Senin, 27 April 2009

Peningkatan Citra Polri Melalui Program Peningkatan Kualitas Bintara


Oleh: Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono*)

Bintara Polri adalah gerbang paling depan Polri. Setiap anggota masyarakat yang memerlukan layanan atau bantuan kepolisian, hampir pasti akan berhadapan dengan bintara, dari mulai sekedar menanyakan arah jalan, atau mengurus SIM/STNK, sampai melapor suatu persitiwa ke pos polisi atau kantor Polsek. Demikian pula kalau ada anggota masyarakat yang terpaksa berurusan dengan reserse, pasti yang mengurusnya para bintara. Mungkin hanya di infotainment ada anggota masyarakat (baca: artis) yang melaporkan tentang perselingkuhan pasangannya dan langsung dilayani oleh perwira, bahkan perwira menengah.

Di sisi lain, program pendidikan, pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk tingkat bintara sangat sedikit jika dibandingkan dengan tingkat perwira. Untuk perwira, yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari bintara dan tugasnya lebih banyak sebagai supervisor (penyelia) atau manager (perencana, pengendali) tersedia banyak sekali program. Sejak pendidikan Akpol atau pendidikan tenaga sarjana, tersedia Selapa, PTIK, S2 KIK (UI), Sespim, Sespati, sampai Lemhanas. Di samping itu tersedia berbagai Dikjur untuk beraneka kecabangan. Juga ada peluang studi-studi ke luar negeri (Belanda, Jerman, Jepang Amerika), untuk bermacam bidang (lalu lintas, community policing, anti-terorisme, anti narkoba, dsb.).

Sementara itu sedikit sekali program pendidikan untuk tingkat bintara, sehingga sesudah lulus SPN, seorang bintara langsung bertugas rutin, dari hari ke hari, sambil menunggu saatnya (kalau pun sampai saat itu) untuk melanjutkan pendidikannya ke Secapa. Dengan perkataan lain, target seorang Bintara hanyalah masuk Secapa, agar bisa naik pangkat jadi perwira, karena di tingkat perwira-lah tersedia segala hal, mulai dari status, kehormatan, karir, sampai ke peluang mendapat penghasilan tambahan.

Tidak mengherankan jika masyarakat sampai hari ini, tujuh tahun setelah Polri mandiri (lepas dari ABRI tahun 1999), dan empat tahun setelah UU No. 2/2002 diundangkan, masih bercitra buruk terhadap Polri. Terlepas dari prestasi Polri yang diakui dunia internasional dalam hal penanggulangan terorisme, atau kecanggihannya dalam teknik penanganan aksi massa sehingga bisa meminimalkan korban (sejak peristiwa Semanggi, jumlah korban dalam unjuk rasa makin mengecil, dan akhir-akhir ini sudah menghilang sama sekali, bahkan justru anggota Polisilah yang jadi korban, seperti pada kasus Abepura), ucapan-ucapan sinis seperti “Prit ji-go” (sekarang mungkin sudah jadi “ceng-go”), atau “kehilangan kambing, lapor ke polisi, malah kehilangan kerbau”, dan sebagainya, masih saja terdengar. Apalagi kasus-kasus pelanggaran HAM pada anggota masyarakat yang berurusan dengan polisi, termasuk pelecehen terhadap tersangka, bahkan saksi wanita, terus saja terbaca pada berita-berita di koran maupun laporan-laporan di media elektronik. Pasalnya, karena tidak ada lembaga pendidikan resmi, maka para anggota yunior otomatis hanya belajar dari senior-senior mereka. Maka perilaku yang jelek-jelek pun ikut dipelajari. Hasilnya adalah mobil Carens patroli dilaporkan kecelakaan dan di dalamnya didapati anggota polisi pengemudi Carens yang mabuk dan seorang wanita.

Jelaslah citra Polisi akan terus buruk kalau seperti ini. Upaya Kapolri untuk menyeret seorang “bintang tiga” yang diduga korupsi ke pengadilan, seakan-akan tidak berdampak apa-apa pada peningkatan citra Polri, selama kelakuan para bintara di lapangan masih seperti itu.

Sebetulnya citra Polri sudah bisa diubah sejak dicanangkan kemandirian pada tahun 1999. Sejak saat itu, paradigma pembinaan personil Polri seharusnya langsung diganti, yaitu sama sekali terlepas dari paradigma TNI. Termasuk dalam paradigma TNI yang masih diikuti Polri sampai sekarang adalah pengutamaan perwira ketimbang bawahan. Para bawahan TNI, khususnya tamtama, hanya perlu dilatih fisik, diberi gizi yang baik dan dilatih skill tempurnya (menembak, menyerbu, menyusup, berkelahi dengan tangan kosong dan sangkur dan sebagainya). Skill itu dilatih terus-menerus tanpa harus digunakan kecuali jika ada perintah dari perwiranya. Dengan perkataan lain yang memegang kunci apakah seorang prajurit akan melakukan sesuatu atau tidak, adalah komandannya, bukan bawahan itu sendiri. Dari situlah timbul ucapan yang selalu terdengar di lingkungan TNI, “Siap, nDan!”.

Sayangnya ungkapan “Siap, nDan!” itu masih tetap dipakai dalam perilaku sehari-hari anggota dan perwira kepolisian. Termasuk di PTIK, bahkan di lingkungan KIK yang bertatus UI (non-Polri). Ini menunjukkan bahwa pola pikir TNI masih kental di kalangan Polri. Selanjutnya pola pikir ini tercermin dalam pola pendidikan, pelatihan dan pengembangan SDM Polri yang masih berat ke atas (baca: perwira), yang tampak dari banyaknya lembaga pendidikan di tingkat perwira dan jumlah dana yang tersedia bagi pendidikan perwira, ketimbang yang disediakan untuk para bintara.

Padahal seharusnya, kalau Polri mau bagus citranya, para bawahan inilah yang harus terus ditingkatkan kualitasnya. Mereka bukan hanya terampil dalam melaksanakan tugas dan melayani masyarakat, tetapi juga tampil berwibawa dan percaya diri. Seragam mereka dan kelengkapan pribadinya harus prima, kendaraan patrolinya terpelihara, kantor Pos Polisi ber-AC, sehingga jika ada tamu VIP dengan senang hati menunggu giliran melapor, fasilitas kominukasi lengkap dan lancar, sehingga laporan masyarakat cepat ditindak lanjuti dsb. Tetapi di balik itu semua, kesejahteraan keluarga di rumah terjamin. Rumah yang nyaman tersedia, anak-anak bisa bersekolah dengan bersemangat dan para isteri berbelanja keperluan sehari-hari tanpa beban. Pendeknya, kalau sudah banyak anak Jenderal Polisi berminat untuk masuk polisi walaupun harus mulai dari SPN, itulah tandanya citra polisi sudah naik.

Tentu saja untuk itu, seorang sersan polisi tidak bisa disamakan dengan sersan tentara. Sebaliknya, di tentara juga jangan ada keinginan untuk selalu disamakan dengan polisi. Di Inggris atau Amerika, seorang Constable atau Officer (pangkat terendah polisi) tidak bisa disamakan dengan seorang private (prajurit) di tentara atau marinir. Demikian juga seorang Kapten polisi, tidak sejajar dengan kapten militer. Kapten Polisi dapat dianalogikan dengan Capt. Pilot, atau Capt. kapal laut (nahkoda). Keduanya adalah pangkat tertinggi dalam bidangnya, Bukan seperti Kapten tentara yang tingkat jabatannya adalah Wadanyon, dan harus melapor ke Danyon, Danmen dan seterusnya berjenjang ke atas sampai tingkat Pangab (Jenderal bintang empat).

Kalau alasan keterbatasan dana sebagai kendala dari paradigma baru ini, itu bukti lagi bahwa polisi memang belum bisa meninggalkan paradigma TNI-nya. Begitu paradigma non-militer ini (sebut saja paradigma sipil, madani, atau profesional) sudah jadi tekad pimpinan Polri, langsung saja disusun anggarannya (termasuk untuk menggaji bintara yang gagah, berwibawa dan sejahtera, dan menyelenggarakan berbagai program pendidikan, pelatihan dan pengembangan), ajukan ke Presiden dan DPR, dan perjuangkan sampai gol. Kalau pada tahun 1999 secara struktural Polri bisa keluar dari TNI-ABRI, mengapa sekarang sulit sekali membebaskan diri dari pola pikir militeristik itu?

*) Penulis adalah Ketua Program Studi KIK (Kajian Ilmu Kepolisian) UI.
Baca selengkapnya.....

Minggu, 26 April 2009

Korupsi, Sebuah Perselingkuhan Moralitas


If you make money God, it will plague you like a devil (Henry Fielding).
Ungkapan seorang pujangga Eropa abad 18 tersebut, seakan mengingatkan kita akan esensi Hari Korupsi Sedunia yang diperingati tanggal 9 Desember lalu. Namun geruh bagi bangsa ini karena kita masih mendapati manusia-manusia bermental korup yang terkadang bersembunyi dibalik kekuasaan. Korupsi diibaratkan hampir sama dengan kegiatan kita sehari-hari seperti makan, minum, sex atau bahkan (maaf) kencing. Silih berganti badan negara yang notabene ber-visi dan misi memberantas korupsi bukannya membuat korupsi di negeri ini makin habis malah membuat tumbuh subur dimana-mana. Koruptor handal tidak kuasa dicekal, koruptor kelas kambing yang dicokok, inilah bukti yang harus kita akui belum habisnya korupsi di negara ini. Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman ini, sebuah tantangan yang harus dan sebenarnya dapat dihadapi (Peter Eigen, 2000).Secara sederhana korupsi diartikan sebagai upaya menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi (JJ. Senturia, 1993). Kita melabel korupsi bukan semata-mata ditujukan bagi pegawai negeri saja. TNI, Polisi, pegawai BUMD/BUMN, pejabat parlemen daerah/pusat, pejabat atau pelaku fungsi yudikatif, konglomerat, dan anggota masyarakat dengan pekerjaan yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan kepentingan publik, dll tergabung didalamnya.

