Kamis, 25 Maret 2010

"MALING TERIAK MALING"

“Amenangi jaman maling, ayo padha dadi maling/ sebab yen tan melu nglakoni maling/ sira kang bakal dimaling// Amenangi jaman maling/ madhep ngalor dadi maling/ madhep ngidul dadi maling// Mula sira padha elinga: maling ra maling tetepa maling/ Sebab sabeja-bejane kang ora maling/ isih beja kang maling kanti waspada.


Itu tadi syair Ronggowarsito yang diplesetkan. Saya kopi dari sebuah blog Pak Budiyono (budiagency.wordpress.com). Bagus juga untuk jadi topik opini saya. Nuwun sewu ya, pak Bud….tembange apik tenan je!
“Maling teriak maling” adalah ekspresi dari seseorang dalam melihat suatu kenyataan yang tidak disepakati, bisa jadi itu pembelaan terhadap kasus yang berlawanan dengan opini yang berlawanan. Istilah ini menunjukkan bahwa orang tidak mau disalahkan oleh orang yang pernah melakukan perbuatan yang sama, kalau perlu orang yang menyalahkan itu ikut dimasukkan pula dalam lingkaran hukum.
Maling adalah seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk dimiliki. Maling bagi sebagian orang merupakan perbuatan yang menistakan keluarga maupun pribadi, tapi kadang harus dilakukan kalau tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maling bisa dilakukan secara terhormat seperti Robin Hood atau Si Pitung, tapi bisa juga tidak terhormat seperti yang bisa kita lihat di sel-sel tahanan polisi sekarang. Perbuatan maling dimana-mana tetap saja merupakan pelanggaran hukum, bukan hanya pada dikenakan pada orang-orang yang emang dasarnya punya trah maling atau orang yang bersembunyi dibalik kemeja (white collar).
Individu yang saling bekerjasama (kolaborasi) untuk menjadi maling tentu mengharapkan perbuatannya tidak ingin diketahui masyarakat, karena kalau ketahuan resikonya bisa banyak macam: digebukin sampai mati, dibakar hidup-hidup, dipenjara, diberitakan di koran-koran, atau hanya diperingatkan untuk tidak dilakukan lagi.
Karena kerjasamanya tersebut, maka para maling ini mempunyai kode etik permalingan, bahwa tidak akan buka mulut mengenai harta yang diambil, tidak dengki dengan pembagian hartanya, tidak melaporkan ke polisi kalau tidak mendapat jatah lebih, dan tidak membuka rahasia cara malingnya kecuali kalau mau alih generasi.
Seorang maling pasti akan mempelajari cara-cara maling dari seorang maling juga, gak mungkin dia akan maling tapi berguru pada seorang kyai, karena ilmunya nanti gak akan nyambung. Oleh sebab itu maling yang tidak bekerja sendiri pasti akan menularkan sedikit ilmu malingnya kepada maling yunior, karena si maling senior pasti akan memikirkan kalau dia sudah tidak aktif lagi mungkin masih bisa kecipratan hasil malingnya si yunior.
Seorang maling tidak mau berhadapan dengan penegak hukum, karena aib yang akan ia terima (apalagi kalau maling itu tidak memberitahukan pekerjaannya kepada keluarganya). Ia pasti akan malu kalau namanya terpampang di koran-koran lengkap dengan wajahnya. Kemudian polisi pasti akan bertanya apakah ia bekerja sendiri ataukah ada yang membantu, seorang maling sejati pasti tidak akan membeberkan rahasia siapa yang membantunya, namun kala ia dihadapkan pada situasi dimana kejahatannya didapat dari hasil kerjasama maka si maling tentu tidak mau pasang badan untuk mengakui perbuatannya, dia pasti akan menyeret maling yang bekerjasama dengannya untuk masuk penjara bareng dengannya.
Situasi ini akhirnya membuat orang yang tidak turut ditangkap oleh polisi merasa jengah karena alat bukti hanya berdasarkan keterangan si maling tadi, hingga dia pasti akan mengklarifikasi ke khalayak ramai bahwa dirinya bersih, adalah fitnah dan perbuatan nista orang yang menuduhnya sebagai maling juga. Inilah yang disebut “maling teriak maling” atau “maling ngumpet wedi silit” …..di dunia ini siapa mau sih dicap hina sebagai maling? (dalam hati orang yang dituduh maling akan debar-debar, mudah-mudahan tuduhannya tidak terbukti…kalau gak terbukti kan aku bisa menikmati hasil malingnya dan bisa maling lagi di tempat lain yang lebih tajir).
Lebih susah lagi kalau “maling teriak maling” pada kumpulan maling-maling yang sudah terstruktur (halaahh…ono yo struktur organisasi maling?), karena orang lain sudah tidak akan menggubris teriakannya. Yang bisa dia lakukan kalau tertangkap ya hanya berdoa, semoga saja temannya maling itu tergelincir pada perbuatan yang lebih nista lagi atau Ya Tuhan semoga dia berhenti jadi maling tidak seperti diriku…hehehehe, ikhlas gak?
Baca selengkapnya.....

