Rabu, 26 Agustus 2009

AGUS CONDRO: “ANTARA SUAP DAN VICTIM OF CONSPIRACY?”


(ini merupakan tanggapan terhadap salah satu tulisan Prof.Indriyanto Seno Aji dalam bukunya "Korupsi dan Penegakan Hukum")


Pendahuluan

Label korupsi kini bukan semata-mata diperuntukkan bagi pejabat birokrasi, namun sudah disematkan pada semua instansi dan komponen masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pelayanan publik. Itulah sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya, sehingga dengan kita mendalilkan bahwa “korupsi itu biasa” karena terjadi hampir disetiap ruang dan lapisan masyarakat. Korupsi dapat terjadi apabila terdapat peluang dan keinginan pada waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari sisi mana saja: suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau seorang pejabat yang meminta uang pelicin. Orang yang menawarkan suap melakukannya karena ia menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap pejabat yang bersangkutan supaya pejabat itu mau mengabaikan peraturan, atau karena si penyuap yakin bahwa pejabat tersebut tidak akan memenuhi permintaannya tanpa meminta imbalan.
Membicarakan masalah suap, sosok Agus Condro tiba-tiba mencuat ketika mengaku ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima Rp. 500 juta pada 2002, sebagai imbalan atas terpilihnya Miranda S.Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Politisi asal Batang, Jawa Tengah, itu juga menyebut nama sejumlah rekan se-fraksinya ikut menikmati uang suap itu. Meskipun kemudian ia mengembalikan uang suap tersebut ke KPK, namun ia sudah dicap sebagai perusak nama partai, terlebih ketika itu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden RI masa kerja 2004-2009. Sebagai balasannya, kemudian posisi Agus Condro di DPR dari Fraksi PDIP kemudian dicopot. Agus dicopot karena dianggap telah membongkar sebuah kebobrokan partai, dan boleh jadi, sistem politik di Tanah Air (Kompas 2 September 2008). Oleh Prof. Indriyanto Seno Aji, kasus ini diangkat sebagai telaah apakah Agus Condro disini sebagai pelaku suap ataukah sebagai victim of conspiracy?.

Perkembangan Tindak Pidana Suap

Keberadaan pasal-pasal suap yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP ke dalam Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama ini hanya menjadi pasal “tidur” yang tidak memiliki makna. Atas dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dari keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multinormatif itu, mulai dari delik penyalahgunaan kewenangan, maupun delik penggelapan, hanya delik suap yang sangat sulit pembuktiannya.
Secara harfiah, kata suap (bribe) berasal dari istilah Perancis yaitu briberie, yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Kemudian, perkembangan selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Di dalam bahasa Indonesia sendiri, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi yang paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut (Kristianto 2009).
Sistem kekuasaan yang mengambil pola hirarki ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia (Sutherland 1979). Ketika para birokrat di Indonesia bekerja dengan sistem administrasi modern, upeti dianggap sebagai standar yang wajar sebagai alat tukar kekuasaan diantara mereka. Alat tukar ini bisa berwujud pertukaran antara jabatan resmi dan materi. Bahwa mereka yang memiliki kekuatan nominal akan mudahnya menguasai suatu jabatan penting, memiliki modal untuk membeli suatu perusahaan publik dan untuk membeli suara rakyat (venal office). Situasi ini menimbulkan kekeliruan persepsi di antara masyarakat Indonesia antara hadiah dan suap kala masyarakat berhadapan dengan birokrat (Nadler 2006). Hadiah apabila diberikan tidak menimbulkan ekspektasi antara pemberi dan penerima, sedangkan suap selalu disertai pembelokan terhadap suatu keputusan yang seharusnya diambil oleh pejabat yang bersangkutan. Oleh sebab masyarakat tidak mengerti perbedaan antara hadiah dan suap itulah, maka imbalan yang tidak resmi (suap/gratifikasi) merupakan suatu hal yang sah dan wajar-wajar saja karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu prosedur standar suatu administrasi. Oleh karena itu, hal yang wajar apabila masyarakat belum memahami bahwa suap, baik yang menerima maupun yang memberi, dikategorikan sebagai tindak korupsi. Dengan demikian, suap bisa dikategorikan sebagai asal muasal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini. Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap sudah terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pembuatan Undang-Undang (UU) di lembaga legislatif (DPR). Pada masyarakat yang kini kian materialistis, adagium “tidak ada yang gratisan” atau “selawe jaluk selamet” menjadi acuan. Akibatnya sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang karena jabatannya menjadi “diperjualbelikan” demi keuntungan pribadi.

Polemik Delik Suap

Penyuapan merupakan istilah yang dalam undang-undang disebut sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima oleh seorang pegawai negeri. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: (1) menerima hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di dalam KUHP, terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (pasal 209 dan 210), maupun penyuapan pasif (pasal 418, 419 dan 420) yang kemudian semuanya ditarik dalam pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi pasal 5, 6, 11 dan 12 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun 1971 (sekarang pasal 13 UU No.31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C UU No.20 Tahun 2001 tentang PTPK.
Menurut Seno Adji (2009), delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai bentuk warisan penjajah Belanda meski telah mengatur secara terperinci, dianggap sebagai delik “impoten” dalam kerangka pemberantasan korupsi. Selain sangat rentan tingkat kesulitan pembuktiannya, delik-delik ini sekadar kekuatan simbolik yang menghiasi sistem regulasi hukum pidana kita Seperti di dalam KUHP, dimana terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan 210) yang pada Perppu No. 24 Tahun 1960 pasal 1 sub a dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 209 mengenai penyuapan kepada pegawai negeri pada umumnya, dan pasal 210 mengenai penyuapan terhadap hakim dan penasihat agama dalam sidang pengadilan. Dalam pasal 209 ayat (1) tersebut, penyuapan pada seorang pegawai baru terjadi apabila pemberian atau menjanjikan sesuatu tersebut diterima oleh pegawai yang bersangkutan, sedangkan suap sudah terjadi walaupun pemberian atau kesanggupan memenuhi janji tersebut ditolak oleh pegawai yang bersangkutan maka tindakan tersebut baru merupakan percobaan untuk menyuap. Kemudian pada pasal 209 ayat (2) tidak disebutkan mengenai kesanggupan pegawai untuk memenuhi permintaan penyuap. Yang disebutkan adalah pemberian kepada pegawai yang bersangkutan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajibannya. Jadi pegawai yang menyatakan kesanggupan, tidak dikenai hukuman. Harusnya pegawai yang melakukan kesanggupan juga layak dihukum walaupun lebih ringan dari yang memberi suap (Prodjodikoro 2003: 219). Oleh sebab itu, untuk menjerat pelaku suap atau penerima suap agar dapat dimasukkan sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka makna suap pun diperluas bahwa delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap objek perbuatan suap. Si penerima suap harus membuktikan bahwa pemberian tersebut bukanlah suap, hadiah yang diberikan haruslah tidak ada kaitannya dengan jabatan yang disandangnya.
Lalu dalam rumusan gratifikasi sebagaimana penjelasan pasal 12B UU No.20 Tahun 2001 dan penjelasan pasal 12B ayat (1), bahwa tidak dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dengan cara menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi. Mengingat luasnya definisi ini, maka kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (2), dan pasal 12 huruf a, b, dan c UU No.21 Tahun 2001. Dalam hal ini menyangkut tuntutan pidana yang ditimpakannya dapat diatasi lewat pasal 63 ayat (1) KUHP mengenai perbarengan peraturan. Lebih lanjut Seno Adji mengatakan bahwa penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut, oleh karena itu aturan tentang delik suap tidak memberikan norma pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang bersifat sebagai subyek korupsi yang wajib dilindungi (Adji 2009: 499). Oleh sebab itu saya sependapat dengan Prof. Seno Adji bahwa pelaku dan penerima suap merupakan subyek korupsi yang sama-sama tidak ada perbedaan dalam perlakuan penyidikan tindak pidana korupsi.

Perlindungan Hukum Pelapor Suap

Ada dugaan bahwa status Agus Condro sebagai whistle blower bagi PDIP akan membuat ia berubah status menjadi korban tindak pidana suap. Secara definisi, whistle blower adalah seorang pegawai (employee) atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (Columbia Electronic Encyclopedia 2005). Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian saat ini (Rothschild & Miethe 1999: 15 – 16). Atas dasar dalil tersebut, Agus Condro berani meminta KPK untuk mengkategorikannya sebagai saksi dan pelapor suap, bukan pelaku suap. Menurut Seno Adji, perlindungan hukum tidak berlaku bagi saksi atau pelapor yang terlibat delik suap karena terdapat norma mengikat yang tidak dapat diintepretasikan lain dari maksud diaturnya substansi norma tersebut (Lex Certa). Untuk itu pada pasal 31 UU No.31 Tahun 1999, tidak diatur tentang pemberian perlindungan hukum terhadap saksi dan pelapor yang terlibat delik suap. Sedangkan KPK, sesuai pasal 15 huruf a UU No.30 Tahun 2002, wajib memberikan perlindungan saksi dan pelapor mengenai terjadinya tindak pidana korupsi (Adji 2009: 499).
Karena percobaan suap (poging) memang sudah dianggap sebagai delik selesai atau sebagai prasyarat suatu tindak pidana korupsi. Dalam kasus ini, apabila memang Agus Condro kemudian dilepaskan statusnya sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka KPK mengabaikan norma dan asas perlindungan hukum yang benar atau due process of legal protection, bahkan tidak akan terjadi suatu equal treatment of justice dalam rangka penegakan hukum (Adji 2009: 500). Dalam suatu perkara pidana mengesampingkan seseorang maupun perkaranya sebagai subyek tindak pidana dengan alasan demi kepentingan umum hanya dapat dibenarkan berdasarkan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai pasal 35 Huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, sedangkan KPK sama sekali tidak memiliki kewenangan demikian.
Menurut saya, saksi dan pelapor disini secara substansional merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi yang kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk menindaknya. Sedangkan apabila dia termasuk yang menerima suap, dan telah menjanjikan suatu kesanggupan untuk melakukan penyimpangan kewajiban pada jabatan yang sedang disandangnya tidak dikategorisasikan sebagai saksi. Dan meskipun dia kemudian mencium gelagat bahwa perbuatannya telah diketahui oleh penegak hukum dan kemudian dia berdalih melaporkan tindakan suap yang ditimpakan kepadanya, dengan begitu ia pun bukan termasuk sebagai pelapor tindak pidana suap karena pada awalnya ia sudah menjanjikan/memberi kesanggupan. Dalam pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 disebutkan, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Jadi jelaslah bahwa Agus Condro disini tidak serta merta dicabut statusnya sebagai tersangka kasus suap, namun dia bisa saja dikatakan sebagai saksi tergantung kesaksiannya di muka pengadilan atas kasus yang dialaminya.
Meskipun demikian, semangat Agus Condro untuk memberikan kesaksian mengenai kasus suap yang dideritanya harus diberikan perlakuan yang sepadan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dalam penyidikan, karena nasib para pelapor kasus korupsi di negeri ini ternyata kerap tidak lebih baik dari orang-orang yang mereka laporkan. Nasib para saksi pelapor korupsi (lazim disebut witness ataupun whistleblower) pada kasus-kasus sebelumnya juga tak begitu indah. Alih-alih disebut pahlawan, mereka malah mengalami kekerasan fisik hingga digugat balik atas dasar pencemaran nama baik, seperti contoh kasus Endin Wahyudin tahun 2001 yang melaporkan kasus suap hakim agung Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto, serta mantan hakim agung Yahya Harahap (Gatra 10 Oktober 2001). Oleh sebab itu, berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, maka saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 5 ayat (2) pun disebutkan bahwa hak sebagai saksi sebagaimana ayat (1) diberikan pula kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pasal 1 ayat (1) memuat tentang hak-hak saksi sebagai berikut:
1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan
3. memberikan keterangan tanpa tekanan
4. mendapat penerjemah
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. mendapat identitas baru
10. mendapatkan tempat kediaman baru
11. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. mendapat nasihat hukum; dan/atau
13. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Disamping perlindungan secara normatif, secara empiris pun masyarakat dan pemerintah wajib mengupayakan perlindungan terhadap para saksi dan whistleblowers. Antara lain dengan tidak mudah mengungkap identitas mereka dan keluarganya untuk tujuan-tujuan yang kurang penting mengingat perlindungan secara normatif dan legalis saja kurang cukup di negeri ini. UU ini bisa menjadi landasan hukum bagi para saksi dan korban kasus tindak pidana, bahwa mereka juga berhak atas perlindungan saksi. Perlindungan juga diberikan kepada keluarga saksi dan korban atas berbagai ancaman fisik serta psikis dari pihak tertentu terkait dengan pengaduannya, saksi diharapkan bisa menjadi lebih terbuka dan berani melaporkan adanya korupsi, sebaliknya, aparat penegak hukum diharapkan bisa memicu motivasi profesionalitasnya. Dengan demikian saya berpendapat, walaupun Agus Condro secara substansi merupakan subyek tindak pidana korupsi, namun ia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, karena tindakan yang ia lakukan menunjukkan itikad baik dalam memberantas korupsi.