Korupsi Sebagai Kenyataan Hidup

Tentunya sebagian dari kita sudah tahu begitu banyak yang dikategorikan sebagai korupsi (Caiden, 1988). Kategorisasi korupsi yang di sampaikan Caiden menandakan begitulah adanya pemaknaan secara hakiki mengenai korupsi tersebut. Jangan sedih kalau korupsi memang sudah dianggap sebagai kenyataan hidup. Korupsi justru dianggap sebagai salah satu bentuk surviving in life. Pengusaha kalau tidak melakukan KKN tidak akan bisa mendapatkan proyek, mekanisme tender yang tidak transparan sehingga mengundang pengusaha untuk memberi pelicin, mengurus surat-surat di kelurahan atau instansi lainnya kalau tanpa uang tidak akan cepat selesai, mau masuk pegawai/TNI/Polisi ”kabarnya” juga harus menyogok, bahkan menaikkan nilai raport bisa juga dengan uang dan masih banyak contoh lainnya (Masduki, 1999). Para pembaharu anti korupsi tentunya menyadari bahwa korupsi tidak dapat diberantas sampai ke akar-akarnya, akan terlalu mahal untuk mencoba memberantasnya. Kalimat-kalimat lewat spanduk yang bersliweran di jalanan kota ini mengenai ajakan pemberantasan korupsi hanya sekadar lip-service apabila dalam hati nurani yang paling dalam di setiap individu tidak ada niatan untuk menghilangkan korupsi. Memang manusia tidak akan pernah puas. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia kedalam tiga hal yaitu kebutuhan primer, sekunder dan adab (penggabungan bermacam kebutuhan jasmani dan rohani), maka akan terlihat tidak ada habis-habisnya manusia untuk berupaya dan berusaha untuk terus memuaskan kebutuhan pribadinya, sampai lupa batas kemampuan untuk pemenuhan kebutuhannya didapat darimana. Men take only their needs into consideration, never their abilities (Napoleon Bonaparte).

Perselingkuhan Moralitas

Ada satu perselingkuhan segitiga yang hebat yang menyuburkan semangat kleptomania ini. Perselingkuhan antara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah berlangsung lama. Untuk bisa melakukan korupsi lebih lancar memang menggunakan dua ”koleganya” yaitu kolusi dan nepotisme. Sebab apabila melakukannya secara sendirian maka akan terlihat terlalu berani meskipun hasilnya besar. Para koruptor tentunya berpikiran walau tidak (terima) banyak, yang penting dapat berbagi dengan rekannya yang lain (persiapan kalau diperiksa). Ya akhirnya hasil jarahan uang rakyat tadi dibagi dengan para kolutor dan napotist, aman kan? Jadi kalau ada ribut-ribut audit ya para koruptor tadi akan membawa serta mereka berdua, seperti lirik lagu dangdut ”sepiring berdua”. Bila kita mengharapkan (untuk angka korupsinya) dapat menyamai Denmark tentulah masih terlampau jauh (IPK 9,4), Indonesia berada di peringkat 36 (IPK 2,3) masih lumayan daripada negara terkorup di dunia, Myanmar (IPK 1,4) (Data: Transparency International Indonesia, 2007). Kekurangan Denmark dibandingkan Indonesia hanya satu, mereka tidak punya kambing hitam! Coba kita lihat, salah satu faktor terjadinya korupsi di kalangan pegawai negeri kalau diadakan kuesioner pasti tercantum alasan ”gaji pokok yang kecil”, sedangkan harga-harga kebutuhan pokok semakin menjulang. Lewat sebuah penelitian, pegawai terendah di pemda sudah membawa pulang 1,5 juta (lebih layak dari upah buruh propinsi rata-rata sebesar 750 ribu). Sebenarnya tanpa korupsi pun pegawai tersebut sudah bisa hidup layak (Buku Kerja Bank Dunia No.2226/2001). Itulah kambing hitam kita, sehingga bagaimana tidak tergoda untuk korupsi, mereka hanya melihat ke atas karena yang di atas (siapa itu? silakan anda berpersepsi) juga penganut hedonis-life. Oscar Arias Sanchez (1987) mengatakan bahwa pengembangan sayap korupsi ke segala lapisan sistem ekonomi kemasyarakatan akan membuat negara kedalam jurang kemelaratan yang paling dalam dan memperlemah lembaga-lembaga demokrasi dan cepat atau lambat negara akan tersungkur.

Mari Sambut Tahun Tikus

Tahun ini kita masuk Shio Tikus (Chiong Thao Hua/Che Nie) dalam penanggalan Cina, sosok binatang yang identik dengan lambang korupsi. Menurut astrologi Cina atau Ming Shu (Zhang xing xue), pemaknaan Tahun Tikus adalah tahunnya orang-orang yang menarik hati, memiliki akal kancil, pandai menyesuaikan diri, kreatif, pemboros, berkawan, pandai dengan angka. Memang kita tidak boleh percaya 100% pada nujum ini, toh hanya astrologi seperti halnya kartu tarot. Boleh dipercaya boleh tidak. Lalu, apakah tahun 2008 ini akan identik dengan lahan penyuburan korupsi? Mengutip pendapat Ketua DPP PBR Ade Daud Nasution ”setahun jelang Pilpres 2009, akan menjadi barometer keseriusan SBY dalam memberantas korupsi, apa bisa dibendung atau semakin merajalela. Kita lihat saja.” (Kendari Pos, 2 Januari 2008). Tahap demi tahap kita sudah menuju ke arah good governance, penggunaan kekuasaan dan kewenangan sedemikian rupa sehingga kewenangan itu benar-benar digunakan untuk kepentingan umum dengan cara yang transparan. Good governance akan tercipta jika adanya pembagian kekuasaan (adanya disperse of power plus public accountability dan transparency) bukan concentrate of power. Good governance inilah yang diperlukan untuk menekan korupsi, karena korupsi biasanya dihasilkan dari abuse of power, penyalahgunaan wewenang. Semakin tinggi kualitas (good governance) akan semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas (good governance) maka akan semakin tinggi kualitas korupsinya. Sekarang pembentukan good governance sudah dibantu oleh keterbukaan media. Ada suatu acara di dua tv swasta yang (menggelitik) memperlihatkan kualitas korupsi kita, kita tertawa melihat itu ditayangkan. Tapi sadarkah kita kalau ternyata (itu) mengejek diri sendiri. Semua bak kebakaran jenggot melihat tayangan tersebut, ya parlemennya, pemdanya, politisinya, birokratnya, tentaranya, polisinya, dll. Masih adanya tebang pilih kasus korupsi juga sering dikeluhkan masyarakat transparansi, pengusutan yang makan waktu lama tidak sebanding dengan hukuman yang diterima para terdakwanya. Kasus BLBI berapa trilyun dihabiskan? Kasus Tommy berapa tahun hukumannya? Puteh, Bob Hasan, Edy Tansil? Apa efeknya, mungkin tidak ada sama sekali malah membuat jamur-jamur tumbuh dengan indahnya. Sisi buruk lemahnya sistem hukum korupsi di Indonesia. Lembaga peradilan seolah tidak mampu menahan laju mereka untuk berkreasi memanipulasi setiap rupiah demi rupiah hasil keringat rakyat. Di Cina, setiap kasus korupsi yang ditangani lembaga peradilan tidak akan memakan waktu yang lama pengusutannya, dan hukumannya kalau terbukti pun sangat jelas dan membuat efek jera bagi pelakunya, hukuman mati! Apa perlu kita mengadaptasinya?

Perspektif Penanganan Korupsi

Korupsi di Indonesia merupakan sisi kehidupan bangsa Indonesia bagaikan lautan tanpa batas. Sampai saat ini tampaknya belum ada konsepsi untuk mengantisipasi trend korupsi. Korupsi semakin mendapat posisi dan menguasai berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Banyak sudah upaya, tetapi belum bisa untuk menanggulangi berbagai gaya, upaya dan perilaku korupsi. Hunter dan Sah (2000) merekomendasikan empat hal untuk mengatasinya yaitu (1) merubah kebijakan ekonomi; (2) penyederhanaan birokrasi; (3) penegakan hukum; (4) perluasan partisipasi masyarakat. Dari keempat hal ini, penegakan hukum memiliki porsi yang besar dibandingkan yang lain. Masih berlakunya sistem peradilan yang independen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat) membuat celah koruptor untuk menyiapkan serangan balik agar dapat terbebas dari tuntutan. Lantas, siapa yang disalahkan? sekali lagi...kambing hitam! Masyarakat menuduh mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim dan pengacara bermain dibelakangnya. Disadari atau tidak, (juga) merupakan budaya kita untuk menyalahkan satu sama lain ketimbang intropeksi kesalahan sendiri (Masduki, 2000). Upaya pemberantasan korupsi sering gagal karena tidak ada komitmen tingkat atas untuk memberantas korupsi, sering mengumbar janji dan ambisius sehingga menimbulkan harapan yang tidak realistis dan menyebabkan hilangnya kepercayaan publik, upaya perubahan yang tidak konsisten, pengabaian korupsi tingkat atas (hanya tingkat bawah yang dipusatkan), sampai upaya perubahan yang terlalu mengandalkan pada upaya penegakan hukum (sehingga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan memunculkan korupsi). Korupsi akan terkikis apabila diciptakan manajemen yang selalu berubah (sehingga menyulitkan koruptor memakai cara yang sama dalam melakukan korupsi), komitmen pemimpin (negara/parpol/organisasi) untuk memberantas korupsi, perbaikan sistem ekonomi, menciptakan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil (dalam berekonomi), program peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sesuai kemampuannya (akuntabilitas publik tetap terjaga), penegakan hukum anti-korupsi dengan adaptasi hukum negara lain yang sudah berjalan (Pope, 2000). Pada kesimpulannya memang kita tidak akan mampu membendung nafsu untuk melakukan korupsi karena semua individu berhak untuk meningkatkan derajat dan martabatnya di hadapan individu lain, termasuk dengan korupsi. Tidak ada manusia yang bersih dari korupsi, namun apabila secara moral kita mau mengikis itu semua serta kembali kepada rel yang tepat, mudah-mudahan lokomotif reformasi etika kita tidak akan tergelincir. Semoga dengan komitmen para pelaksana hukum anti-korupsi, bangsa Indonesia akan bangkit kembali dari keterpurukannya selama ini. Selamat Tahun Baru 2008.
Baca selengkapnya.....