Rabu, 10 Maret 2010

Polisi, Profesionalisme dan Kesejahteraan

Pendahuluan

Polisi memiliki posisi yang paling strategis dalam usaha menciptakan dan menegakkan keamanan di masyarakat. Oleh karena itu, hak-hak asasi polisi perlu mendapatkan prioritas utama dalam reformasi kepolisian nasional. Pembenahan kurikulum, perbaikan sarana/prasarana, penyesuaian peraturan merupakan hal yang sangat penting bagi upaya pengembangan penegakan hukum, tetapi sama sekali tidak bermakna jika polisinya “tidak profesional” dan “tidak sejahtera”. Dengan demikian, upaya reformasi penegakan hukum seharusnya dimulai dari penataan polisi dilihat dari aspek “mutu” dan “kesejahteraan”. Upaya tersebut akan benar-benar terwujud jika para polisi mendapat peluang yang seluas-luasnya untuk memberdayakan diri.

Secara konseptual, polisi yang diharapkan adalah sosok polisi yang ideal yang diidamkan oleh setiap pihak yang terkait, seperti: pemerintah, masyarakat luas, budaya, dan polisi itu sendiri. Selanjutnya, beberapa karakteristik polisi yang ideal antara lain: memiliki semangat juang yang tinggi serta kualitas moral, iman dan takwa yang mantap; mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek; mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain; memiliki etos kerja yang kuat; memiliki kejelasan dan memiliki pengembangan jenjang karir; memiliki profesionalisme yang tinggi; polisi yang memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan non-material; memiliki wawasan masa depan; dan mampu melaksanakan fungsi dan peranannya.

Tetapi, dalam kenyataannya, keberadaan polisi masih tetap terabaikan. Hal yang paling menyulitkan polisi adalah menjaga keseimbangan antara tuntutan untuk berbuat normatif ideal dengan suasana kehidupan yang materialistis, individualistis, kompetitif, dan konsumtif. Faktor mendasar yang terkait dengan kinerja profesional polisi adalah “kepuasan kerja” yang berkaitan dengan “kesejahteraan polisi” yang meliputi : imbal jasa, rasa aman dalam bertugas, hubungan antar pribadi, kondisi lingkungan kerja, dan kesempatan untuk pengembangan serta peningkatan diri. Beberapa dimensi permasalahan polisi yang masih harus diatasi adalah dimensi: kuantitas, kualitas, sebaran, sistem penegakan hukum, pengelolaan dan jenjang karir polisi, dan manajemen polisi. Sesuai dengan dimensi masalah yang dihadapi maka disarankan tindak lanjut yang konsepsional, dan realistis.

Kondisi Faktual Polisi Saat Ini

Dalam keseluruhan usaha menciptakan pengayoman dan rasa aman masyarakat, polisi memegang posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam program reformasi kepolisian, kesejahteraan dan rekruitmen polisi hendaknya menjadi pusat perhatian dalam penataannya. Hak-hak asasi polisi sebagai pribadi, pemangku profesi kepolisian, anggota masyarakat, dan warga negara perlu mendapat prioritas dalam reformasi penegakan hukum nasional. Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan sarana, penyesuaian peraturan, jelas sangat penting. Dengan demikian upaya reformasi kepolisian harus diumulai dengan penataan SDM “polisi” terutama dalam mutu profesi dan kesejahteraannya yang meliputi: imbalan jasa yang wajar, suasana rasa aman dalam bekerja, kondisi kerja yang baik, hubungan antar pribadi yang sehat, dan kesempatan peningkatan diri dan karir. Semua itu hanya mungkin terwujud apabila para polisi mendapat peluang yang besar untuk pemberdayaan dirinya dalam nuansa paradigma penegakan hukum, bukan dalam paradigma birokratis yang kaku atau paradigma lainnya. Alangkah idealnya apabila semua pihak dapat menempatkan polisi dalam posisi yang tepat yaitu sebagai insan penegakan hukum melakukan tindakan nyata dalam upaya pemberdayaanya sesuai dengan hak-hak asasinya.