Kesimpulan

Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu (1) menerima hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Untuk dapat mengatasi persoalan suap-menyuap yang kian hari semakin suram dan menggerus ketidakpercayaan publik terhadap para pejabat publik, harus dipahami bahwa transaksi suap dapat terjadi karena keterlibatan dua pihak, yaitu penyuap dan pejabat yang disuap. Penyuapan adalah transaksi yang bersifat timbal-balik atau resiprokal. Ini mirip seperti tari tango, yang hanya bisa dilakukan oleh dua orang dengan saling bekerjasama. It takes two for a tango, kata orang Inggris. Maka transaksi hanya bisa terjadi apabila kedua belah pihak setuju tentang besaran uangnya, keputusan yang hendak dibelokkan, dan bentuk transaksinya. Dengan demikian untuk memberantas korupsi dalam bentuk suap, hukuman harus diberikan setimpal kepada kedua belah pihak, penyuap maupun yang disuap.
Kaitannya dalam hal ini, Agus Condro barangkali seorang whistleblower karena ia termasuk menerima suap demi meluluskan Miranda S.Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI pada tahun 2004 silam. Dia pun barangkali juga tidak murni sebagai saksi pelapor. Partainya menyebut dia sebagai pengkhianat. Namun, terlepas dari status tersebut, keberanian Agus Condro patut diapresiasi oleh para legislator di negeri ini. Mungkin statusnya di mata hukum akan tetap sebagai tersangka karena secara hukum ia telah terbukti menerima uang uang tersebut, walaupun di kemudian hari dia mengembalikannya kepada KPK dengan disertai pernyataan bahwa bukan hanya dia yang telah disuap Miranda, tetapi rekan-rekan se-fraksinya juga menerima hal yang sama. Oleh sebab itu, pengakuan Agus Condro tersebut meskipun disanggah oleh PDIP dengan menyebutnya “berilusi” dan karena itu ia dianggap merusak citra partai, harus dianggap sebagai momentum KPK untuk menyelidiki kebenaran dan kedalaman kasus ini. KPK juga harus bertindak lebih cepat. Benar, pengakuan Agus belumlah cukup sebagai alat bukti hukum, tetapi tentu lebih dari cukup untuk segera memulai penyelidikan yang komprehensif. Kecepatan bertindak KPK diperlukan, untuk menghapus logika awam yang sangat liar itu bahwa KPK masih tebang pilih dalam menghunus pedang keadilannya. Untuk itu, demi mendapatkan keterangan secara terinci mengenai kasus ini karena yang dihadapi Agus Condro adalah sebuah partai besar (PDIP), maka kepadanya layak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun 2006, meskipun nantinya dalam persidangan ia tetap terbukti bersalah menerima suap.


DAFTAR ACUAN

Adji, Indriyanto Seno. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media.
Kristianto, Agustinus Edy. 2009. "Suap: Korupsi Tanpa Akhir". Harian Global 18 Februari 2009.
Nadler, Judy. 2006. When Does A Gift Become A Bribe? ed. by Jeffrey MacDonald. Diunduh dari www.csmonitor.com/2006/0125/p13s01-lire.html - 84k - pada tanggal 4 Mei 2009.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Rothschild, Joyce and Terance D. Miethe. 1999. “Whistle-Blower Disclosures and Management Retaliation: The Battle to Control Information". Work and Occupations: An International Sociological Journal, Vol. 26, No.1 (Feb): 15 - 16.
Sutherland, Heather. 1979. The Making of A Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priayi. Singapore: Asian Studies Association of Australia.
Baca selengkapnya.....

Penerapan Tindak Pidana Korporasi Bagi Kejahatan Lingkungan Hidup


Pendahuluan

Membangun sikap peduli terhadap kelestarian hutan, saat sekarang ini, bukanlah persoalan gampang. Susah. Sebab, republik ini susah kalau melihat lingkungan hidup sehat dan hutan Indonesia lestari dan alami. Perilaku orang-orang di negeri ini sudah begitu masif, terlanjur babak belur digerogoti ideologi sesat: serakah, apatis, hedonis, kapitalis-materialistis, dan anti lingkungan hidup. Kegelisahan ini bukan tanpa alasan. Bukti paling aktual, Indonesia menjadi negara dengan tingkat penghancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90% dari sisa hutan dunia. Bahkan lembaga internasional Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah, dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, penebangan komersial dan praktik illegal loging. Para ahli kehutanan juga memprediksikan, hutan Indonesia akan musnah paling lambat pada 2012 jika tidak ada reformasi tata kelola kehutanan. Akibat lebih jauh, kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 3,8 juta hektar telah mengancam 720 ribu nyawa manusia setiap tahunnya (Pontianak Post 2007). Dalam jangka panjang, fenomena miris ini menunjukkan suatu dinamika ekonomi kapitalis yang akan menghasilkan ketidakseimbangan sosial: kekayaan untuk segelintir orang dan menciptakan bencana dan kesengsaraan untuk mayoritas. Dengan dampak kegiatan industri yang cukup signifikan terhadap lingkungan hidup, maka tindakan-tindakan untuk mendorong para industriawan untuk taat sangatlah dibutuhkan, salah satunya adalah melalui tindakan penegakan hukum. Tindakan ini dalam rangka memberikan efek jera terhadap para pelakunya.

Perspektif Pentaatan Lingkungan

Namun, sangat disayangkan bahwa ternyata Indonesia masih terus dipusingkan pada lemahnya sistem pentaatan dan penegakan hukum lingkungan. Kedua hal ini saling berkaitan karena pentaatan dalam arti pemenuhan persyaratan-persyaratan lingkungan tidak akan terwujud jika tidak dibarengi dengan upaya penegakan, khususnya oleh pemerintah. Padahal pentaatan dan penegakan hukum lingkungan merupakan elemen penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Tidak maksimalnya peran pentaatan dan penegakan hukum lingkungan dapat menghambat pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Penegakan hukum memang bukan satu-satunya cara untuk mencapai penaatan. Secara garis besar, pendekatan pentaatan dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan yaitu: 1) pendekatan atur dan awasi; 2) pendekatan ekonomi;3) pendekatan perilaku; 4) pendekatan pendayagunaan tekanan publik (Santosa 2001: 38). Pendekatan atur dan awasi adalah suatu tindakan untuk mencegah agar tidak terjadi tindakan-tindakan merusak lingkungan dengan cara atur, awasi dan ancam dengan hukuman. Pendekatan ini yang sebagian besar digunakan dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu, pendekatan ekonomi berangkat dari suatu pemikiran bahwa pihak yang berpotensi untuk melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan akan menghitung terlebih dahulu secara rasional sejauhmana melaksanakan pentaatan lingkungan dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Pendekatan perilaku mengutamakan pentingnya membangun motivasi dikalangan industriawan dalam rangka mendorong penaatan. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain melalui bantuan teknis atau bantuan pendanaan. Dalam pendekatan ini diperlukan kerjasama yang erat antara pemerintah selaku regulator dengan para industriawan atau dengan para penanggung jawab kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan. Sedangkan pendekatan pendayagunaan tekanan publik adalah dengan memberikan ruang bagi publik untuk melakukan pengawasan dan kontrol yang efektif. Pendekatan ini hanya dapat berjalan secara efektif apabila dijamin haknya untuk memperoleh informasi, mempunyai akses untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan, serta dapat mengekspresikan pendapat dan keberatan.