Kamis, 23 April 2009

Menguji Efektivitas Konsep “Local boy for local job” Pada Penempatan Personel Polri


Pendahuluan

Penempatan, sebagai salah satu mata rantai manajemen personalia memiliki arti penting bagi proses pembinaan karier seorang pegawai guna menapaki langkah-langkah selanjutnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Proses penempatan seorang personel Polri tak luput menimbulkan pemikiran yang lebih mendalam lagi bagi seorang pejabat personalia karena berbagai pertimbangan yang harus dilakukan. Apakah itu berkaitan dengan keluarganya, faktor like or dislike personel yang bersangkutan pada tempat tugasnya, faktor motivasi tugas, dan masih banyak lagi. Penempatan personel juga sebagai bagian dari proses pemberian tugas dan pekerjaan (Djamin 1995: 70). Untuk mengatasi hal tersebut, Polri kemudian meluncurkan konsep rekrutmen personel melalui pola “Local boy for local job” (personel yang ditempat tugaskan berdekatan dengan domisili/tanah kelahirannya). Yang menjadi landasan konsep ini adalah pemberdayaan putra daerah yang telah lulus seleksi menjadi anggota Polri untuk mengembangkan karir di daerahnya sendiri (lihat Skep Kapolri No.Pol.: 1359/X/2000 tanggal 20 Oktober 2000 tentang Petunjuk Administrasi Pola Pembinaan Bintara Polri).
Namun, definisi putra daerah itu sendiri memiliki pengertian yang beragam, ada yang berpendapat bahwa putra daerah ialah putra asli suatu daerah tersebut yang tentunya kental dengan nuansa SARA. Disisi lain, siapapun yang lahir dan besar di suatu daerah termasuk juga putra daerah (Suparlan 2004: 137). Polri pun dalam setiap proses rekrutmen personel menyertakan syarat domisili kurang lebih 1 (satu) tahun di daerah tersebut untuk bisa meluluskan persyaratan sebagai putra daerah (walaupun dia lahir di luar daerah penerimaan).
Salah satu pemikiran Polri didalam melahirkan konsep “Local boy for local job” ini adalah terjadinya berbagai konflik intern yang kerap erat kaitannya dengan muatan SARA, sekaligus juga sebagai wujud pengembangan konsep community policing atau pemolisian berbasis komunitas yang mengedepankan kemitraan antara polisi dan masyarakat. Itu mungkin sebabnya mengapa putra daerah menjadi prioritas Polri untuk memenuhi target pencapaian jumlah 18 ribu polisi per-tahun atau 86 ribu polisi selama kurun waktu per-lima tahun. Dibandingkan dengan negara Asia lainnya, jelas Indonesia masih tertinggal dalam jumlah rasio polisi berbanding dengan penduduk yang harus diayominya, rasio jumlah polisi dan masyarakat Indonesia baru sekitar 1 : 750 orang, masih jauh dari India (1 : 600 orang), Hongkong (1 : 250 orang), dan Jepang (1 : 400 orang).

Isu Putra Daerah Dalam Era Reformasi

Terlepas dari itu semua, sesuai Rencana Strategis SDM Polri Tahun 2005-2009, penambahan anggota baru Polri dengan menggunakan konsep “Local boy for local job” masih tetap berjalan dengan mempertimbangkan aspek geografi, demografi, pemekaran wilayah serta tantangan tugas yang dihadapi sehingga diharapkan akan berdampak positif pada pelayanan kepada masyarakat (Renstra SDM Polri 2007:17). Terlebih di tengah euforia masyarakat Indonesia berbalut semangat otonomi daerah, terkadang muncul konflik horizontal maupun vertikal yang bermuatan SARA. Sehingga inilah yang dimaksudkan oleh Polri mengapa putra daerah dikedepankan untuk direkrut menjadi polisi di daerah dimana ia tinggal, asumsinya jika polisinya putra daerah maka ia akan lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Implikasinya, ia pun akan mudah menyelesaikan konflik yang terjadi di lingkungannya dengan memanfaatkan faktor kedekatan emosional dengan masyarakat tersebut. Tapi benarkah demikian? Perlu ditarik kembali mengenai pola “Local boy for local job” memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana saat ini tunggangan politis mulai merasuki semangat tonomi daerah tersebut sehingga terkadang atas kemauan segelintir orang yang terzalimi maka digunakanlah segala kekuatan yang ada baik dana, SDM, SDA, SARA untuk berusaha memisahkan diri dengan daerah yang lain. Menurut Andi Alfian Mallarangeng, pelaksanaan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi dalam kerangka demokratisasi, sekaligus kunci dari persoalan disintegrasi bangsa (Tempo 2001: 50). Isu putra daerah dan bukan putra daerah bak api dalam sekam yang seketika mencuat di permukaan seiring dengan perkembangan otonomi daerah tersebut, padahal dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 sama sekali tidak mengatur mengenai putra daerah. Isu putra daerah itu sendiri dimungkinkan muncul dikarenakan selama 32 tahun masa kepemimpinan Orde Baru, pemerintah pusat “mengkerdilkan” potensi SDM daerah dan selalu memunculkan sosok-sosok dari pusat untuk di drop ke daerah-daerah dengan membawa misi pusat. Ini pun kemudian berimbas pada penerimaan personel Polri, dimana banyak remaja-remaja yang berasal dari kota besar kemudian mengikuti orang tuanya berdinas ke daerah dan setelah lulus sekolah menengah kemudian mendaftar masuk polisi, bisa dibayangkan betapa jomplang-nya mutu pendidikan pusat dengan daerah apabila dibandingkan. Sampai saat ini, isu putra daerah semakin merembet bukan hanya kepada masalah jabatan, tapi juga masalah pekerjaan. Beberapa daerah mempunyai peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengijinkan posisi jabatan tertentu hanya bisa diisi oleh putra daerah. Artinya penduduk bukan putra daerah, meski sejak lahir berdomisili di daerah tersebut, mulai kesulitan memperoleh pekerjaan di pemerintahan.
Sebenarnya isu putra daerah, terlebih apabila didasarkan pada prestasi dan dilakukan selektif atas dasar kepentingan daerah tersebut tidak masalah. Sebaliknya, apabila isu putra daerah hanya didasarkan semangat fanatisme kedaerahan hanya akan menjadi kebijakan yang kontra produktif. Terjadinya sikap resistensi di kalangan putra daerah terhadap yang bukan putra daerah dipandang sebagai perilaku menyimpang atau anomi sesuai teori Merton. “Merupakan hasil dari ketegangan-ketegangan tertentu dalam struktur sosial” (Johnson 1986: 154). Ketegangan yang terjadi selama hampir kurun waktu 32 tahun Orde Baru, dipandang sebagai pemicu timbulnya disfungsionalisasi struktur sosial. Masyarakat yang terganggu stuktur sosialnya akhirnya mendapatkan katup pelepas ketika kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Maka muncullah fenomena putra daerah dan bukan putra daerah sebagai perwujudan kristalisasi fanatisme kedaerahan yang sempit. Apakah juga kebijakan “Local boy for local job” juga merupakan imbas dari primordialisme atau didasarkan pada penyetaraan kesempatan bagi putra-putra daerah untuk menjadi anggota polisi?
Kekhawatiran akan timbulnya keberpihakan polisi terhadap pihak tertentu dalam penanganan konflik karena adanya ikatan primordial, tentunya turut menjadi pemikiran kita bersama. Masyarakat kita yang sudah mengakar sifat gotong royong dan tepa selira-nya tentu akan sangat berpengaruh pada setiap pengambilan keputusan petugas polisi yang ada di lapangan. Sehingga tidak bisa dipungkiri banyak kasus yang mengendap karena adanya intervensi dari oknum birokrasi karena yang bermasalah ternyata adik, saudara, tetangga, keponakan, atau teman sekolahnya. Kalau ini terjadi, bisa-bisa akibat yang ditimbulkan malah sebaliknya (Budhisantoso 2004: 142).

Perlukah Merubah Konsep “Local boy for local job”?

Dengan diimplikasikannya penempatan personel Polri untuk berdinas di wilayah yang merupakan tempat tinggalnya semula, apabila dia merupakan polisi remaja dan baru berdinas satu dua tahun, apakah benar-benar mampu menangani konflik yang melibatkan orang-orang yang dikenalnya selama ini dari kecil sehingga menjadi polisi? Untuk itulah saya merasa perlu mengetengahkan persoalan ini untuk menjadi bahan pemikiran kita semua. Memang dirasakan pasti akan timbul pro dan kontra apabila konsep ini tidak dijalankan, apabila konsep ini sudah berlangsung lama sehingga timbul apresiasi dari personel polisi yang baru bahwa kelak penugasannya tidak jauh dimana dia dilahirkan. Kalau sudah demikian maka prinsip-prinsip manajemen personalia pasti akan terabaikan, dimana sebelum menempatkan personel ada beberapa faktor sebagai bahan pertimbangan (Djamin 1995: 71) yaitu:
1. Faktor prestasi akademis; proses pendidikan personel Polri tidak akan berjalan dengan baik apabila si calon polisi telah disusupi pemikiran buat apa belajar dengan tekun kalau hasilnya dia akan ditempatkan di daerah yang kurang memacu motivasi untuk bekerja. Calon polisi dari kuota pengiriman terbanyak pun merasa akan percuma meraih peringkat cendikia kalau dihadapkan pada proses penempatan yang tidak fair (masih adanya unsur KKN dalam penempatan personel). Idealnya calon polisi ditempatkan sesuai dengan peringkat terbaik dan sesuai permintaan, sedangkan yang tidak termasuk dalam golongan tersebut baru ditempatkan sesuai dengan kemampuan intelektualitasnya sehingga dengan demikian kualitas mutu didik SPN maupun Lemdik Polri pun akan selalu terjamin.
2. Faktor pengalaman; pengalaman bekerja terkadang lebih dihargai daripada tingkat pendidikan yang diraih. Personel yang berpengalaman akan lebih mudah dibimbing karena hanya memerlukan latihan dan petunjuk yang singkat. Itulah mengapa penempatan pertama Bintara Polri harusnya tidak langsung ke kesatuan kewilayahan namun terlebih dahulu dimatangkan di Polda untuk menerima pelatihan-pelatihan maupun pengetahuan-pengetahuan lain yang tidak didapatkan di SPN maupun Lemdik. Akan sangat merugikan Kepala Satuan Wilayah apabila harus meluangkan waktunya lagi untuk melatih secara kontinyu pada personel Polri baru mengenai tugas pokok Polri. Kalau sudah begini apa keuntungan dari program magang personel Polri ke kewilayahan selain hanya menguras anggaran pendidikan dan menyita waktu Kasatwil untuk membimbing calon polisi yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari SPN atau Lemdik.
3. Faktor kesehatan fisik dan mental; ini sangat penting untuk mengetahui apakah personel Polri tersebut benar-benar siap untuk ditempatkan ke kesatuannya yang baru. Jangan sampai begitu mengetahui dimana ia ditempatkan karena terlalu terbebani mentalnya kemudian yang bersangkutan sakit jantung, padahal dalam lamaran pekerjaannya tidak ada catatan mengenai sakit tersebut. Ini diakibatkan karena sudah terngiang bahwa tempat yang akan ditujunya merupakan tempat kering/tidak enak. Sedangkan yang mendapat tempat sesuai keinginannya kalau perlu saat itu juga langsung berangkat menuju tempat tugas.
4. Faktor keluarga; seperti yang sudah dibawah pada subbagian sebelum ini, bahwa eforia otonomi daerah memunculkan adanya aturan-aturan antar daerah yang berbeda, termasuk dalam hal ini pekerjaannya yang tidak memungkinkan untuk seseorang pindah tugas ke tempat lain apabila tidak melalui prosedur yang sesuai. Sebagai contoh, ada anggota Polri yang beristrikan/bersuamikan PNS di jawatan tertentu, tidak mungkin dia terpisah tempat tugas, solusinya tentunya harus didekatkan dengan keluarga. Jadi secara otomatis konsep “Local boy for local job” tidak berlaku apabila dia sudah berkeluarga, namun konsep itu masih berlaku apabila keluarganya juga berdomisili di tanah kelahirannya.
Dengan penempatan yang tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka akan berdampak pula pada bagian-bagian yang lain. Fungsi kependidikan yang diemban oleh Diklat maupun SPN atau Lemdik tidak akan berjalan dengan baik, mereka hanya menjalankan kurikulum tanpa arah yang jelas. Tujuan utama hanya mengantarkan calon polisi ini untuk menjadi polisi tanpa didukung oleh pemberian ketrampilan maupun kemampuan yang mumpuni yang kelak hanya akan memberatkan kesatuan wilayah saja. Para polisi ini juga dilatih untuk “manja”, tidak mau lepas dari orang tua. Padahal saat baru pertama mendaftarkan sudah disodorkan pernyataan untuk “bersedia ditempatkan dimana saja”. Pernyataan ini tentunya kalau secara harfiah diartikan, si polisi tidak bisa memilih, dimanapun dia ditempatkan disitulah dia membaktikan dirinya bagi organisasi kepolisian ini. Namun pada kenyataannya muncul the right man on the wrong place and the wrong man on the right place, munculnya polisi-polisi remaja yang tidak berkemampuan mahir namun secara beruntung bisa masuk ke satuan wilayah yang dikatakan sebagai “tempat basah”, bisa satuan wilayah yang ramai atau tanah kelahirannya. Ironisnya, malah polisi-polisi remaja yang berkemampuan mahir malah ditempatkan di daerah-daerah yang tidak memiliki tantangan untuk dia mengembangkan karir.
Kemudian apakah dengan konsep ini pula, pola konflik akan dapat teratasi dengan baik apabila petugas pengendali massa-nya merupakan putra daerah? Kita tengok ke belakang pembunuhan seorang anggota polisi di Polsek Pomalaa Polres Kolaka silam, apakah semua personel Polri di situ berasal dari luar Kec.Pomalaa? Ternyata tidak juga, sebagian besar merupakan putra-putra daerah setempat. Begitu pula konflik sengketa tanah di Kec. Baggae, Kab. Mamuju, Prop. Sulawesi Barat tanggal 21 Juli 2008, dimana polisi setempat tidak berdaya mengatasi aksi anarkis massa sehingga menewaskan 1 (satu) orang warga setempat, tepat di depan mata polisi! Kalau dihadapkan oleh masalah ini, satu kesulitan Kasatwil untuk mengumpulkan personel back-up adalah mereka tidak tinggal di barak siaga namun di rumahnya masing-masing. Sehingga apabila dilakukan apel mendadak, tentu memakan waktu yang lama untuk mengumpulkan mereka. Alih-alih quick respons, malah membuat polisi lamban dalam bergerak dan bertindak.

