Minggu, 25 Oktober 2009

UNDANG-UNDANG LALU LINTAS (BARU) DAN TANTANGAN POLANTAS MASA DEPAN



Pendahuluan

Akhirnya, revisi UU No. 14 Tahun 1992 disahkan oleh DPR melalui terbitnya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Dalam UULAJ yang baru antara lain disebutkan bahwa urusan lalu lintas angkutan jalan tidak melulu menjadi tugas dari Dephub namun sudah terintegralistik dengan potensi-potensi lain yang berhubungan dengan keamanan, kelancaran, ketertiban dan keselamatan jalan. Untuk pembinaan kedepan, beberapa kementrian termasuk Polri memiliki peran yang penting dalam pelaksanaannya. Setumpuk masalah memang masih menggelayuti terbitnya UU ini, masyarakat tentu akan berpandangan kritis bahwa pelaksanaan UU terdahulu saja masih belum diinternalisasi dalam kultur berkendaraan masyarakat Indonesia, malah terbit UU baru yang menurut saya lebih berpihak pada penegakan hukum saja ketimbang bagaimana mengubah kultur berlalu lintas masyarakat. Apakah dengan penekanan pada penegakan hukum yang berat maka kultur akan berubah? Siapkah infrastruktur dan suprastruktur kita untuk mengawal amanat dalam UU ini? Siapkah aparat terkait dengan lalu lintas lebih mengedepankan pembenahan kultur berlalu lintas rakyat Indonesia ketimbang lebih bersifat represif menanggapi UU ini? Setumpuk pertanyaan lagi mungkin akan membayang pada pelaksanaan aturan ini kelak, namun yang patut disyukuri adalah pemikiran kritis pemerintah dalam upayanya mendisiplinkan rakyat untuk berlalu lintas.
Lalu lintas bukan hanya berarti gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan saja, namun lalu lintas lebih kepada: 1) urat nadi kehidupan, 2) cermin budaya bangsa, 3) tingkat peradaban, dan 4) tingkat kepatuhan hukum. Urat nadi kehidupan berarti bahwa manusia membutuhkan lalu lintas untuk bisa bersosialisasi dan beraktifitas untuk meningkatkan kualitas hidupnya, bahwa dengan manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya maka manusia dapat hidup dengan aman, lancar, dan damai. Cermin budaya bangsa berarti bahwa perilaku manusia dimuka bumi ini akan terpancar dari cara mereka berkendara di jalan atau tempat-tempat lainnya, apakah selama berkendara tersebut mereka bisa sabar, tertib, atau santun. Kalau sudah mencerminkan sifat-sifat itu, maka sudah pasti budaya bangsa akan tercermin dari situ.Tingkat peradaban mengandung makna bahwa setiap saat selalu berkembang teknologi dalam bertransportasi, dan dalam mengembangkan teknologi lalu lintas harus berpatokan pada keselamatan dan penghargaan pada pengguna jalan lain, kalau sudah mencerminkan hal itu berarti tingkat peradaban manusia semakin maju dan semakin menyadari arti pentingnya menghargai sesama manusia di jalanan. Sedangkan tingkat kepatuhan hukum berarti di jalanlah para pengguna jalan ditekankan untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku di jalan, hal ini sebagai penggambaran sifat disiplin manusia dalam menggunakan jalan terutama budaya saling menghormati sesama pengguna jalan lainnya.

Tantangan Berat Bagi Polri

Sebenarnya masih banyak pekerjaan bagi aparatur terkait dengan masalah lalu lintas ini, yang saya bicarakan disini menyangkut perilaku Polantas sebagai pengawal terdepan UULAJ. Tugas kepolisian di bidang lalu lintas pada hakikatnya menyangkut aspek menegakkan hukum guna mewujudkan ketertiban dan keamanan lalu lintas dan pelayanan masyarakat khususnya yang menyangkut perwujudan kelancaran lalu lintas (Kunarto 1999: 193). Namun menyikapi perkembangan lalu lintas sekarang ini, tugas polisi lalu lintas bukan hanya lebih kepada penegakan hukumnya saja namun mengarah pada pembinaan ketertiban berlalu lintas. Pembinaan ketertiban lalu lintas bukan hanya melulu dengan penegakan hukum, namun sudah menggunakan ilmu pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) Polantas pada kegiatan pencegahan kejahatan di jalan raya dan menjaga ketertiban masyarakat dalam berlalu lintas. Polantas sekarang dituntut untuk mampu menilai gejala yang ada dalam berlalu lintas, merencanakan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah kejahatan di jalan atau tindakan-tindakan yang merugikan pengguna jalan lainnya, mengerjakan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan, dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan untuk dapat mengantisipasi dampak-dampaknya dan untuk menjadi acuan dalam memahami gejala-gejala sejenis yang mungkin muncul di masa mendatang atau di masyarakat pengguna jalan lainnya (Suparlan 2004: 75 – 76). Polantas juga harus mendukung perjalanan reformasi dan paradigma baru Polri yang lebih mengedepankan pada penataan pencitraan organisasinya di mata publik. Menurut Muradi, ada beberapa faktor determinan yang menjadi alasan kenapa kinerja Polantas dapat mendukung sukses tidaknya reformasi Polri. Pertama, Polantas banyak berhubungan langsung dengan masyarakat, khususnya pengguna jalan raya. Setiap perilaku menyimpang dari Polantas akan secara otomatis menjadi generalisasi dari perilaku Polri secara keseluruhan. Kedua, Polantas bertanggungjawab pada pembinaan ketertiban lalu lintas sesuai dengan amanat UU No.2/2002, namun pada kenyataannya Polantas banyak memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat akan aturan lalu lintas demi kepentingan pribadinya sendiri. Ketiga, Korabolasi Polantas dengan instansi yang berhubungan dengan lalu lintas seharusnya menjadi stimuli bagi pembangunan akhlak mulia manusia Indonesia berbudaya tertib lalu lintas, namun kenyataannya adanya aturan-aturan yang dipegang oleh masing-masing instansi seakan menjadi praktik “korupsi berjamaah” dimana Polantas turut menjadi aktornya. Dan keempat, tugas Polantas penuh dengan tingkat godaan tinggi baik secara psikologis maupun materiil. Apalagi masih adanya anggapan dari pimpinan Polri bahwa lalu lintas sudah menjadi “job basah” dan “dapur organisasi” sehingga Polantas menjadi favorit bagi tugas anggota Polri. Tujuan untuk memperkaya diri akan didapat dengan mudah apabila menjadi petugas Polantas (Muradi 2009: 348 – 349). Faktor determinan ini menjadi tantangan yang sangat berat bagi Polri dalam upayanya mewujudkan reformasi Polri dan membangun citra positif dimata masyarakat.
Berbagai upaya yang dilakukan Polantas untuk meningkatkan ketertiban lalu lintas patut diacungi jempol, berbagai kampanye yang dilakukan terus menerus ditingkatkan dengan berbagai ide kreatif dan inovasi dari petugas yang masih peduli akan tugas dan peranannya sebagai Polantas. Konsep dan strategi ini memang tidak akan bermanfaat tanpa adanya dukungan dari para pengambil kebijakan. Dukungan yang paling besar adalah dari atasan, dimana seorang atasan senantiasa menjadi tauladan bagi bawahannya. Sikap tauladan ini tidak saja menjadi motivasi namun menjadi inspirasi bagi jajaran pelaksana di lapangan (Pane 2009: 229). Oleh sebab itu sudah sepantasnya Polantas harus bertindak atas landasan profesionalisme tugas yaitu membangun polisi yang mampu bekerja secara otentik kepolisian. Otentik kepolisian berarti polisi bekerja atas dasar aturan-aturan yang sudah ditetapkan tanpa adanya peluang untuk melakukan penyimpangan akibat pemaknaan dangkal dari aturan tersebut (Rahardjo 2004: 81).