Akuntabilitas Korporasi

Pelanggaran atau kejahatan lingkungan hidup adalah merupakan suatu hal yang unik dibandingkan dengan pelanggaran atau kejahatan yang lain. Seperti telah kita ketahui bahwa banyak pencemaran dan perusakan lingkungan yang cukup serius timbul dari industri yang sebagian besar adalah merupakan badan hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapakah yang dapat dikenakan pertangggung jawaban pidana dalam perbuatan merusak lingkungan tersebut, badan hukum atau pegawainya atau bahkan keduanya.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (Rusmana 2007). Dasar pemikiran yang digunakan oleh KUHP, ialah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang perorangan atau legal persoon). Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa perkembangan kegiatan ekonomi tumbuh dengan pesat, gejala kriminalitas lingkungan hidup juga semakin meningkat dengan badan hukum atau korporasi banyak berperan dalam mendukung atau memperlancar kejahatan tersebut, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subyek hukum perdata menjadi subyek hukum pidana.
UU No.23 Tahun 1997 memberikan ancaman hukuman kepada korporasi dengan diperberat sepertiga dari hukuman yang ada dalam undang-undang ini (diatur dalam pasal 45). Sedangkan untuk pemimpin dan pemberi perintah dalam korporasi juga diancam hukuman penjara dan atau denda. Hal ini sesuai dengan pemikiran Gunter Heine (2006) bahwa pengurus korporasi adalah individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu selain menikmati kedudukan sosial, perlu pula diiringi dengan tanggung jawab (Hu & Faure 2006, 46)
Siapa-siapa saja yang dapat dihukum dalam tindak pidana korporasi, diatur di dalam pasal 46 UU No.23 Tahun 1997, sebagai berikut:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tatatertib sebagamana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pimpinan tanpa mengingat apkah orang-orang tersebut baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Berdasarkan pasal 46 tersebut diatas, maka yang dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja akan tetapi juga para pengurusnya. Dalam menentukan pertanggungjawaban tersebut maka ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan. Hal pertama yaitu korporasi tersebut memang merupakan obyek dari norma hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh, perlu dibuktikan bahwa memang korporasi yang dimaksud adalah korporasi yang memang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Tentu saja tidak akan tepat apabila korporasi dalam tindak pidana lingkungan adalah Bank. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah korporasi yang bersangkutan atau manajemennya memiliki power terhadap orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut, termasuk terhadap pelaku fisik tindakan yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu korporasi dan pengurusnya akan dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila dapat menerima tindakan-tindakan melanggar dari pegawainya sehingga menimbulkan pencemaran.
Tahapan berikutnya dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu apabila manajemen dari korporasi tersebut telah mengetahui tindak pidana yang telah dilakukan, dan membiarkannya maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya apabila manajemen memiliki kewenangan untuk menghentikan tindakan pelaku fisik yang melakukan pencemaran lingkungan, tapi tidak melakukannya, maka dapat dikenakan tindak pidana lingkungan.
Dalam praktiknya memang tidak mudah untuk menerapkan tindak pidana korporasi. Prinsip ini harus dipahami dengan baik oleh para aparat penegak hukum, baik penyidik, Penuntut Umum, juga oleh hakim yang menangani perkara. Tindak pidana korporasi memang merupakan hal yang relatif masih baru di dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga dengan pemahaman aparat penegak hukum yang masih beragam, dan masih terpengaruh oleh paradigma lama bahwa yang dapat dihukum pidana hanya yang melakukan tindakan pidana secara fisik, menyebabkan belum optimalnya penanganan perkara lingkungan dengan menggunakan prinsip ini.

Implementasinya Dalam Sistem Peradilan

Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil sebuah contoh kasus pencemaran lingkungan berupa kabut asap akibat praktik pembakaran lahan sebagai salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan perkebunan di Riau untuk menaikkan pH tanah, di samping pertimbangan biaya murah. Dengan pembakaran Ph tanah, bisa dinaikkan menjadi antara 5 - 6, sehingga cocok untuk tanaman tahunan seperti sawit. Kasus tersebut berupa pembakaran yang dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry, sebuah perusahaan milik Malaysia yang bergerak dibidang kelapa sawit, di mana perusahaan bersangkutan akhirnya didenda Rp. 100 juta ditambah kurungan badan 2 tahun bagi manajer perusahaan bersangkutan.
Akan tetapi perusahaan menyalahkan penduduk sekitar yang dianggap sebagai penyebab kebakaran. Hal tersebut dapat dipatahkan oleh saksi ahli di bidang kebakaran hutan yang dapat menunjukan bahwa kebakaran yang terjadi adalah bukan berasal dari luar areal perusahaan melainkan pembakaran yang dilakukan secara terencana dan sistematis dalam rangka pembukaan lahan untuk penanaman kelapa sawit. Dalam putusan No.19 /Pid/B/2001/PN BKN, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang menyatakan bahwa Presiden Direktur dan Manajer Umum Tang Sew Hon dan C. Goby, terbukti melakukan tindak pidana secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan. Selain pidana, pemerintah kemudian mengajukan gugatan pula secara perdata karena perbuatan itu juga bertentangan dengan Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 38/ KB.110/SK/DJ.BUN/05.95 tentang Petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107/KPTS-II/1999 tentang Perizinan usaha perkebunan Pasal 15, yang menyatakan bahwa setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membuka lahan tanpa bakar. Perbuatan itu menimbulkan kerugian seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perkara ini sempat melalui proses Banding dan Kasasi, dan akhirnya putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam proses kasasi (Kompas 2001). Namun memang sangat disayangkan, karena putusan kasasi akhirnya menjatuhkan vonis dari dua tahun menjadi delapan bulan. Padahal kebakaran hutan itu merupakan masalah nasional dan internasional. Mengapa harus ada klemensia atau peringanan hukuman?
Klemensia ini bisa terjadi karena lemahnya penegakan hukum kita terhadap contoh kasus PT. Adei ini. Apabila kita telaah, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan lima tahun penjara baik bagi pemilik maupun penggarap lahan (Syumanda 2001: 95). Demikian pula halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Dalam PP ini tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Demikian pula halnya dalam UU No. 23/97 bersama UU No. 41/99 yang tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.

Penutup

UU No.23 Tahun 1997 sebenarnya telah mengikuti trend perkembangan hukum lingkungan modern dan praktek di negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan dimuatnya pasal yang mengatur tentang tindak pidana korporasi yang merupakan perkembangan dari kejahatan lingkungan seiring dengan perkembangan ekonomi. Akan tetapi memang tidak mudah untuk merubah paradigma yang sudah lama dianut, yaitu bahwa yang dapat dikenakan tindak pidana hanyalah pelaku fisik. Oleh karena itu perlunya sosialisasi kepada para aparat penegak hukum mengenai penerapan prinsip ini sehingga tugas-tugas penegakan hukum lingkungan dapat dilaksanakan secara optimal.
Pemahaman yang memadai dari aparat penyidik PPNS dan Polri serta Jaksa (sinergitas) sangatlah diperlukan sehingga dapat menerjemahkan pertanggungjawaban korporasi kedalam berkas perkara dan dakwaan dengan lebih baik. Disamping itu dari pihak hakim, diharapkan juga dapat mempunyai pemahaman yang baik, serta wawasan dan keberanian dalam menterjemahkan UU No.23 Tahun 1997 sehingga muncul putusan adil dan dapat dipertanggungjawabkan serta dapat digunakan sebagai upaya pembenahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

DAFTAR ACUAN:

Buku & Situs
Heine, Gunter. 2006. Marine (oil) Pollution: Prevention and Protection by Criminal Law- International Perspectives, Corporate and/or Individual Criminal Liability. Dalam Prevention and Compensation of Marine Pollution Damage: Recent Developments in Europe, China and the US, ed. James Hu & Michael Faure, 41-59. The Hague: Kluwer Law International.
Julyono. 2007. "Perkebunan Kelapa Sawit; Antara Peluang dan Ancaman". Harian Analisa 10 Desember.
Rusmana. 2007. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan. Diunduh dari http://www.solusihukum.com pada tanggal 23 April 2009.
Santosa, Mas Achmad. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
Syumanda, Rully. 2001. Kejahatan Terhadap Lingkungan Riau: Masalah Kebakaran dan Solusi Berkaitan Dengan Pengembangan Perkebunan dan HTI di Areal Rawa/Gambut. Diunduh dari http://www.fire.uni-freiburg.de pada tanggal 23 April 2009.

Surat Kabar
"Penghancur Hutan Tercepat; Indonesia Tercatat di Buku Rekor Dunia". Artikel, Pontianak Post 4 Mei 2007.
Baca selengkapnya.....

FPI: ANTARA PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DAN PREMANISME


Pendahuluan

Sudah bukan menjadi peristiwa baru apabila setiap menjelang bulan suci Ramadhan, para pemilik tempat-tempat hiburan di seantero Nusantara dibuat was-was. Bukan oleh adanya peraturan daerah yang melarang dibukanya tempat hiburan tersebut atau pembatasan jam operasionalnya, namun tidak lebih pada maraknya tindakan penertiban tempat hiburan oleh sebuah organisasi masyarakat berbasis keagamaan, yaitu Forum Pembela Islam (FPI). Harus dipahami bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia yang cenderung sekuler secara nyata telah membuat sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam tidak terakomodasi dalam perangkat hukum negara. Bahwa seorang maling harus dihukum, telah sejalan dengan sebagian nilai-nilai ajaran Islam. Tapi bahwa prostitusi dan minum-minuman keras harus dilarang dapat terhadang oleh pasal-pasal hukum yang multi-persepsi. Dalam ruang yang kurang tersentuh pasal-pasal hukum inilah, FPI melakukan berbagai pendekatan solusi agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan secara lebih komprehensif. Posisi FPI disini lebih bersifat sebagai bagian dari masyarakat yang membantu penegak hukum secara aktif dan pro-aktif melalui informasi, dukungan langsung, tekanan-tekanan (pressure) politis dan tuntutan melalui jalur hukum, dengan maksud agar hukum di negeri ini dijalankan dengan lebih baik.
Dalam ilmu sosial, kelompok FPI ini dianggap sebagai suatu kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai suatu tujuan (Mills 1967: 2), yaitu bagaimana menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebajikan, mencegah kemunkaran) melalui upaya-upaya sistematis guna mengajak umat Islam agar menjalankan perintah agamanya secara komprehensif, dan mencegah umat Islam agar tidak terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang merusak moral dan akidah Islamnya. Kelompok ini semula bersifat kohesif dimana anggotanya menikmati interaksi antar mereka, dan mereka tetap bersatu dan bertahan dalam waktu yang cukup lama (Sarwono 2001: 6). Festinger mendefinisikan kohesivitas sebagai total total dari sebuah kekuatan yang berada pada anggota-anggota kelompok yang tetap bertahan pada kelompok tersebut (Festinger, Schachter, & Back 1950: 164). Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif ─dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi─ akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal (Pujanarko 2008).
Berdasarkan dalil diatas, maka perkembangan kelompok pada tubuh FPI melalui tiga fase yaitu:
1. Fase Orientasi
Anggota kelompok masih dalam proses penerimaan dan menemukan persamaan maupun perbedaan persepsi dengan anggota lainnya. Belum terlihat sebagai suatu kesatuan kelompok, masih tampak keegoan individu tersebut. Perekrutan anggota FPI dilakukan secara terbuka oleh para mubalig FPI yang melakukan ceramah, atau ada juga ustadz yang mendaftarkan para santrinya untuk menjadi anggota FPI (Rizieq 2007).
2. Fase Bekerja
Anggota kelompok sudah mulai menyatu dengan anggota yang lain. Tujuan kelompok mulai ditetapkan. Keputusan dibuat melalui mufakat dengan mengenyampingkan voting. Perbedaan ditangani melalui proses adaptasi antar individu, dan pemecahan masalah lebih diutamakan daripada konflik. Ketidaksetujuan tujuan organisasi diselesaikan secara terbuka. Pola kerja FPI adalah mengumpulkan massa baik tidak bersenjata ataupun bersenjata, kemudian bergerak ke lokasi (target) dan melakukan kekerasan fisik dengan pemukulan, pengrusakan dan penganiayaan demi tercapainya tujuan mereka. Jika aksi mereka dipertentangkan maka mereka akan berdalih bahwa aksinya adalah suatu tindakan merespon dari adanya pelanggaran hukum dan untuk menegakkan syariat Islam.
3. Fase Terminasi
Sudah mulai fokus pada evaluasi serta merangkum pengalaman kelompok. Ada perubahan perasaan dari emosi dan putus asa menjadi sedih atau puas, tergantung pada pencapaian tujuan dan pembentukan kelompok (kesatuan kelompok). Setelah melakukan tindakannya, beberapa anggota FPI yang sempat terekam kamera televisi sering meneriakkan yel-yel perlawanan terhadap kemaksiatan dan kemunkaran. Ini berarti para anggotanya secara sadar memang telah melakukan pelanggaran hukum (merusak, menganiaya, sweeping) namun karena dianggap perbuatan mereka tidak melawan hukum (membantu aparat penegak hukum menegakkan hukum) maka mereka leluasa melakukan perbuatan tersebut (Clark 1994 dalam Purwandari 2008).

