memaksakan kehendaknya untuk mencapai karir yang terdapat dalam MSDM, keadaan ini akan semakin runyam apabila personel tersebut merasa kuat karena alasan tertentu (punya koneksi dengan atasan, mempunyai backing orang-orang tertentu, pilihan atasan, dll).

c. Faktor-faktor eksternal.

Acapkali terjadi, semua aturan dalam MSDM di suatu organisasi menjadi kacau lantaran ada intervensi dari pihak luar. Seorang personel yang akan dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya, mungkin terpaksa dibatalkan karena ada orang lain yang di drop dari dalam/luar organisasi. Terlepas dari masalah apakah kejadian ini boleh atau tidak, etis atau tidak etis, namun kejadian semacam ini jelas akan mengacaukan MSDM yang telah dirancang oleh organisasi.

d. Politicking dalam tubuh organisasi.

Penempatan personel akan tersendat atau mati bila faktor lain seperti intrik, kasak-kusuk, hubungan antar teman, nepotisme, feodalisme, dan sebagainya lebih dominan mempengaruhi proses penempatan ketimbang prestasi kerjanya (kompetensi). Perencanaan mutasi hanya sekedar basa-basi, dan akibatnya organisasi hanya dipimpin oleh orang-orang yang pintar dalam politicking tetapi rendah mutu profesionalitasnya.

e. Sistem penghargaan.

Organisasi yang tidak mempunyai sistem penghargaan yang jelas (selain gaji dan insentif) akan cenderung memperlakukan personelnya secara subyektif. Pegawai yang berprestasi baik namun tidak sowan dianggap sama dengan personel yang malas.

f. Kultur organisasi.

Seperti sebuah sistem masyarakat, organisasi pun mempunyai kultur dan kebiasaan-kebiasaan. Ada organisasi yang feodalistik, rasional dan demokratis. Ada juga organisasi yang menghargai prestasi kerja (merit system). Ada pula organisasi yang lebih memperhatikan senioritas daripada hal-hal lain. Karena itu, meski organisasi tersebut sudah mempunyai sistem penempatan personel yang baik dan mapan secara tertulis, tetapi pelaksanaannya tergantung pada kultur organisasi tersebut.

g. Tipe manajemen.

Dalam implementasinya, tiap organisasi mempunyai manajemen yang berbeda-beda. Jika manajemen cenderung kaku dan tertutup, maka keterlibatan personel dalam pembinaan personelnya cenderung minimal. Sebaliknya, jika manajemen cenderung terbuka, partisipatif, dan demokratis, maka keterlibatan personel dalam proses pembinaan karir mereka cenderung besar. Dengan kata lain, karir seorang personel tidak hanya tergantung pada faktor internal dalam diri (motivasi untuk bekerja keras dan keinginan untuk maju), tetapi juga tergantung pada faktor-faktor eksternal seperti manajemen. Banyak personel yang sebenarnya memiliki kompetensi bagus, terpaksa tidak berhasil meniti karir yang lebih baik hanya karena ia “terjebak” dalam manajemen yang buruk.