Potensi Penyimpangan UULAJ Baru

Kewenangan Polantas dalam menegakkan hukum lalu lintas serta melakukan pelayanan yang berkaitan dengan administrasi lalu lintas dengan sedemikian besarnya cenderung memberi peluang untuk disimpangkan (Mabes Polri: 3). Penyimpangan tersebut secara internal dipengaruhi oleh terbatasnya sumberdaya manusia, sistem kontrol yang lemah, budaya organisasi, serta birokrasi primordial. Sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang dilayaninya serta kebijakan politik negara maupun kelompok elite. Penyimpangan secara internal juga ada pada pelaksanaan diskresi yang tidak bertanggungjawab. Terbitnya UU No. 22/2009 tak luput dari kekhawatiran masyarakat akan adanya potensi penyimpangan tersebut, yang beberapa diantaranya saya sampaikan dibawah ini:

1. Sisa denda tilang tidak diberitahukan kepada pelanggar, hal ini akan memungkinkan manipulasi extra vonis denda tilang menjadi bagian instansi terkait (pasal 268).

2. Barang sitaan yang tidak diketahui pemiliknya tidak diumumkan media massa, hal ini memungkinkan petugas yang nakal untuk melakukan pinjam pakai ilegal serta menggelapkan barang sitaan tersebut untuk kepentingan pribadi (pasal 271).

3. Penindakan pelanggaran dengan menggunakan alat elektronik dan menjadikan alat elektronik tersebut menjadi alat bukti di pengadilan memungkinkan manipulasi dari petugas pemegang alat tersebut untuk merubah isi dari alat tersebut, dengan maksud memperdayai pelanggar (pasal 272).

4. Penyelenggara jalan yang tidak memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan korban luka, meninggal dan kendaraan rusak dapat dipidana, namun membutuhkan keberanian dan kepastian dari penyidik untuk membawa mereka ke pengadilan, karena ini menyangkut institusi bukan perorangan dalam jabatan (pasal 273).

5. Polantas harus melakukan penegakan hukum pada para suporter, pelaku anarkisme, dan pengunjuk rasa yang merusak fasilitas jalan (pasal 275).

6. Polantas harus menindak pelanggar TNKB, dengan demikian pemberian TNKB bantuan kepada pejabat negara/pemerintah daerah harus direvisi agar tidak melanggar ketentuan dalam UU ini (pasal 280).

7. Polantas harus memasukkan penggunaan handphone (HP) yang tidak mengindahkan keselamatan di kendaraan sebagai suatu pelanggaran, hal ini memungkinkan diskresi dari petugas yang melihat pertama adanya pelanggaran tersebut karena biasanya pengemudi akan mengelak apabila dituduh menggunakan HP karena itu merupakan pengamatan langsung dari petugas yang melihatnya (pasal 283).

8. Polantas mempunyai kewenangan untuk menindak pengguna jalan yang menggunakan isyarat suara dan klakson tidak sesuai peruntukannya, sekarang ini banyak pengemudi yang memasang sirine atau klakson mirip dengan kendaraan polisi/militer dengan maksud meminta fasilitas akses jalan, padahal mereka tidak ada kaitannya dengan fungsi polisi/militer (pasal 59, pasal 287 ayat 4).

9. Keharusan penggunaan helm standar nasional Indonesia (SNI) akan menimbulkan kerancuan dalam penindakannya, keharusan ini apabila ditetapkan melalui stiker dan sebagainya akan menimbulkan korupsi baru bagi pelaksananya dengan modus menjual, memasarkan, menggandakan tanpa ijin kepada produsen helm atau perorangan (pasal 291).

10. Polantas dapat melakukan penindakan pada pengendara sepeda motor saat melakukan mudik pada hari raya, hal ini tentunya menimbulkan potensi konflik kepentingan dan moral pada pelaksana di lapangan apakah menurutkan pada aturan atau moral (pasal 292).

11. Penggunaan lampu pada siang hari bagi pengendara sepeda motor kini sudah menjadi ketetapan bukan himbauan lagi, jadi Polantas tidak saja dibebankan pada penindakannya namun pada sosialisasi yang kontinyu untuk memberi pemahaman pada pengguna jalan (pasal 293 ayat (2)).

12. Surat muatan dokumen perjalanan menjadi sasaran empuk bagi petugas Polantas jalan raya, karena bisa menjadi potensi korupsi dalam pelaksanaannya (pasal 306).

13. Dana preservasi jalan akan menjadi potensi pungli apabila tidak dikontrol dengan intensif oleh lembaga pengawasan daerah (pasal 29).

14. Stiker lulus uji emisi dapat menimbulkan potensi korupsi bagi lembaga yang mengeluarkannya, karena kendaraan tanpa surat tanda lulus uji emisi tidak dapat beroperasi di jalan raya (pasal 54).

15. Mulai berlakunya larangan belok kiri langsung, apabila tidak disosialisasikan dengan tepat dan cepat akan menjadi sasaran empuk bagi petugas Polantas dijalan dengan modus penjebakan yang berpotensi pada korupsi pada pelanggarnya (pasal 112 ayat (3)).

16. Penggunaan jalan diluar fungsinya seperti jalan raya untuk acara politik, perkawinan, hiburan rakyat untuk perijinannya diserahkan pada Polri, namun praktiknya dapat menjadi potensi korupsi baru pada perijinannya apabila Polri tidak melihat asas kepentingan pengguna jalan lainnya (pasal 128 ayat (3)).

Saran

Dari pemikiran diatas, maka saya melihat bahwa persepsi negatif dari masyarakat terhadap Polantas lebih dikarenakan petugas itu sendiri yang kurang memahami tugas, wewenang dan kewajibannya pada fungsi lalu lintas. Padahal munculnya rasa kepedulian, sikap santun, dan rasa kemanusiaan harus terwujud dari perilaku Polantas itu sendiri, itulah esensi dari Paradigma Baru Polri (Pane 2009: 229). Akibatnya terbentuklah kultur Polantas sebagai “penguasa” dibandingkan sebagai pelayan masyarakat, dimana seharusnya Polantas harus memberikan kontribusi positif dalam menumbuhkembangkan kemitraan antara polisi dan masyarakat dalam meningkatkan budaya tertib lalu lintas dibandingkan hanya sekedar menegakkan hukum demi memenuhi target organisasi. Untuk itu saya mempunyai sekedar saran untuk pembenahan perilaku Polantas kedepannya, yaitu:

1. Perilaku Polantas harus mengindahkan etika Polantas (lihat Kunarto 1999: 190).

2. Perilaku menyimpang diakibatkan korupsi dalam diri Polantas itu sendiri, karena tuntutan organisasi maupun pribadi. Untuk itu perlu diperhatikan kesejahteraan petugas Polantas dan anggaran fungsi lalu lintas agar disalurkan sesuai kriteria anggaran dari pusat. Anggapan Polantas sebagai “job basah” dan “dapur organisasi” harus dipupus, digantikan dengan profesionalitas Polantas pada fungsi lalu lintas.

3. Hindarkan birokrasi yang mempertemukan petugas dan konsumen secara langsung, karena hal ini akan menimbulkan potensi korupsi.

4. Penempatan menjadi Polantas harus yang memenuhi kualifikasi, jangan rekrutmen karena utang budi atasan, pesanan, sekedar mencari uang, gagah-gagahan, atau motivasi lain (Pane 2009: 225).

5. Mekanisme kontrol terhadap petugas Polantas harus ketat dengan memaksimalkan potensi masyarakat sebagai konsumen dan Polri sebagai pelaksana. Jangan ada kesan Polri melindungi petugasnya yang nakal, dan mengabaikan laporan masyarakat akan adanya petugas yang nakal (pungli).

6. Pola kepemimpinan yang konsisten dalam menunjukkan kredibilitas dan integritas, dapat menjadi contoh dan teladan bagi petugas pelaksana. Sikap ini harus didukung oleh Pimpinan yang berada diatasnya, karena apabila si atasan tidak didukung malah dipinggirkan maka hal ini menunjukkan bahwa pola primordial masih tetap melembaga di tubuh Polri, dan dengan demikian sia-sia Pimpinan Polri menyampaikan percepatan Reformasi Polri karena tidak didukung oleh perubahan kultur personel dibawahnya.