Sekilas FPI dan Perspektif Media Massa Terhadap FPI

FPI merupakan sebuah organisasi Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan oleh sejumlah Habib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim, disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi ini hanya 4 (empat) bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan Orde Baru, Soeharto tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan menegakkan syariat Islam di negara sekuler. Organisasi ini didirikan sebagai wadah kerjasama antara umat Islam dan ulama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di setiap aspek kehidupan.
Semangat pendirian FPI itu sendiri tak lain dari pengimplementasian Undang-Undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dalam Pasal 1 disebutkan, Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Nah, asas tunggal Pancasila inilah yang tidak dikehendaki oleh FPI yang pada tahun 2002 menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada amandemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR pada saat itu. Namun anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk (Sinar Indonesia Baru, 6 Agustus 2002). Pembentukan organisasi yang berdasarkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah di tahun 2006.
Dalam situsnya, FPI melatarbelakangi pendirian organisasi ini karena:
1. Adanya penderitaan umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer sebagai akibat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan masyarakat.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga harkat dan martabat Islam dan umat Islam.

FPI memiliki struktur organisasi sebagai berikut:
1. Dewan Pimpinan Pusat (sebagai pengurus organisasi berskala nasional):
a. Ketua Majelis Syura DPP FPI adalah Habib Muhsin Ahmad Al-Attas.
b. Ketua Majelis Tanfidzi DPP FPI adalah Habib Rizieq (2003 – 2008)
2. Dewan Pimpinan Daerah (sebagai pengurus organisasi berskala provinsi).
3. Dewan Pimpinan Wilayah (sebagai pengurus organisasi berskala Kota/Kabupaten).
4. Dewan Pimpinan Cabang (sebagai pengurus organisasi berskala Kecamatan).
Dalam kegiatannya menegakkan syariat Islam itulah, maka sasaran yang paling banyak dituju oleh FPI adalah tempat-tempat yang dirasakan sebagai sumber kemaksiatan dan kemungkaran. Tempat-tempat hiburan, warganegara asing tertentu, dan organisasi berbasis agama lain tidak jarang menjadi sasaran apa yang mereka sebut sebagai penertiban. Tindakan yang tak jarang cenderung main hakim sendiri itu disayangkan oleh segenap pihak sebagai tindakan yang melampaui tugas dan wewenang Polri sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan. Namun Habib Rizieq menyatakan bahwa karena Polri tidak mengambil langkah apapun padahal sudah jelas-jelas hal tersebut melanggar peraturan maka gerakan tanpa kompromilah yang ia ambil sebagai bagian dari penegakan hukum itu sendiri. Namun memang tindakan para Laskar Pembela Islam (anggota paramiliter bentukan FPI) cenderung kelewat batas, seperti pengrusakan, sweeping warganegara tertentu, atau penganiayaan kelompok organisasi tertentu yang tidak sealiran dengan FPI. Namun hal tersebut dibantah oleh Habib Rizieq yang menyatakan bahwa tindakan oknum FPI tersebut dikarenakan mereka tidak mengerti Prosedur Standar FPI (Condro 2006).
Menurut Rizieq lagi, penyerbuan atau pengrusakan merupakan langkah terakhir yang diambil FPI setelah melewati tahap-tahap sebelumnya. Jika ada informasi yang menyebutkan di suatu tempat ada lokasi yang tidak beres, maka FPI mengirim intelijen yang terdiri dari beberapa orang untuk menggali informasi yang valid. Jika benar itu tempat yang tidak beres, maka ada dua pengelompokkan yang dilihat. Jika tempat maksiat itu didukung warga sekitar dalam arti banyak warga sekitar yang mencari nafkah di sana dan menggantungkan hidupnya di sana, maka kami kirim ustadz untuk memberi pencerahan. Ini sisi amar ma’ruf yang dimaksudkan oleh FPI. Namun, jika tempat maksiat itu ternyata meresahkan warga sekitar, dan banyak yang dilindungi oleh preman terorganisir atau malah ada oknum aparat yang ikut melindungi, maka tindakan FPI adalah melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian agar polisi bisa bersifat pro-aktif. Jika sampai waktu yang kami minta belum ada tindakan apa pun juga dari kepolisian, maka FPI kembali melayangkan surat untuk mendesak aparat segera turun tangan. Ini dilakukan sampai tiga kali. Namun jika aparat ternyata tetap diam, tidak menunjukkan itikad baik untuk membasmi kemaksiatan, maka FPI pun segera mengirim surat pemberitahuan bahwa FPI akan mengirim laskarnya ke tempat tersebut untuk membantu tugas kepolisian (Supriadi 2008).
Sisi inilah yang menurut Rizieq jarang terekspos oleh media massa nasional, sehingga masyarakat hanya melabel FPI sebagai organisasi Islam radikal yang mengutamakan kekerasan dalam menyikapi segala sesuatu yang melanggar syariat Islam (Tempointeraktif.com, 12 Januari 2005). Menurutnya, ketidaknetralan media massa dalam menyikapi tindakan FPI ini didasari atas banyaknya kepentingan dari media massa itu sendiri atau bahkan mereka memang menghendaki FPI untuk dibubarkan. Dasar dari wacana pembubaran FPI ini merunut pada sejumlah kasus yang dilakukan oleh kelompok FPI di beberapa tempat di Indonesia periode tahun 2001 s/d 2008 (dikutip dari Wikipedia), antara lain:

Tahun 2001:

a. 27 Agustus. Ratusan massa yang tergabung dalam FPI berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR. Mereka menuntut MPR/DPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta.
b. 9 Oktober. FPI membuat keributan dalam aksi demonstrasi di depan Kedutaan Amerika Serikat dengan merobohkan barikade kawat berduri dan aparat keamanan menembakkan gas air mata serta meriam air.
c. 15 Oktober. Polda Metro Jaya menurunkan sekitar seribu petugas dari empat batalyon di kepolisian mengepung kantor FPI di Jalan Petamburan III Jakarta Barat dan terjadi bentrokan.
d. 7 November. Bentrokan terjadi antara laskar Jihad Ahlusunnah dan Laskar FPI dengan mahasiswa pendukung terdakwa Mixilmina Munir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dua orang mahasiswa terluka akibat dikeroyok puluhan laskar.

Tahun 2002:

a. 15 Maret. Panglima Laskar FPI, Tubagus Muhammad Sidik menegaskan, aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan yang terbukti melakukan kemaksiatan, merupakan hak dari masyarakat.
b. 15 Maret. Satu truk massa FPI mendatangi diskotik di Plaza Hayam Wuruk.
c. 15 Maret. Sekitar 300 massa FPI merusak sebuah tempat hiburan, Mekar Jaya Billiard, di Jl. Prof Dr. Satrio No.241, Karet, Jakarta.
d. 24 Maret. Sekitar 50 anggota FPI mendatangi diskotek New Star di Jl. Raya Ciputat. FPI menuntut agar diskotek menutup aktivitasnya.
e. 24 Mei. Puluhan massa dari FPI di bawah pimpinan Tubagus Sidiq menggrebek sebuah gudang minuman di Jalan Petamburan VI, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
f. 26 Juni. Usai berunjuk rasa menolak Sutiyoso di Gedung DPRD DKI, massa FPI merusak sejumlah kafe di Jalan Jaksa yang tak jauh letaknya dari tempat berunjuk rasa. Dengan tongkat bambu, sebagian dari mereka merusak diantaranya Pappa Kafe, Allis Kafe, Kafe Betawi dan Margot Kafe.
g. 4 Oktober. Sweeping ke tempat-tempat hiburan, Riziq dipenjara selama tujuh bulan.
h. 14 Oktober. Sekitar 300 orang pekerja beberapa tempat hiburan di Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI. Mereka menuntut pembubaran FPI yang mereka anggap telah melakukan aksi main hakim sendiri terhadap tempat hiburan
i. 16 Oktober. Habib Rizieq diperiksa pihak kepolisian di Mapolda Metro Jaya.
j. 6 November. Lewat rapat singkat yang dihadiri oleh sesepuh FPI, maka Dewan Pimpinan Pusat FPI, mengeluarkan maklumat pembekuan kelaskaran FPI di seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
k. Desember. FPI diaktifkan kembali.

Tahun 2003:

a. 20 April. Ketua Umum FPI Habib Rizieq Shihab ditahan di Markas Polda Metro Jaya Jakarta setelah dijemput paksa dari bandara.
b. 8 Mei. Habib Muhammad Rizieq mulai diadili di PN Jakarta.
c. 22 Mei. Koordinator lapangan laskar FPI Tubagus Sidik bersama sepuluh anggota laskar FPI menganiaya seorang pria di jalan tol, dan mereka ditangkap 23 Mei.
d. 1 Juli. Rizieq menyesal dan berjanji akan menindak anggota FPI yang melanggar hukum negara di PN Jakarta Pusat.
e. 11 Agustus. Majelis hakim memvonis Habib Rizieq dengan hukuman tujuh bulan penjara.
f. 19 November. Ketua FPI Habib Rizieq bebas.
g. 18 Desember. Menurut Ahmad Sobri Lubis, Sekretaris Jenderal FPI, usai bertemu Wapres Hamzah Haz di Istana Wapres, Jakarta, FPI akan mengubah paradigma perjuangannya, tidak lagi menekankan pada metode perjuangan melalui gerakan massa dan kelaskaran. Perjuangan lebih ditekankan lewat pembangunan ekonomi, pengembangan pendidikan dan pemberantasan maksiat melalui jalur hukum.