Dalam pengertian terbatas, polisi diartikan sebagai satu sosok individu yang berada di depan dalam usaha sebagai individu maupun kelembagaan untuk menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara lebih luas, polisi mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mengayomi masyarakat dalam mengembangkan kepribadiannya, baik yang berlangsung di masyarakat maupun luar masyarakat. Menurut UU No.2 tahun 2002, polisi termasuk kelompok profesi khususnya penegak hukum, yang bertugas untuk membimbing, menegakan keamanan, dan atau melatih masyarakat. Siapapun akan mengakui bahwa keberadaan polisi tidak dapat dilepaskan dalam keseluruhan kehidupan umat manusia.

Dalam maraknya arus informasi pada masa kini, polisi merupakan salah satu sumber informasi. Namun, perannya dalam proses masih tetap diperlukan khususnya yang berkenaan dengan sentuhan-sentuhan psikologis-keamanan terhadap masyarakat. Diakui atau tidak, setiap manusia pernah menerima bantuan atau berhubungan dengan polisi, entah di masyarakat atau di luar masyarakat entah SD, SLTP, SMA, PT, atau di lembaga penegakan hukum lainnya. Hal ini mempunyai makna bahwa polisi mempunyai andil dalam pembentukan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, pada hakikatnya polisi itu dibutuhkan oleh setiap orang, dan pada sudah tempatnya kalau semua orang sangat mengidamkan kehadiran citra polisi yang ideal dalam dirinya.

Bagaimanakah sosok polisi yang diharapkan itu? Secara konseptual polisi yang diharapkan adalah sosok polisi yang ideal yang diidamkan oleh setiap pihak yang terkait. Dari sudut pandang masyarakat, polisi ideal adalah polisi yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebagai sosok sumber motivasi masyarakat untuk berlaku tertib dan mematuhi hukum bersama-sama menciptakan rasa aman. Pada umumnya masyarakat sangat mengidamkan polisinya memiliki sifat-sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, menguasai hukum, mampu melaksanakan tugas dengan baik, dsb.

Dari sudut pandang masyarakat, polisi yang diharapkan adalah sosok yang dapat menjadi mitra masyarakat. Masyarakat sangat mengidamkan agar polisi itu menjadi teladan di masyarakat sehingga dapat melengkapi, menambah, memperbaiki pola-pola penegakan hukum dan di dalam keluarga. Pihak pemerintah, mengidamkan agar para polisi itu mampu berperan secara profesional sebagai unsur penunjang kebijakan dan program pemerintah terutama di bidang penegakan hukum. Dengan perkataan lain, polisi merupakan wakil pemerintah dan wakil masyarakat di lembaga penegakan hukum dan wakil lembaga penegakan hukum di masyarakat. Polisi merupakan unsur masyarakat yang diharapkan mampu mempersiapkan anggota masyarakat yang sebaik-baiknya.

Dari sudut pandang budaya, polisi merupakan subyek yang berperan dalam proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam pelestarian nilai-nilai budaya sebagai bangsa yang beradab (policing). Demikinlah kehadiran sosok polisi ideal itu merupakan harapan semua pihak. Secara ideal polisi yang diharapkan adalah polisi yang memiliki keberdayaan untuk mampu mewujudkan kinerja yang dapat mewujudkan fungsi dan perannya seoptimal mungkin. Perwujudan tersebut terutama tercermin melalui keunggulannya dalam menegakan keamanan, hubungan dengan pihak lain, sikap dan ketrampilan profesionalnya. Penampilan semua itu dapat terwujud apabila didukung oleh sejumlah kompetensi yang meliputi kompetensi intelektual, sosial, pribadi, moral-spiritual, fisik, dsb.

Dari sudut pandang polisi itu sendiri, mereka sangat mengharapkan adanya pengakuan terhadap keberadaan dirinya sebagai pribadi insan penegak hukum diberikan peluang untuk mewujudkan “otonomi penegakan hukum” secara profesional. Dalam mewujudkan otonomi penegakan hukum, polisi mengharapkan agar memperoleh kesempatan untuk mewujudkan kinerja pribadi dan profesionalnya melalui pemberdayaan diri secara kreatif. Polisi juga mengharapkan agar memperoleh perlakuan yang wajar dan adil sesuai dengan hak dan martabatnya. Polisi mengharapkan perwujuan hak-haknya sebagai insan penegakan hukum yang berupa kesejahteraan pribadi dan profesional yang meliputi: (1) imbal jasa yang wajar dan profesional, (2) rasa aman dalam melaksanakan tugasnya, (3) kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya, (4) hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif, (5) kepastian jenjang karir dalam menuju masa depannya.