Daftar Acuan:

Buku:

Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah Sarasehan, tanpa tahun, tanpa penerbit.
Muradi. 2009. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kunarto. 1999. Merenungi Kritik Terhadap Polri: Masalah Lalu Lintas. Jakarta: Cipta Manunggal.
Pane, Neta S. 2009. Jangan Bosan Kritik Polisi. Jakarta: Indonesia Satu.
Rahardjo, Satjipto. 2004. Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru. Dalam Parsudi Suparlan (ed.), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
Suparlan, Parsudi. 2004. Polisi Masa Depan. Dalam Parsudi Suparlan (ed.), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.

Undang-Undang:

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Baca selengkapnya.....

PENUNDAAN PELAKSANAAN HUKUMAN MATI SUMIARSIH & SUGENG (Ditinjau Dari Perspektif HAM)


Pendahuluan

Sepintas tidak ada yang salah dari vonis hukuman mati yang dijatuhkan PN Surabaya kepada Sumiarsih dan anggota keluarganya. Sumiarsih dkk divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap keluarga Letkol Mar. Purwanto pada tanggal 13 Agustus 1988. Sumiarsih bersama suaminya Djais, anaknya Sugeng, dan menantunya Serda Adi Saputra terbukti melakukan pembunuhan lantaran kesal selalu ditagih utang oleh korban. Djais sebelum menjalani eksekusi mati, meninggal dunia karena sakit. Sedangkan terdakwa Serda Adi Saputra telah dieksekusi mati pada tahun 1992 (Kompas 16 Juli 2008). Kemudian yang menjadi polemik perbincangan dikalangan pemerhati hukum adalah pelaksanaan eksekusi mati Sumiarsih dan Sugeng yang baru dilaksanakan 20 tahun kemudian, 19 Juli 2008. Lamanya waktu penungguan eksekusi selama 20 tahun, dianggap oleh pemerhati hukum sebagai pemidanaan ganda pada si terhukum. Selain dihukum mati, si terhukum juga menjalani hukuman penjara.

Polemik Hukuman Mati di Indonesia
Hukuman mati menurut kalangan yang menentangnya dinyatakan sebagai hukuman yang tidak berperikemanusiaan, hukuman yang sangat kejam, dan melanggar hak manusia untuk hidup. Karena penetapan hukuman dilakukan oleh manusia (hakim), maka aspek kesalahan manusia bisa saja terjadi, sehingga pada hukuman mati apabila terdapat kesalahan penetapan hukum tentu tidak bisa dikoreksi lagi karena si terhukum sudah dieksekusi mati (Lubis & Lay 2009: 155). Hukuman ini juga dikaji tidak memberikan efek jera pada si pelaku kejahatan, karena walau di negara tersebut telah menetapkan hukuman mati sebagai salah satu prosedur penghukuman, namun terkadang angka kejahatan tidak mengalami penurunan secara kuantitas. Padahal angka naik atau turunnya kejahatan tidak disebabkan karena adanya hukuman mati, namun terlebih pada faktor yang mendukung. Faktor tersebut yang menurut Cesare Beccaria adalah adanya kepastian hukum yang diterima si terhukum yang dapat memberikan efek jera pada orang lain sehingga kemungkinan tidak akan melakukan kejahatan yang sama atau tidak sama sekali (Levinson 2002: 512). Sedangkan dari kelompok pendukung hukuman mati menilai hukuman ini layak/setimpal diberikan kepada orang yang telah merampas hak orang lain untuk hidup. Mereka berpendapat bahwa manusia di dunia ini memiliki hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, dan tidak ada seseorangpun yang dapat mengambilnya. Pelanggaran atas hak ini (membunuh) maka kepadanya patut diberikan hukuman mati (Esack 2004: 219). Dalam kasus Sumiarsih-Sugeng ini, masyarakat menilai tindakan mereka terhadap keluarga Letkol Mar. Purwanto sudah tergolong sadis berbanding terbalik dengan apa yang mereka hindari yaitu utang piutang. Mereka yang menentang hukuman mati berlandaskan pada beberapa instrumen HAM Internasional, antaranya (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights). Ratifikasi yang pertama sudah bersifat internasional, sedangkan ketiga lainnya lebih bersifat regional. Protokol yang pertama sudah mewajibkan negara-negara yang telah meratifikasinya untuk menghapus hukuman mati dalam legislasi konstitusinya. Protokol tersebut merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM dan pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang pada garis besarnya memuat hak manusia untuk hidup, memiliki kebebasan, dan keamanan. Indonesia sendiri belum meratifikasi protokol ini, sehingga pelaksanaan hukuman mati masih diterapkan di sini (Lubis 2007: 243). Di Indonesia sendiri, hukuman mati merujuk pada KUHP (lihat pasal 104, 111 ayat (2), pasal 124, pasal 140 ayat (3), dan pasal 340), UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No.31 Tahun 1999 & UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Mahkamah Konstitusi sendiri, penerapan hukuman mati itu sendiri dinyatakan tidak bertentangan dengan hak untuk hidup sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, karena konstitusi kita tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia (Suara Merdeka 31 Oktober 2007). Hak asasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi ini diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan demikian, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apapun termasuk ICCPR yang menganjurkan penghapusan hukuman mati tersebut, bahkan pada pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri memperbolehkan pemberlakuan hukuman mati kepada kejahatan yang paling serius (Riewanto 2007).

Pelanggaran HAM Dalam Kasus Eksekusi Sumiarsih & Sugeng
Kembali pada kasus Sumiarsih & Sugeng, karena dianggap sebagai salah satu kejahatan yang paling serius (menghilangkan nyawa orang lain) maka hukuman mati pada komplotan mereka tidak disalahkan secara undang-undang. Seharusnya pelaksanaan eksekusi tidak perlu menunggu waktu yang lama apabila yang ingin disampaikan kepada publik adalah pembelajaran yang bersifat psikologis. Penundaan waktu eksekusi akan berdampak pada ketidakpastian hukum dan mental si terhukum itu sendiri yang semakin tersiksa menunggu ketidakpastian eksekusi. Proses menunggu eksekusi yang sekian lama ini merupakan salah satu pelanggaran HAM yang merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya (Lubis & Lay 2009: 141). Penundaan eksekusi oleh negara terhadap narapidana mati disebut sebagai Fenomena Deret Kematian. Fenomena ini dilakukan oleh negara-negara yang masih mempraktikkan hukuman mati yang merupakan pelanggaran berat konstitusi negara tersebut. Seharusnya negara berpikir bahwa semakin lama eksekusi mati dilakukan, maka orang akan semakin lupa. Bukan lagi efek jera yang dimunculkan, namun sudah mengarah kepada simpati kepada si terpidana mati karena terkesan mendapat penghukuman ganda (hukuman mati dan penjara). Seperti Sumiarsih dan Sugeng, orang tentu sudah melupakan perbuatan mereka 20 tahun yang lalu. Bahkan kalau tidak dipublikasikan di media bahwa mereka akan segera dieksekusi, masyarakat mungkin tidak mengetahui peristiwa 20 tahun lalu yang menimpa keluarga Letkol Mar. Purwanto. Setelah hal ini dipublikasikan, orang malah akan mempertanyakan ada hal apa dibalik penundaan selama ini dan akhirnya berbalik menjadi simpati yang berbuntut pada penghapusan hukuman mati di Indonesia. Oleh sebab itu, jika memang pidana mati tetap diputuskan maka jangan memperlama waktu eksekusi. Waktu 20 tahun bahkan sudah setara dengan penghukuman seumur hidup, apalagi selama 20 tahun pula Sumiarsih dan Sugeng sudah menunjukkan perilaku baik dan telah bertobat atas kesalahannya selama ini. Perilaku menyesal inilah yang oleh mazhab Eropa sebagai suatu sikap mulia yang merupakan harapan bagi seorang kriminal untuk berbuat baik pada masyarakat. Inilah sebab mengapa negara-negara Eropa sangat menentang pelaksanaan hukuman mati sebagai suatu penghukuman bagi seorang pelaku kejahatan. Kalau memang kendala utama penetapan waktu eksekusi adalah menunggu proses peninjauan kembali mulai dari banding, kasasi, dan permintaan grasi, waktu yang ditempuh tidak perlu selama ini. Penundaan ini hanya akan merampas hak asasi manusia untuk mengetahui kapan tepatnya mereka akan dijemput maut. Seharusnya Presiden sebagai pengambil keputusan grasi mendapatkan laporan dari eksekutor, apakah selama pelaksanaan hukuman mereka menunjukkan penyesalan yang diikuti dengan sikap perilaku, serta perbuatan mereka telah dimaafkan oleh keluarga korban, sehingga nantinya grasi yang akan diberikan merupakan suatu peluang untuk memperbaiki diri sebagai bekal kembali ke masyarakat kelak.