Saran Pertimbangan

Konsep “Local boy for local job” disusun sebagai perwujudan pengedepanan kemitraan polisi dan masyarakat. Konsep pemolisian boleh saja mengadopsi konsep pemolisian negara lain karena sifat polisi itu sendiri yang universal, namun realisasinya belum tentu sama. Sebab jika tidak, konsep community policing dengan Local boy for local job-nya yang sangat ideal itu, hanya akan berfungsi sebagai sarana kemalasan polisi-polisi kita untuk mengabdi pada wilayah yang berbeda, yang tentunya akan kembali memunculkan isu etnisitas yang mengental di tengah-tengah keinginan Indonesia untuk mengembalikan lagi semangat Kebangkitan Nasional dan kebersamaan dalam satu wadah NKRI. Menurut Awaloedin Djamin (2009), “Local boy for local job” jangan diartikan sebagai putra daerah yang kembali ke daerahnya saja, namun bagaimana Polri mengoptimalkan anggotanya yang berasal dari luar daerah untuk mengetahui luar dalam karakteristik daerahnya (sampai ke lubang tikus sekalipun). Untuk itu perlu ada pertimbangan dalam hal yang terkait dengan konsep “Local boy for local job”.
Pertama, penempatan berdasarkan prestasi akademis selama pendidikan. Pendidikan di SPN atau Lemdik dijadikan sebagai barometer penempatan personel polisi, sehingga calon personel polisi selalu berjuang untuk meraih hasil yang maksimal dikarenakan konsekuensi akhir akan diberikan penempatan tugas sesuai yang diharapkan.
Kedua, fungsi pembinaan, apakah dengan ditempatkan kembali ke daerah asal akan memperingan tugas Kasatwil dalam hal manajemen operasional maupun pembinaan. Dengan tugas kembali ke daerah asal, apakah menjamin si polisi tersebut bisa menjadi mediator pada setiap gesekan-gesekan yang terjadi pada masyarakat.
Ketiga, daerah penempatan dan lamanya bertugas. Apakah polisi remaja harus bertualang dulu mengenal daerah-daerah lain, kemudian setelah 2 (dua) tahun dinas bisa dikembalikan ke daerah asal dengan mengikutsertakan berbagai pertimbangan-pertimbangan Kasatker/wil mengenai penempatan lanjutannya. Dengan demikian polisi tidak terkungkung dalam sarangnya sendiri, namun mereka punya kemampuan untuk survive di tempat yang lain.

DAFTAR ACUAN:

Budhisantoso, P. 2004. Putra Daerah atau Putra Bangsa Yang Diperlukan Kepolisian Negara. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, editor Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.

Djamin, Awaloedin. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia 1. Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri.

Suparlan. Parsudi. 2004. Putra Daerah: Konsep dan Definisi. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, editor Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

Perubahan Sosial dan Dampak Pembangunan di Indonesia


Pemihakan Pada Ekonomi Rakyat
Keterpurukan ekonomi Indonesia pada krisis moneter tahun 1997 yang sampai sekarang masih belum mampu bangkit lagi, diyakini sebagian orang sebagai buntut kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mempercayakan sumber devisa negara pada sektor migas dan tidak memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengusahakan sumberdaya alamnya sendiri (Umar, 2009) serta terlalu mempercayakan kepada pemodal asing untuk mengelolanya. Sampai saat inipun pemerintah masih beranggapan bahwa investor asing sebagai cara yang paling masuk akal dalam memudahkan pemulihan perekonomian Indonesia. Berbagai paket kebijakan dikeluarkan dengan tujuan memberikan “kemudahan” bagi pemilik modal (besar) untuk menanamkan uang mereka yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja.
Mengapa pemodal asing dengan mudahnya masuk ke Indonesia? Bahwa selain ketidakmampuan mandiri dalam mengelola dan mengusahakan sumberdaya alamnya sendiri, Indonesia juga lemah dalam hal regulasi. Umar (2009) mengatakan bahwa pemerintah Orde Baru memperlemah masyarakat dengan melakukan sentralisasi perekonomian bersumber pada migas. Presiden Soeharto dan kroni-kroninya dianggap menggerogoti pertumbuhan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, padahal kalau saya lihat mungkin lebih tepat kalangan birokrat legislatif dan eksekutif lah yang menikmati hasilnya. Soeharto tidak bisa dibawa-bawa dalam kasus ini, Parry (2008:175) mengatakan Soeharto tidak terlihat memperkaya dirinya. Ini terlihat dari tidak adanya perubahan yang signifikan pada rumahnya di Jl. Cendana, selera berpakaiannya pun bisa dibilang buruk, ia jarang memperlihatkan kemewahan dalam kehidupan pribadinya. Namun memang Orde Baru dianggap sebagai masa dimana Soeharto menganalogikan Pancasila sebagai pedoman hidup setiap manusia Indonesia. Politik dengan mudah diberangus, konflik dibungkam, ideologi digantikan dengan consensus, dan retorika digeser oleh birokratisasi. Kemiskinan yang ada sekarang pun tidak terlepas dari sejarah panjang “pembodohan” dan “penipuan” elit negara dan kaum kapitalis terhadap rakyat. Perilaku KKN diyakini sebagai penyebab penyakit birokrasi mulai dari ibukota sampai pedesaan (Umar, 2009). Disinilah kesalahan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, ia memang tidak memperkaya diri sendiri tetapi dia memperkaya teman-teman dan keluarganya dengan menganugerahkan mereka kontrak-kontrak negara untuk mengeksploitasi sumberdaya alamnya tak terbatas. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa masyarakat memang "termiskinkan", baik oleh struktur, maupun oleh sistem (aturan main) ekonomi-politik yang ada.
Seorang ekonom, Rostow menyatakan bahwa jika satu negara hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan, maka negara tersebut harus memiliki struktur ekonomi tertentu. Negara tersebut harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumberdaya alamnya, sehingga mampu mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10% dari pendapatan nasionalnya. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk (Suwarsono & So 1991: 17). Oleh sebab itu, jika pemerintah ingin mensejahterakan rakyat maka tidak perlu dicapai “dalam waktu sesingkat-singkatnya” karena pengorbanannya akan sangat besar. Pembangunan yang dipercepat pastilah membawa ekses yang justru menjauhkan dari tujuan mensejahterakan rakyat. Seperti halnya pembangunan ekonomi Indonesia yang bersifat top down dan mendasarkan pada keyakinan berlakunya trickle down effect justru berakibat pada peminggiran hak, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, penggusuran, dan akhirnya menimbulkan kemiskinan struktural yang sulit disembuhkan.
Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah struktural, akibat ketimpangan politik-ekonomi global, kebijakan dan aturan yang lebih menguntungkan pihak yang kuat, maka pemecahannya seharusnya juga bersifat fundamental (mendasar). Dalam hal ini pemerintah, sebagai elit pemimpin yang melaksanakan kedaulatan rakyat, seharusnya aktif berperan dalam mengatasi berbagai masalah pengembangan ekonomi rakyatnya. Untuk itu diperlukan “pemihakan” sepenuhnya oleh pemerintah terhadap pelaku ekonomi rakyat dalam bentuk perlindungan dari dampak negatif liberalisme dan kapitalisme pada tingkat lokal dan global.
Sampai saat ini perhatian pemerintah nampaknya masih sebatas kemauan politik yang belum direalisasikan di lapangan. Program penanggulangan kemiskinan belum sampai ke masyarakat terpencil, kecuali sebatas raskin yang juga hanya dikonsumsi sebagian kecil penduduk yang memiliki uang saja. Secara umum kebijakan yang dijiwai gagasan pasar bebas global terbukti berperanan besar dalam memerosokkan kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat terutama yang bergerak di sektor pertanian. Penurunan bea masuk komoditi pertanian yang berujung pada meluasnya impor komoditi gula, beras, dan daging, telah memaksa petani kita untuk menjual produk mereka dengan harga murah sehingga kesejahteraan mereka tetap rendah.
Kondisi inilah yang diinginkan oleh negara-negara maju penganjur globalisasi supaya produk mereka dapat menguasai pasar negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Kita perlu waspada jangan sampai bangsa kita digiring hanya sekedar menjadi “bangsa konsumen” yang selalu “diiming-imingi” manfaat harga murah sesaat dari sistem pasar bebas atau “bangsa makelar” yang hanya bisa menjual produk negara lain tanpa peduli dengan pemberdayaan pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen potensial penyangga masa depan bangsa. Oleh karena itu upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penanggulangan kemiskinan tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran untuk mengoreksi tatanan ekonomi-politik yang cenderung timpang baik dalam skala global maupun nasional. Diperlukan dua langkah dari segenap komponen bangsa kita, terutama pemerintah selaku pengambil kebijakan dan para ekonom-politisi yang selama ini turut memberikan nasihat teoritis dan kebijakan di negara kita.
Langkah pertama adalah membendung pengaruh negatif berkembangnya paham globalisme pasar bebas sebagai bagian dari skenario kapitalisme global dengan tidak begitu saja menerima segala teori, kebijakan, dan agenda-agenda global tanpa adanya signifikansi dengan perjuangan untuk memberdayakan pelaku ekonomi rakyat, penanggulangan kemiskinan, dan pembebasan negara kita dari ketergantungan politik-ekonomi dari negara atau lembaga apapun. Dalam hal ini pemerintah dan para ekonom seharusnya menjadi penganjur utama untuk memperjuangkan kemandirian bangsa bukannya tunduk pada positivisme ilmu yang belum tentu benar dan sesuai untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia.
Langkah kedua, sudah saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang lebih sesuai dengan ciri khas kehidupan sosial-ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Sistem ekonomi yang perlu dikembangkan bersumber dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi pemersatu bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan sistem ekonomi untuk mengoreksi tatanan ekonomi yang cenderung liberal-kapitalistik. Sistem ekonomi yang disebut sebagai Sistem Ekonomi Pancasila ini merupakan manifestasi perjuangan untuk menegakkan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai moral (Ketuhanan), kemanusiaan, dan kebangsaan (nasionalisme ekonomi).
Liberalisasi pengelolaan sumberdaya alam oleh investor swasta tidak dapat diharapkan mensejahterakan penduduk terpencil. Aturan main berekonomi yang memihak ekonomi rakyat, berpijak pada upaya pemerataan, dan berupaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Pengembangan sistem ekonomi kerakyatan diharapkan dapat menjadi modal “melawan” globalisme yang berakibat pada ketergantungan total ekonomi rakyat terhadap perusahaan dan lembaga global. Ekonomi rakyat yang terbukti memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis seharusnya memberi pelajaran kepada pemerintah dan ekonom-ekonom kita untuk lebih serius lagi menjadikan penguatan peran ekonomi rakyat sebagai agenda besar pembangunan ekonomi bangsa. Ketidakpercayaan terhadap ekonomi rakyat, yang sebenarnya adalah wujud ketidakpercayaan diri (inferiority complex), merupakan kendala bangsa kita untuk benar-benar dapat lepas dari ketergantungan ekonomi terhadap negara/lembaga luar negeri seperti IMF. Hal ini pula yang mendorong lebih dominannya kebijakan yang berorientasi pada merangsang masuknya investasi asing dengan melupakan investasi yang telah dilakukan pelaku ekonomi rakyat dalam skala kecil namun yang nilai totalnya sangat besar.