Kondisi Polisi yang Diharapkan

Beberapa karakteristik citra polisi yang diharapkan dapat membantu mewujudkan kondisi serta kinerja polisi yang ideal, antara lain sebagai berikut:
Pertama, polisi yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap. Semangat juang merupakan landasan utama bagi perwujudan perilaku polisi dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kinerja perilaku polisi menuntut kualitas semangat nasionalisme dalam menyukseskan pembangunan nasional. Bagaimanapun lembaga penegakan hukum yang menjadi lingkup pengabdian berada di Indonesia dan untuk kepentingan bangsa Indonesia sehingga harus senantiasa beroreintasi nasional Indonesia. Selanjutnya, landasan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan landasan yang paling fundamental bagi perwujudan kinerja para aparat penegak hukum. Tanpa landasan itu, maka tidak akan tercapai citra polisi dengan kualitas keberdayaan yang bermakna.

Kedua, polisi yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan pedoman dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek. Perwujudan diri para polisi hendaknya beroreintasi kepada tuntutan perkembangan lingkungan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua unsur yang terkait harus mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan lingkungan terutama tuntutan perkembangan pembangunan dan tuntutan sosial-budaya. Di samping itu, tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut agar para polisi mampu meyesuaikan profesi dan kompetensinya.

Ketiga, polisi yang mampu belajar dan bekerjasama dengan profesi lain. Dalam melaksanakan fungsinya setiap unsur tidak berbuat sendirian, akan tetapi harus berinteraksi dengan unsur lain yang terkait melalui suasana kemitraan yang bersifat sistemik, sinergik, dan simbiotik. Demikian pula antar disiplin ilmu seharusnya saling berinteraksi dan bekerjasama dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul dari tantangan kehidupan modern. Pendekatan interdisipliner dalam bentuk tim kerja merupakan sesuatu yang mutlak harus dijadikan landasan dalam kenerja polisi.

Keempat, polisi yang memiliki etos kerja yang kuat. Etos kerja merupakan landasan utama bagi kinerja semua aparat dalam berbagai jenis dan jenjang penegakan hukum. Pembinaan dan pengembangan profesionalitas polisi senantiasa mengacu kepada etos kerja yang mencakup: disiplin kerja, kerja keras, menghargai waktu, berprestasi, sikap kerja, dan sebagainya.

Kelima, polisi yang memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karir. Citra polisi profesional hanya dapat berkembang deengan baik apabila disertai deegan pengembangan karir secara jelas dan pasti. Semua karya-karya fungsional para polisi hendaknya mempunyai dampak bagi prospek peningkatan karirnya di masa yang akan datang baik dalam status ataupun martabat dan hak-haknya.

Keenam, polisi yang berjiwa profesional tinggi. Pada dasarnya profesionalisme itu merupakan motivasi intrinsik sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) keinginan untuk senatiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilan, (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.

Ketujuh, polisi yang memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan non material. Kesejahteraan lahir dan batin merupakan kebutuhan hakiki bagi setiap individu. Dalam hubungan ini, upaya pembinaan dan pengembangan profesionalitas hendaknya tidak mengabaikan aspek kesejahteraan. Peningkatan profesionalitas seharusnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan baik material maupun non-material. Dan sebaliknya penigkatan kesejahteraan seyogyanya mendorong untuk peningkatan profesionalitas.

Kedelapan, polisi yang memiliki wawasan masa depan. Sesuai dengan cita-citanya, manusia Indonesia harus mampu hidup sejahtera dan lestari di masa depan. Hal ini mengandung makna bahwa semua aktivitas penegakan hukum hendaknya senantiasa berorientasi ke masa depan, sebab setiap karya yang dihasilkan masa kini sesungguhnya untuk kepentingan di masa yang akan datang. Semua itu, hendaknya dijadikan sebagai acuan bagi para polisi dalam melaksanakan tugasnya.

Kesembilan, polisi yang mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara terpadu. Asas ini mengisyaratkan bahwa penegakan hukum bukan tanggung jawab satu pihak saja, melainkan tanggung jawab bersama semua pihak yang terkait. Pihak-pihak terkait antara lain: para pembuat kebijakan dan keputusan, para manajer, para pakar dalam berbagai bidang dan disiplin, organisasi profesi, dan para pelaksana penegakan hukum itu sendiri. Dalam keterpaduan ini, polisi diharapkan menjadi inti dari keseluruhan kegiatan roda pengelolaan penegakan hukum.