Kesimpulan
Dari permasalahan diatas, maka saya berkesimpulan bahwa antara hukuman mati dan hak asasi manusia merupakan hubungan yang tak terpisahkan. Hak asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup, memiliki kebebasan dan keamanan tentunya bertentangan dengan pelaksanaan hukuman mati. Namun di Indonesia, hukuman mati harus dipertahankan karena si terpidana mati telah melakukan tindak pidana serius yang tercantum dalam legislasi konstitusi negara ini. Dimana konsep hukuman mati itu sendiri lebih kepada upaya negara untuk melindungi hak asasi masyarakatnya (Syamsuddin 2008: 37). Akan tetapi proses pelaksanaan eksekusi mati hendaknya tidak berlangsung lama, agar tidak menimbulkan dampak psikologis bagi si terpidana mati. Pemerintah harusnya terikat pada batas waktu maksimal setelah upaya hukum terakhir dilakukan. Selama ini, berdasarkan KUHAP dikenal adanya proses di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau pengadilan militer), kemudian tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi di MA, peninjauan kembali (PK) apabila ada novum baru di MA, dan akhirnya permohonan grasi kepada Presiden. Namun tidak pernah ada kejelasan berapa kali proses peninjauan kembali (PK) maupun permohonan grasi dapat dilakukan. Maka, perlu ada kejelasan ataupun amandemen terhadap hukum acara sejauh menyangkut pidana mati ini, demi penghargaan terhadap hak-hak terpidana, keluarganya, maupun hak-hak korban kejahatan (Susetyo 2009). Dan akhirnya saya berpendapat bahwa hukuman mati masih perlu dipertahankan dalam legislasi kita demi melindungi hak asasi manusia itu sendiri. Dalam hukum agama pun telah diatur bahwa sesama manusia harus saling menghargai, hak asasi manusia tidak hanya dimiliki oleh terpidana mati saja, namun istri/suami, anak, orang tua korban dan orang-orang lain pun mempunyai hak asasi juga. Namun apabila memang sudah diberikan ketetapan hukum untuk menjalani eksekusi mati, hendaknya proses hukum menuju eksekusi tidaklah terlalu lama yang dapat mengaburkan makna dari penghukuman tersebut.

Daftar Acuan:

Buku:
Esack, Farid. 2004. On Being Moslem; Menjadi Muslim di Dunia Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Levinson, David. 2005. Encyclopedia of Crime and Punishment. California: Sage Publishing.
Lubis, Todung Mulya. 2007. Catatan Hukum Todung Mulya Lubis: Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?. Jakarta: Penerbit Kompas.
Lubis, Todung Mulya & Alexander Lay. 2009. Kontroversi Hukuman Mati: Perbendaan Pendapat Hakim Konstitusi. Jakarta: Penerbit Kompas.
Syamsuddin, Amir. 2008. Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara. Jakarta: Penerbit Kompas.

Surat Kabar:

Riewanto, Agust. “Penerapan Hukuman Mati”. Harian Suara Merdeka 10 Nopember 2007.

Internet:

Susetyo, Heri. Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia, diunduh dari www.hukumonline.com pada tanggal 9 Oktober 2009.
Baca selengkapnya.....

Kamis, 01 Oktober 2009

Penyimpangan Dalam Tender Proyek

I. Pendahuluan

1. Dasar

1) KEPPRES RI No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, berikut lampiran I-II.
2) KEPPRES RI No. 61 Tahun 2004 tanggal 5 Agustus 2004 tentang perubahan atas Keppres RI No. 80 Tahun 2003
3) PERPRES RI No. 32 Tahun 2005 tanggal 20 April 2005 tentang perubahan kedua atas Keppres RI No. 80 Tahun 2003.
4) PERPRES RI No. 70 Tahun 2005 tanggal 15 November 2005 tentang perubahan ketiga atas Keppres RI No. 80 Tahun 2003.
5) PERPRES RI No. 8 Tahun 2006 tanggal 20 Maret 2006 tentang perubahan keempat atas Keppres RI No. 80 Tahun 2003.
6) PERPRES RI No. 79 Tahun 2006 tanggal 8 September 2006 tentang perubahan kelima atas Keppres RI No. 80 Tahun 2003. .
7) Fatwa MA RI No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 tentang BUMN tidak tunduk Keppres No. 80 Tahun 2003, sepanjang tidak menggunakan dana APBN.

2. Bahwa Keppres RI No. 80 Tahun 2003 mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan APBN/APBD yang dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan adil bagi semua pihak, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

3. Didalam pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip :
1) Efisien
2) Efektif
3) Terbuka dan Bersaing
4) Transparan
5) Adil/Tidak Diskriminatif
6) Akuntabel

4. Bahwa salah satu lahan korupsi yang paling menonjol adalah dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang melibatkan dana APBN/APBD yang paling besar setiap tahunnya, serta juga kebocoran yang cukup tinggi.

II. 15 TAHAPAN PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH

1. Perencanaan Pengadaan;

Perencanaan pengadaan adalah tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang bertujuan untuk membuat Rencana Pengadaan (Procurement Plan) yang mempersiapkan dan mencantumkan secara rind mengenai target, lingkup kerja SDM, waktu, mutu, biaya, dan manfaat dari pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah, yang dibiayai dari dana APBN maupun BIN. Rencana Pengadaan akan menjadi acuan utama dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah per-paket pekerjaan.

2. Pembentukan Panitia Lelang ;
Panitia Lelang adalah lembaga pelaksana pengadaan yang pertama-tama dibentuk dan ditunjuk oleh pemimpin proyek setelah seluruh persiapan administrasi pelaksanaan proyek baku. Penunjukkan panitia sepatutnya bersandar pada prinsip profesionalisme, responsif, akuntabel, kredibel, dan mandiri. Panitia lelang memiliki kewenangan antara lain: 1) menyusun dokumen tender; 2) menyusun dan menyeleksi peserta tender; 3) melakukan kegiatan-kegiatan tender sampai dengan penetapan pemenang; dan 4) melaksanakan tugas secara profesional.

3. Prakualifikasi Perusahaan;
Kegiatan Prakualifikasi adalah penentuan syarat administratif, teknis dan pengalaman serta seleksi dan dari perusahaan (kontraktor/konsultan/dan supplier), yang diperkirakan mampu untuk melaksanakan pekerjaan yang akan ditender atau dilelangkan. Prakualifikasi dilaksanakan sebelum tender dalam rangka menjaring calon yang sanggup melaksanakan pekerjaan. Dalam tahap ini panitia menyusun kriteria kelulusan prakualifikasi dan mengumumkannya kepada masyarakat. Prioritas dalam prakualifikasi akan merujuk kepada sertifikasi, izin usaha, kemampuan keuangan, pengalaman yang sesuai kepatuhan dalam perpajakan, pekerjaan yang sedang dikelola, serta kinerja perusahaan. Sebagaimana tahap-tahap lainnya, pelaksanaan prakualifikasi harus mengacu pada prinsip keterbukaan, kejujuran, transparansi, kemandirian dan profesionalisme.