Tahun 2004:

a. 3 Oktober. FPI menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. FPI menuduh orang-orang Katolik menyebarkan agama Katolik karena mereka mempergunakan ruang olahraga sekolah sebagai gereja sementara sudah selama sepuluh tahun.
b. 11 Oktober. FPI Depok Ancam Razia Tempat Hiburan.
c. 22 Oktober. FPI melakukan pengrusakan kafe dan keributan dengan warga di Kemang.
d. 24 Oktober. FPI melalui Ketua Badan Investigasi FPI Alwi meminta maaf kepada Kapolda Metro Jaya bila aksi sweeping yang dilakukannya beberapa waktu lalu dianggap melecehkan aparat hukum.
e. 25 Oktober. Ketua MPR yang juga mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam cara-cara kekerasan yang dilakukan FPI dalam menindak tempat hiburan yang buka selama Bulan Ramadhan.
f. 28 Oktober. Meski menuai protes dari berbagai kalangan, FPI tetap meneruskan aksi sweeping di bulan Ramadhan menurut Sekjennya Farid Syafi'i.
g. 28 Oktober. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif meminta aksi-aksi sepihak yang dilakukan FPI terhadap kafe-kafe di Jakarta dihentikan. Dia menilai, apa yang dilakukan FPI merupakan wewenang pemerintah daerah dan kepolisian.
h. 23 Desember. Sekitar 150 orang anggota Front Pembela Islam terlibat bentrok dengan petugas satuan pengaman JCT (Jakarta International Container Terminal).

Tahun 2005:

a. 27 Juni. FPI menyerang Kontes Miss Waria di Gedung Sarinah Jakarta.
b. 5 Agustus. FPI dan FUI mengancam akan menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu.
c. 2 Agustus. Dewan Pimpinan Wilayah FPI Kab. Purwakarta, Jawa Barat, meminta pengelola Taman Kanak-kanak Tunas Pertiwi, di Jalan Raya Bungursari, menghentikan kebaktian sekaligus membongkar bangunannya. Jika tidak, FPI mengancam akan menghentikan dan membongkar paksa bangunan.
d. 23 Agustus. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid meminta pimpinan tertinggi FPI menghentikan aksi penutupan paksa rumah-rumah peribadatan (gereja) milik jemaat beberapa gereja di Bandung. Pernyataan itu disampaikan Wahid untuk menyikapi penutupan paksa 23 gereja di Bandung, Cimahi, dan Garut yang berlangsung sejak akhir 2002 sampai kasus terakhir penutupan Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot, Bandung pada 22 Agustus 2005 lalu.
e. 5 September. Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI.
f. 19 September. FPI diduga di balik ribuan orang yang menyerbu Pemukiman Jamaah Ahmadiyah di Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
g. 22 September. FPI memaksa agar pemeran foto bertajuk Urban/Culture di Museum Bank Indonesia, Jakarta agar ditutup.
h. 16 Oktober. FPI mengusir Jamaat yang akan melakukan kebaktian di Jatimulya Bekasi Timur.
i. 23 Oktober. FPI kembali menghalangi jamaat yang akan melaksanakan kebaktian dan terjadi dorong mendorong, aparat keamanan hanya menyaksikan saja.
j. 18 Oktober. Anggota FPI membawa senjata tajam saat berdemo di Polres Metro Jakarta Barat.

Tahun 2006:

a. 19 Pebruari. Ratusan massa Front Pembela Islam berunjuk rasa ke kantor Kedutaan Besar Amerika Serika dan melakukan kekerasan.
b. 14 Maret. FPI membuat ricuh di Pendopo Kabupaten Sukoharjo.
c. 12 April. FPI menyerang dan merusak Kantor Majalah Playboy.
d. 20 Mei. Anggota FPI menggerebek 11 lokasi yang dinilai sebagai tempat maksiat di Kampung Kresek, Jalan Masjid At-Taqwa Rt 2/6, Jati Sampurna, Pondok Gede.
e. 21 Mei. FPI, MMI dan HTI menyegel kantor Fahmina Institute di Cirebon.
f. 23 Mei. FPI, MMI, HTI, dan FUI mengusir KH Abdurrahman Wahid dari forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta Jawa Barat, dan sempat memaki "kiai anjing".
g. 25 Mei. FPI cabang Bekasi, mengepung kantor Polres Metro Bekasi.

Tahun 2007:

a. 25 Januari. Ratusan orang anggota FPI, yang dipimpin oleh Habib Rizieq, mendatangi markas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta dilakukannya investigasi terhadap serangan yang dilakukan Polri di kawasan Tanahruntuh, Poso, Sulawesi Tengah beberapa hari sebelumnya. Kawasan ini telah lama ditengarai sebagai pusat gerakan teror JI yang dilakukan di Kabupaten Poso.
b. 25 Maret. Massa FPI yang jumlahnya ratusan orang tiba-tiba menyerang massa Papernas yang rata-rata kaum perempuan di kawasan Dukuh Atas. FPI menuduh Papernas adalah partai politik yang menganut faham komunisme.
c. 1 Mei. Pada aksi Hari Buruh Internasional, diwarnai ketegangan antar gabungan massa aksi FPI dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dengan massa Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY). Ketegangan yang terjadi di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret Yogyakarta karena FPI dan FAKI menuduh gerakan ARPY terkait dengan Papernas yang menurut mereka beraliran komunis. Kericuhan hampir memuncak saat massa FAKI menaiki mobil coordinator aksi, dan dengan sertamerta menarik baju koordinator ARPY yang saat itu sedang berorasi.
d. 9 Mei. Puluhan anggota FPI mendatangi doskotik “Jogja Jogja” dan mengusir orang-orang yang bermaksud mengunjungi tempat hiburan itu. Alasannya, diskotek ini menggelar striptease (tari telanjang) secara rutin.
e. 12 September. FPI merusak rumah tempat berkumpul aliran Wahidiyah, karena menganggap mereka sesat.
f. 24 September. Di Ciamis, FPI merusak warung yang buka pada bulan puasa serta memukuli penjual dan pembelinya. Alasannya mereka menjual barang-barang haram di bulan Ramadhan.
g. 28 September. FPI Jakarta bentrok dengan polisi yang membubarkan konvoi mereka, sementara di Jateng FPI menegur seorang warga dengan alasan yang tidak cukup jelas.
h. 29 September. FPI merazia beberapa warung makan di Tasikmalaya. Setiap warung yang kepergok menyiapkan makanan siap saji langsung ditutup. Pemilik warung juga diberikan selebaran berisi imbauan menghormati bulan suci Ramadhan. Aksi ini dikawal polisi.

Tahun 2008:

a. 1 Juni. Massa FPI menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sebagian besar terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak di sekitar Monas. Massa AKKBB waktu itu sedang berdemo memperotes SKB Ahmadiyah. Tak hanya memukul, massa FPI juga merusak mobil-mobil yang terparkir di sekitar lokasi tersebut.
b. 24 September. FPI merazia dan merusak sejumlah warung nasi dan pedagang bakso di wilayah Pasar Wetan Tasikmalaya, karena berjualan makanan pada bulan Ramadhan. Aksi ini kemudian dibubarkan polisi.

Dari sekilas daftar aksi FPI tersebut diatas, maka jelas bahwa gerakan mereka bisa dikategorikan sebagai kegiatan vigilantisme. Vigilantisme dapat diartikan sebagai cara-cara penggunaan kekuatan melalui modus intimidasi dan cara-cara kekerasan terhadap warga sipil, baik individu maupun kelompok tertentu. Tindakan ini merupakan hal yang mahfum ditemukan pada masyarakat yang sedang tertimpa kemelut, ketika negara dianggap tidak mampu menangani setiap permasalahan sosial yang terjadi. FPI dapat dikategorikan sebagai vigilantisme kontrol kelompok sosial. Mereka menganggap bahwa hukum Islam dianggap sebagai hukum tertinggi, dan ketika aturan tersebut dilanggar oleh berbagai pihak yang mengklaim dirinya sebagai legitimasi hukum yang ternyata tidak bisa ditegakkan karena masih melihat dari norma-norma dan nilai-nilai sosial masyarakat, maka dianggap negaralah yang bertanggungjawab terhadap ketidakmampuan tersebut sehingga orang-orang Islam sendirilah yang harus “unjuk kekuatan” guna menghadang rintangan itu, meskipun dengan menghalalkan berbagai cara termasuk kekerasan (Munjid 2008).