Penutup

Siapapun sependapat bahwa polisi itu memegang peranan yang amat penting dalam upaya pengembangan sumber daya manusia melalui penegakan hukum. Hal itu pasti selalu dinyatakan oleh sebagai pihak baik pribadi maupun pejabat dalam berbagai kesempatan. Namun dalam kenyataannya, polisi tetap terabaikan dalam perwujudan keberdayaannya sebagai insan penegakan hukum. Polisi lebih banyak memperoleh perlakuan sebagai obyek administratif dan birokratis, sehingga keberdayaannya sebagai insan penegakan hukum selalu terpasung dan tidak berkembang. Berbagai upaya pembaharuan penegakan hukum telah banyak dilakukan melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dan sebagainya, tapi belum memperioritaskan polisi sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Manajemen SDM polisi yang mencakup rekrutmen, penempatan, pengelolaan, pembinaan, dan sebagainya, masih dirasakan belum memberikan kenyamanan bagi para polisi dan selalu menimbulkan berbagai kendala dan masalah yang senantiasa dirasakan oleh polisi. Tanpa mengabaikan berbagai usaha nyata yang telah dilakukan pemerintah terhadap polisi dengan berbagai hasilnya, masih dapat dikatakan bahwa sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kondisi polisi (kesejahteraannya) masih belum memenuhi standar hidup minimal yang layak. Hal ini sudah tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja para polisi yang “katanya” sebagai ujung tombak dunia penegakan hukum. Dalam hal penegakan hukum dinilai kurang berhasil, polisi masih menjadi sasaran sebagai sumber kegagalan, dan manakala tercapai keberhasilan, polisi terlupakan kontribusinya sebagai salah satu unsur penegakan hukum. Ungkapan polisi sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan dan sumber motivasi. Potensi polisi yang mencakup jumlah yang besar, penyebaran yang menjangkau seluruh kawasan tanah air, kualitas penegakan hukum, kualitas kepribadian, dan front tempat bertugas belum dinikmati oleh para polisi. Potensi polisi selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk berbagai tujuan dan kepentingan seperti politik, kekuasaan dan arogansi, bisnis, kepentingan pribadi, dan sebagainya.

Perwujudan polisi yang diharapkan itu tidak semudah yang dibayangkan karena demikian banyak faktor yang terkait dan saling mempengaruhi. Kaum polisi sendiri sesungguhnya mempunyai keinginan untuk tampil sebagai polisi idaman. Namun, perlu diingat bahwa semuanya tidak hanya terletak dalam diri para polisi saja, sebagian besar faktornya berada di luar kaum polisi itu sendiri. Polisi tidak mungkin dapat mewujudkan kinerjanya dengan optimal tanpa dukungan dari pihak lain termasuk pemerintah dan masyarakat luas. Secara jujur diakui atau tidak pada saat ini polisi lebih banyak dituntut untuk mewujudkan kinerja idealnya, sementara hal-hal yang menjadi hak polisi belum sepenuhnya diterima oleh polisi. Kinerja polisi sangat ditentukan oleh sikap dari masyarakat, yang sampai saat ini masih belum dirasakan oleh polisi. Polisi sangat mengidamkan agar dapat bermitra dengan aparat penegak hukum lainnya dalam posisi sebagai penegak hukum dengan melepaskan berbagai atribut dan simbol-simbol posisi tertentu seperti pangkat, jabatan, kedudukan, materi, dan sebagainya. Misalnya pada waktu mengambil raport anak, polisi sangat mengidamkan dapat berdialog langsung dengan guru dalam suasana kemitraan dan bukan dalam suasana atasan-bawahan atau orang kaya dan miskin, atau pimpinan dan rakyat, dan sebagainya. Dalam dialog ini dibicarakan berbagai aspek penegakan hukum dan anak-anaknya dalam suasana kekeluargaan dan kemitraan.

Hal yang paling menyulitkan para polisi adalah menjaga keseimbangan antara tuntutan untuk berbuat normatif ideal dengan suasana kehidupan masa kini yang ditandai dengan pola-pola kehidupan yang materialistis, individualistis, kompetitif, konsumtif, dan sebagainya. Faktor mendasar yang terkait erat dengan kinerja profesional polisi adalah “kepuasan kerja” yang berkaitan erat dengan “kesejahteraan” para polisi. Kepuasan ini dilatar belakangi oleh faktor-faktor; (1) imbal jasa, (2) rasa aman, (3) hubungan antar pribadi, (4) kondisi lingkungan kerja, dan (5) kesempatan untuk pengembangan dan peningkatan diri. Nampaknya kelima faktor itu belum dapat terwujud sehingga mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal.

Dari aspek imbal jasa baik yang bersifat materi ataupun non-materi, harus diakui masih jauh dari ”memberikan kepuasan” dan “keadilan”. Meskipun, diakui bahwa harkat dan martabat polisi bukan terletak pada aspek materi atau simbol-simbol lahiriah, namun kenyataan masa kini umumnya manusia menilai seseorang dari aspek materi dan penampilan lahiriah. Dari sudut inilah para polisi sudah tentu sangat mengharapkan agar ”imbal jasa” dapat disesuaikan dengan syarat kualitas memadai, wajar, dan adil. Memang disadari bahwa masalah ini merupakan masalah nasional dan pemerintah terus menerus menguahakan untuk meningkatkan kesejahteraan polisi dan sampai batas tertentu sudah banyak dirasakan oleh kaum polisi. Semoga di masa yang akan datang idaman dapat terwujud sehingga polisi dapat mewujudkan kinerjanya dengan penuh kepuasan diri.