4. Penyusunan Dokumen Lelang;
Penyusunan dokumen lelang adalah kegiatan yang bertujuan menentukan secara teknis dan rinci dari pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh pihak penyedia jasa, mulai dari lingkup pekerjaan, mutu, jumlah, ukuran, jenis, waktu pelaksanaan, dan metode kerja dari keseluruhan pekerjaan yang akan dilelangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1) Dokumen disusun secara sederhana oleh panitia agar mudah dipahami dan menjadi pedoman baku bagi seluruh pihak.
2) Dokumen tersebut meliputi petunjuk kepada peserta lelang, syarat kontrak, syarat teknis, daftar pekerjaan yang akan dikontrakkan, usulan perjanjian, serta gambar-gambar dan referensi yang diperlukan oleh peserta tender.

5. Pengumuman Pelelangan ;
Pengumuman pelelangan dimaksudkan agar masyarakat mengetahui akan adanya pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, oleh karena itu pengumuman tersebut harus disebarluaskan melalui media massa. Pada dasarnya, pengumuman tersebut mewakili proses pendaftaran bagi perusahaan yang telah lulus kualifikasi untuk mengikuti tender.

6. Pengambilan Dokumen Lelang;
Kegiatan penyediaan dokumen pelelangan oleh Panitia Lelang kepada para peminat, secara lengkap dengan cuma-cuma (tidak dipungut biaya) maupun dengan biaya yang telah ditentukan, dalam waktu yang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Untuk mempermudah distribusi, dokumen lelang dapat dibagi menjadi dokumen tetap dan tidak tetap. Isi dokumen adalah adalah instruksi standar untuk bidder, syarat-syarat umum kontrak, spesifikasi teknis umum, contoh-contoh dokumen yang umum diberlakukan seperti surat penawaran, bid bond/guarantee, performance bond/guarantee, dan surat usulan ajudicator.

7. Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) ;
Harga Perkiraan Sendiri menentukan perkiraan besaran biaya pekerjaan yang akan dilelangkan, berdasarkan; 1) harga pasaran yang berlaku; 2) patokan jenis, ukuran volume, metode dan pekerjaan sesuai dengan desain atau rancang bangun pekerjaan dimaksud; 3) perhitungan kenaikan harga dan waktu pelaksanaan pekerjaan; 4) Harga Perkiraan Sendiri perlu dalam penyusunan anggaran, proses pengadaan, dan pelaksanaan. Harga Perkiraan Sendiri berperan dalam menentukan pemenang; 5) Setiap peserta lelang memperoleh akses untuk mengetahui Harga Perkiraan Sendiri; 6) penyusun Harga Perkiraan Sendiri harus mengkaji studi kelayakan, engineering design, data harga kontrak di sekitar pekerjaan yang dilelangkan, harga pasar yang beriaku, dan harga yang dikeluarkan oleh pemerintah/manufaktur atau perusahaan jasa.

8. Penjelasan Lelang ;
Aanwijzing adalah pertemuan penjelasan yang lisan dan pihak pemberi kerja, yang dalam hal ini diwakili oleh Panitia Pengadaan dihadap keseluruhan calon peserta pelelangan. Penjelasan dan tanya jawab dilakukan tentang hal teknis maupun administrative, agar tidak terjadi perbedaan persepsi maupun kekeliruan dalam pengajuan penawarannya. Kegiatannya meliputi antara lain ; 1) kegiatan ini harus bersifat terbuka dan dibuat berita acaranya oleh panitia; 2) informasi yang diberikan dalam bentuk addendum dokumen lelang; 3) bila penjelasan lapangan diperlukan, panitia tidak diperkenankan memungut biaya untuk kegiatan tersebut.

9. Penyerahan Penawaran Harga dan Pembukaan Penawaran;
Penyerahan dokumen penawaran secara tepat waktu, lengkap dan memenuhi syarat administratif dan teknis, serta dialamatkan seperti yang telah ditentukan. Penyerahan harus dapat dibuktikan dengan tanda terima dan petugas. Kegiatan ini antara lain meliputi; 1) Penyampaian penawaran oleh peserta dapat dilakukan segera setelah peserta menerima addendum terakhir panitia; 2) Penyampaian dokumen diluar batas waktu tidak akan diterima; 3) Pembukaan, pemberian tanda, penelitian dokumen utama disaksikan oleh peserta; 4) Setelah berita acara pembukaan, panitia tidak diperkenankan lagi menerima dokumen apapun; 5) Tidak ada peserta yang gugur sebelum dilakukan evaluasi terhadap dokumen.

10. Evaluasi Penawaran;
Kegiatan pemeriksaan, penelitian dan analisis dari keseluruhan usulan teknis dari peserta pelelangan, dalam rangka untuk memperoleh validasi atau pembuktian terhadap harga penawaran yang benar, tidak terjadi kekeliruan sesuai dengan persyaratan teknis yang telah ditentukan. Adapun kegiatan itu adalah 1) Evaluasi penawaran meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan evaluasi harga; 2) Evaluasi administrasi perlu mempertimbangkan faktor redaksional, keabsahan, jaminan penawaran dan aritmatik; 3) Setelah lulus evaluasi administrasi, penawaran akan dikaji dari sisi teknis dimana perusahaan yang mengikuti tender harus memiliki sertifikasi dari lembaga akreditas yang kredibel.

11. Pengumuman Calon Pemenang ;
Kegiatan pengumuman urutan calon Pemenang dilakukan setelah keseluruhan hasil penelitian dirumuskan oleh panitia pelelangan dinyatakan selesai dan diusulkan atau dipertanggungjawabkan kepada penanggung jawab alokasi dana atau pemilik proyek. Calon pemenang di urutan pertama akan disahkan sebagai pemenang pelelangan, setelah masa sanggah selesai dengan kegiatan sebagai berikut; 1) pengumuman dipasang di media massa dengan jangkauan yang luas sesuai dengan besaran kontrak, pengumuman ditempelkan pula di Kantor proyek; 2) pengumuman harus jelas dan rinci, sehingga sanggahan menjadi berkurang; 3) dilaksanakan dengan waktu yang cukup; 4) pelaksanaannya tepat waktu dan tidak ditunda-tunda.

12. Sanggahan Peserta Lelang ;
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi para peserta pelelangan yang minta penjelasan tentang keputusan panitia pelelangan tentang urutan calon pemenang dengan kegiatan sebagai berikut 1) Panitia harus terbuka, akomodatif, dan memproses setiap sanggahan dari masyarakat yang umumnya berkisar pada ketidakpuasan evaluasi, intransparansi, ketidakadilan, dan penggelapan data dari pemenang; 2) berdasarkan informasi tersebut, panitia harus segera melakukan investigasi untuk membuktikan kebenaran sanggahan. Bila sanggahan tersebut tidak benar, maka panitia akan melanjutkan ke penandatanganan kontrak, sebaliknya bila sanggahan dari masyarakat benar; 3) Pemerintah harus memberikan sanksi administratif yakni pembatalan tender, mencoret nama pemenang, dan pembubaran panitia.

13. Penunjukkan Pemenang Lelang ;
Setelah masa “sanggah” berakhir maka, kepala instansi/ proyek wajib untuk mengeluarkan secara resmi surat penetapan pemenang pelelangan. Guna dapat dipnoses didalam ikatan perjanjian kerja pelaksanaan pekerjaan atau Kontrak Kerja. Kegiatan tersebut meliputi; 1) Berita acara yang telah selesai lengkap dengan tandatangan seluruh anggota panitia. 2) Catatan lengkap sanggahan dan jawaban merupakan ketengkapan data yang diperlukan untuk pengeluaran surat tersebut; 3) Catatan samping-side letter yang merupakan hasil kesepakatan antara panitia dan mitra calon pemenang pada preaward meeting.

14. Penandatanganan Kontrak Perjanjian ;
Kegiatan akhir dari proses pelelangan adalah penandatanganan perjanjian kontrak pelaksanaan pekerjaan. Perjanjian tentang nilai harga pekerjaan, hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta waktu pelaksanaan pekerjaan yang ditentukan secara pasti.