Tindakan FPI Dilihat Dari Perspektif Kriminologi

Kasus aksi FPI ini dapat didekati dengan teori Anomi yang dikemukakan oleh Robert K.Merton. Dalam konsepsinya mengenai perilaku menyimpang (deviant behavior), Merton berpendapat bahwa “perilaku menyimpang” pada dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif. Perilaku menyimpang adalah kecenderungan dari adanya “anomie” dalam masyarakat. Anomie terjadi bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, anomie terjadi karena posisi seseorang dalam struktur sosial masyarakat tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai normatif, di mana kultur menghendaki tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur sosial (Merton 1968: 216). Bila dikaitkan dengan teori Anomie, maka kondisi masyarakat Indonesia dalam transisi simultan menghadapi sikap tindakan FPI tersebut dapat dikategorikan sebagai kondisi Anomie.
Dari hasil analisis yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan aksi agresif FPI
Ada 4 (empat) tujuan utama mengapa FPI melakukan aksi agresif dalam menegakkan aturannya, yaitu: Pertama, FPI berpegang pada amar ma’ruf nahi munkar. Artinya mereka ingin melaksanakan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Kedua, berjuang untuk hidup mulia dan mati syahid (seorang muslim tidak akan hidup mulia jika tidak berharap syahid, dan ia mustahil mendapatkan syahid jika ia tidak hidup tak mulia). Ketiga, Haq (kebenaran) tanpa sistem dikalahkan oleh Bathil dengan sistem, kebathilan pada prinsipnya lemah tapi kalau diatur secara sistematis dan terorganisir dengan baik maka kebathilan akan muncul dalam bentuk yang kuat dan kokoh. Teknis perjuangan untuk menegakkan kebenaran memerlukan organisasi yang rapi dan sistematis. dan Keempat, kemaksiatan tidak dibenarkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Apalagi kemaksiatan tersebut dibuat oleh orang yang bukan dari agama Islam, ini menurut mereka sama saja dengan mengajak umat Islam untuk berlomba-lomba masuk neraka atau kalah dalam keimanan mereka.
b. Gejala anomie pada tindakan FPI
Dalam kondisi Anomie (Merton 1957), ada lima alternatif sikap perilaku warga masyarakat yaitu:
1) Conformity, dalam bentuk sikap mengikuti ketentuan yang berlaku dengan menerima segala resiko dan konsekwensinya.
2) Innovation, dalam bentuk sikap mengambil jalan pintas mencapai tujuan karena tidak mampu mengikuti nilai-nilai dan prosedur yang berlaku.
3) Ritualism, dalam bentuk sikap mengikuti pola sikap masyarakat pada umumnya tanpa mengetahui tujuan-tujuannya.
4) Retreatism, dalam bentuk sikap apatis dan menarik diri dari kegiatan-kegiatan sebagai bentuk dari keputusasaan.
5) Rebellion, dalam bentuk sikap berontak dan penentangan terhadap nilai-nilai yang berlaku dan berusaha secara mendasar menggantinya dengan nilai-nilai baru.
Anomi, menurut Soerjono Soekanto, berarti keadaan tidak adanya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan tingkah laku serta tata tertib, atau keadaan dimana terjadi konflik kaidah-kaidah (Soekanto 1989: 39). Sebenarnya bukan “tidak ada aturan-aturan yang berlaku”, namun terlebih pada “tidak berfungsinya aturan tersebut secara efektif”. FPI melihat melempemnya Perda maupun SK Gubernur dalam menindaklanjuti menjamurnya “sumber-sumber penyakit masyarakat”. Masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum maupun aturan, menandakan fungsi kontrol dari aparat penegak hukum seperti Dinas Tramtib, Satpol PP maupun polisi tidak berfungsi efektif. Masih banyak kekebasan yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha tempat hiburan tersebut sehingga mereka terkesan tidak mengindahkan aturan yang telah dibuat tersebut. Mungkin menurut FPI, selama bukan bulan Ramadhan kegiatan tersebut bisa ditolerir meskipun sebenarnya tidak perlu menunggu bulan suci Ramadhan saja untuk mencegah kemaksiatan. Namun apabila telah sampai bulan Ramadhan, bulan yang suci bagi umat Islam, bulan dimana kekuatan jahat dibelenggu oleh Allah Swt, bulan dimana berbuat kebajikan akan dibalas dengan sejumlah pahala yang berlimpah, maka apabila rahmat bulan suci tersebut dinodai dengan berbuat kemaksiatan, maka FPI mengambil inisiatif melakukan aksi sendiri untuk “menertibkan” tempat-tempat kemaksiatan yang tetap beroperasi di bulan suci tersebut. Mereka seakan geram dengan tindakan aparat yang terkesan “menutup mata” dan pura-pura tidak tahu terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Mereka kemudian menerapkan penegakan hukum sendiri tanpa memperdulikan legitimasi hukum yang berkuasa diatasnya. Aksi tersebut terjadi karena buntunya komunikasi antara para pihak, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesalah pahaman.
Pihak FPI tidak pernah tahu kendala-kendala dalam penegakan hukum dan tidak mau menghargai nilai yang dianut orang lain, yang bisa jadi berbeda dengan nilai yang dianut FPI. Pihak aparat juga bersalah, karena tidak pernah mengajak berkomunikasi, tapi lebih memilih pendekatan yang bersifat represif, seperti yang tampak dalam kasus tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan pihak pengelola hiburan, mereka terkesan menghalalkan segala macam cara (means) untuk mencapai tujuan (goals), dengan tanpa memperhatikan beberapa, kalau tidak boleh dikatakan sebagian besar, aspirasi umat Islam yang sebenarnya tidak setuju dengan bisnis mereka yang mempertaruhkan moral masyarakat (Mubahitsin 2008).
Pada akhirnya, kebuntuan dan kekacauan yang seperti itu meledak dan termuntahkan ke dalam sebuah perilaku, sebagaimana yang telah kita saksikan bersama. Berdasarkan paparan di atas, dapatlah disimpulkan kiranya, bahwa aksi brutal FPI terjadi karena keadaan tidak berfungsinya aturan hukum secara efektif. Keadaan tersebut sebagai akumulasi dari: Pertama, ketidakpercayaan FPI terhadap aparat penegak hukum, sehingga mereka mengambil jalan pintas menegakkan hukum versi mereka sendiri karena dianggap suara mereka apabila mengambil cara konvensional (mengirim surat keberatan, melaporkan pelanggaran, dll) tidak didengar, maka mereka mengambil cara kekerasan sebagai alternatif. Sehingga mereka mengharapkan tindakan mereka ini dapat menjadi tolok ukur aparat sudah saatnya mereka menegakkan hukum secara benar. Kedua, terjadinya kebuntuan komunikasi antar masing-masing stakeholders (pemilik tempat hiburan, aparat, dan FPI). Masing-masing merasa dirinya benar. Pemilik tempat hiburan merasa benar bahwa mereka melakukan kegiatan karena memiliki ijin operasi, membayar retribusi/pajak hiburan. Aparat merasa bahwa tindakan main hakim FPI adalah salah karena tidak mengikuti prosedur yang benar, dan FPI merasa bahwa sudah menjadi tujuannya untuk menegakkan syariat Islam secara benar mengingat kemaksiatan yang bisa merusak makna suci bulan Ramadhan. Dan Ketiga, ketidakberhasilan dalam perjuangan mereka untuk meniadakan kemaksiatan dan kemungkaran yang semakin mendorong terbentuknya sikap anomie sebagai akibat dari keputusasaan dan kehilangan tujuan organisasi FPI yang ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara damai.

Tindakan FPI Bukan Dikategorikan Sebagai Premanisme

Secara sekilas banyak orang yang berpendapat sama apabila melihat sepak terjang FPI selama ini, FPI bersikap seperti preman. Apabila kita melihat perspektif premanisme menurut Miller (1958), untuk menjadi seorang preman harus memiliki tradisi yang dibangun di atas enam focal concern yaitu trouble, toughness, smartness, excitement, fate, dan autonomy (Hirschi 1969: 212). Ini dilakukan untuk memperkuat soliditas kelompok dan mempertegas tujuan perlawanannya terhadap otoritas yang ada dalam masyarakat untuk menunjukkan keberadaan mereka (Nitibaskara 2001: 85).
Mari kita telaah satu persatu ke-enam focal concern premanisme tersebut untuk dikaitkan dengan segala tindakan FPI:
1. Trouble. Sengaja untuk mencari keributan, dengan harapan polisi turun tangan. Bagi preman, mencari gara-gara bukan merupakan pekerjaan yang tabu, ianya telah menjadi suatu kewajiban sebagai tolok ukur prestasi kelompok tersebut. Untuk kasus FPI disini, mereka memang mencari permasalahan yang selalu berujung pada tindakan anarkis, namun secara locus delicti mereka selalu konsekuen dalam melaksanakannya. Sasarannya kalau tidak tempat hiburan atau sekte-sekte tertentu yang menistakan agama Islam. Untuk waktu, FPI sering mengambil momen bulan suci Ramadhan dalam bertindak. Tidak seperti preman yang serampangan memilih waktu dan tempat.
2. Toughness. Di kalangan preman nilai keberanian dilihat dari fisik yang sanggup menahan derita kala ditangkap polisi atau dihakimi massa, dan selalu mengulangi perbuatannya (tidak kapok). FPI selalu berkelompok dalam melakukan aksinya, karena mereka selalu menerima petunjuk dari komandan lapangan “Laskar Islam”. Kalau tidak ada perintah, para anggota FPI tidak berani serampangan menunjukkan aksinya.
3. Smartness. Seorang preman harus memiliki kemampuan untuk tidak tertipu oleh orang lain (menunjukkan kelihaiannya). Sedangkan anggota FPI selalu berpegang pada aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dimana pantang untuk menipu kesesama umat manusia.
4. Excitement. Selalu yang identik dengan tingkah laku preman adalah meluapkan kegembiraan dengan minum alkohol, main judi, prostitusi, dan sebagainya. Sedangkan FPI sudah jelas adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, jadi segala kegembiraan dengan cara yang maksiat merupakan lawan/musuh mereka.
5. Autonomy. Para preman menolak segala pembatasan-pembatasan dari luar kelompoknya. Sedangkan FPI apabila hukum telah ditegakkan secara benar dan dilaksanakan dengan kesungguhan, maka mereka tidak akan melakukan kegiatan yang berbau kekerasan. Jadi, FPI masih toleransi pada hukum yang berlaku di Indonesia. Namun apabila hukum tersebut tidak diindahkan, maka prinsip mereka adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebenar-benarnya.
6. Fate. Para preman percaya bahwa mereka dilahirkan sebagai preman, dan sudah menjadi nasibnya mereka menjadi begitu, sekeras apapun usaha mereka untuk merubahnya, mereka tetap percaya bahwa Tuhan sudah “mentakdirkan” mereka untuk menjadi preman. Sedangkan FPI percaya bahwa mereka masih bisa berbuat baik dengan atau tidak mengikuti aksi, karena mereka percaya bahwa setiap perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan maka berarti ia hidup mulia dan matipun secara syahid.
Jadi, apabila kita lihat dalil premanisme diatas, maka jelaslah bahwa setiap tindakan yang dilakukan FPI selama ini bukanlah dikategorikan sebagai premanisme. Walaupun tindakan mereka terkesan menghalalkan segala cara (mirip premanisme), namun mereka melihat itu semua dari sisi pelaksanaan aqidah manusia dalam menjalani kehidupannya. Apabila menurut FPI, manusia telah berjalan dalam rel kehidupan yang sebenarnya dengan menjauhi pekerjaan keji dan munkar (berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku) maka perjuangan FPI dianggap berhasil (tanpa harus melalui cara-cara kekerasan).

Penutup

Harus dipahami bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia yang cenderung sekuler secara nyata telah membuat sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam tidak terakomodasi dalam perangkat hukum negara. Dalam ruang yang kurang tersentuh pasal-pasal hukum inilah, FPI melakukan berbagai pendekatan solusi agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan secara lebih komprehensif. Namun pendekatan yang ditempuh oleh FPI tersebut ternyata menghalalkan segala cara untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan celakanya mereka menempuh jalan kekerasan. Padahal beberapa ustadz dalam setiap ceramahnya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menomorsatukan cinta damai dan anti akan kekerasan. Apa yang dilakukan FPI bahkan cenderung brutal. Hal tersebut dikarenakan munculnya rasa tidak percaya pada penegakan hukum, adanya kebuntuan komunikasi antara stakeholders yang terkait, dan ketidakberhasilan perjuangan FPI yang menimbulkan keputusasaan.
Langkah yang harus ditempuh sebenarnya bukan cuma menghukum FPI baik secara kelembagaan maupun individual, FPI hanya menganggap bahwa hukuman itu sebagai cobaan dalam upayanya melakukan jihad di jalan Allah SWT. Mereka akan tetap melakukan perbuatan tersebut sampai manusia tersadar bahwa kemaksiatan yang dibuat akan merusak moral manusia itu secara keseluruhan. Juga bukan dengan melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985, yang akhirnya akan menimbulkan gejolak bagi ormas lainnya sebagai bentuk diskriminasi negara terhadap kebebasan warganegara untuk berkumpul dan berserikat. Mungkin solusi yang bisa ditempuh adalah dengan menegakkan hukum itu secara benar dan tidak ada tebang pilih terhadap mereka yang terlihat melanggar peraturan. Sehingga timbul kepercayaan dari semua pihak atas legitimasi hukum, sehingga tercapai rasa saling hormat menghormati antara pihak yang terkait, sehingga tidak ada pihak yang merasa dikecewakan dan mengambil langkah main hakim sendiri sebagai pelampiasannya.