Rasa aman sebagai faktor kepuasan masih merupakan idaman para polisi. Kalau menelaah berbagai kasus kejadian yang banyak muncul dewasa ini (dan juga di masa lalu), ada kecenderungan kondisi ini belum terwujud secara penuh. Masih ada kasus pelecehan terhadap polisi seperti uang dalam korek api, suap, dll, sering kita saksikan dalam berbagai pemberitaan di media massa. Belum lagi masalah-masalah yang masuk ke dunia penegakan hukum dan dengan berlatar belakang “bisnis” yang dapat menyulitkan posisi polisi sebagaai pendidik di depan masyarakat-masyarakatnya. Perlakuan dari pihak pejabat, masyarakat, dan kadang-kadang dirasakan kurang mendukung rasa aman polisi dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya adanya pengaduan atau proses terhadap tindakan hukuman yang diberikan oleh polisi.
Baca selengkapnya.....

BIROKRASI MELAHIRKAN REKAYASA?

Maraknya keluhan masyarakat mengenai perekayasaan kasus oleh oknum polisi ditanggapi kritis oleh Polri sebagai akar masalah dari budaya setoran yang belum benar-benar pupus (Kompas, 9 Maret 2010). Fungsi pelayanan polisi belum berjalan optimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang ada hanyalah para atasan masih ingin menikmati sisa-sisa jaman jahiliyah dimana mereka masih menikmati “pelayanan” dari bawahan. Hal yang merupakan pembelajaran masa lalu, berdampak pada kultur pelayanan pada masyarakat. Bawahan seperti dikejar setoran layaknya sinetron stripping untuk berlomba-lomba mencari muka dihadapan atasan, bukan dengan pendekatan kinerja namun pendekatan uang.
Berdasarkan pengaduan masyarakat menurut sumber Kompas, bahwa 1.151 keluhan mengenai pelayanan yang buruk apakah itu penundaan kasus yang berlarut, tidak mau menerima laporan masyarakat, atau tidak mau memberikan laporan perkembangan kasus. Sedangkan 239 keluhan mengenai penyalahgunaan wewenang, 48 keluhan diskriminasi, 20 keluhan diskresi yang keliru, dan 8 keluhan dugaan korupsi. Kesimpulannya bahwa masyarakat masih mengeluhkan pelayanan Polri yang buruk. Loyalitas aparat belum kepada pelaksanaan pekerjaan, namun diberikan kepada atasan dengan ekspektasi akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut, apakah diingat oleh atasan, dipromosikan, dipertahankan, atau mendapat perlindungan (Kurniawan, 2009: 22).
Hal ini terjadi karena sistem administrasi Polri masih dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan setiap kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan (rules driven). Dimana prosedur yang dilakukan terasa berbelit-belit dalam memberikan pelayanan maupun penyelesaian permasalahan. Organisasi Polri saat ini menganut birokrasi weberian yang mempunyai corak otoriter dan feodalistik. Sistem yang digunakan dalam organisasi Polri bercorak sistem paternalistik, dimana seorang bawahan tidak berani melakukan tindakan apabila tidak mendapat perintah atau restu dari atasannya. Sehingga atasannya selalu dianggap sebagai pusat kekuasaaan.
Menurut Suparlan (1999), pranata yang otoriter dan bercorak feodalistik berdasarkan kesetiaan kepada atasan, bukan kesetiaan pada kerja dan produktivitas serta KKN. Menurut Toha (2003), birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu,yang menentukan orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarki dari atas ke bawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan dibawahnya. Dan semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan akan kekuasaan.
Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua penyelesaian urusan masyarakat. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan “basah” memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.
Maka sangatlah wajar apabila masih diindikasikan terjadinya rekayasa kasus yang berbuntut pada masih adanya budaya setoran di organisasi kepolisian ini.
Dari uraian diatas, yang dilakukan oleh pengemban tugas pokok masih bersifat konvensional, sehingga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada polisi, karena :
1. Sistem manajemen Polri yang sentralistik, dengan sistem ini pelaksana di tingkat bawah akan selalu berpedoman pada perintah atasan, yang menyebabkan dalam melaksanakan tugas pokok akan selalu menunggu perintah dan perintah yang dilaksanakan bersifat loyalitas serta yang terpenting tidak ada kesalahan atau tegoran. Dengan loyalitas tersebut pengemban fungsi akan melakukan kegiatan sesuai dengan pengalamannya dan kekuasaannya untuk melakukan tugas pokoknya sesuai dengan seleranya.
2. Dukungan anggaran berdasarkan perintah lisan dari pimpinan birokrasi melakukan pemotongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga daftar usulan proyek yang diusulkan kesatuan bawah hanya formalitas atau hanya diperwabku (pertanggungjawaban keuangan) saja.
3. Dalam melaksanakan tugas pokok, mengedepankan pada penegakan hukum, karena tolok ukur keberhasilan tidak jelas. Siapa yang dapat mengungkap kasus yang menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat dinilai berhasil. Ukuran keberhasilan hanya ditentukan dengan penurunan angka kejahatan (crime total) dan pengungkapan (crime clereance).
4. Sistem pendeteksian terhadap gejala sosial dibuat berdasarkan laporan rutin yang diganti hari dan tanggalnya. Sehingga kebijakan yang dibuat bersifat rutinitas dan dikejutkan adanya gangguan kriminalitas diluar perkiraan atau dugaan.
5. Dalam pembinaan karir yang berkembang karena hubungan pribadi (personal) yang sarat KKN dan standar pembinaan karir bersifat formalitas (banyak hak prerogatif dari pimpinan tanpa melihat kualitas kinerja maupun akademis personel yang bersangkutan).