15. Penyerahan Barang/Jasa kepada User ;
“Penyerahan barang dan jasa dapat dilakukan secara bertahap atau menyeluruh. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam dalam dokumen lelang. Penyerahan final dilakukan setelah masa pemeliharaan selesai. Setelah penyerahan final selesai, tanggung jawab penyedia jasa masih belum berakhir. Penyerahan barang dan jasa dianggap memenuhi aturan yang berlaku apabila dilaksanakan 1) tepat waktu sesuai perjanjian; 2) tepat mutu sesuai yang dipersyaratkan; 3) tepat volume sesuai yang dibutuhkan; dan 4) tepat biaya sesuai dalam isi kontrak.

III. PENUNJUKKAN LANGSUNG PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

1. Pemilihan penyedia barang/ jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukkan langsung dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan (pasal 17 angka 5 Keppres No. 80 Tahun 2003).

2. Pada Lampiran I Keppres No. 80 Tahun 2003 Bab I C angka 1 a) 4 disebutkan (kriteria penunjukan langsung yaitu sebagai berikut:
1) Keadaan Tertentu. yaitu :
a) Penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam, dan/atau;
b) Pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden, dan/atau;
c) Pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan:
- Untuk keperluan sendiri; dan/atau
- Teknologi sederhana; dan/atau
- Resiko kecil; dan atau
- Dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha perseorangan dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil.
2) Keadaan Khusus. yaitu :
a) Pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau
b) Pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau
c) Merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau
d Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
3) Bahwa kemungkinan Keppres No. 80 Tahun 2003 mengalami 5 kali perubahan terutama yang lebih khusus tentang pengadaan langsung dengan penunjukkan langsung yaitu :
o Perubahan I dengan Keppres No. 61 Tahun 2004.
o Perubahan II dengan Perpres No. 32 Tahun 2005.
o Perubahan III dengan Perpres No. 70 Tahun 2005.
o Perubahan IV dengan Perpres No. 8 Tahun 2006.
o Perubahan V dengan Perpres No. 79 Tahun 2006.

Dimana dalam pasal I angka 3 tentang perubahan lampiran I Bab I huruf C.l.a.4 yang berbunyi sebagai berikut:

1) PENUNJUKKAN LANGSUNG DENGAN KEADAAN TERTENTU

1. Penanganan darurat untuk pertahanan Negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/atau
2. Pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau
3. Pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan :
a) Untuk keperluan sendiri; dan/atau
b) Teknologi sederhana dan/atau
c) Resiko kecil dan/atau
d) Dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha perseorangan dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil.
4. Pekerjaan pengadaan barang dan pendistibusian logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan Juli 2005 berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau
5. Pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam angka (5) meliputi :
a) Pekerjaan pengadaan perumahan, yang waktu pelaksanaan pengadaannya dilakukan sebelum 31 Desember 2006;
b) Pekerjaan yang dilakukan dalam rangka meneruskan pekerjaan pengadaan perumahan yang tidak dilaksanakan oleh pemberi hibah sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yang penyelesaian pekerjaannya perlu dilaksanakan secara cepat paling lama 1 (satu) tahun setelah pemberi hibah tidak mampu melaksanakan kewajibannya.

2) PENUNJUKKAN LANGSUNG DENGAN KEADAAN KHUSUS
1. Pekerjaan yang berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau
2. Pekerjaan/barang spesifikyang hanya dapat dilaksanakan oleh suatu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau
3. Merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau
4. Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.

IV. BEBERAPA BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

1. PEMBERIAN SUAP/SOGOK (BRIBERY);

Pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas, dan janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang akan berakibat membawa untung terhadap diri sendiri atau pihak lain, yang berhubungan dengan jabatan yang dipegangya pada saat itu.

2. PENGGELAPAN (EMBEZZLEMENT)
Perbuatan mengambil tanpa hak oleh seseorang yang telah diberi kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggung jawab penuh terhadap barang milik negara, oleh pejabat publik maupun swasta.

3. PEMALSUAN (FRAUD);
Suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi, dengan maksud untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain.

4. PEMERASAN (EXTORTION);
Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.

5. PENYALAHGUNAAN JABATAN atau WEWENANG (ABUSE Of DISCRETION);
Mempergunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.

6. PERTENTANGAN KEPENTINGAN/MEMILIKI USAHA SENDIRI (INTERNAL TRADING);
Melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga, dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang dimilikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.

7. PILIH KASIH (FAVORITISME);
Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai politik, suku, agama, dan golongan yang bukan kepada alasan objektif, seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme kerja.

8. MENERIMA KOMISI (COMMISION);
Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai, dalam bantuan uang, saham, fasilitas, barang, dll, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.

9. NEPOTISME (NEPOTISM);
Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sepaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.

10. KONTRIBUSI atau SUMBANGAN ILEGAL (ILLEGAL CONSTRIBIMON);
Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dan hasil yang dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.

V. BEBERAPA MODUS OPERANDI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

1. PERENCANAAN PENGADAAN
Perencanaan Pengadaan adalah tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang peranannya sangat stratejik dan menentukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan secara rinci mengenai target, waktu, mutu, biaya, dan manfaat dari paket-paket pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah, yang dibiayai dari dana APBN maupun Bantuan Luar Negeri.
KKN dalam kegiatan pengadaan pemerintah, pada umumnya dimulai dari segmen Perencanaan Pengadaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa "asal muasal" dari penyakit KKN bermula dari kegiatan penyusunan Rencana Pengadaan, diantaranya adalah :
1) Penggelembungan Anggaran
2) Rencana Pengadaan Yang Diarahkan
3) Penentuan Jadwal Waktu Yang Tidak Realistis
4) Pemaketan Pekerjaan Yang Direkayasa

2. PEMBENTUKAN PANITIA LELANG
Panitia lelang adalah lembaga pelaksana pengadaan yang pertama-tama dibentuk dan ditunjuk oleh pemimpin proyek, setelah seluruh kegiatan persiapan administrasi pelaksanaan proyek selesai. Penunjukkan keanggotaan panitia pelelangan idealnya harus berlandaskan kepada kriteria profesionalisme, sehingga panitia pelelangan yang terbentuk di unit-unit kerja pemerintah akan memiliki kredibilitas dan kemandirian, serta bekerja secara profesional. Hal tersebut sangat penting, karena kedudukan panitia pelelangan akan sangat menentukan keberhasilan dan ‘bersih’ tidaknya suatu proses pengadaan dilaksanakan oleh unit organisasi yang bersangkutan. Panitia lelang pada prinsipnya, memiliki beberapa kewenangan diantaranya adalah :
1) Menyusun dokumen tender;
2) Menyusun kriteria dan menyeleksi calon peserta tender;
3) Melakukan kegiatan-kegiatan tender sampai dengan penetapan pemenang, dan
4) Melaksanakan tugas secara profesional.
Kegiatan pada segmentasi Pembentukan Panitia Lelang perlu diwaspadai sebagai hal yang dapat menjadi sebab berkembangnya penyakit KKN dalam proses pengadaan pemerintah. Sebab tugas dan peranan panitia pengadaan akan sangat berpengaruh terhadap "bersih" tidaknya proses pengadaan barang di suatu unit kerja pemerintah dilaksanakan. Oleh karena itu, Panitia Pengadaan akan menentukan "hitam" atau “putih"nya suatu proses pengadaan pemerintah dari dimulainya awal kegiatan pengadaan sampai di tandatanganinya kontrak perjanjian kerja. Pada segmentasi ini terdapat awal berjangkitnya penyakit-penyakit KKN yang perlu diwaspadai, diantaranya dengan tersusun atau terbentuknya Panitia Pengadaan yang tidak dilandasi dengan kriteria kemampuan teknis, kredibilitas serta integritas yang memadai dari anggotanya. Akibatnya hasil kinerja dari panitia menjadi tidak maksimal, penuh dengan nuansa KKN, serta pemerintah tidak memperoleh barang dan jasa seperti yang diharapkan, baik dalam ukuran kualitas, kuantitas, harga dan ketepatan waktu. Kinerja panitia yang pada umumnya dapat menjadi sumber penyakit KKN, antara lain :
1. Panitia yang tidak rnemiliki integritas
2. Panitia yang tidak memihak
3. Panitia yang tertutup dan tidak transparan