DAFTAR ACUAN:

Buku:
Festinger, Leon, Stanley Schachter and Kurt Back. 1950. Social Pressure in Informal Groups; A Study of Human factors in Housing. California: Stanford University Press.

Hirschi, Travis. 1969. Causes of Delinquency. Berkeley: University of California Press.

Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press.

Mills, Theodore M. 1967. The Sociology of Small Groups. Englewood Cliffs. NJ: Prentice Hall.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Soekanto, Soerjono. 1989. Analisa Fungsional; Seri Pengenalan Sosiologi Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali.

Blog/Website:
Condro, Ari. 2006. Sikap Tegas Pemerintah Pada Tindakan. Diunduh dari sudarjanto.multiply.com pada tanggal 1 Juni 2009.

al-Muhabitsin, M. Lubab. 2008. Analisis Kriminologi Atas Aksi Brutal Laskar FPI Terhadap Beberapa Tempat Hiburan di DKI Jakarta. Diunduh dari lubabulmuhabitsin.blogspot.com pada tanggal 25 Mei 2009.

Munjid, Ahmad. 2008. Hentikan Vigilantisme FPI. Diunduh dari www.indonesianmuslim.com pada tanggal 2 Juni 2009.

Pujanarko, Imung, 2008. Kelompok dan Pengaruhnya Terhadap Komunikasi. Diunduh dari www.kabarindonesia.com pada tanggal 23 Mei 2009.

Purwandari, Retno. 2008. Dinamika Kelompok. Diunduh dari khairilusman.wordpress.com pada tanggal 28 Mei 2009.

Rizieq, Habib Syihab. 2007. Proses Perekrutan Anggota FPI. Diunduh dari www.youtube.com pada tanggal 1 Juni 2009.

Supriadi, Adi. 2008. FPI Yang Dinantikan Kehancurannya. Diunduh dari www.kabarindonesia.com pada tanggal 30 Mei 2009.
Baca selengkapnya.....

PEMBENAHAN PEMBINAAN KARIER PERSONEL POLRI


Pendahuluan

Sebagai suatu lembaga, Polri harus didukung oleh sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi. Salah satu misi Polri adalah mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuannya yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Misi ini menjadi dasar dari upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi anggota Polri. Dengan adanya misi yang menyentuh aspek sumber daya manusia, maka sesungguhnya Polri telah berupaya untuk berkomitmen terhadap kualitas kompetensi yang baik bagi para anggotanya. Pengembangan kemampuan, kekuatan, dan penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri.
Pencapaian tujuan organisasi yang baik tercermin dari peningkatan kontribusi yang dihasilkan oleh SDM-nya. SDM yang dihasilkan dari rekrutmen yang baik, tentu akan menghasilkan pegawai yang baik pula. Begitu pula dengan pegawai yang telah bekerja secara profesional, tentu mengharapkan peningkatan status pekerjaannya sebagai bukti penghargaan instansi/perusahaan atas kinerjanya selama ini berupa mutasi dan promosi jabatan (Siagian 2007: 27). Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa rekrutmen personel Polri selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Terlebih semakin mengemukanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pelaksana rekrutmen itu sendiri, sampai lemahnya pengawasan terhadap proses rekrutmen itu sendiri dikarenakan bertemunya berbagai kepentingan-kepentingan antara atasan maupun bawahan. Penyimpangan ini bisa saja terjadi karena adanya motivasi dan kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan untuk melakukan penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 11). Karena melibatkan atasan dan bawahan, maka akan terjadi penyimpangan manajerial yang dapat mempengaruhi pengaruh eksternal dan internal Polri. Dampak internal adalah akan mempengaruhi kinerja organisasi serta menimbulkan citra buruk kepolisian di mata masyarakat, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya masyarakat yang dirugikan akibat penyimpangan tersebut.
Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh Pimpinan Polri untuk mengeliminir anggapan tersebut, namun pada kenyataannya masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Pimpinan di level daerah pada pembinaan personel Polri setempat. Langkah Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso meluncurkan program “Meraih Keberhasilan Segera (Quick Wins)” yang diantaranya menjanjikan transparansi rekrutmen personel Polri sudah cukup bagus. Menurut sebagian pengamat kepolisian, mungkin hal ini ideal sebatas konsep saja, dimana rekrutmen yang transparan hanya bisa diberikan pada penerimaan personel untuk pendidikan pembentukan (Seba, Akpol, dan PPSS). Namun apakah bisa mengawasi transparansi pada proses pendidikan pengembangan personel (Setukpa, PTIK, Selapa, Sespim, dan Sespati/Lemhanas)? Dengan sistem desentralisasi kepada daerah, maka sangat terbuka peluang “permainan” dalam tiap proses perekrutan personel Polri, apalagi hal tersebut sudah menjadi hak prerogatif Pimpinan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sorotan publik terhadap proses rekrutmen maupun seleksi dalam pembinaan karier SDM Polri tersebut, antara lain:
1. Masih adanya praktik KKN yang mewarnai sistem penerimaan. Walaupun telah memakai komputerisasi, namun saat peserta melaksanakan seleksi (kesehatan, jasmani, psikologi, parade) masih menggunakan teknik manual sehingga ada kemungkinan “sponsorship” memainkan perannya disitu untuk menaikkan nilai si calon siswa. Si "joki" akan berupaya mendekati panitia seleksi (sambil melihat-lihat juga menitipkan nomor si calon), jadi walaupun si calon tidak maksimal didalam seleksi namun nomor sudah masuk, maka ada kemungkinan nilai bisa dikatrol.
2. Pendanaan. Walaupun selalu disampaikan bahwa Polri kekurangan personel untuk meng-cover seluruh wilayah hukum Indonesia, namun Polri malah mengurangi kuota tiap-tiap pendidikan Polri. Berkurangnya peserta didik, menimbulkan permasalahan penempatan lanjutan untuk mengantisipasi kekurangan personel yang ada. Penyalahgunaan sistem kuota dan hak prerogatif Pimpinan menimbulkan penyimpangan manajerial, hal ini dapat dilihat dari penumpukan personel pada suatu daerah yang “basah” dan kurangnya personel di daerah yang dikategorikan “kering”.
3. Masih adanya perolehan jenjang karier yang didasarkan pada loyalitas yang salah kepada atasan (baca: kolusif) maupun nepotisme. Hal lain yaitu masih berlakunya sistem Klik (like or dislike, angkatan sentries, primordial) atau kedekatan secara personal, sehingga muncullah adigium “the right man on the wrong place, the wrong man on the right place”. Ini karena standar kinerja yang belum jelas, semua personel berorientasi pada pangkat dan jabatan sehingga melupakan tugas pokoknya (perlu diingat kasus Kombes WW yang melakukan penyimpangan karena ingin mendapat jabatan “bintang”, Kompas 6 Mei 2009).

Saran

Untuk itu saya memiliki pemikiran dalam proses pembenahan pembinaan personel SDM Polri pada masa yang akan datang, antara lain:
1. Bekerjasama dengan instansi luar Polri untuk mengawasi penyelenggaraan seleksi (MoU dengan Perguruan Tinggi/Universitas, Pemerintah, DPR, LSM, Media Massa, maupun masyarakat). Polri tidak perlu takut bahwa lembaga eksternal akan menganggu pembinaan personalia, justru mereka yang akan menjadi fasilitator Polri dengan masyarakat, sehingga program personalia tidak akan dicurigai sebagai ajang yang penuh KKN.
2. Membuat kontrak kerja penyelenggaraan seleksi yang bersih, jujur, akuntabel, dan transparan. Seluruh penyelenggara pembinaan personel harus menyadari bahwa dengan pola pembinaan yang baik dan bersih, maka input yang diraih oleh Polri akan membawa keberhasilan pada tugas-tugas Polri kedepan. SDM Polri yang handal, yang benar-benar konsisten pada tugas Polri, serta profesional akan membuat kerja Pimpinan akan semakin mudah. Personel akan semakin mudah diatur, karena dengan sekali perintah maka akan jalan, dan kalau menemui kendala di lapangan si anggota tersebut tidak asal memohon petunjuk namun sudah memikirkan langkah-langkah yang perlu diambil melihat kondisi riil di lapangan.
3. Membangun sistem pembinaan karir berdasarkan penetapan kinerja atau berbasis kompetensi secara akuntabel, obyektif, serta berjenjang. Sehingga dalam hal ini tidak ada lagi personel yang merasa dirugikan dalam proses promosi, mutasi maupun demosi.
4. Sistem pembinaan karier dengan mengutamakan prestasi kerja di lapangan dalam upayanya meningkatkan tugas pokok Polri, ketimbang mendasar pada konsep senioritas atau faktor like or dislike namun tidak berprestasi apa-apa.
5. Mempertimbangkan kebutuhan personel di daerah, ketimbang menumpuk personel pada suatu daerah tertentu yang menimbulkan “mubazir kerja” (mewujudkan konsep Mabes kecil, Polda cukup, Polres besar, dan Polsek kuat).
6. Adanya sistem kompetisi dalam penentuan jabatan strategis, bukan atas dasar kedekatan dengan pejabat tertentu. Penentuan jabatan melibatkan pihak independen dalam menilai kinerja calon pejabat tersebut.


Daftar Acuan

Mabes Polri. tanpa tahun. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat. Makalah Sarasehan. Jakarta: tanpa penerbit.

Siagian, Sondang P. 2007. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Baca selengkapnya.....