V. POLA PENEMPATAN PERSONEL YANG DIHARAPKAN

Seseorang akan bekerja secara berdayaguna dan berhasil guna apabila mengetahui dengan jelas posisinya dalam suatu organisasi kerja. Kejelasan itu sangat penting artinya bagi setiap pegawai karena memungkinkan mengetahui peranan dan sumbangan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan kerja secara keseluruhannya.
Nawawi (1992:129) menyatakan bahwa pegawai harus ditempatkan dengan posisi dan peranannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja, baik pegawai lama maupun pegawai baru yang diperoleh sebagai hasil seleksi. Dalam penempatan pegawai masih perlu diperhatikan persyaratan kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pegawai dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip “the right man on the right place and the right man on the right job” yang artinya penempatan orang-orang yang tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat pula. Dengan melakukan penempatan pegawai yang sesuai dengan prinsip tersebut di atas diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Setiap personel Polri tentunya menginginkan penempatan sesuai dengan keinginannya, namun luasnya wilayah Indonesia yang terbagi dalam 31 Polda dan beberapa kesatuan lainnya (organisasi dalam Mabes Polri) tentunya membutuhkan personel-personel yang sesuai dengan kriteria masing-masing organisasi. Selain itu tidak adanya kekhususan tugas dalam Polri membuat setiap personel Polri harus selalu siap untuk ditempatkan dimana saja. Namun yang dibicarakan disini adalah kesempatan untuk semua personel Polri dalam memperoleh penempatan yang sesuai dengan kompetensinya serta penyebarannya yang merata.
Penyebaran personel yang merata di seluruh satuan Polri sesuai dengan komposisinya sangat diharapkan karena untuk menghindari terjadinya kekurangan personel pada suatu satuan, sementara pada satuan yang lain terjadi penumpukan personel. Sehingga dengan penyebaran personel yang merata diharapkan satuan-satuan yang berada di luar Jawa dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal dan secara keseluruhan kesiapan operasional Polri akan semakin baik karena adanya jumlah personel yang mencukupi yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Beberapa personel Polri tentunya akan berpikir wajar apabila di angkatan mereka ada beberapa orang terbaik yang memperoleh posisi yang baik pula, namun sangat disayangkan apabila ternyata ada rekan-rekan mereka yang dulunya tidak berprestasi secara akademik maupun tidak berkompeten namun karena unsur KKN masih bisa mengecap posisi yang baik (job basah). Ini tentunya akan menimbulkan kecemburuan bagi personel yang lain, sehingga tujuan organisasi yang diharapkan tidak akan berjalan optimal, karena mereka yang tidak mendapatkan kesempatan baik akan selalu memendam keinginannya untuk maju dibandingkan rekan-rekannya yang diprediksi akan melesat karena memiliki posisi yang baik.
Sehingga kondisi demikian hanya akan memunculkan kembali benih-benih KKN yang semula oleh Kapolri akan diberantas dengan memajukan personel-personel yang memiliki kompetensi untuk ditempatkan pada jabatan yang memungkinkan ia untuk maju dan berkembang.