3. PRAKUALIFIKASI PERUSAHAAN
Kegiatan Prakualifikasi adalah penentuan seleksi terhadap sejumlah perusahaan calon peserta pelelangan, berdasarkan syarat administratif, teknis dan pengalaman serta seleksi dari perusahaan (kontraktor/konsultan dan supplier) yang diperkirakan mampu untuk melaksanakan pekerjaan yang akan ditender atau dilelangkan. Prakualifikasi dilaksanakan sebelum tender dalam rangka menjaring calon yang sanggup melaksanakan pekerjaan.
Penyakit KKN di bidang pengadaan dapat pula dimulai dari segmen kegiatan Prakualifikasi Perusahaan. Melalui seleksi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan atau Panitia Prakualifikasi, dapat dihasilkan sejumlah perusahaan yang dinilai berbobot, bonafit dan profesional. Lolosnya perusahaan yang ternyata tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan, pada umumnya disebabkan oleh karena adanya unsur-unsur KKN yang dilakukan oleh anggota panitia agar perusahaan-perusahaan tertentu saja yang lolos dari seleksi. Atau juga disebabkan oleh perusahaan yang tidak memenuhi syarat melakukan upaya rekayasa terhadap data-data, surat keterangan dan informasi yang "palsu" atau “asli tapi palsu" (aspal).
1. Dokumen Administratif Tidak Memenuhi Syarat
2. Dokumen Administratif ‘Aspal’
3. Legalisasi Dokumen Tidak Dilakukan
4. Evaluasi Tidak Sesuai Kriteria

4. PENYUSUNAN DOKUMEN LELANG
Penyusunan dokumen lelang adalah kegiatan yang bertujuan menentukan secara teknis dan rinci dari pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh pihak perusahaan pemasok barang dan jasa, mulai dari lingkup pekerjaan, mutu, jumlah, ukuran, jenis, waktu pelaksanaan, dan metoda kerja dari keseluruhan pekerjaan yang akan dilelangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
Dokumen disusun secara sederhana oleh panitia agar mudah dipahami dan menjadi pedoman baku bagi seluruh pihak. Dokumen Pelelangan meliputi petunjuk kepada peserta lelang, syarat kontrak, syarat teknis, daftar pekerjaan yang akan dikontrakkan, usulan perjanjian, serta gambar-gambar teknis dan referensi yang diperlukan oleh peserta tender. Agar informasi yang diterima seluruh pihak identik, maka perubahan apapun dalam dokumen lelang harus segera diumumkan/ disampaikan pada pihak yang terlibat. Kegiatan pada tahap ini, dapat dijadikan kesempatan untuk melakukan KKN, oleh karena spesifikasi teknis yang disyaratkan, kualitas dan kuantitas barang, tempat penyerahan barang, tenggang waktu lamanya pekerjaan dan penyerahan barang adalah hal-hal yang mengandung kesempatan untuk melakukan tawar menawar dengan produsen dan supplier barang dan pemilik barang, agar ‘merk’ barangnya yang dipakai, atau persediaan barangnya dapat cepat laku terjual di pasaran.
“Vendor" atau rekanan semacam itu akan berusaha mempengaruhi para pejabat atau anggota panitia lelang, untuk memasukkan persyaratan serta spesifikasi yang mengarah ke tipe, jenis, kemampuan dan kualitas dari barang yang dimiliki atau dijualnya. Oleh sebab itu beberapa penyakit KKN yang sering terjadi adalah :
1. Melakukan Rekayasa Kriteria Evaluasi
2. Dokumen Lelang Non Standar
3. Dokumen Lelang yang Tidak Lengkap
4. Dokumen Lelang yang Mengarah atau Bias

5. PENGUMUMAN LELANG
Pengumuman Pelelangan dimaksudkan agar masyarakat mengetahui secara luas akan adanya pelelangan pekerjaan yang akan diselenggarakan oleh pemerintah Dengan demikian telah diisyaratkan dalam aturan yang berlaku, bahwa pengumuman pelelangan barang dan jasa pemerintah harus disebarluaskan melalui media massa. Pada dasarnya, pengumuman tersebut mewakili proses pernyataan minat secara formal bagi perusahaan yang telah lulus kualifikasi, untuk mengikuti tender.
KKN, apabila pengumuman direkayasa bersama antara anggota panitia dengan rekanan calon pemenang. Dengan maksud untuk menutup kemungkinan ikutnya calon-calon peserta yang berasal dari lingkungan kelompoknya yang kemungkinan akan menawar lebih rendah dari tawaran yang sudah direkayasa, maka pada umumnya sering terjadi ‘pengumuman lelang’ menjadi, antara lain :
1. Pengumuman Lelang Semu atau Fiktif
2. Jangka Waktu Pengumuman yang Relatif Singkat
3. Pengumuman yang Tidak Lengkap

6. PENGAMBILAN DOKUMEN LELANG
Kegiatan. penyediaan dokumen pelelangan kepada para peminat, harus diberikan secara lengkap dengan cuma-cuma maupun dengan biaya yang telah ditentukan. Penyerahan ini juga harus dalam waktu yang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh panitia. Sesuai Keppres 18/2000, dokumen lelang diberikan secara gratis. Untuk mempermudah distribusi dokumen lelang dapat dibagi menjadi dokumen tetap dan tidak tetap. Isi dokumen adalah instruksi standar untuk bidder, syarat-syarat umum kontrak spesifikasi teknis umum, contoh-contoh dokumen yang umum diberiakukan seperti surat penawaran, bid bond/guarantee, performance bond/guarantee dan surat usulan ajudicator. Keterbukaan dalam penyelenggaraan tahap ini akan mereduksi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses pengadaan secara keseluruhan.
1. Dokumen Lelang Yang Diserahkan Tidak Sama (Inkonsisten)
2. Waktu Pendistribusian Dokumen Terbatas
3. Lokasi Pengambilan Dokumen Sulit Dicari

7. PENYUSUNAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI
Harga Perkiraan Sendiri menentukan perkiraan besaran biaya pekerjaan yang akan dilelangkan, berdasarkan harga pasaran yang beriaku patokan jenis, ukuran volume, metoda dan pekerjaan sesuai dengan design atau rancang bangun pekerjaan yang dimaksud; perhitungan kenaikan harga dan waktu pelaksanaan pekerjaan; Harga Perkiraan Sendiri perlu dalam penyusunan anggaran, proses pengadaan dan pelaksanaan. Harga Perkiraan Sendiri harus mengkaji studi kelayakan, engineering design, data harga kontrak di sekitar pekerjaan yang akan dilelangkan, harga pasar yang beriaku, dan harga yang dikeluarkan oleh pemerintah/ manufaktur atau perusahaan jasa. Dalam kaitannya dengan praktek KKN, penentuan HPS oleh otoritas proyek dapat terjadi penawaran yang telah direkayasa.
1) Gambaran Nilai Harga Perkiraan Sendiri Ditutup-tutupi
2) Penggelembungan (Mark Up) Untuk Kepertuan KKN
3) Harga Dasar Yang Tidak Standar
4) Penentuan Estimasi Harga Yang Tidak Sesuai Aturan

8. PENJELASAN/AANWUZING
Aanwijzing adalah pertemuan penjelasan lisan dari pihak pemberi kerja, yang dalam hal ini diwakili oleh Panitia Pengadaan dihadap keseluruhan calon peserta pelelangan. Penjelasan dan tanya jawab dilakukan tentang hal teknis maupun administrative, agar tidak terjadi perbedaan persepsi maupun kekeliruan dalam pengajuan penawarannya. Kegiatannya meliputi antara lain :
1) Kegiatan ini harus bersifat terbuka dan dibuat berita acaranya oleh panitia;
2) Informasi yang diberikan dalam bentuk addendum dokumen lelang;
3) Bila penjelasan lapangan diperlukan, panitia tidak diperkenankan memungut biaya untuk kegiatan tersebut. Penyakit-penyakitnya antara lain :
a. Pre-bid Meeting Yang Terbatas
b. Informasi dan Deskripsi Terbatas
c. Penjelasan Yang Kontroversial