Senin, 17 Agustus 2009

Arti Kemerdekaan


Sebenarnya apa sih arti kemerdekaan itu? Pertanyaan itu selalu menggelayuti saya saat ini. Pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang dialam pikiran saya tiap kali menginjak tanggal 17 Agustus. Akhirnya saya coba untuk menguraikan pertanyaan tersebut dengan berbagai kepingan-kepingan puzzle yang coba saya gabung-gabungkan untuk membentuk sebuah bentuk mengenai kemerdekaan itu. Memang kita sudah mengumandangkan kemerdekaan kita semenjak 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Usia negeri ini sudah 64 tahun, ibarat manusia usia tersebut sudah menunjukkan usia yang uzur, meski sarat pengalaman namun cepat terlupakan, mulai pikun, produktivitas mulai rendah. Kalau saya perhatikan sama dengan negeri ini. Kenapa sama? Ya, negeri ini sudah mulai melupakan bagaimana pejuang-pejuang kita merebut kemerdekaan dengan peluh dan darah, rela berpisah dengan orang-orang yang dicintainya demi menegakkan kemerdekaan bangsa, atau terus berjuang walau dengan sebilah bambu runcing. Kemerdekaan bangsa ini walau dengan sekedar upacara saja mampu untuk dilupakan, coba perhatikan saja upacara yang dilakukan oleh bangsa ini hanya sebatas instansi atau lembaga pemerintahan saja. Sekolah-sekolah hanya sebagian yang mengadakan upacara. Bayangkan pada jaman revolusi fisik dulu, untuk sekedar mengibarkan bendera merah putih saja, kita harus siap meregang nyawa!
Apakah kemerdekaan itu hanya diikuti oleh mereka-mereka yang bekerja di pemerintahan saja? Oleh tentara, oleh polisi, oleh PNS, kemana rakyat Indonesia yang lainnya? Apakah pada melaksanakan long weekend (apalagi kalo 17 Agustus berbarengan dengan hari libur)? Kemerdekaan itu bukan hanya dilaksanakan oleh tentara, polisi, PNS, atau orang-orang yang berkomitmen pada kemerdekaan itu sendiri….namun oleh seluruh rakyat Indonesia. Merdeka berarti kita bebas dari rasa takut, bebas dari kemiskinan, bebas dari rasa kuatir, bebas dari penjajahan….silakan anda tilik, apakah kita sudah merdeka? Mungkin ada yang mengatakan belum, ada yang bilang sudah, silakan itu opini anda….Yang mengatakan belum karena merasa bangsa ini masih dicekam ketakutan karena terorisme, bangsa ini masih miskin karena banyak yang mengantri BLT atau sembako, bangsa ini masih kuatir akan kapitalisme, bangsa ini masih dijajah oleh negara asing dalam hal produksi atau ekonomi….Yang mengatakan sudah merdeka karena saat ini mereka bebas melakukan apa saja, bisa clubbing, bisa monopoli, bisa dagang, bisa sekolah gratis, dan lain-lain….
Rasa itulah yang sekarang menjadi ambigu bagi kita rakyat Indonesia, kita seakan sudah melupakan sejarah bangsa ini! Anak-anak tidak tahu proses kemerdekaan bangsa ini karena antara buku satu dengan buku lain mengatakan hal yang lain, guru-guru tidak mengetahui proses perjalanan kemerdekaan ini, rakyat Indonesia tidak hapal lagu kebangsaannya, tidak hapal Pancasila, tidak tahu siapa-siapa pahlawan nasional kita…
Silakan tanya anak anda, siapa itu Panglima Polim? Banyak yang menggelengkan kepalanya. Tapi coba tanyakan siapa itu Naruto? Maka akan banyak anak-anak yang bercerita A sampai Z tentang Naruto…..ironis bukan?
Oleh sebab itu, mari kita tetap tegakkan kemerdekaan bangsa ini, mari kita tetap berkomitmen untuk bangsa ini, bekerja dengan semangat atas landasan perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita…itulah sebenarnya kemerdekaan hakiki bagi kita bangsa Indonesia!

MERDEKA…..MERDEKA BANGSAKU….!!!
Baca selengkapnya.....

Kamis, 06 Agustus 2009

MBAH SURIPMOLOGY


Terkejut saya ketika hari Selasa (4/8) pukul 10.30 Wib lalu tersiar kabar bahwa salah satu ikon musik Indonesia, Mbah Surip meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Terlepas dari sosoknya yang fenomenal, sang jutawan baru, lirik lagu yang sederhana, dan kehidupan kesehariannya yang bersahaja, berita kematian Mbah Surip telah menenggelamkan popularitas King of Pop, Michael Jackson. Ketika MJ meninggal dunia, hampir setiap hari kita selalu mendengar berita mengenai perjalanan hidupnya yang berlika-liku, kedekatannya pada obat-obatan, penjualan albumnya yang melonjak secara signifikan sampai kontroversi seputar pemakamannya yang ditonton hampir sepertiga penduduk bumi (yang tidak jelas juga kapan dimakamkan atau tempat pemakamannya). Ketika kabar menyedihkan tentang Mbah Surip datang, seakan-akan MJ sudah kita relakan untuk mengalir sendiri kemana ia mau, pandangan kita kemudian beralih pada sosok pria Mojokerto berusia 52 tahun ini.
Mbah Surip yang bernama asli Urip Achmad Rijanto Soekotjo ini lahir di Mojokerto pada tanggal 5 Mei 1957, setelah ia menyelesaikan studinya di Universitas Sunan Giri Cab.Mojokerto (Fakultas Teknik Mesin) pada tahun 1979, iapun menikah dengan Minuk Sulistyowati dan dikaruniai 4 orang anak. Demi menyambung hidupnya, iapun rela berkelana mencari penghidupan yang layak mulai dari pengeboran minyak, tambang berlian, sampai kemudian ia menekuni bidang seniman. Tempat-tempat yang ia kunjungi lumayan banyak mulai dari Kanada, Texas, Yordania, dan California. Lelaki yang ternyata menyandang gelar Drs, Insinyur dan MBA ini kemudian mengadu nasibnya di Jakarta. Karena terlalu lama merantau, akhirnya Minuk meminta cerai dan kawin lagi sedangkan Mbah Surip tetap memegang teguh prinsipnya untuk menduda. Di Jakarta, ia berkumpul dengan sesama komunitas seniman lainnya yang tergabung di Bulungan, Taman Ismail Marzuki, dan Bengkel Teater Rendra. Dalam perjalanan karir bermusiknya, dia ternyata sudah menelurkan beberapa album diantaranya Ijo Royo-Royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004). Dari semua albumnya memang tidak ada yang melesat menjadi top best seller album, sampai akhirnya single “Tak Gendong” secara luas disiarkan sebagai iklan RBT (ring backtone) di salah satu televisi swasta Indonesia. Seketika itu juga, seiring dengan banyaknya masyarakat yang mengunduh single itu sebagai RBT, maka tawaran manggungpun membanjir. Padahal single “Tak Gendong” sendiri ia ciptakan ketika berada di Amerika Serikat pada tahun 1983.
Ada sebagian pelajaran hidup yang bisa dipetik dari perjalanan karir Mbah Surip, dan semua filosofi hidup tersebut ia lantunkan dengan syair yang jenaka. Dikala industri musik Indonesia dipenuhi oleh grup-grup band remaja yang ditelurkan secara instan, dan dengan syair-syair bernada cinta nan mendayu-dayu (yah mirip-mirip lagu-lagu Betharia Sonata namun dipadu dengan Search-nya Malaysia, ditambah dengan cengkok Melayu yang mirip penyanyi-penyanyi di RTM/TV3), Mbah Surip datang dengan sebuah lagu yang ringan, jenaka dan penuh makna. Memang kalau ditinjau, lagu Mbah Surip kalah jauh bermutu dengan lagu-lagu yang penuh dengan syair, ritme dan puitisasi beberapa artis musik papan atas Indonesia lainnya. Bahkan dikalangan artis sendiri banyak yang mencibir lagu tersebut karena dianggap tidak bermutu, syair terlalu mudah, dan beat yang terlalu ringan. Namun terlepas dari itu semua, yang harus kita dipelajari disini adalah kesahajaan sang penyanyi itu sendiri yang jauh dari kontroversi. Oleh sebab itu saya bisa sebut fenomena ini sebagai Mbah Suripmology. Mbah Surip seakan mengajarkan kepada kita tentang ilmu suatu filosofi hidup yang pada saat kita berada di puncak karir tidak harus ikut mentransformasi diri menjadi orang lain, sebagai manusia juga harus belajar salah, serta apabila menjadi orang besar kita janganlah merasa jumawa didepan orang lain. Filosofi hidup Mbah Surip ini yang harus kita camkan bahwa jadilah diri kita sendiri, jangan takut untuk dikucilkan apabila kita tidak seperti orang-orang disekeliling kita. Ingat bahwa hidup, mati, rejeki, dan jodoh sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Manusia sebagai makhluk Tuhan tak luput dari kesalahan, dan untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut kita harus terus belajar karena belajar tidak ada habisnya. Kemudian, apabila suatu waktu kita sudah menjadi orang besar (jadi pejabat, orang kaya, pimpinan negara, dll) kita janganlah besar kepala, karena diantara kekuasaan dan jabatan yang diemban tersebut terdapat amanah dari orang yang mengusungnya untuk menjadi pejabat tersebut. Lebih baik kita pada keseharian kita saja, tidak perlu memamerkan harta kekayaan kita, tidak perlu berantem demi harta warisan, tidak perlu gontok-gontokan (berkelahi) antar sesama saudara (sebangsa), dan tidak perlu malu untuk mengakui asal-usul kita dahulu (dulunya orang desa yang pilun ketika menjadi pejabat malu untuk membangun desanya, malu untuk mengakui bahwa ia orang kampung, atau malu untuk berkebiasaan saat di kampung dulu). Mbah Surip mengajarkan kepada kita hal itu semua. Disaat dia sedang menapaki karirnya, dia tidak langsung beli rumah mewah, mobil mewah, kawin lagi. Dia bahkan tidak tahu berapa keuntungan dari hasil RBT, royalti, atau honor manggungnya yang kata orang-orang mencapai milyaran rupiah. Dia tetap Mbah Surip kala belum populer, masih mau naik ojek, masih mau berkumpul dengan teman-teman sesama seniman, masih mau minum kopi di warung, bahkan pada teman-teman yang tidak bernasib mujur ia masih mau menolong dengan mencarikan lahan usaha sampingan selain menekuni bidang kesenimannya tersebut. Bahkan ketika matipun ia tidak mau menyusahkan semua orang, ia ingin dikuburkan dimana dia bisa berkumpul bersama teman-temannya yang telah mensupport dia selama ini baik secara moril maupun materil, meskipun banyak yang ingin ia dikuburkan di kampung halamannya, namun mungkin ia berpendapat lain. Seandainya ia dikuburkan di Mojokerto mungkin akan menyusahkan banyak pihak, maka ia berwasiat lebih baik dikuburkan di tempat ia memulai perjalanan hidup yang sesungguhnya. Itulah yang diajarkan kepada kita bangsa Indonesia, mencintai sesama. Kita boleh tertawa akan keluguannya, kita boleh tertawa syairnya kok minimalis, kita boleh tertawa kok tua-tua renta bisa jadi artis, tapi yang paling pas adalah kita boleh tertawa atas diri kita sendiri. Karena dengan tertawa atau senyum sekalipun, akan membawa kebahagiaan bagi orang lain yang melihatnya. Saya akan selalu mengenangmu Mbah Surip, I Love You Full….Ha..Ha..Ha..Ha…Haaaaaaaaaah.
Baca selengkapnya.....