Kesimpulan
Krisis multidimensional yang sedang melanda Indonesia pasca krisis moneter di Asia tahun 1997, tentu berdampak pada sistem perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat kalangan bawah (rakyat ekonomi lemah) yang masih menjadi sasaran perilaku KKN pejabat birokrasi mulai dari level ibukota hingga ke dusun terpencil. Sandaran ekonomi Indonesia pada sektor migas membuat pembangunan di sektor lain menjadi terhambat, sehingga investor asing yang melihat peluang tersebut memanfaatkannya berbekal pengetahuan akan peraturan internasional maupun nasional yang dikuasainya sehingga pemerintah Indonesia tidak memperoleh hasil yang maksimal dari eksploitasi sumberdaya alamnya yang tentunya berimbas pada keterpurukan perekonomian rakayt kalangan bawah. Kelamahan pemerintah dalam hal pemahaman regulasi nasional maupun internasional, dijadikan senjata pihak pemodal asing untuk dengan bebasnya mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia tanpa batas. Kita sebagai pemilik sah sumberdaya alam itu hanya bisa menggigit jari melihat pihak asing leluasa mengambil sumberdaya alam kita. Kalangan birokrat pembuat peraturan pun seperti selebritis yang hanya pintar menginterupsi atau menggunakan kekuatan massa guna meloloskan suatu keinginan elite-nya, namun tidak melihat dampaknya ke depan. Kelemahan inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh pemodal asing untuk masuk ke dalam permainan birokrasi yang sedemikian lemahnya, sehingga perilaku KKN kalangan birokrasi dapat disebut sebagai sumber utama keterpurukan ekonomi Indonesia dari era Orde Baru sampai sekarang ini. Bahkan kalau secara jujur dikatakan, kondisi saat ini tidak berbeda jauh dibanding pemerintahan Soeharto dulu.


DAFTAR ACUAN

Parry, Richard Lloyd. 2008. Zaman Edan; Indonesia di Ambang Kekacauan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Suwarsono & Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Baca selengkapnya.....

Ilmu Kepolisian dan Terorisme


Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), atau bisa kita sebut negara hukum. Dalam upaya mewujudkan keteraturan hukum, salah satu pilar penting guna mewujudkannya adalah kepolisian. Polisi selain sebagai birokrasi kontrol sosial, juga berperan sebagai pemberi pelayanan dan melakukan interpretasi hukum secara konkrit melalui tindakan-tindakannya. Melalui kontrol sosial, maka upaya pelayanan dan agen interpretasi menjadi lebih lengkap guna mewujudkan keteraturan hukum. Kontrol sosial dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan masalah sosial yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Segala aspek mengenai gejala yang ada dalam kehidupan sosial yang dirasakan menjadi beban atau masalah (yang merugikan) bagi masyarakat merupakan ruang lingkup tugas dan fungsi kepolisian (Suparlan 2004: 22). Permasalahan pada satu bagian masyarakat, belum tentu terjadi pada bagian masyarakat yang lainnya. Dengan demikian tugas-tugas kepolisian di satu tempat dengan tempat yang lain, belum tentu menemui permasalahan yang sama dengan penanganan yang sama pula. Masing-masing tipologi kepolisian memiliki cara pandang dan pola tindak yang berbeda, kesemua tugas dan profesi polisi menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat serta harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam melaksanakan kegiatannya, polisi menggunakan dua paradigma tugas. Paradigma pertama adalah bahwa polisi dalam menjalankan setiap kegiatannya dilengkapi dengan sejumlah kewenangan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain dalam masyarakat (the strong hand of society). Kewenangan itu antara lain: menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, dll (lihat pasal 16 UU No.2 Tahun 2002). Tugas polisi ini memberi arti bahwa polisi berada pada kedudukan yang memaksa penegakan suatu peraturan/hukum, sedangkan rakyat berada pada posisi wajib untuk mematuhi. Dan paradigma kedua yaitu polisi dan masyarakat berada pada posisi sejajar, dimana tugas polisi lebih banyak pada pengayoman, pelayanan dan memberi perlindungan pada masyarakat (the soft hand of society). Sifat dari kedua paradigma ini memberi ciri khas pada pekerjaan perpolisian (policing) terhadap masyarakat (Rahardjo 2002: 39 – 40).
Melalui paradigma ini, ketika Indonesia terjadi banyak kerusuhan baik itu sebagai akibat dari konflik horizontal maupun vertikal, maupun kejadian bom sebagai ekses dari terorisme, polisi bukan hanya menjalankan tugas dan profesinya sebagai penegak hukum tetapi juga harus menemukan apakah disitu terdapat permasalahan sosial, kemudian bagaimana polisi menerapkan pola dan cara tindak dalam tetap menciptakan keteraturan masyarakat, dan bagaimana polisi menjalankan paradigma kekuasaan dan kemitraan dalam mencegah dan memberantas konflik dan terorisme tersebut. Tentulah kembali bagaimana polisi menerapkan metodenya menggunakan perspektif keilmuan yang tidak bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja, namun melalui berbagai disiplin ilmu.

Ilmu Kepolisian

Seperti telah disampaikan diatas, bahwa fungsi dan tugas polisi sebagai pemaksa masyarakat untuk mengikuti aturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah harus diikuti dengan suatu tindakan yang harus mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Polisi tidak bisa menghadapi suatu permasalahan di masyarakat menggunakan metode yang sama, atau masing-masing menggunakan satu pendekatan tertentu yang kemudian satu sama lain saling tidak terkait. Justru dalam menemukan suatu pemecahan masalah sosial, semua ilmu yang tercakup didalamnya harus saling melengkapi, dengan demikian polisi dapat menemukan pola tindak yang seharusnya dilakukan kepada masyarakat agar pencapaian keteraturan hukum dapat terwujud.
Ilmu kepolisian itu sendiri pada dasarnya sama dengan bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora. Ilmu kepolisian tidak dikelompokkan pada ilmu pengetahuan biasa yang memiliki paradigma tunggal, metodologi serta metode yang baku, dan hukum serta dalilnya berkembang secara bertahap. Di dalam ilmu kepolisian itu sendiri pada hakikatnya berisi akan ilmu administrasi kepolisian, yaitu bagaimana membangun dan memantapkan organisasi kepolisian, pengembangan budaya dan etika kepolisian, manajemen personil birokrasi dan keuangan, yang kesemuanya dilakukan guna menciptakan rasa aman dan keteraturan sosial melalui kegiatan-kegiatan perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat, memerangi kejahatan dan menindak tegas berbagai pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok sesuai hukum yang berlaku. Dengan demikian ilmu kepolisian itu harus didukung oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Ilmu kepolisian oleh Suparlan didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya (Suparlan 2004: 12). Saya sendiri sepakat dengan hal ini, karena sesuai dengan perkembangan ilmu kepolisian itu sendiri yang antar-bidang, dimana masing-masing ilmu harus saling mendukung dan menjadikan ilmu kepolisian itu bukan hanya dipelajari secara ilmu, namun harus relevan dengan ruang lingkup ilmu kepolisian itu sendiri serta sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan polisi yang dapat berfungsi secara profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan (Suparlan 2004: 18).