9 PENYERAHAN & PEMBUKAAN PENAWARAN
Penyerahan dokumen penawaran secara tepat waktu, lengkap dan memenuhi syarat administratif dan teknis, serta dialamatkan sepertj yang telah ditentukan. Penyerahan harus dapat dibuktikan dengan tanda terima dari petugas. Kegiatan ini antara lain meliputi:
• Penyampaian penawaran oleh peserta dapat dilakukan segera setelah peserta menerima addendum terakhir panitia;
• Penyampaian dokumen diluar batas waktu tidak akan diterima;
• Pembukaan, pemberian tanda, penelitian dokumen utama disaksikan oleh peserta;
• Setelah berita acara pembukaan, panitia tidak diperkenankan lagi menerima dokumen apapun;
• Tidak ada peserta yang gugur sebelum dilakukan evaluasi terhadap dokumen
Penyakit-penyakitnya antara lain :
a) Relokasi Tempat Penyerahan Dokumen Penawaran
b) Penerimaan Dokumen Penawaran Yang Tertambat
c) Penyerahan Dokumen Fiktif

10. EVALUASI PENAWARAN
Kegiatan pemeriksaan, penelitian dan analisis dari keseluruhan usulan teknis dari peserta pelelangan, dalam rangka untuk memperoleh validasi atau pembuktian terhadap harga penawaran yang benar, tidak terjadi kekeliruan sesuai dengan persyaratan teknis yang telah ditentukan. Adapun kegiatan itu adalah :
• Evaluasi penawaran meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan evaluasi harga; Evaluasi administrasi perlu mempertimbangkan faktor redaksional, keabsahan, jaminan, penawaran dan aritmatik;
• Setelah lulus evaluasi administrasi; penawaran akan dikaji dari sisi teknis dimana perusahaan yang mengikuti tender harus memiliki sertifikasi dari lembaga akreditas yang kredibel;
• Evaluasi harga adalah tahap evaluasi terakhir yang lebih menitikberatkan pada kesesuian penawaran dengan kriteria yang telah lebih dulu diprasyaratkan oleh panitia;
Penyakit-penyakitnya antara lain :
1) Kriteria evaluasi cacat
2) Penggantian dokumen penawaran
3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi -
4) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi

11. PENGUMUMAN CALON PEMENANG
Kegiatan pengumuman urutan calon pemenang dilakukan setelah keseluruhan hasil penelitian dirumuskan oleh panitia pelelangan dinyatakan selesai atau tuntas dan diusulkan atau dipertanggungjawabkan kepada penanggung jawab alokasi dana atau pemilik proyek. Calon pemenang di urutan pertama akan disyahkan sebagai pemenang pelelangan, setelah masa sanggah selesai dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Pengumuman dipasang di media massa dengan jangkauan yang luas sesuai besaran kontrak, pengumuman ditempelkan pula di kantor proyek;
2. Pengumuman harus jelas dan rinci, sehingga sanggahan menjadi berkurang;
3. Dilaksanakan dengan waktu yang cukup;
4. Pelaksanaannya on time dan tidak ditunda-tunda.
Penyakit-penyakitnya antara lain :
• Pengumuman Terbatas
• Pengumuman Tanggal Ditunda
• Pengumuman Yang Tidak Sesuai Dengan Kaidah Pengumuman

12. SANGGAHAN PESERTA LELANG
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi para peserta pelelangan yang minta penjelasan tentang keputusan panitia pelelangan tentang urutan calon pemenang dengan kegiatan sebagai berikut:
• Panitia harus terbuka, akomodatif, dan memproses setiap sanggahan dari masyarakat yang umumnya berkisar pada ketidakpuasan evaluasi, intransparansi, ketidakadilan dan penggelapan data dari pemenang;
• Berdasarkan informasi tersebut, panitia harus segera melakukan investigasi untuk membuktikan kebenaran sanggahan. Bila sanggahan tersebut tidak benar, maka panitia akan melanjutkan ke penandatangan kontrak, sebaliknya bila sanggahan dari masyarakat benar;
• Pemerintah harus memberikan sanksi administratif yakni pembatalan tender, mencoret nama pemenang, dan pembubaran panitia; Pimpinan proyek harus segera meogulang prakualifikasi dan mentender ulang pekerjaan tersebut.
Penyakit-penyakitnya antara lain :
1. Tidak Seluruh Sanggahan Ditanggapi
2. Substansi Sanggahan Tidak Ditanggapi
3. Sanggahan Proforma Untuk Menghindari Tuduhan Tender Diatur

13. PENUNJUKAN PEMENANG LELANG
Setelah masa “sanggah’ berakhir maka, kepala instansi/proyek wajib untuk mengeluarkan secara resmi surat penetapan pemenang pelelangan. Guna dapat diproses dalam ikatan perjanjian kerja pelaksanaan pekerjaan atau Kontrak Kerja. Kegiatan tersebut meliputi: Berita acara yang telah selesai lengkap dengan tanda tangan seluruh anggota panitia merupakan bahan dasar untuk penyusunan surat penunjukan;
Catatan lengkap sanggahan dan jawaban merupakan kelengkapan data yang diperlukan untuk pengeluaran surat tersebut;
Catatan samping–site letter yang merupakan hasil kesepakatan antara panitia dan mitra calon pemenang pada pre-award meeting merupakan lampiran dalam surat penunjukkan tersebut. Surat penunjukan yang ditandatangani oleh proyek manager segera disampaikan.
Penyakit-penyakitnya antara lain :
1. Surat Penunjukan Yang Tidak Lengkap
2. Surat Penunjukan Yang Sengaja Ditunda Pengeluarannya
3. Surat Penunjukan Yang Dikeluarkan Dengan Terburu-buru
4. Surat Penunjukan Yang Tidak Sah

14. PENANDATANGANAN KONTRAK
Kegiatan akhir dari proses pelelangan adalah penandatanganan perjanjian kontrak pelaksanaan pekerjaan. Perjanjian tentang nilai harga pekerjaan, hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta waktu pelaksanaan pekerjaan yang ditentukan secara pasti. Kegiatan tersebut meliputi; Konsep kontrak dan dokumen kontrak harus segera dipersiapkan oleh mitra kerja setelah diterima surat penunjukkan; Konfirmasi kandungan dokumen dilakukan oleh proyek dan diparaf setiap halaman oleh pejabat proyek dan mitra kerja yang diberi hak untuk itu; Kontrak ditandatangani oleh pihak-pihak terkait setelah mitra kerja memenuhi persyaratan penandatangan kontrak seperti yang diatur dalam dokumen lelang. Kontrak gagal ditandatangani apabila mitra kerja tidak berhasil memenuhi persyaratan dalam kurun waktu yang ditetapkan dalam dokumen lelang.
Penyakit-penyakitnya antara lain :
1. Penandatanganan Kontrak Yang Ditunda-tunda
2. Penandatanganan Kontrak Secara Tertutup
3. Penandatanganan Kontrak Tidak Sah

15. PENYERAHAN BARANG/JASA
Penyerahan barang dan jasa dapat dilakukan secara bertahap atau menyeluruh. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam dokumen lelang. Penyerahan final dilakukan setelah masa pemeliharaan selesai. Setelah penyerahan final selesai, bukan berarti tanggung jawab penyedia jasa berakhir. Penyerahan barang dan jasa benar apabila
1. Tepat waktu sesuai perjanjian
2. Tepat mutu sesuai yang dipersyaratkan
3. Tepat volume sesuai yang dibutuhkan
4. Tepat biaya sesuai dalam kontrak
Kajian empat tepat di atas dilakukan sesuai dengan dokumen kontrak. Sumber KKN di segmen ini diantaranya adalah :
1. Volume Tidak Sama
2. Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari tentuan dalam spesifikasi teknik
3. Contract Change Order (Perubahan Kontrak)

Referensi:

Hotma Napitupulu. 2009. Beberapa Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Bidkum Polda Jabar: tidak diterbitkan.
Baca selengkapnya.....