Menurut Kurniawan (2009: 40), dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui suatu birokrasi perlu dibangun suatu standar kompetensi petugas kepolisian dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai berikut:
1. Tingkat pendidikan aparat.
2. Kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal.
3. Kemampuan melakukan kerjasama.
4. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dilakukan organisasi.
5. Kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan.
6. Kecepatan dalam melaksanakan tugas.
7. Tingkat kreativitas mencari tata kerja yang terbaik.
8. Tingkat kemampuan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada atasan, bukan memberikan upeti.
9. Tingkat keikutsertaan dalam pelatihan atau kursus yang berhubungan dengan bidang tugasnya.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensi, efisiensi dan efektifitas birokrasi kepolisian, maka perlu dilakukan langkah-langkah transformasi kultur birokrasi. Pembaruan kultur diarahkan kepada perubahan kepemimpinan yang transformasional. Menghilangkan budaya upeti akan terlaksana bila dari pada level atas tidak membudayakan hal tersebut, sehingga level bawah akan merasa malu kalau berbuat penyimpangan. Selain itu perilaku pejabat birokrasi harus diarahkan untuk mau merubah mindset birokrasi lebih kepada perubahan profesionalisme sikap, organisasi, maupun masyarakat (Kurniawan, 2009: 104). Dengan perubahan moral ini, diharapkan Polri akan lebih mengedepankan kualitas kinerja dalam pelayanannya terhadap masyarakat ketimbang memperlakukan lebih pada atasannya untuk hal-hal diluar kedinasan. Dengan demikian diharapkan budaya pelanggaran hukum atau rekayasa kasus demi kepentingan pribadi atau oknum pejabat sedikit demi sedikit dapat dihilangkan.


Referensi:

Kurniawan, Agung. 2009. Transformasi Birokrasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII. Jakarta: Departemen Kehakiman.
Toha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Setoran Suburkan Penjebakan”, Kompas 9 Maret 2010.
Baca selengkapnya.....