Terorisme Dalam Ilmu Kepolisian

Ada tiga istilah yang dapat dilahirkan dari judul di atas, yaitu istilah “teror”, “teroris” dan istilah “terorisme” itu sendiri. Secara tata bahasa, “teror” artinya adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang atau golongan. “teroris” adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut. Sedangkan istilah “terorisme” itu sendiri mengandung arti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan. Seperti halnya organisme, terorisme pun harus berkembang biak untuk tetap bertahan hidup. Pernyataan ini bukan berarti saya setuju dengan terorisme. Namun, hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa hidup dan mati suatu spesies (manusia, hewan dan tumbuhan) ditentukan dari kemampuannya untuk berkembang biak. Dengan memahami metode dasar perkembangbiakan, yaitu generatif dan vegetatif, kita bisa menganalisa perkembangan terorisme itu sendiri. Sederhananya, untuk mempertahankan suatu keberadaan, organisme bersel tunggal akan membelah diri dari satu kelompok besar menjadi dua kelompok yang lebih kecil, lalu membelah diri lagi menjadi empat kelompok yang lebih kecil dan seterusnya sesuai deret ukur. Begitu pula terorisme menyebar dan berkembang biak.
Melihat besarnya perhatian terhadap terorisme, maka menarik untuk dikaji kerangka analisa (analytical framework) yang digunakan, dan implikasi penggunaan sebuah kerangka pikir terhadap pemahaman kita terhadap terorisme. Menurut Anies Rasyid Baswedan (2008) sebab terjadinya teror bisa ditelusuri dengan menggunakan dua kerangka analisa yaitu Kultural dan Rasional. Pertama, kerangka kultural memandang perilaku, sikap, dan perbuatan sebagai penjelmaan nilai, sistem kepercayaan, atau ideologi. Dalam konteks terorisme, kerangka kultural memfokuskan pada korelasi antara nilai/ideologi dan teroris. Kerangka ini mencari penjelasan tentang sebab teror dengan cara mengkaji ideologi dan nilai para teroris. Dengan kata lain, inti dari kerangka ini adalah interpretasi nilai terhadap aksi. Kedua, kerangka rasional memandang perilaku, sikap, dan perbuatan sebagai fungsi dari pilihan-pilihan yang ada di hadapannya. Aktor ini bisa berupa individu ataupun kelompok (Przeworski & Limongi 1993: 55). Kerangka rasional memandang tindakan teror sebagai bentuk interaksi dan konflik antara teroris dan sasaran teror (Crenshaw 1998: 9) . Karena itu, kerangka rasional memfokuskan analisanya pada korelasi antara teroris dan sasaran teror. Untuk tujuan analisa, pendekatan rasional ini tidak memandang sasaran teror semata-mata sebagai korban, tetapi sebagai aktor. Inti dari kerangka rasional adalah aktor yang berinteraksi secara kalkulatif.
Mengenai masalah terorisme yang akhir-akhir ini terjadi, perspektif terorisme yang digunakan adalah terorisme religius (Golose 2009). Kejadian yang terjadi di Bali, Poso, dan Ambon terdapat indikasi bahwa pelaku menggunakan faith concept (konsep keyakinan) dalam menjalankan setiap aksinya. Alhasil, sebagian masyarakat seolah terkooptasi untuk menyebutkan satu agama tertentu (baca: Islam) sebagai dalang dari setiap aksi terorisme ini. Konsepsi yang salah mengenai pengertian “mati syahid” membuat banyak martir yang mati sia-sia dalam menjalankan tiap aksinya. Kerangka pikir kultural ini bisa memperkaya khazanah ilmu pengetahuan ─terutama ilmu kepolisian─ dalam upaya mengungkap ekses dari aksi teror ini. Ilmu kepolisian juga dapat memfokuskan pada korelasi antara teroris dan sasaran teror dengan mengeksplorasi kebijakan/langkah yang dibuat baik oleh teroris maupun sasaran teror, kemudian apa impliasi kebijakan.langkah itu pada hubungan antar keduanya. Dari sini polisi dapat mengkaji korelasi yang mungkin muncul antara teroris dan sasaran teror dalam aspek kesamaan kepentingan, konflik kepentingan, dan pola interaksi antar keduanya. Polisi dapat memandang teroris maupun sasaran teror sebagai aktor rasional dan strategis karena secara konsisten mereka menunjukkan kepentingan yang hendak dicapainya. Mereka strategis dalam artian mereka dipengaruhi oleh langkah yang sudah dan akan dilakukan oleh lawan, dan gerak mereka dibatasi oleh kendala yang dimiliki teroris itu sendiri.
Melalui pendekatan ilmu kepolisian, polisi dapat memilah-milah kerangka pikir kultural dan rasional tadi kedalam pemahaman kontruksi parsial tentang terorisme. Kontruksi parsial ini bukan dimaksudkan untuk memecahkan masalah terorisme dengan satu bidang saja, namun menyatukan beberapa kontruksi pemahaman yang lain guna mencari alternatif pemecahan masalah yang dapat dipakai sebagai suatu metode baru penanganan terorisme di Indonesia. Karena apabila secara parsial dilaksanakan, publik hanya diarahkan untuk memberikan perhatian pada teroris dan tindakan teror saja, sementara sasaran teror terlewatkan. Pemahaman ini cenderung mengarah pada solusi yang parsial dan hanya berlaku secara temporer. Sedangkan polisi tentu menginginkan terciptanya ketertiban dan keamanan bagi rakyatnya guna menjaga stabilitas nasional, dengan demikian rakyat akan merasa aman dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari tanpa adanya rasa takut dalam beraktifitas. Dengan begitu, para investor dari luar negeri pun akan memandang Indonesia sebagai lahan yang pantas untuk mereka berinvestasi karena keamanan yang terjamin, inilah yang bisa dijadikan titik tolak bagi bangsa ini untuk terus membangun.


DAFTAR ACUAN

Baswedan, Anies Rasyid. 2008. Menganalisa Terorisme: Kultural dan Rasional. Diunduh melalui www.aniesbaswedan.blogspot.com pada tanggal 13 April 2009.


Crenshaw, Marta. 1998. The Logic of Terrorism: Terrorist Behavior as a Product of Strategic Choice. in Walter Reich (ed.), Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies,
Theologies, States of Mind. Washington DC: Woodrow Wilson Center Press.

Golose, Petrus. 2009. Terorisme di Indonesia. Disampaikan pada kuliah Masalah Sosial dan Isu Kriminologi tanggal 6 April 2009 didepan mahasiswa KIK-UI Angkatan 13.

Przeworski, Adam & Fernando Limongi. 1993. Political Regimes and Economic Growth. Journal of Economic Perspectives, American Economic Association, vol. 7.

Rahardjo, Satjipto. 2002. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.

Suparlan, Parsudi. 2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

"Quo Vadis" Akademi Kepolisian?


Pendahuluan

Sejak Polri keluar dari organisasi ABRI, menandakan pisahnya polisi dari militer, maka kita sudah berada pada jalur yang benar untuk menjalankan pemolisian yang otentik di negeri ini (Rahardjo 2004: 80). Bayley (1998) mengatakan bahwa polisi masa depan harus lebih menekankan peranannya dalam kegiatan pencegahan kejahatan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan tersebut menuntut kemampuan polisi untuk mampu menilai gejala yang ada di dalam masyarakat (Suparlan 2004: 75). Masyarakat Indonesia yang majemuk dengan corak kehidupan perkotaannya yang kosmopolitan, masih dibarengi dengan keberadaan daerah pedesaan yang tradisional dengan pola kehidupan grass-roots yang tentunya memerlukan pola penanganan yang lebih membumi dibandingkan pola penanganan masyarakat kota yang lebih banyak kepada kalangan menengah dan elite. Peran polisi masa depan tersebut salah satunya tercermin dari para polisi lulusan Akademi Kepolisian (Akpol).
Guna menghadapi masyarakat yang majemuk itulah, maka alumni Akpol diharapkan menjadi fasilitator dan dinamisator perkembangan masyarakat Indonesia. Seiring dengan reformasi, tentunya masyarakat semakin menuntut kemandirian Polri itu dibarengi dengan keprofesionalan Polri dalam menegakkan hukum. Berangkat dari hal tersebut, maka Akpol pun semakin dikembangkan sesuai dengan dinamika masyarakat yang menuntut Polri untuk profesional di bidangnya. Namun, tuntutan tersebut menimbulkan permasalahan baru yang dipandang oleh sebagian pelaku sejarah Polri sebagai penyimpangan, baik dari sisi sejarah maupun undang-undang.

Ditinjau Dari Perspektif Sejarah
Pada jaman penjajahan, kepolisian merupakan bagian dari rakyat sendiri yang bertugas melindungi diri dari segala macam kejahatan dan kekacauan, guna mencapai kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Didorong oleh cita-cita tersebut, walaupun negara dalam keadaan kacau karena perang, namun semangat untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu kepolisian mempelopori didirikannya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dan untuk menjaring pemuda-pemuda Indonesia untuk dididik menjadi kader atasan kepolisian, maka PTIK membuka 2 pendidikan kader atasan, yaitu:
- Kader Menengah akan dididik menjadi Inspektur Polisi.
- Kader Tinggi akan dididik menjadi Komisaris Polisi.
Persyaratan untuk masuk Sekolah Tinggi Polisi juga dibagi 2 yaitu:
- Dari Umum harus berijazah SMA.
- Dari Polisi harus berpangkat Inspektur I, sedangkan dari Agen Polisi mempunyai ijazah SMA.
Jenjang pendidikan kader atasan kepolisian yang minimal dari SMA adalah menyesuaikan dengan jaman itu, dimana rakyat Indonesia jarang yang menempuh pendidikan sampai Perguruan Tinggi (untuk mencapai jenjang tersebut, biasanya berasal dari kalangan menengah atau elite). Jadi saat itu, cikal bakal Akpol tersebut dimaksudkan untuk menjaring potensi pemuda dari seluruh lapisan masyarakat guna menjadi kader pimpinan kepolisian masa depan. Pemilihan pendidikan terakhir SMA dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan antara kalangan bawah maupun menengah dan elite, dengan demikian cita-cita Akpol untuk mengabdi pada nusa dan bangsa sesuai kaul para calon-calon Perwira Kepolisian pada tanggal 3 Mei 1954 dapat terwujud. Perlu diingat, Akpol didirikan atas semangat kejuangan rakyat, bukan atas dasar kepentingan sekelompok orang yang ingin diteruskan tongkat kepemimpinan polisi oleh keluarga sendiri. Dengan demikian persyaratan S1/S2 untuk calon siswa Akpol dianggap melanggar cita-cita sejarah pendirian Akpol itu sendiri, karena dengan demikian akan menutup peluang pemuda-pemuda dari berbagai kalangan tidak mampu (yang tidak dapat melanjutkan jenjang ke Perguruan Tinggi), namun memiliki semangat kejuangan tinggi membela tanah air dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban melalui jalur kepolisian.