VI. UPAYA PERBAIKAN

9. Mengembangkan Assessment Center


Demi pengembangan mutu kompetensi personelnya, banyak organisasi yang kini mengembangkan apa yang disebut sebagai Competency-based Human Resources (HR) Management. Pendekatan ini sejatinya hendak menjadikan elemen kompetensi sebagai salah satu pilar dalam mendongkrak produktifitas personelnya, sekaligus memekarkan kinerjanya. Pengembangan kompetensi personel secara konstan dengan demikian merupakan sebuah rute panjang yang mesti ditempuh dengan penuh kesungguhan. Tantangannya adalah bagaimana caranya mengukur level kompetensi seorang pegawai, dan metode apa yang sebaiknya digunakan untuk keperluan itu. Disinilah kita kemudian bersinggungan dengan sebuah metode yang acap disebut sebagai assessment center.
Assessment center sejatinya bukan merujuk pada sebuah bangunan atau center, namun pada sebuah metode pengukuran kompetensi. Secara spesifik, assessment center mencoba menggali level kompetensi seseorang melalui serangkaian jenis tes (multiple test), dan biasanya juga dilakukan oleh lebih dari satu penilai (rater). Berdasar sejumlah riset empirik, assessment center diketahui memiliki validitas yang tinggi dalam memprediksi level kompetensi individu.
Perlu juga segera ditambahkan bahwa metode assessment center ini hanya digunakan untuk menguji jenis kompetensi soft (soft competency) atau sering juga disebut sebagai managerial competencies (contohnya: kompetensi leadership, communication skills, problem solving skills, team skills, dan sejenisnya); dan tidak ditujukan untuk mengukur kompetensi fungsional (seperti: marketing research skills, interviewing skills, programming skills, dsb).
Jenis tes yang digunakan dalam metode assessment center bervariasi, dan biasanya mencakup sejumlah tes berikut. Yang pertama dan lazim digunakan adalah apa yang disebut sebagai Inbox Test (atau sering juga disebut sebagai in basket test). Dalam tes ini, peserta dihadapkan pada sejumlah email yang masuk ke dalam inbox-nya. Isi email identik dengan situasi sehari-hari yang dihadapi oleh peserta (jika level peserta adalah manajer, maka tipikal isi emailnya tentu juga akan relevan dengan keseharian mereka).
Sebagai misal isi emailnya bisa berupa instruksi dari atasannya untuk menyiapkan bahan pertemuan bulanan, atau juga keluhan dari rekan kerja tentang lemahnya koordinasi antar fungsi, atau juga sekedar undangan seminar dari event organizer di luar organisasi. Disini tugas peserta adalah memilah, menganalisa dan kemudian memberikan respon terhadap serangkaian email tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk menguji kompetensi peserta dalam melakukan pemilahan prioritas dan juga kemampuan dalam analytical thinking and decision making (pemikiran analisis dan pengambilan keputusan).
Jenis tes lain yang acap digunakan adalah forum discussion group (FGD), dimana para peserta (biasanya lima hingga enam orang) diminta duduk berkelompok dan mendiskusikan tema tertentu yang telah ditentukan oleh penilai. Dari tes ini penilai akan melakukan observasi dan kemudian menilai kompetensi peserta dalam aspek communication skills (kemampuan berkomunikasi) dan juga interpersonal skills (kemampuan interpersonal).
Selain itu dalam assessment center, para peserta juga diberi test case analysis. Jenis tes ini biasanya berupa kasus yang identik dengan situasi yang dihadapi oleh sebuah perusahaan – misal kasus tentang cara melakukan proses change management di sebuah perusahaan yang hampir kolaps. Para peserta kemudian diminta untuk menganalisa dan merumuskan rekomendasi secara tertulis. Melalui tes ini para peserta diuji kompetensinya dalam melakukan analytical thinking, dan juga writing skills mereka (melalui rekomendasi yang mereka susun secara tertulis). Biasanya hasil rekomendasi case analysis ini juga harus dipresentasikan oleh peserta sehingga penilai juga bisa menguji kompetensi mereka dalam aspek presentation skills (keterampilan pemaparan) dan influencing skills (mempengaruhi orang lain untuk percaya dengan rekomendasi dan argumentasi yang disusunnya).
Demikianlah, melalui serangkaian tes tersebut para penilai (biasanya berjumlah tiga orang) akan melakukan observasi dan penilaian menyeluruh mengenai sejumlah kompetensi yang dianggap kritikal. Keseluruhan proses assessment center ini biasanya memakan waktu antara satu hingga dua hari, tergantung jumlah dan tingkat kesulitan tes yang digunakan.
Melalui metode assessment center inilah, pihak manajemen personalia kemudian dapat mengetahui dengan cukup akurat potret kompetensi para personelnya. Dan dari sinilah kemudian bisa disusun sejumlah employee development plan (rencana pembinaan karir personel) yang relevan. Ujungnya tentu agar segenap personel bisa terus maju level kompetensinya, dan Polri dalam menempatkan orang tidak salah.

10. Konsep Reformasi Pembinaan Karir SDM Polri

Apabila konsep assessment center diatas mengalami hambatan dalam mengumpulkan personel untuk diuji kompetensinya, maka konsep berikut ini diharapkan dapat meminimalisir ketidakpercayaan personel pada kinerja SDM Polri dalam hal menempatkan personelnya, sebagai berikut:
a. Membangun sistem pembinaan karir berdasarkan kinerja atau kompetensi sehingga dapat meminimalisir sistem yang despotic atau sistem kedekatan personal anggota dengan pejabat. Dan tentu berdasarkan sistem penilaian kinerja yang berjenjang yang obyektif, akuntabel, sehingga ada standar untuk menentukan promosi, mutasi maupun demosi.
b. Membangun sistem akuntabilitas bagi petugas yang menjabat di suatu tempat dengan adanya etika kerja sehingga jabatan bukanlah segala-galanya. Dan berupaya semaksimal mungkin meminimalisir adanya gap (kesenjangan) yang dalam antara jabatan yang dianggap basah dengan jabatan yang dianggap kering. Juga melakukan reformasi birokrasi dengan komitmen dari para Pimpinan Polri untuk tidak mengambil keuntungan lagi dari jabatan tersebut.
c. Sistem pembinaan karir yang tidak berdasarkan senioritas belaka atau berdasarkan like or dislike, tetapi berdasarkan prestasi kerja.
d. Dalam menentukan pejabat pada posisi strategis dibuat sistem kompetisi dan ada kompetitornya bukan lagi sistem penunjukkan, namun berupaya membangun berdasarkan prestasi dan kemampuan.
e. Pejabat yang akan menduduki jabatan strategis harus membuat semacam kontrak kerja yang berisi komitmen, rencana kerja dan target pencapaian, sehingga dapat dijadikan sebagai kontrol secara moral dan rencana kerja serta pencapaian target dapat dijadikan kontrol secara administratif maupun penilaian operasional, sehingga saat akan dipindahkan ada dasarnya apakah promosi, mutasi atau demosi sehingga penggantinya siap dan jelas baik untuk melanjutkan maupun untuk melakukan perbaikan.
f. Penentuan jabatan melibatkan pihak luar (independen) dalam penilaian kinerja.
g. Memperhatikan kualitas/latar belakang pendidikan, meskipun hasil evaluasi selama pendidikan tidak dijadikan patokan setidaknya hal tersebut memberi tanda bahwa personel tersebut telah memenuhi standar kompetensi lewat pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga kepadanya dapat diberikan posisi yang strategis untuk melakukan kaderisasi jabatan.