MARILAH BERSIKAP CERDAS



Syahibul hikayat pada jaman Akabri dulu, kata senior, kalau kamu sakit demam lebih baik langsung ganti kostum…pakai training kuning kemudian lari keliling lapangan, pasti sakit demam sembuh. Tapi percaya atau tidak, memang kalau sedang sakit terus kita paksa lari langsung sembuh lho, tapi jangan dicoba pada sakit tipus, liver, atau kanker. Itu harus diarahkan pada ahlinya.
Cerita tentang sakit tadi, fenomena bentrokan antara mahasiswa dan polisi di seantero Nusantara mengibaratkan kondisi demokrasi kita yang sedang sakit pula, cepat menular. Terkadang malah tidak masuk akal, lha yang di Jakarta unjuk rasanya adem ayem, yang di Pekanbaru rusuh, di Makassar ricuh, di Mataram kisruh, di Palembang embuh….yang dirusak adalah simbol-simbol negara yang dibangun dengan uang rakyat. Ya merusak kantor, merusak mobil dinas, merusak rambu lalu lintas, merusak traffic light, merusak fasilitas umum lainnya, bahkan merembet ke pemblokiran jalan sehingga masyarakat lain merasa terusik. Nah yang berabenya, kalau masyarakat melakukan serangan balik yang dituduh adalah polisi yang merekayasa situasi.
Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa ada sebuah stereotip pemikiran tentang tugas polisi dalam masyarakat selama ini. Tugas polisi adalah mengontrol, mengendalikan masyarakat, dan memelihara ketertiban publik dari setiap ancaman, gangguan, hambatan, dan kejahatan. Dengan stereotip demikian, maka akan mudah diarahkan oleh segelintir orang untuk menghadapkan polisi dan masyarakat secara diametral (Rahardjo, 2007: 196). Dimana-mana di dunia ini, polisi tidak pernah akan dicintai masyarakatnya. Tugas polisi memang harus melanggar hak asasi, namun hak asasi yang dilanggar adalah pada orang yang dengan sadarnya melanggar hak asasi orang lain pula (melakukan kejahatan atau pelanggaran). Dengan polisi menangkap orang, apakah keluarganya lantas mencintai kerja polisi itu? Tapi tentunya kerja polisi akan dicintai oleh orang yang merasa dilanggar hak asasinya oleh orang yang ditangkap polisi.
Cerita baru-baru ini yang sedang hangat adalah perseteruan HMI dan polisi Sulsel, satu sama lain saling klaim merasa yang benar. Mahasiswa Sulsel seperti tersulut bensin ketika mengetahui salah satu kampus “diserang” oleh polisi. Mahasiswa tidak mau tahu kalau sebelum itu sebuah Polsek sudah dihancurkan oleh mahasiswa, yang mereka tahu hanyalah mahasiswa mereka dianiaya oleh polisi karena tidak mengindahkan perhatian polisi untuk berhenti saat akan diperiksa. Dan yang mahasiswa maui adalah cerita kampus mereka diserang oleh “gerombolan” polisi dan warga. Ini dianggap melanggar HAM, kalau begitu merusak simbol-simbol negara bukan melanggar HAM? Sepintas memang kantor polisi yang dirusak, namun keringat rakyat untuk membayar pajak guna mewujudkan kantor tersebutlah yang dilanggar HAM-nya. Ditambah dengan mengganggu aktivitas warga lain seperti memblokir jalan, merusak fasilitas umum, dll. Opini kedua belah pihak menggiring masyarakat untuk berpolemik siapa yang salah dan siapa yang benar, hellow come on….yang menangguk kerugian adalah bukan daerah tersebut, namun sudah eskalasi nasional. Keamanan nasional akan tercoreng, devisa akan beralih ke negara lain, investor akan takut untuk berinvestasi….sedikit-sedikit takut diserang, takut dirusak, takut dianiaya, dll.
Untuk itu, marilah kita berpikiran cerdas. Polisi bukan sebagai penjaga kekuasaan dan mahasiswa bukan sebagai gerombolan berbaju intelektualitas. Mahasiswa jangan memandang polisi sebagai kekuatan yang harus dilawan, dan polisi juga harus bersikap cerdas menyikapi perilaku oknum mahasiswa yang berintelektualitas rendah. Bentrokan yang terjadi memang patut kita sesalkan, reformasi adalah merubah yang bakhil menjadi baik bukan menghalalkan semua cara. Mahasiswa sebagai center of excellence harus mengedepankan ketajaman analisisnya, bukan mengedepankan kengototannya untuk mewujudkan sesuatu. Perlu diingat, bahwa dalam berdemokrasi semua harus tunduk pada aturan, ada medianya untuk menyampaikan aspirasi. Sangat musykil kalau semua tuntutan harus dipenuhi, seorang yang kritis ketika berorasi ketika didudukkan pada suatu jabatan untuk mengurus negara pun belum tentu mampu untuk mewujudkannya. Kemudian, bagi polisi bersikaplah protagonis yang setuju atau tidak, aspirasi mahasiswa perlu didengarkan (Rahardjo, 2007: 201). Namun sebelum mereka menyampaikan aspirasinya, sampaikan terlebih dahulu koridor hukum yang harus dipatuhi. Jadi apabila terjadi pelanggaran, akan mudah bagi polisi untuk menggiring opini publik apabila diadakan tindakan tegas bila pengunjukrasa sudah melewati batas.
Demokrasi kita sedang sakit, tapi pengobatannya bukan menyuruh lari siang seperti prolog diatas, namun masing-masing pihak yang berkompetenlah yang harus duduk semeja untuk membahas solusi praktis pengobatan demokrasi kita. Reformasi kita sudah kebablasan, bahkan sekarang sudah tidak ada lagi penghormatan kepada simbol-simbol negara, kalau masyarakat sendiri tidak menghormati bagaimana dengan negara lain? Marilah kita bersikap cerdas.

Referensi:

Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.
Baca selengkapnya.....