Ditinjau Dari Perkspektif Undang-Undang
Akpol sebagai sebuah lembaga pendidikan kedinasan dibawah Polri menetapkan kebijakan yang mencerminkan paradigma baru sistem rekrutmen di tubuh Polri. Akpol tidak lagi menerima lulusan dari Sekolah Menengah Umum (SMU) atau sekolah sederajat lainnya seperti yang selama ini dilaksanakan. Melalui Pengumuman No.: Peng/02/IV/2007 tanggal 17 April 2007, Polri mencantumkan bahwa mulai tahun anggaran 2007, Akpol hanya menerima dari level S1 maupun S2 baik dari sumber pegawai Polri (bintara) dan dari sumber masyarakat umum (Koran Tempo 18/4/2007). Keputusan ini sendiri, dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan yang cukup besar bagi Polri dalam rangka mengejawantahkan kebijakan perubahan paradigma Polri, terutama yang berkaitan dengan perubahan di bidang kultur. Disamping itu, kebijakan ini juga dipandang sangat penting bagi Polri dalam menghadapi perubahan dan perkembangan tantangan di masa yang akan datang. Diharapkan bahwa dengan menjaring para lulusan S1 atau S2 sebagai sumber untuk calon-calon polisi, maka sumber daya manusia yang dimiliki oleh Polri akan semakin meningkat dan lebih siap untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang juga semakin kompleks. Namun ternyata perekrutan taruna Akpol ini menyisakan berbagai pertanyaan menyangkut ambiguitas persyaratan rekrutmen, masa pendidikan, dan hubungan antar alumni.
Mengenai persyaratan rekrutmen, disebutkan bahwa dasar hukum pola penerimaan Akpol (baru) adalah UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan pernyataan Mendiknas di Harian Media Indonesia tanggal 10 April 2007 yang menyebutkan semua pendidikan kedinasan, kecuali Akademi TNI dan Kepolisian harus di bawah Depdiknas. Pendidikan profesi itu harus diatas S1 dan paling lama hanya dua tahun. Kemudian termasuk tinjauan yuridis UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Hal inilah yang kemudian mendasari terbitnya Surat Keputusan Kapolri mengenai rekrutmen Akpol sumber sarjana. Di dalam Skep tersebut ternyata tidak dicantumkan dasar UU No.2 Tahun 2002, padahal seperti diketahui bahwa UU No.2 Tahun 2002 itulah merupakan landasan operasional Polri. Pada pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa: “Untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai berikut: a) dst …….d) berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat, e) berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun….dst”. Dari bahasa undang-undang diatas, jelas terlihat bahwa Akpol juga merupakan calon anggota Polri yang tidak ada perbedaan dengan penerimaan anggota Polri level bintara, sehingga mengapa Akpol dibedakan hanya menerima lulusan S1 atau S2 dengan umur maksimal 28 tahun (bagi S1) dan 30 tahun (bagi S2)?
Lalu tentang latar belakang pendidikan, apakah Polri bisa menjamin kualitas rekrutmen calon Taruna Akpol apabila mereka berasal dari Universitas/Perguruan Tinggi yang akreditasinya tidak memenuhi standar mutu pendidikan? Berarti sama saja “menggulirkan bola panas” pada Akpol itu sendiri, dengan kata lain Akpol harus menyusun kembali kurikulum yang sesuai dengan mutu peserta didiknya. Kemudian apakah semua disiplin ilmu diterima masuk Akpol? Seiring dengan dibekukannya program PPSS (Penerimaan Perwira Sumber Sarjana), bagaimana dengan kebutuhan Polri akan tenaga dokter, teknisi, apoteker, pembinaan rohani, dll? Apakah bisa diakomodir oleh Akpol semua?
Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa Akademi mengandung makna “perguruan tinggi untuk suatu kejuruan, lembaga pendidikan tinggi (disertai dengan latihan-latihan yang waktunya kurang lebih 3 tahun) yang mendidik tenaga profesi”. Polri masih terpaku pada bahasa “pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi” (lihat pasal 29 UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas). Sedangkan program Diploma menghasilkan “vokasi”. Memang pada akhirnya jika kepolisian disebut profesi sudah benar bahwa Akpol menerima masukan dari S1/S2, sedangkan SPN (setara D1) tergolong vokasi. Namun apabila dicermati, ternyata baik pemaknaan dalamkamus maupun UU Sisdiknas mendefinisikan “Akademi” sebagai lembaga pendidikan vokasi, karena itu apabila kebijakan Akpol untuk menerima sumber S1 atau S2 masih dilanjutkan, maka istilah “akademi” harus diganti (Hasil Workshop Pengembangan Ilmu Kepolisian di Perguruan Tinggi di Jakarta tanggal 17 Desember 2008). Kemudian, rekrutmen Akpol yang masih menerima lulusan SMU dianggap bertentangan dengan UU No.43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian, hal ini mungkin diakibatkan salah pengertian tentang persyaratan tamatan SMU, yang pada Pegawai Negeri Sipil termasuk dalam golongan II (disamakan dengan bintara). Padahal dalam UU Kepegawaian membagi Pegawai Negeri dalam: (1) Pegawai Negeri Sipil, (2) TNI, dan (3) Polri. Jadi, tidak ada sangkut pautnya Kepegawaian Polri dengan PNS. Polri harus menyusun sendiri sistem kepegawaiannya sesuai khas Polri (Awaloedin 2009: 7).
Lalu menyangkut masa pendidikan, jika dulu pendidikan Akpol (sebelum 2008) harus menempuh pendidikan selama 3,4 tahun, maka sekarang mereka hanya menempuh pendidikan selama 2,3 tahun. Pengurangan masa studi pada saat menempuh pendidikan, berimbas pada penyusunan kepangkatan. Bagi polisi lulusan Akpol, kepolisian menerapkan masa susut selama dua tahun bagi taruna Akpol yang masuk dari sumber sarjana dan masa susut tiga tahun bagi taruna Akpol dari S2. Masa susut (tugas) adalah bagi lulusan Akpol yang bertugas baru lulus dianggap telah melaksanakan dinas selama dua dan tiga tahun. Sehingga bagi lulusan S1 saat diwilayah mereka tinggal menunggu dua tahun untuk mendapatkan kenaikan pangkat Iptu, sedangkan yang S2 hanya menunggu setahun untuk naik pangkat. Jadi nantinya akan ada ambigu senioritas terjadi di wilayah. Dapat dibayangkan lulusan 2007 mereka akan naik Iptu pada tahun 2011, sedangkan lulusan 2009 dari S2 juga akan naik pangkat yang sama pada tahun yang sama pula. Akankah masih ada perasaan respek dan loyal pada dua tingkat tersebut, disaat pola pengasuhan Akpol saat ini sudah mengalami perubahan kearah yang lebih humanis?

Dilema Akpol Masa Depan
Tujuan Akpol yang mulia untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang juga semakin kompleks perlu ditinjau kembali. Perlu diingat bahwa nantinya polisi akan sering menghadapi kelompok grass-roots dibandingkan kelompok menengah dan elite. Kelompok grass-roots menurut Meliala (2009) terdiri dari kaum kelas bawah, kaum buruh, proletar, masyarakat miskin, masyarakat petani, blue collar worker, orang-orang terpinggirkan, dll. Kecenderungan kriminogenik kalangan ini adalah kejahatan konvensional (kekerasan) terkait dengan upaya bertahan hidup serta penyimpangan bermotif subsisten (sebagian bermotif eskapistis atau nihilistik yang mudah menjadi vigilant dan main hakim sendiri). Jadi pemolisian yang biasa diterapkan pada kalangan ini adalah: pemolisian keras (tough policing), tidak beri toleransi (zero tolerance), pemolisian yang fokuskan pada kejahatan jalanan (street safe policing), pengerahan dalmas (paramilitary policing) dan pemolisian represif (repressive policing). Dengan semakin banyak personel polisi berasal dari kelas menengah (karena untuk menyelesaikan S1 dan S2 tentu membutuhkan biaya yang banyak, bayangkan anak petani kurang mampu yang hanya sanggup menyelesaikan sampai SMU saja), maka cara pandang, gaya hidup dan kecenderungan kalangan grass-roots akan semakin sulit dimengerti dan akibatkan segalanya dipersepsikan sebagai ancaman gangguan kamtibmas (karena lulusan Akpol hanya berasal dari kalangan menengah dan elite). Kalau sudah begini, ditambah dengan masihnya penyimpangan manajerial pada pola pembinaan karir (penempatan, mutasi/promosi, dan seleksi), apakah kebijakan rekrutmen Akpol tersebut masih diteruskan? Kita justru harus angkat topi pada TNI yang sampai saat ini masih tetap berpegang teguh pada UU No.34 Tahun 2004 Tentang TNI, TNI cukup konsisten dalam penerapan pendidikannya dikaitkan dengan UU yang mendasarinya, padahal fungsi TNI bukan sebagai pengawas dan pemaksa UU. Kalau sudah begini, bagaimana peran dan tugas pokok Polri sebagai pengawas dan pemaksa UU kalau Polri sendiri ternyata tidak konsekuen? Bagaimana pula pola pembinaan personel Polri apabila suatu sistem selalu mengalami ketidakpastian? Quo Vadis, Akademi Kepolisian?

Referensi:
Akademi Kepolisian. 2002. Sejarah Akademi Kepolisian. Semarang: Akpol.
Djamin, Awaloedin. 2009. Beberapa Agenda Yang Perlu Perhatian Polri Dalam Tahun 2009. Makalah, Februari.
Meliala, Adrianus. 2009. Kepolisian dan Grass-Roots People. Makalah, Maret.
Rahardjo, Satjipto. 2004. Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, ed. Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
Suparlan, Parsudi. 2004. Polisi Masa Depan. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, ed. Parsudi Suparlan. Jakarta: YPKIK.
Baca selengkapnya.....