VII. PENUTUP

11. Kesimpulan


a. Bahwa proses pembinaan karir personel Polri dalam hal mutasi dan promosi, selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Indikasi KKN hampir selalu merebak di setiap penempatan, karena prosesnya yang dianggap tidak akuntabel, adil, dan transparan. Banyak personel Polri yang mengeluhkan proses penempatan karena dianggap pilih kasih, tidak berdasarkan kompetensi, dan penuh intrik. Oleh karena itu pembinaan karir yang dianggap tepat adalah berbasis kompetensi.
b. Ada beberapa pilihan untuk melakukan pembinaan karir berbasis kompetensi, salah satunya dengan konsep assessment center maupun reformasi pembinaan karir SDM Polri. Hal tersebut untuk mengukur seberapa tingginya standar kompetensi yang dihasilkan oleh seorang personel Polri, sehingga Polri dalam menempatkan seseorang dalam jabatan selalu berprinsip the right man on the right place bukan the wrong man in the right place. Dengan prinsip demikian maka tujuan Polri untuk membangun sumberdaya manusia Polri yang berkualitas dapat tercapai dengan baik.

12. Saran

a. Mengoptimalkan lembaga assesment center sebagai wadah untuk penilaian kinerja personel Polri.
b. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pembinaan karir personel Polri.
c. Melibatkan unsur eksternal kepolisian untuk memantau perkembangan pembinaan karir personel Polri, namun bukan untuk intervensi kebijakan pembinaan SDM Polri.


DAFTAR ACUAN

Buku:


Armstrong, Michael E. 1990. Performance Management. London: Kogan Page Limited.
Djamin, Awaloedin. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia 1; Kontribusi Teoretis Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi. Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri.
Kunarto. 1999. Kapita Selekta Binteman Polri. Jakarta: Cipta Manunggal.
Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah Sarasehan. Jakarta: tanpa penerbit.
Mitrani, Alain, dkk. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi. Jakarta: Internusa.
Murgiyono. 2002. Kompetensi Dasar PNS, Konsep Pemikiran Manajemen SDM-PNS Berbasis Kompetensi. Makalah, tidak diterbitkan.
Nawawi, Hadari. 1992. Administrasi Personalia untuk Meningkatkan Produktifitas Kerja. Jakarta: Haji Masagung.
Siagian, Sondang P. 2007. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi; Studi atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi. Bandung: Nusa Media.
Spencer, M.Lyle and M.Signe Spencer. 1993. Competence at Work, Models for Superior Performance. New York: John wiley & Sons Inc.
Wether, William and Keith Davis. 1990. Personel Management and Human Resorurces. Tokyo: McGraw Hill Kogokusha.

Internet:

Mutasi dan Promosi Polri Tidak Punya Standar” www.harianterbit.com Kamis,15/03/2007
Kapolda Kalbar Bantah Dicopot Karena Tersangkut Pembalakan Liar” www.antaranews.com, 17 April 2008.
Harapan Besar di Pundak Kapolri Baru”, www.rambukota.com, 14 September 2008.
Awasi Kasus Korupsi Besar-Besaran”, www.hariansumutpos.com, 27 Oktober 2009

Surat Kabar:

Wakapolwiltabes Tewas Ditembak Anak Buah”, Sinar Harapan 14 Maret 2007.
Setyawan, Anton A. 2008. “Membangun Polri Yang Berkualitas”. Suara Merdeka, 1 Juli 2008.
Baca selengkapnya.....