Perspektif Sejarah Otobiografi "HOEGENG"


Perjalanan Sejarah Seorang Hoegeng

Bagi orang yang berminat mendalami sejarah, terutama sejarah Polri, tentu tidak akan lupa dengan sosok yang satu ini. Ya, Hoegeng Imam Santoso adalah sosok polisi yang sangat terkenal akan kejujuran dan selalu berpegang teguh pada prinsip. Sosok yang tidak disukai para pelanggar hukum, para penyogok pejabat, kaum otoriter, dan pejabat Orde Baru. Namun siapakah Hoegeng? Hoegeng Imam Santoso yang lahir di Pekalongan pada tanggal 14 Oktober 1921, adalah salah satu tokoh polisi Indonesia yang berpengaruh dan juga salah satu penandatangan Petisi 50. Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setamat AMS A, dia menjadi mahasiswa Sekolah Hukum Tinggi (Rachts Hoge School/RHS) Batavia pada tahun 1940. Dalam perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiorum Indonesiensis), Hoegeng berkenalan baik dengan sesama mahasiswa, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Chaerul Saleh, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Subandrio. Karena perang pecah, studinya terkapar. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi (kelak berganti nama menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshall General School pada Military Police School Port Gordon, George, AS. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952), tahun 1956 diangkat sebagai Kepala Reserse Sumatera Utara di Medan yang “kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa yang hobi menyuap pejabat-pejabat. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Tapi ia menolak, dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas. Masih ngotot, rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot oleh tukang suap. Kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi. Karena tidak dipenuhi, perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka, gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi tidak mempan disuap.
Tahun 1959, ia mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan pada awal 1960 diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Mabes Polisi, tetapi dibatalkan, lalu ditarik ke Mabak. Lepas dari Mabak, ia lalu ditugaskan sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi. Selepas menjabat sebagai Dirjen Imigrasi, atas usul Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam kabinet "seratus menteri" Juni 1965.
Tahun 1966, setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Dalam jabatan ini, terjadi beberapa kasus yang menarik perhatian publik, seperti Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahyadi, dan tewasnya Rene Coenrad mahasiswa ITB.
Banyak hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabespol). Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Ia dicopot dari jabatannya karena bekerja keras dalam membasmi penyelundupan. Salah satu kasus yang ditanganinya adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. September 1971, Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat juga. Keuletan menuntaskan kasus besar itu menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Sebelumnya Hoegeng merintis pemakaian helm bagi pengendara motor yang saat itu menjadi polemik. Kini terasa, instruksi itu memang bermanfaat dan menjadi suatu keharusan saat ini.
Hoegeng kemudian ditawari jabatan duta besar di Eropa (Belgia), tetapi ia menolak. Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang menjadi orang bebas, ia tampil dengan grup musik Hawaian Seniors di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Namun, musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai dengan "kepribadian nasional" oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo sehingga ia tidak boleh tampil lagi. Lalu, Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. Pun begitu, ia tetap sederhana. Saat rapat kelompok ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng naik bajaj. Itulah Hoegeng, yang banyak dikenal sebagai tokoh yang penuh kesederhanaan. Beliau wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 karena serangan stroke.

Perspektif Sejarah Dalam Penulisan Otobiografi Hoegeng

Ada beberapa hal yang patut diketengahkan dalam penulisan otobiografi ini, antara lain:

1. Abrar Yusra dan Ramadhan KH memiliki latar belakang menulis sastra dan biografi. Khusus Ramadhan KH, ia menulis biografi lebih dari 20 tahun, dan kurang lebih 30 judul buku biografi telah dihasilkannya. Dalam menulis otobiografi Hoegeng, ia menggunakan metode wawancara pada narasumber (Hoegeng) dan juga melakukan studi pustaka. Karena berlatar belakang sastra, maka ia memakai pendekatan novel pada penulisan otobiografi ini. Baginya sebuah biografi laiknya novel sejarah, karena ia harus mempunyai kejujuran sejarah, otoritas sejarah dan warna lokal yang kental. Ramadhan KH meninggal dunia di Cape Town (Afsel) tanggal 16/03/2006 di usia ke-79 tahun. Sedangkan Abrar Yusra saat ini masih aktif menulis puisi, sastra dan biografi.

2. Penulis bersedia mengemas narasi tentang Hoegeng, seperti halnya copywriter menulis iklan dan advertorial untuk produk-produk industri. Dalam perspektif sejarah, lebih sering terjadi hal-hal yang sebaliknya, yaitu narasumber menulis memoar setelah mengundurkan diri dari posisi kekuasaannya. Buku ini ditulis saat Hoegeng sudah mengundurkan diri, jadi terdapat rentang waktu yang cukup lama untuk mencari sumber-sumber primer maupun sekunder (1971 – 1993). Sumber primer yang digunakan penulis adalah wawancaranya dengan Hoegeng maupun pencarian kopi surat kabar yang mengetengahkan sepak terjang Hoegeng semasa menjabat sebagai Kapolri (Harian Abadi, Angkatan Bersendjata, Berita Yudha, Kompas sampai Sinar Harapan – medio 1968 s/d 1971). Penulis tidak melakukan wawancara selain dengan narasumber, karena ingin bercerita tentang diri dan kehidupannya guna memberi konteks pemahaman pembaca tentang zamannya saat itu.

3. Penulis otobiografi ini menggunakan historiografi dalam penulisannya, dimana dokumen-dokumen diambil dari riwayat perjalanan Hoegeng baik melalui wawancara langsung dengan narasumber (Hoegeng) maupun mencari rekam jejak perjalanan karir Hoegeng lewat surat kabar-surat kabar saat beliau menjabat sebagai Kapolri. Penulis tidak sedikitpun memasukkan persepsi pribadinya kedalam tulisannya karena sepenuhnya hasil pemikiran maupun ucapan dari narasumber itu sendiri. Penulisan dikemas secara naratif dengan pendekatan novel agar pembaca memahami situasi yang dialami Hoegeng sesuai dengan zamannya.

4. Objektivitas sejarah yang terkandung dalam otobiografi ini sudah berhasil diciptakan oleh si penulis, karena bersumber langsung dari narasumber (Hoegeng) sendiri. Misalnya interpretasi penulis mengenai sebab musabab Hoegeng tidak disukai oleh Presiden Soeharto sehingga diberhentikan dari Kapolri, bukan merupakan persepsi pribadi si penulis namun bersumber dari penuturan Hoegeng. Pun begitu dengan Hoegeng saat ditarik ke Mabak (lihat hal. 284).

5. Penulisan bagian perbagian dari buku ini, mulai dari masa kecil Hoegeng sampai saat Hoegeng “diasingkan” merupakan periodisasi yang diberikan penulis untuk memudahkan pembaca memahami sepak terjang Hoegeng. Dan mengapa ia disebut polisi yang jujur bukan dihembuskan oleh Hoegeng sendiri namun sepenuhnya diambil dari intisari penuturan Hoegeng saat ia menolak suap cukong judi di Medan, tidak mau memakai kendaraan baru karena kendaraan dinasnya masih laik jalan, lebih baik naik sepeda onthel sambil menunggu perbaikan mobil dinasnya daripada menerima pemberian mobil dari judi, penolakan rumah dinas baru karena rumah dinas lama masih representatif, menolak menjadi Dubes di Eropa sebagai kompensasi “tutup mulut” atas kasus penyelundupan yang menimpa keluarga Cendana, maupun saat menghadiri rapat Petisi 50 dengan menggunakan bajaj. Ini semua merupakan pencerminan kejujuran yang ditampilkan oleh seorang pejabat Polri, yang sampai saat ini tidak ada yang menandinginya.

6. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah:
a. Memberikan gambaran perjalanan hidup Hoegeng yang begitu menghayati perannya sebagai aparat hukum, sehingga sanggup mendarmabaktikan seluruh kehidupannya untuk menjadi sosok yang penuh wibawa dan mengutamakan kejujuran dalam perilakunya.
b. Bahwa menjadi jujur adalah tidak susah, yang penting ia sanggup menahan diri dari godaan duniawi serta sanggup untuk bekerja keras demi menegakkan keadilan dan kebenaran diatas segalanya.
c. Memberi pelajaran bahwa menjadi pemimpin itu tidak mudah, ia harus mampu memberikan contoh terlebih dahulu dengan perbuatan dibandingkan sekedar perkataan. Ada beberapa pesan moral yang terkandung disetiap perjalanan hidup Hoegeng, baik itu mengenai tidak mencampur adukkan jabatan dengan konsekuensi jabatannya, berani menolak hal-hal yang berbau korupsi, mempertahankan hidup sederhana daripada hidup bergelimang harta yang tidak wajar, sifat korup selama menjabat, dan lain-lain.
Baca selengkapnya.....

Rabu, 22 April 2009

Perkenalan singkat


Assalamualaikum Wr.Wb.
Di forum ini, perkenankan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Arri Vaviriyantho, SIK. But, you can call me just Arri. Saya sudah berkeluarga, istriku Kartika Anindita, SH. Anak-anakku (cukup) dua, mereka laki-laki semua..(mmm... calon masuk Akpol nich, amiiiiinnn). Yang tertua kuberi nama Bintang Pratama Aryanditho, trus yang paling kecil namanya Bimo Wira Arthamadya. Masa kecil saya habiskan di beberapa tempat, maklum anak tentara...waktu SD saya habiskan di SD Widyawan I Cimahi (1980 - 1986), kemudian SMP di Balikpapan yaitu di SMP Negeri 1 Balikpapan (1986 - 1989), dilanjutkan ke SMA Negeri 1 Balikpapan (1989 - 1991), saat kelas 3 SMA saya pindah lagi ke SMUN 2 Cimahi (1991 - 1992), sehingga akhirnya masuk ke Akademi Kepolisian (1994 - 1997). Saat ini saya tengah melaksanakan kuliah di S-2 Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) Universitas Indonesia.
Melalui blog ini, saya mengajak pembaca semua untuk turut memberikan sumbangsih pemikirannya pada perkembangan dunia kepolisian Indonesia. Saya sangat mengharapkan sekali uneg-uneg, permasalahan, komentar, maupun pemikiran kritis anda bisa tertuang dalam blog ini. Ini semata-mata saya lakukan karena saya concern dengan perkembangan kepolisian kita tercinta...Oya, disini saya gak hanya membahas masalah kepolisian tok lho, karena hobi saya nonton bola, makanya kalo ada opini ttg bola ya jgn heran ya....
Akhirul kata, saya mengucapkan terima kasih atas perhatian anda semua dan mohon maaf apabila dalam blog ini tercantum kata-kata maupun ide-ide yang menyinggung seseorang atau instansi, hal ini bukanlah karena kesengajaan semata namun hanya sebagai saran dan kritik saja...mudah2an kita kedepan akan menjadi bangsa yang tidak cepat panas kuping akan ide dan kritik membangun, karena dengan kritik lah kita dapat membangun bangsa ini kearah yang lebih maju lagi...Jayalah terus Kepolisian Indonesia!!!!
Baca selengkapnya.....